NovelToon NovelToon

Kabut Cinta, Gerbang Istana

Padahal Baru Hari Pertama

Tiga puluh langkah dari gerbang dalam istana, Yu Zhen berhenti. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam. Suara langkah kaki dayang lain berlalu-lalang di sekelilingnya, namun ia tetap diam. Tidak gelisah. Tidak gugup.

Tapi jujur saja... tidak ada satu pun dari ini yang benar-benar ia inginkan.

“Masuk istana demi cinta?” gumamnya lirih, mengejek dirinya sendiri, sambil mengingat keinginan ibunya untuk ia segera menikah.

“Yang benar saja. Aku masuk karena dunia terlalu kejam pada orang yang miskin.”

Gadis berusia delapan belas tahun itu berdiri tegak, punggungnya lurus, dagunya terangkat sedikit—bukan karena angkuh, tapi karena martabat. Ia mengenakan jubah dayang baru berwarna pucat yang kebesaran satu nomor. Pinggangnya ramping, wajahnya tenang, dan tatapan matanya… seperti bisa menembus dinding istana dan membaca isinya.

“Istana tak butuh gadis cengeng,” begitu kata pamannya, dua hari lalu. “Tapi kalau kau cukup pintar, kau bisa bertahan. Dan kalau beruntung... naik perlahan.”

Yu Zhen tahu, pamannya tidak sepenuhnya bicara untuknya. Pamannya adalah salah satu pejabat Kementerian Upacara—berstatus, tapi tak cukup tinggi untuk membuat keponakannya langsung dilirik siapa pun di istana. Ia menyelipkan Yu Zhen ke dalam daftar calon dayang. Tidak sebagai jalan pintas, tapi sebagai… percikan harapan.

Bagi pamannya, mungkin ini soal citra keluarga.

Bagi Yu Zhen? Ini soal bertahan hidup.

Ia melangkah lagi.

Bangunan-bangunan megah menjulang di depan. Tiang-tiang berlapis emas, genteng berkilau, dan bendera-bendera panjang berkibar pelan diterpa angin. Langit di atas istana tampak lebih terang dari desa tempatnya berasal. Tapi yang membuat Yu Zhen menarik napas bukanlah kemewahan—melainkan pemikiran bahwa tempat ini, sesungguhnya, adalah medan perang paling sunyi.

Semua orang terlihat tersenyum.

Tapi siapa yang sedang mengasah belati di balik senyum itu?

“Nama?” tanya seorang pengawas dayang begitu ia mendekat.

“Yu Zhen.”

“Marga?”

“Tidak punya.”

Pengawas itu meliriknya dari ujung kepala sampai kaki. Tidak ada nada menghina di wajahnya—tapi Yu Zhen bisa membaca dari tatapan dingin itu: satu dayang tanpa marga, pasti tak berasal dari kalangan mana pun.

“Umur?”

“Delapan belas.”

“Lulusan?”

“Belajar sendiri.”

Pengawas mencatat cepat, lalu menunjuk seorang dayang muda yang berdiri di belakang. “Fei Lian, antar dia ke barak barat.”

Dayang itu menoleh dan tersenyum—senyum tipis yang nyaris tak terdeteksi kalau saja mata Yu Zhen tak terbiasa membaca orang.

“Namamu Yu Zhen, ya?” tanya Fei Lian sambil berjalan di sampingnya. “Lucu juga namanya. Zhen itu artinya tulus, kan?”

Yu Zhen hanya mengangguk pelan.

Fei Lian tersenyum lagi, kali ini lebih jelas. “Semoga kamu cukup tulus untuk bertahan di sini.”

Nada suaranya lembut, tapi Yu Zhen menangkap ironi di ujung kalimat itu. Entah sindiran, entah peringatan.

Barak barat tidak seburuk yang ia bayangkan. Tempat tidur berderet rapi. Bau cendana samar memenuhi ruangan. Beberapa dayang lain sudah duduk, berbicara pelan-pelan di pojok ruangan. Sebagian melirik Yu Zhen, tapi belum ada yang menyapa.

Yu Zhen meletakkan buntalan kainnya di sudut paling ujung dan duduk diam.

Shuang Mei memperhatikan dari jauh.

Gadis itu duduk bersila di tempat tidur tingkat bawah, tepat di sisi tengah ruangan yang terlihat paling “hidup”. Bantalnya lebih tebal, tikarnya sudah dilapisi matras tipis warna hijau muda, dan di sisinya berdiri dua dayang lain yang tampak sibuk menyisir rambutnya dan membereskan lipatan pakaiannya.

Satu helai alis Shuang Mei terangkat sedikit saat melihat Fei Lian menunjuk ranjang pojok dan si pendatang baru duduk diam di sana.

“Yang duduk sendiri itu?” bisik salah satu dayang.

“Namanya Yu Zhen,” sahut Fei Lian. “Baru masuk pagi tadi.”

Shuang Mei mengangguk pelan. “Cantik, tapi bukan tipe yang cerewet.”

“Kayaknya bukan juga tipe yang bisa diajak ngobrol,” gumam dayang lain sambil melirik sekilas.

Sejak meletakkan buntalan kainnya, Yu Zhen tidak banyak bergerak. Ia duduk tenang, mengatur lipatan pakaiannya dengan rapi, lalu mengambil sisir kayu dari saku bungkusan dan merapikan rambutnya tanpa cermin. Gerakannya tenang, lambat, nyaris tidak mencolok—tapi justru karena itulah beberapa dayang lain mulai mendekat, mencoba mengajaknya bicara.

“Dari utara ya?” tanya salah satu sambil menyapu lantai dekat ranjang Yu Zhen.

“Iya.”

Yu Zhen hanya tersenyum tipis, tapi tidak membalas apa pun lagi.

Beberapa menit kemudian, yang tadi mencoba mendekat sudah kembali menjauh. Mereka bertukar pandang, lalu mengangkat bahu kecil-kecilan. Mungkin mereka mengira Yu Zhen sedang menjaga diri. Atau mungkin… sombong.

Saat langit mulai meredup dan cahaya dari celah genteng berubah keemasan, Shuang Mei akhirnya bangkit dari ranjangnya dan melangkah ke pojok ruangan.

Seluruh ruangan langsung seperti menahan napas.

Yu Zhen tetap duduk, namun kini mengangkat wajahnya perlahan.

Shuang Mei berdiri tepat di sisi ranjangnya dan menatap ke bawah dengan senyum manis yang tidak sampai ke mata.

“Ada kerabat di istana?" tanya Shuang Mei to the point, dia ingin mengukur seberapa berguna orang baru ini untuk jadi teman.

“Pamanku pejabat tingkat rendah. Tapi aku daftar lewat jalur biasa,” jawab Yu Zhen pelan, tidak sombong, tidak merendah.

Shuang Mei tersenyum—hangat di permukaan, namun dengan nada yang tak bisa disangkal: ini bukan sekadar sapaan.

“Aku Shuang Mei. Di kamar ini tidak ada pemimpin resmi, tapi… semua tahu siapa yang biasa mengatur. Kau bisa sebut aku yang paling dulu masuk. Selain itu, aku adalah keponakan Kepala Dapur.”

Yu Zhen tidak menyahut, hanya mendengarkan.

“Kalau kau ingin cepat akrab, tinggal ikut saja ritme yang sudah ada. Kita di sini tidak hidup seperti di rumah orang tua. Ini istana. Di sini, semua bekerja.”

Yu Zhen tetap tenang. “Saya mengerti.”

Tatapan mereka bertemu sejenak.

Tidak ada api. Tidak ada senyum palsu.

Tapi melihat sikap yang tidak berbasa-basi, Shuang Mei tahu: yang dihadapinya bukan anak polos dari desa.

Ia akhirnya tersenyum lagi, lalu berbalik ke ranjangnya. Beberapa dayang langsung mendekatinya, menyodorkan bantal, minyak gosok, dan mulai bercerita pelan. Tapi dari sudut ruangan, Yu Zhen tidak berkata apa-apa.

Yu Zhen hanya melipat pakaiannya yang terakhir. Kemudian menarik selimutnya pelan.

Ia tak berniat tidur lebih cepat dari yang lain, tapi ia juga tak punya minat ikut mengobrol atau mendengar tawa palsu yang terasa dibuat-buat di tengah ruangan.

“Eh,” bisik seorang dayang yang baringnya tak jauh darinya, “besok subuh jam ayam ketiga sudah harus bangun. Jangan sampai telat, nanti dicatat.”

Yu Zhen menoleh sedikit. “Untuk apa?”

“Pembagian tugas,” jawabnya sambil menopang dagu di bantal. “Pengawas turun langsung. Katanya bakal keliling semua barak.”

Langkah Pertama di Medan Perang

“Eh,” bisik seorang dayang yang baringnya tak jauh dari ranjang pojok, “besok subuh jam ayam ketiga sudah harus bangun. Jangan sampai telat, nanti dicatat.”

Yu Zhen menoleh sedikit. “Untuk apa?”

“Pembagian tugas,” jawab gadis itu, menopang dagu di atas bantal tipisnya. “Pengawas bakal keliling langsung. Semua harus kumpul di halaman barak.”

Yu Zhen mengangguk kecil. “Setiap hari seperti itu?”

“Nggak juga. Tapi besok agak penting. Sudah dua bulan ini belum ada penempatan tetap. Kita semua masih acak tugas. Masih dianggap tahap awal.”

“Termasuk yang masuk duluan?”

“Termasuk Shuang Mei,” jawabnya pelan. “Dia memang lebih dulu datang, tapi tetap belum dapat posisi tetap. Tapi ya... karena dia cepat akrab sama pengawas, banyak juga yang dengar omongannya.”

Yu Zhen tidak menjawab. Hanya mendengarkan sambil menarik selimutnya sedikit lebih rapat.

“Aku Qin’er, ya,” lanjut gadis itu. “Kalau kamu… Yu Zhen, kan? Namamu tadi disebut waktu pendaftaran.”

Yu Zhen mengangguk. “Iya.”

Qin’er tersenyum kecil, meski samar karena pencahayaan. “Nanti kalau kamu bingung, tinggal tanya aku aja. Di barak ini... banyak yang senyum manis, tapi nggak semua mau bantu.”

Yu Zhen menoleh perlahan. Tatapan matanya tidak curiga, hanya datar dan jernih. Ia mengangguk pelan, tanda mengerti.

“Besok pasti melelahkan,” gumam Qin’er. “Tapi... ya beginilah hari-hari kita mulai.”

Suara-suara di tengah ruangan mulai mereda. Satu per satu lampu minyak ditiup perlahan, menyisakan cahaya redup dari sudut terjauh. Angin dari celah jendela menyusup pelan, membawa bau kayu basah dan debu tipis khas bangunan tua yang terlalu bersih untuk jujur.

Malam itu, Yu Zhen hanya berbaring diam.

Bukan tidur… hanya memejamkan mata sambil mendengarkan napas orang lain dan bunyi waktu yang merayap pelan di dinding-dinding istana.

Ia tahu, besok pagi bukan sekadar hari pertama bekerja.

Tapi mungkin—langkah pertama menuju medan yang lebih besar dari dirinya.

Fajar belum benar-benar menyingsing ketika suara langkah cepat terdengar dari lorong depan. Lalu… suara ketukan keras pada pintu utama barak.

“Bangun! Semuanya bangun!” teriak suara dari luar. “Jam ayam ketiga sudah lewat!”

Terdengar erangan panjang dari berbagai sisi ruangan.

“Astaga… aku baru merem…” gumam salah satu dayang dari ranjang tengah, menyelimuti wajahnya dengan bantal.

“Eh! Jangan ketiduran lagi! Nanti namamu dicatat!” bisik tajam dari ranjang atasnya, sambil menyikut kaki si pemalas.

Di dekat dinding barat, suara kain tergesek cepat terdengar. Seseorang menabrak tiang ranjang sambil menyambar ikat pinggang dari gantungan bambu.

“Aduh! Siapa naruh sepatu di tengah jalan!” omel pelan yang lain, nyaris jatuh karena kesandung.

Qin’er bangun lebih tenang. Ia duduk di atas tikar, membenarkan sanggul kasarnya sambil menoleh ke arah Yu Zhen.

“Zhen? Sudah bangun?” bisiknya pelan.

Yu Zhen sudah duduk tegak di ranjang. Rambutnya belum ditata, tapi wajahnya sudah bersih, dan matanya tidak menunjukkan kantuk sama sekali.

“Iya,” jawabnya pendek.

Qin’er tersenyum kecil, lalu bangkit mengambil seragam kerja—kain abu pucat dengan pinggiran biru kelabu yang seragam untuk semua dayang.

Sementara itu, di sisi lain, satu dayang sibuk menekan wajahnya dengan tangan.

“Duh... bekas bantalnya masih nempel di pipi... kelihatan nggak?”

Yang lain menatapnya datar. “Kau kira kita ini mau tampil di hadapan kaisar?”

“Siapa tahu! Siapa tahu nanti dikirim ke dapur selir Xuan! Katanya pengawasnya perfeksionis!”

Yu Zhen berdiri, membuka buntalan kecil berisi sabun kayu dan sisir. Tangannya cekatan. Ia tidak terlihat terburu-buru, tapi jelas tidak ingin ketinggalan.

“Kalau kamu butuh bantu ngancingin belakangnya, sini,” tawar Qin’er sambil mengenakan sabuk kainnya.

Yu Zhen mengangguk, membalikkan badan.

“Seragam dayang ini selalu sempit di bagian punggung,” gumam Qin’er sambil memasangkan kancing terakhir. “Nggak tahu siapa yang desain.”

“Supaya nggak kabur cepat kali,” sahut salah satu yang mendengar, setengah bercanda.

“Pintunya aja dijaga tiga lapis. Siapa yang bisa kabur?”

“Makanya jangan telat, daripada ‘kabur’ ke halaman hukum.”

Beberapa tertawa kecil. Pelan, tertahan. Tapi cukup untuk menghangatkan ruangan yang semula hanya berisi desahan malas dan suara air di baskom.

Akhirnya, satu per satu, mereka keluar dari barak—berderet rapi, berjalan cepat namun sunyi, hanya terdengar suara kain yang bergesekan dengan sandal kayu.

Langit masih berwarna kelabu tua. Embun belum turun, tapi udara pagi membawa dingin yang menggigit. Di halaman barak barat, puluhan dayang sudah berdiri membentuk formasi memanjang, menunggu aba-aba dari pengawas.

Yu Zhen berdiri di barisan belakang. Qin’er di sampingnya.

Suasana mendadak menjadi tegang saat sosok pengawas muncul dari balik gerbang kayu.

Kaki mereka berhenti serempak.

Wajah Yu Zhen tampak tetap tenang, tidak terlihat cemas. Tapi di balik semua itu, hatinya belum benar-benar bisa menerima dunia barunya ini.

Tempat ini dingin. Bukan karena suhu pagi, tapi karena atmosfernya terasa… tajam. Sunyi seperti tebing tinggi—siapa pun bisa jatuh sewaktu-waktu.

Langkah-langkah dari arah barat terdengar. Suara sandal resmi menghantam batu bata dengan irama lambat dan mantap. Pengawas dayang utama muncul, diikuti dua pelayan dan seorang pengawal bertubuh besar.

Suasana mendadak membeku.

“Su Ping,” panggil pengawas dengan nada yang tak menyisakan ruang keraguan.

Di barisan tengah, seorang gadis gemetar melangkah maju. Wajahnya masih belum sepenuhnya sadar dari kantuk, matanya sembab, rambutnya sedikit miring dari sanggul.

“Hamba…”

“Baru seminggu bertugas, sudah membuat pelayan dapur menunggu setengah jam?”

“Hamba hanya... saat itu ada tugas dari—”

“Diam.” Suara pengawas tak naik satu oktaf pun, tapi mampu mematikan semua suara lain.

Yu Zhen menatap ke depan. Tidak berekspresi. Tapi di dalam, hatinya seperti ikut tercekat.

Su Ping terlihat terlalu muda. Masih tampak seperti gadis desa yang belum sempat belajar menyembunyikan rasa panik.

“Hukuman: tiga puluh kali menyikat tangga belakang istana utama. Dan tugas luar ruangan selama seminggu. Mulai hari ini.”

Su Ping membungkuk dalam-dalam. Tidak menangis, tapi tubuhnya gemetar.

Sebelah kanan Yu Zhen, Qin’er berbisik, “Itu hanya karena telat antar bahan dapur. Beneran cuma telat…”

Yu Zhen tak menjawab. Matanya menatap lurus, tapi jantungnya menegang. Ia tidak kenal Su Ping, tapi melihatnya berdiri seperti itu—sendirian, gemetar, dicatat namanya di depan semua orang—ada sesuatu di dalam dirinya yang berdenyut.

Ia pernah merasa begitu. Saat keluarganya dihina karena miskin. Saat ibunya dicibir karena terlalu lembut. Saat ayahnya dicap bodoh karena terlalu jujur.

Ia tahu betul: rasa malu tak bersuara itu... bisa mengguncang siapa pun.

Namun ia tidak boleh menunjukkan simpati. Bukan di tempat ini secara langsung.

Kalau ia memeluk yang luka, maka ia pun akan ditarik masuk.

Dan ia belum siap jatuh.

Suara daftar tugas mulai dibacakan. Satu demi satu nama disebut. Yu Zhen mendengarkan, tapi tidak menyimak. Ia sedang menenangkan dirinya sendiri. Menegakkan pertahanannya kembali. Menyembunyikan kelembutan yang nyaris retak barusan.

Lalu namanya disebut.

“Yu Zhen, jalur luar kandang kuda. Dari gerbang timur sampai pagar belakang.”

Ia melangkah ke depan. “Baik.”

Tidak ada keraguan di suaranya. Tidak ada perubahan pada wajahnya.

Namun di belakang sana, Qin’er nyaris membelalak.

“Kandang kuda… di hari pertama? Untuk orang sekurus dia?”

Yu Zhen mendengarnya. Tapi ia tidak menoleh. Wajahnya tetap datar. Kalau pun itu bentuk ketidakadilan, ia tak akan langsung mengeluh.

Tapi seseorang di barisan tengah justru tersenyum tipis. Shuang Mei—dengan tangan terlipat rapi di depan perut dan dagu sedikit miring ke kiri.

Senyumnya tampak manis.

Tapi bukan senyum orang yang terkejut.

Melainkan… senyum orang yang menunggu hasil.

Jejak di Kandang Kuda

Shuang Mei's POV

Sebenarnya, beberapa jam sebelum pengumpulan pagi itu, ketika matahari belum naik dan suara ayam baru satu-dua kali terdengar di kejauhan, Shuang Mei sudah berjalan ke dapur belakang.

Pengawas dayang, seorang wanita paruh baya dengan wajah kaku, sedang duduk menghadap cangkir tehnya.

Shuang Mei datang dengan langkah pelan, membawa baki kecil berisi teh hangat dan sepiring kudapan. Ia membungkuk sedikit, sopan tapi tak berlebihan.

“Selamat pagi, Nyonya Pengawas. Tehnya masih hangat. Hari ini kelihatannya akan panjang, ya?”

Pengawas mengangguk kecil, menerima cangkir tanpa bicara.

“Dengar-dengar, akan ada pembagian tugas lagi,” lanjut Shuang Mei ringan, seolah mengobrol biasa. “Pasti berat mengurus semua dayang baru. Banyak yang belum paham tempatnya.”

“Makanya mereka ditempa dulu,” sahut pengawas pendek.

“Oh, tentu. Saya setuju sekali. Kalau tidak dibiasakan dari awal, nanti jadi sulit dibentuk.”

Shuang Mei berhenti sejenak, lalu menatap ke arah luar jendela. Angin pagi menyapu tirai tipis di ujung dapur.

“Omong-omong, saya perhatikan satu dayang baru—Yu Zhen, namanya. Duduk di pojok kemarin. Wajahnya tenang, tapi… tidak terlihat akrab dengan yang lain.”

“Tidak semua harus akrab,” sahut pengawas. “Selama bekerja baik.”

“Benar,” ucap Shuang Mei cepat. “Saya pun tak masalah. Hanya saja, kadang yang terlalu pendiam justru menyimpan rasa tinggi hati. Apalagi katanya dia bisa baca-tulis.”

Kata-katanya diucapkan lembut. Tidak langsung menuduh, tapi cukup untuk menanamkan kesan.

“Kalau saya boleh usul,” lanjutnya, sambil menata letak piring di baki. “Mungkin tugas yang agak berat di luar akan lebih baik untuk dayang baru seperti itu. Supaya lebih menyatu dengan irama istana. Tidak cepat merasa nyaman.”

Pengawas menyesap tehnya. Tidak menjawab.

Tapi Shuang Mei tahu… tak perlu ada balasan. Ia telah menempatkan kata-katanya dengan tepat.

Dan pagi itu, ketika nama Yu Zhen disebut untuk membersihkan jalur luar kandang kuda—sendirian, dari gerbang timur hingga pagar belakang—Shuang Mei tak perlu bertanya hasilnya.

Ia hanya menoleh sesaat ke arah gadis itu, lalu tersenyum kecil.

---

Pengawas Ning's POV

Setelah Shuang Mei membungkuk sopan dan melangkah pergi dari dapur kecil itu, Pengawas Ning tetap duduk di tempatnya. Uap dari cangkir tehnya mengepul pelan, mengambang di udara dingin.

Tadi malam, seorang utusan dari bagian dalam datang diam-diam.

“Ada mata-mata yang menyatakan, ada rencana sabotase kecil di jalur kuda barat yang akan dilakukan pagi ini. Sepele, tapi disengaja. Belum bisa diumumkan, tapi pihak Kediaman Pangeran Keempat sedang menyelidiki. Butuh satu mata di tempat itu. Harus dayang. Harus yang baru. Jangan terlalu pintar, tapi juga jangan bodoh.”

Mereka tidak meminta bantuan. Mereka memberi instruksi.

Pengawas Ning menghela napas.

Kandang kuda bukan tempat yang nyaman, apalagi untuk hari pertama.

Tapi lalu datanglah dayang baru yang satu itu.

Yu Zhen. Wajah tenang. Bicara seperlunya. Tak menjilat siapa pun. Bisa baca-tulis. Diam, tapi tajam.

Bukan orang yang menyenangkan… tapi mungkin itulah yang dibutuhkan.

Dan lucunya, Shuang Mei, kandidat baru senior yang dekat dengan pengawas sendiri yang menyeret nama itu pagi ini. Pengawas pun sebenarnya hanya mau terlihat dekat karena Kepala Dapur adalah bibinya Shuang Mei.

“Kadang yang terlalu diam justru merasa tinggi hati,” kata Shuang Mei tadi, dengan senyum manis dan nada ringan.

Pengawas Ning tidak tertawa. Tapi dalam hati, ia mencatat:

“Kadang yang terlalu banyak bicara… menyembunyikan rasa takut.”

Ia pun membuka catatan tugasnya, menyilangkan satu nama, dan menulis nama lain di bawahnya:

Yu Zhen – jalur luar kandang kuda.

Status: diperhatikan.

Ia menyesap teh yang sudah mulai dingin, lalu berdiri.

Hari ini, satu bidak sudah diletakkan di papan.

Dan permainan baru saja dimulai.

---

Pagi itu, embun belum benar-benar mengering dari dedaunan saat Yu Zhen tiba di jalur luar kandang kuda. Angin membawa aroma jerami, tanah lembap, dan samar bau kuda yang khas. Matahari menggeliat malas di balik kabut pucat, dan langit tampak seperti kain sutra abu-abu yang belum disetrika.

Yu Zhen mengeratkan sabuk kainnya dan melangkah ke gudang samping kandang. Di sanalah tempat tugasnya dimulai. Ia menyapu jalur tanah berbatu yang memanjang dari gerbang timur hingga pagar belakang. Tempat itu sepi. Hanya sesekali terdengar derap kaki kuda atau suara ringkikan dari dalam.

Meski tubuhnya mungil dan belum terbiasa bekerja fisik berat, Yu Zhen tidak mengeluh. Ia tak suka disayangkan. Ia lebih suka dianggap mampu.

Saat ia mengangkat timba air untuk menyiram jalanan, seorang pria paruh baya muncul dari balik pintu samping. Pakaiannya lusuh tapi rapi, dan di pinggangnya tergantung sikat besar serta sabuk kunci besi.

"Kau dayang baru itu?" tanyanya, tanpa basa-basi.

Yu Zhen mengangguk sopan. "Yu Zhen. Hari ini saya ditugaskan membersihkan jalur luar."

Pria itu menyipitkan mata, mengamati wajahnya. "Kecil. Tapi tenang."

Ia menunjuk ke arah tumpukan jerami. "Mulai dari sana. Kalau ada yang aneh, jangan sentuh. Bilang ke saya."

Yu Zhen mengangguk lagi. "Baik, Bapak..."

"Panggil saja Paman Li. Aku yang jaga kandang ini."

Paman Li tidak banyak bicara. Setelah memberikan petunjuk, ia kembali masuk ke dalam. Yu Zhen memulai tugasnya.

Ia menyapu perlahan, menarik nafas dalam-dalam. Ada ketenangan aneh di tempat ini—berbeda dari hiruk-pikuk barak para dayang. Namun ketenangan itu bukan berarti nyaman. Justru sebaliknya. Ada sesuatu yang… menggantung di udara.

Saat ia menyusun jerami di dekat pagar belakang, langkah kaki asing terdengar. Cepat, hati-hati, dan berat. Yu Zhen refleks menoleh, tapi yang terlihat hanya punggung seseorang yang melintas cepat di antara lorong sempit gudang samping. Orang itu mengenakan penutup kepala, membawa ember besar di tangannya.

Yu Zhen mengernyit. Siapa itu? Kenapa tak menyapa?

Ia tidak mengejar. Hanya mendekat pelan dan memperhatikan dari sudut tumpukan karung. Ember itu diletakkan di dekat salah satu kandang.

Dan beberapa detik kemudian, orang itu menghilang.

Yu Zhen berdiri diam. Ada bau aneh dari ember itu. Tidak seperti pakan biasa.

Tapi ia kembali ke pekerjaannya. Dalam hati, ia hanya menandai kejadian itu. Belum paham. Tapi... dicatat.

Ia tidak tahu bahwa dari atap sayap barat, sepasang mata memperhatikan.

Pangeran Keempat berdiri tenang di balik bayang tiang, jubah luarnya berwarna gelap, wajahnya tersembunyi sebagian di balik tirai bambu. Di sampingnya, seorang ajudan berbisik.

"Dayang itu melihat."

Pangeran Keempat tidak menjawab. Matanya mengikuti gerakan Yu Zhen yang kembali ke timba air.

"Siapkan orang. Jaga dari kejauhan. Kalau ada yang menyentuhnya, pastikan mereka tidak lolos."

"Dan pakan itu, Yang Mulia?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!