NovelToon NovelToon

Luka Di Balik Senyum

Dipenuhi tanda tanya

Usia pernikahan Antara Laluna dan Arindra sudah berjalan lima tahun, selama pernikahan tak ada keributan bahkan gosip sang suami. Hal itu juga membuat Luna begitu mencintai dengan sangat dalam. Namun, satu hal yang selama ini ia tahan. Bahkan Arin selalu menghindar jika Luna memintanya seperti malam ini.

“Sayang, maaf. Terlambat,” ucap Arin, dengan sekejap mata lelaki itu melewatinya.

“Mas, aku ingin … kamu–,”

“Sayang, maaf.” Seperti itulah jawaban dari Arinda.

“Uhm, aku mengerti.” Luna dengan perasaan tak karuan, akhirnya memilih untuk membuat menu makan malam.

“Apa yang salah dari pernikahan kita mas, sudah lima tahun. Kamu tidak pernah berubah dan masih mencintaiku, tapi aku juga seorang wanita normal!” batin Luna dengan sebuah pikiran yang tak bisa ia pecahkan.

“Keromantisan yang selalu kamu tunjukkan membuatku tak banyak berpikir, tapi kenapa? Kenapa aku merasa jika kehidupan kita berdua ada yang kurang.” Dalam hati Luna marah pada dirinya sendiri. Bahkan ketika tidak bisa menahan gejolak di hatinya yang ia tidak bisa menahan.

Di samping itu, ketika Arin ingin mengambil air, ia melihat sang istri tengah melamun. Hingga membuatnya menghampiri karena lelaki tersebut sedikit khawatir akan keadaan Luna.

“Lun, kamu melamun?” Pertanyaan Arin sontak membuat Luna mengubah posisinya. Tersenyum tipis walau harus dipaksakan sedikit.

“Mas, sejak kapan kamu berdiri di situ?” Bukannya menjawab, melainkan Luna balik bertanya.

“Tidak lama, apa ada masalah di sekolah?”

“Uhm,”

“Itu mengapa kamu melamun.”

“Salah satu muridku mengatakan jika dia telat datang bulan. Lalu menunjukkan testpack dan ada dua garis merah di benda itu,” jelas Luna.

“Apa dia sudah mengatakan masalah ini pada keluarganya? Setidaknya mereka harus tahu masalah ini,” kata Arin dan mendengarkan setiap celoteh Luna.

“Besok sepulang sekolah aku akan mengajaknya ke rumah sakit untuk periksa.” Jawab Luna.

“Uhm, aku tahu jika kamu akan melakukan yang terbaik untuk muridmu. Kalau begitu aku akan membantumu menyiapkan beberapa di meja makan,” ucap Arin dan percakapan pun mereka sudahi.

Waktu menunjukkan pukul 11 malam, angin berhembus lumayan kencang, terlebih sekarang memasuki bulan februari. Di dalam kamar, Luna tidak bisa tidur karena kedinginan di tambah Arin menyalakan Ac. Sejenak, mata indah itu memandangi tubuh kekar sang suami yang membelakanginya. Dengan lelap lelaki tersebut menuju alam bawa sadar.

Setelah puas melihat suaminya, Luna mencoba mendekati tubuh Arin, memeluknya dari belakang. Mengambil inisiatif karena sudah setahun dia tidak pernah melakukan hubungan suami istri.

“Lun, maaf. Aku lelah,” ucap Arin karena merasa terganggu dengan ulah Luna.

“Mas, tidakkah kamu menginginkannya?” tanya Luna dengan hati-hati.

Arin yang awalnya sudah terlelap dan berakhir terbangun karena merasa terganggu. Sekarang ia duduk dengan memandangi wajah istrinya. Membelai lembut kedua pipinya dan memperlihatkan seulas senyuman. “Sebentar lagi pernikahan kita memasuki hari jadi, kita bisa melakukannya malam itu juga!”

Tak ada pilihan lain selain menyetujuinya, karena sikapnya yang hangat. Perhatian dan kasih sayang tidak berkurang sedikitpun, itu sebabnya Luna bertahan.

“Aku akan menunggunya sampai hari itu tiba,” ujar Luna.

“Kalau begitu kita tidur.”

Akhirnya mereka tidur, Luna dengan membawa sejuta kekecewaan mau tak mau harus menerima karena lelaki tersebut adalah jiwa dan raganya.

Keesokan paginya.

“Bu, terima kasih karena Ibu sudah mau mendengar isi hatiku dan mengantarkan ke rumah sakit untuk periksa!” ucap salah satu siswi yang tak lain adalah murid Luna.

“Lain kali berhati-hatilah. Kamu hanya beruntung karena Tuhan masih menyayangimu, ingat untuk tidak salah mengambil keputusan lagi sebelum semua menjadi rumit.” Sebuah nasehat diberikan oleh Luna, siswi berusia 17 tahun itu pun senang karena kepeduliannya pada dirinya.

“Kalau begitu ibu akan pulang!” pamit Luna.

“Ibu …!”

Luna yang sudah terlanjur menoleh, tetapi justru muridnya terdiam untuk sesaat.

“Aku dengar Emi kembali dari belajarnya dan akan melanjutkan kuliah di sini.”

Untuk sesaat Luna terpaku akan ucapan muridnya, bahkan ingatan yang sempat hilang kini terangkat dari permukaan. “Akhirnya kamu kembali setelah tiga tahun,” gumam Luna.

“Bu Guru, Ibu bilang apa barusan?”

“Tidak, tidak ada. Ibu hanya merasa senang saja, kalau begitu segera pulang karena ibu juga akan pulang.”

Murid itu pun mengangguk dan segera pergi, begitu juga dengan Luna.

Di tepi danau, Luna sedang duduk memandangi air yang begitu tenang. Rasa cintanya pada sang suami mampu merobohkan egonya, selama ini. Kehidupan mereka baik-baik saja bahkan lima tahun ini tak ada pertengkaran di antara mereka. Namun, tiba-tiba saja seseorang memanggilnya dan kedengarannya suara itu tidak asing baginya.

“Bu Guru! Apa kabar!” sapa seseorang dengan melambaikan tangannya.

“Emilia! Ka-mu pulang?”

Benar, dia adalah Emilia, mantan murid dari Luna.

“Ternyata Ibu masih datang ke tempat ini. Di mana hari pada saat kita berpisah,” ujar Emi.

“Seperti yang kamu katakan, jika aku harus pergi ke tempat yang menenangkan agar bisa berpikir dengan jernih.” Jawab Luna yang tak memakai kalimat formal, begitu Emi.

Setelah beberapa tahun tidak bertemu, kini akhirnya mereka dipertemukan di tempat keduanya pernah berpisah. Sebelum memutuskan pergi dan kini di tempat itu juga dia kembali. Cukup lama keduanya saling bertukar cerita, sampai akhirnya memutuskan kembali ke rumah masing-masing.

…………

Di kediaman Luna, ia melihat suaminya masih sibuk dengan pekerjaannya.

“Mas, kamu tidak ke kantor?” tanya Luna setelah berhasil membuka pintu.

“Pulang lebih awal, karena klein komplain jika desain yang kemarin kurang bagus, jadi aku sengaja mengubah semuanya dan aku kerjakan sendiri.”

Luna tersenyum, ia mengambilkan air untuk sang suami dan inilah waktu santai untuk membicarakan sesuatu. “Mas, apa kamu mencintaiku?”

Sebuah pertanyaan membuat Arin tercengang, tanpa istrinya mempertanyakan hal itu. Harusnya Luna tahu.

“Jika aku tidak mencintaimu, mungkin pernikahan ini tidak akan terjadi.” Sebuah jawaban yang memuaskan. Namun, bagi Luna ungkapan itu tidaklah cukup.

“Kenyataannya kamu sama sekali tidak memikirkan perasaanku sedari dulu, Mas! Terlebih banyak orang-orang mencibirku soal anak.” Sayangnya Luna hanya bisa mengatakan pada dirinya sendiri, karena biar bagaimanapun juga. Arin tak akan mau menyentuhnya dan terhitung dari pernikahan mereka hanya empat kali melakukan hubungan suami istri, dan hal itu dilakukan ketika hari jadi pernikahannya tiba.

………..

Beberapa minggu kemudian, di mana Luna sudah menyiapkan makan malam di hari spesial ini. Menunggu sang suami pulang dan menyambutnya dengan antusias. Lingerie berwarna merah marun juga kini menempel di tubuhnya. Perasaan mulai gusar, ia terlalu gugup karena seperti memulai layaknya pengantin baru.

“Ternyata sudah jam sembilan, tetapi kenapa mas Arin belum juga pulang.” Luna yang baru saja terbangun karena menunggu kepulangan Arin, semua makanan kini menjadi dingin. Bahkan lilin yang ikut serta sebagai penerang hubungan mereka kini telah habis.

“Haruskah aku menelan kekecewaan lagi? Aku bodoh karena terlalu mempercayainya, tetapi aku juga tidak ingin kehilangannya.” Akhirnya Luna pun beranjak dari tempat duduknya. Mencari suasana di dinginnya malam dan setidaknya bisa melupakan rasa sakit ini.

Hujan rintik-rintik menemani langkah Luna, meski ia tahu hujan akan semakin deras. Namun, itu sebanding dengan suasana hatinya sekarang.

“Mas, aku menyesal telah keluar jika pada akhirnya aku melihatmu. Kenapa rasanya begitu menyakitkan, ketika kamu tanpa sengaja memberikan kado di hari pernikahan kita yang tak ingin aku lihat.”

Berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh, tetapi rasa tak kuasa tak mampu dibendung. Hujan yang makin lama makin deras membasahi tubuh Luna, tidak peduli akan keadaannya. Tiba-tiba sebuah payung sudah berada di atasnya.

Sebuah pengkhianatan

“Aku harap kamu tidak gila karena malam-malam bermain hujan!”

Terdengar sosok suara laki-laki. Membuat Luna langsung mendongakkan kepalanya. Matanya yang sembab, bisa dilihat begitu jelas oleh mata indah dari pria itu.

“Jika kamu ingin marah, kenapa tidak menghampirinya. Lebih baik diselesaikan secara langsung,” ujar lelaki itu lagi.

“Pergilah, karena aku tidak membutuhkan celotehmu.” Dengan nada dingin Luna berkata, rasa dingin yang seharusnya ia rasakan. Kini berubah menjadi bara api di mana sedang menggerogoti hati dan pikirannya ketika pandangannya disuguhkan oleh sesuatu yang menyakitkan hati.

“Namun, aku harus membantumu. Tidak baik perempuan berada di pinggir jalan di tambah hujan semakin deras—,”

“Siapa yang butuh bantuanmu? Bahkan aku tidak menginginkannya.” Akhirnya Luna pun pergi karena tidak kuat melihat seseorang yang hidup dengannya selama bertahun-tahun bersama perempuan lain. Mengingkari janji yang sudah ditetapkan juga.

“Itu hanya sebatas kekasih, ‘kan? Tapi kenapa wanita itu tadi begitu kecewa sepertinya.” Begitu juga dengan lelaki bernama—Aroon, ia pun ikut pergi meninggalkan tempat dengan perasaan aneh di kepalanya, karena baginya wanita itu sedikit berlebihan. Menangisi seorang pria dengan status ‘kekasih’ sungguh sangat disayangkan. Begitulah cara berpikir Aroon.

Di rumah.

Pada saat Luna membereskan makanan yang sudah terlanjur dingin. Terdengar suara decit pintu. Itu artinya jika Arindra kembali.

“Sayang, kamu belum tidur? Maaf aku telat karena ada sesuatu yang darurat,” ucap Arin seraya membawa buket di tangannya dan memberikan pada sang Luna.

“Tidak masalah, aku tahu karena kamu adalah orang yang sibuk.” Jawab Luna, seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan seulas senyuman ia berikan kepada suaminya walau ketika matanya menatap wajah Arin begitu menyakitkan.

“Uhm, aku mendapatkannya. Meski harus keliling dan akhirnya ada satu toko yang menjualnya.” Arin pun memberikan buket itu kepada Luna, karena istrinya belum juga mengambil.

Rasa sesak semakin terasa ketika ia memegang buket tersebut, ingatannya kembali ketika sang suami bersama dengan seseorang seperti yang ia lihat beberapa jam lalu.

“Terima kasih,” ucap Luna, tetapi buket itu justru diletakkan di meja hingga membuat Arin sedikit kesal.

“Luna, aku lelah setelah bekerja. Aku tahu aku salah karena melupakan hari jadi pernikahan kita, jika kamu ingin aku melakukannya, … mari lakukan.” Ucapan Arindra langsung membuat Luna tersenyum, bukan, bukan senyum senang ketika suara ajakan didengarnya. Melainkan ia menertawakan dirinya sendiri seolah sedang mengemis sebuah kehangatan.

Luna yang mendengar itu, justru semakin tertawa terbahak-bahak. Benar, itu adalah bagian rencana awalnya. Namun, setelah semuanya terjadi kini Luna tidak menginginkan lagi. Hasratnya telah mati dan tergantikan oleh tusukan tepat mengenai jantungnya.

“Mas, apa wajahku terlihat jika marah soal itu?”

“Jika tidak marah, kenapa kamu mengabaikanku? Ketika aku pulang kamu buru-buru menyambutku, bahkan menuangkan minum untukku, tapi malam ini sikapmu berubah.” Dengan terang-terangan Arindra mengajukan protesnya terhadap Luna.

“Lantas, apa aku pernah marah padamu sampai detik ini? Aku berusaha menahan semuanya, berpura-pura baik-baik saja. Lalu, apa aku bagimu selama lima tahun ini huh, apa!”

Di saat kesabaran yang selalu ia simpan selama ini. Akhirnya Luna mengeluarkan semuanya usai melihat sang suami bersama perempuan di luar sana beberapa jam lalu. Wajah yang awalnya terlihat teduh kini berubah menjadi kekecewaan.

“Mari kita bercerai.”

Bagai dihantam oleh benda besar hingga Luna sulit bernapas usai mendengar pernyataan barusan. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Arin menginginkan perceraian. Apa ini adil bagi Luna? Sedang ia mati-matian mempertahan hubungannya karena mengira sang suami benar-benar mencintainya. Walau selama ini hasrat batinnya tak didapatkan sebagai perempuan normal.

“Apa katamu? Semudah itu kamu mengatakan ini padaku. Aku berusaha menutup mata, menutup telinga dari pandangan orang lain. Picik sekali kamu Mas!”

“Kamu terlalu baik untukku, aku tidak pantas mendapatkan istri sepertimu.”

Begitu juga Arin, beberapa kali meminta maaf. Namun, semuanya, ketika sudah terbongkar tak ada yang bisa dilakukan selain kata menyesal.

“Mas, kamu tersiksa bukan? Lalu bagaimana dengan aku, apa menurutmu aku tidak menyesal? Kamu egois, siapa orang yang menahanku sampai akhirnya aku jatuh ke dalam kefatalan ini? Jika tidak mencintaiku … seharusnya kamu juga tidak harus menyiksaku dengan cara menjijikkan,” ucap Luna panjang lebar.

Seharusnya sekarang mereka merayakan hari jadi pernikahan untuk yang kelima tahun, tetapi sebuah kejutan tiba-tiba membuat keduanya saling menyerang. Arindra tahu jika semua ini salahnya, ia juga tidak ingin menyiksa batin sang istri terlalu lama. Lepaskan, atau pertahankan. Itulah yang ada dibenaknya saat ini.

“Maaf aku telah menyiksamu selama ini, semakin aku berusaha untuk melupakan masa laluku dan selama itu juga aku tidak bisa menghapusnya.” Kata Arindra dalam hati yang tak bisa berbuat apa-apa selain meminta maaf. Tak berniat untuk terus hidup dengan Luna—wanita terbaik di dunia ini.

“Jika kamu tidak menginginkanku, seharusnya kamu juga tidak menahanku seperti ini. Tidak, aku tidak akan berpisah darimu.” Tangis pilu mengiringi hujan di tengah malam. luna pun memohon untuk Arin tidak menceraikan dirinya.

“Lun, apa menurutmu ini akan baik-baik saja. Aku rasa tidak dan akan semakin membuatmu lebih terluka lagi,” ucap Arindra karena baginya, tidak seharusnya Luna mendapat perlakuan darinya dan itu sudah lebih dari cukup.

Luna mengusap air matanya, tidak mudah baginya melupakan cinta pertamanya hingga menjadi pemenang di hidupnya. Namun, tidak dengan hatinya, karena pemenangnya tetap orang lama yang menguasai seluruh kehidupan Arindra.

“Kamu yang menahanku, meminta untuk tinggal di sini. Aku bisa melakukan itu semua asal kamu mengizinkannya,” balas Luna.

“Maaf, maaf … karena aku menjadi seorang lelaki pecundang.”

Dengan erat, Arin memeluk tubuh wanitanya. Rasa bersalah semakin mendalam, tetapi Luna juga tidak mau dilepaskan. Mungkin dengan memberikan kesempatan lagi untuk suaminya, ia berharap jika perselingkuhan itu tak akan pernah terjadi lagi.

Keesokan paginya.

“Lun, aku sudah membuatkanmu bekal. Jangan menunggu aku pulang, karena sepertinya akan pulang terlambat.” Kata Arin dengan posisi masih mengenakan celemek.

“Baiklah, kalau begitu aku akan ke rumah Aruna. Terima kasih juga untuk makanannya,” jawab Luna dengan senyum tampak dipaksaan.

“Uhm, kalau begitu selamat bersenang-senang.”

Luna menatap rumah yang selama ini ia tinggali. Tanpa kehadiran anak itu membuatnya terlihat sepi, bukan hanya itu. Sekarang hidupnya semakin hampa, seolah tidak terjadi apa-apa soal semalam. Bersikap seperti biasanya dan cukup memalukan baginya.

Hari ini Luna berniat izin untuk tidak mengajar. Ia butuh sebuah ketenangan dan disinilah ia berada. Di hamparan rumput yang luas, seraya menatap jernihnya air danau, Luna memutuskan untuk menghabiskan waktunya seorang diri, mencerna tiap kalimat soal semalam di mana Arindra tiba-tiba ingin menceraikannya.

“Apa keputusanku adalah pilihan tepat? Atau aku yang terlalu egois karena tidak bisa melepaskan dia!” Sejurus mata memandang. Luna terus saja dihantui oleh perasaan gelisah.

“Tidak, aku sudah melakukannya dengan benar. Dia yang sudah membuatku seperti ini, jadi aku juga tidak akan melepaskannya.” Suara lirih Luna dengan perasaan yakin, jika suaminya akan berubah.

Di ujung sana! Seorang lelaki tengah menatap Luna dengan seksama. Ia merasa jika wanita itu tidak asing baginya. Memutuskan untuk mencari tahu, dengan begitu barulah ia tahu sosok perempuan semalam atau bukan.

“Cih, ternyata benar.” Lelaki itu tersenyum menyangrai ketika melihat seorang wanita berdiri dengan wajah menyedihkan.

“Nona, aku harap kamu tidak bunuh diri dengan cara melompat ke danau.” Kata lelaki dengan pakaian casualnya.

Luna pun menoleh dan betapa terkejutnya ketika mengetahui sosok lelaki semalam, dan hari ini ia bertemu lagi.

“Apa terlihat menyedihkannya aku sehingga harus melompat?”

Yah, dia—Aroon How, datang ke indonesia untuk menemui saudara perempuannya tepatnya keponakannya. Lelaki itu hanya mengangkat kedua bahunya dengan posisi kedua tangan masih berada di dalam saku dan berkalungkan sebuah Kamera.

“Aku tidak tahu, karena yang merasakan adalah kamu.” Aroon menatap wajah sendu itu, terlihat menyedihkan walau harus berpura-pura tegar.

“Setidaknya aku sudah mendapatkan gambarnya,” gumam Aroon.

Apa salahku(Kekasih suamiku mantan muridku)

“Perkenalkan, namaku Aroon.” Aroon pun langsung menyodorkan tangannya. Namun, hanya ada sebuah tatapan dari mata Luna tanpa ingin membalas.

“Maaf, aku harus pergi. Tidak baik jika seorang wanita bersuami bersama dengan pria lain,” ujar Luna.

“Ternyata dia sudah bersuami, pantas saja jika bersedih soal semalam. Dasar Aroon bodoh!” umpat Aroon dalam hati. Siapa yang mengira jika wanita tersebut sudah menikah? Bahkan wajahnya sama sekali tidak menunjukkan jika telah memiliki suami.

“Tunggu! Nama kamu siapa?”

Luna tidak mempedulikan panggilan itu. Berjalan-jalan dengan suasana yang berangin. Setidaknya sedikit membuat damai hatinya. Melupakan tentang kejadian semalam dan berusaha untuk tetap menahan suaminya. Hingga dirinya sendiri yang ingin menyerah.

Siang hari.

Luna memutuskan pergi ke rumah sahabatnya, dan di sinilah ia melupakan semuanya.

“Lun, ada apa? Kenapa wajahmu nampak lelah,” ucap Aruna.

“Biarkan aku menenangkan diri untuk sejenak.” Jawab Luna dengan suara lemahnya.

“Uhm, duduklah. Biarkan aku membuatkan minuman untuk kamu,” ujar Aruna.

Kali ini Luna benar-benar tidak bisa berpikir. Entah, bagaimana kedepannya jika hubungannya tak ada yang berubah.

“Run, apa yang membuatmu tidak menyetujui hubunganku dengan Arin ketika akan menikah?”

Sejenak, Runa dibuat terkejut dengan pertanyaan tersebut, air mata yang jatuh di pipi sahabatnya. Membuat Runa tidak tega.

“Lun, aku minta maaf jika dulu sempat menentang pernikahanmu itu. Kali ini aku merestuinya,” jawab Runa seraya memeluk tubuh Luna.

Di dalam pelukan Runa, Luna masih terisak dan hatinya benar-benar hancur. Hingga tidak memiliki tempat sebagai sandaran, beruntung hubungan antar keduanya sudah membaik usai kesalahpahaman terjadi.

“Jawab aku Run, jawab aku! Apa yang membuatmu tidak menyetujuinya,” balas Luna dengan sesenggukan.

“Lima tahun lalu, sebelum kalian memutuskan untuk menikah. Arin sedang bersama perempuan lain di mana masih mengenakan seragam sekolah. Kamu tahu? Bahwa seragam itu dari sekolah tempat kamu mengajar,” ujar Runa di mana untuk pertama kalinya ia membongkar sebuah fakta yang menyakitkan.

“Jadi itu sebabnya—,”

“Iya, aku terlalu menyayangimu dan tidak mau memberitahumu. Semua pasti akan ada masanya,” sahut Runa.

“Maaf Run, maaf. Aku sempat membuatmu marah dan pergi meninggalkan aku.”

Aruna yang melihat Luna hancur, semakin tidak tega untuk melihatnya. Mencoba menguatkan hatinya dan menjadikan bahunya sebagai sandaran Luna.

Sedikit tenang, akhirnya Aruna pun meminta Luna untuk minum teh dengan tujuan agar bisa jauh lebih tenang. Namun, mata Luna tertuju pada koper yang mengira jika sahabatnya akan pergi meninggalkannya lagi, tapi hal itu tak akan terjadi dan sebisa mungkin ia akan menahannya.

“Run, apa kamu ingin pergi dan meninggalkan aku lagi?” tanya Luna seraya memberi tatapan pada Aruna.

“Apa soal koper itu? Itu milik adik dari ibuku dan berniat liburan di sini.” Jawab Aruna.

Seketika Luna bisa bernapas lega, karena ia sudah salah sangka kepada Aruna.

Pada saat yang bersamaan, seseorang membuka pintu dan membuat Luna menoleh, betapa terkejutnya ketika melihat seorang pria yang mana selama dua hari berturut-turut ditemuinya kini berdiri di ambang pintu.

“K-kamu!” Keduanya pun menyapa secara bersamaan. Tidak mengira jika orang yang dimaksud Aruna adalah Aroon.

“Sepertinya kita berjodoh, karena sudah beberapa kali bertemu.” Kata Aroon dengan lantang seolah kalimat tersebut sengaja dilontarkan.

“Bahkan aku muak melihat wajahmu!” seru Luna dengan jahatnya.

Aruna yang melihat pemandangan itu pun merasa heran. Baru tiga hari pamannya ada Indonesia, tetapi secara kebetulan bertemu dengan Luna.

“Jadi, kalian sudah saling kenal?” celetuk Aruna.

“Iya, bahkan aku masih ingat kejadian semalam—.”

“Run, aku pergi dulu!” pamit Luna.

Belum sempat Aroon mengatakan yang sejujurnya. Namun, dengan tiba-tiba Luna berpamitan untuk pulang. Terlihat jelas wajah gugupnya, membuat Aroon tersenyum. Sedangkan Aruna sendiri merasa tidak enak hati.

Malam pun menjelma, tetapi Luna masih enggan untuk pulang. Berjalan sejauh mana kakinya membawanya. Dengan wajah menyedihkan ia terus melangkah hingga suara seseorang memanggilnya dari belakang.

“Bu!” panggil seorang perempuan berusia 22 tahun itu.

Yah, itu adalah Emilia. Mantan muridnya lima tahun lalu, sebelum memutuskan untuk pindah ke luar negeri. Lalu, beberapa hari ini gadis tersebut kembali, walau sebelumnya tetangga dari Emi sudah memberitahunya perihal mantan muridnya itu.

“Emi, kenapa kamu malam-malam masih berada di jalanan?” tanya Luna dengan hati-hati.

Namun, siapa sangka jika pertanyaannya itu dibalikkan oleh Emi. “Lalu Ibu sendiri kenapa masih berkeliaran juga.”

Seketika Luna tidak bisa menjawab, senyum kegetiran menemaninya dikala suasana hati tak baik-baik saja.

“Bu, selamat atas Aniversary kelima. Semoga suami Ibu semakin memperlakukan dengan baik,” ucap Emi dengan seulas senyuman.

“Uhm … terima kasih untuk ucapannya.” Jawab Luna berkaca-kaca ketika ucapan mantan muridnya tak sesuai kenyataan.

“Aku yakin suami Ibu begitu pengertian dan selalu merasa bersalah ketika menatap wajah cantik Ibu,” ujar Emi dengan panjang lebar, bahkan dengan bangganya ia menceritakan semuanya.

“Bagaimana kamu tahu sifat suami ibu? Atau ibu yang lupa pernah mengenalkannya padamu,” balas Luna dengan rasa penasaran yang begitu besar.

Sekarang, bahkan Luna sedang berpikir karena sebuah ucapan Emi kepadanya. “Mungkin saja Emi pernah aku kenalkan dengan mas Arin.” Itulah yang sekarang ada di dalam pikirannya. Membuang pikiran buruk di hatinya sejauh mungkin.

“Tidak, dari cara bicaranya. Perhatiannya kepada Ibu,” jawab Emi.

“Wajah tampan badan tinggi dan kulit putih itu, sayangnya seorang pecundang!” tegas Emi dengan sorot mata tajam seakan orang yang dibicarakan ada di sana.

“Em, … apa maksud kamu,” ucap Luna dan merasa jika ucapannya semakin membuatnya berpikir buruk.

Mata Luna yang sudah berkaca-kaca. Menahan lara hati yang ia terima dari sang suami, lalu di tambah mendengar pengakuan dari Emi. Seakan semuanya berperang menjadi satu.

“Tidak Bu, aku hanya bicara sesuai fakta.” Jawab Emi dengan posisi satu meter dari Luna.

“Em, apa kamu melihat suami ibu sedang bersama perempuan lain? Jika benar, tolong … jangan ikut campur karena tak seharusnya kamu masuk ke dalam,” ujar Luna dengan polosnya karena ia mengira jika semalam Emi juga melihat.

“Bu, apa perlu aku menjawabnya.” Sambil tersenyum dan melambaikan tangannya, Emi berkata.

Raut wajah yang tak seperti tadi. Membuat Luna ikut menoleh ke belakang untuk melihat siapa orang itu.

Sesaat.

“Tidak, ini tidak mungkin ….”

Berulang kali Luna mengusap air matanya. Menahan sesak di hatinya dan seakan napasnya berhenti untuk sejenak.

“Em, ka-kamu bisa menjelaskan semua ini.” Dengan suara bergetar Luna berusaha mencari sebuah jawaban.

“Bu, jangan menatapku seperti itu. kenapa hanya aku saja yang diintimidasi, sedangkan dia hanya Ibu tatap?”

“Jangan bilang jika itu adalah kamu? Jikapun benar, apa kesalahan yang selama ini ibu lakukan padamu?”

Luna yang awalnya berusaha kuat menahan tangis. Akhirnya kini tumpah juga, seolah bulan dikekang oleh sang malam. Tertahan oleh jutaan sayatan di hatinya, ketika melihat sebuah kenyataan dan sakitnya sungguh luar biasa karena dua orang telah membunuh hatinya secara bersamaan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!