NovelToon NovelToon

Mafia Dan Gadis Peramu Kopi

Awal mula

Seorang Pria nampak berantakan dari penampilannya tengah duduk di kursi menikmati secangkir kopi di cafe mewah. Pria itu berkali kali mendesah dan berdecak kesal. Sesekali tangannya mengetuk ngetuk meja dengan jari telunjuk. Pria itu tengah stres berat karena barang barang ilegal yang diimpor dari Amerika ditahan Bea Cukai di pelabuhan hingga rugi ratusan milyar.

Sambil minum kopi, pria itu membaca koran berita ekonomi. Di berita ekonomi itu ada informasi bahwa harga komoditas kopi melonjak tinggi di pasar internasional, terutama kopi jenis unggulan, naik secara fantastis. Kemudian pria itu browsing, kopi jenis itu asalnya dari mana, ternyata dari Indonesia. Setahu dia, kopi dari petani harganya tidaklah tinggi. Mata pria itu melebar menatap layar monitor, seketika otaknyanya bekerja. Dari pada ia harus menyelundupkan barang ilegal dengan resiko tinggi, dan rentan dengan kegagalan akibat kecerobohan anak buahnya. Lebih baik ia bisnis kopi untuk dijual ke Luar Negeri. Bisnis legal, tidak melanggar hukum, tapi hasilnya luar biasa besar.

Pria itu nampak berpikir keras bagaimana caranya ia bisa memiliki kebun kopi yang sudah siap produksi dengan harga semurah-murahnya. Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tersenyum lebar menatap layar monitor. Sementara pria lain yang duduk di sebelahnya menatap bingung.

"Ferro ada apa?" tanya pria di sebelahnya.

Pria itu menoleh menatap tajam. "Cris, aku punya ide cemerlang." Pria bernama Ferro itu berbisik di telinga Cristopher, sahabat sekaligus orang kepercayaan Ferro.

"Indonesia?" Cristhopher mengulang kata kata Ferro.

Pria itu menganggukkan kepala. "Aku mau kita berangkat kesana, dan kau urus semuanya." Ferro menepuk pundak Cristhoper.

Cristhoper menganggukkan kepala, kebetulan sekali. Ia sudah lama tidak berkunjung ke Indonesia. Dengan mata berbinar, pria itu menyambut antusias ide Ferro.

"Oke, aku urus semuanya."

Selain mengurus surat surat, Ferro juga meminta Cristhoper untk mencari daerah yang dekat dengan Jakarta yang memiliki perkebunan kopi berkualitas tinggi yang siap panen. Setelah keduanya sepakat, mereka pun beranjak pergi meninggalkan cafe. Cristhoper mengurus semuanya, sementara Ferro merencanakan banyak hal selagi menunggu Cristhoper mengurus surat surat perizinan.

***

Sesampainya di Jakarta, mereka menemui Ardhian Gavin sahabat Ferro. Setelah sebelumnya Ferro menghubungi Ardhian untuk ikut bekerjasama.

"Apa kabar, lama kita tidak jumpa." Ardhian memeluk Ferro sekilas. Lalu mempersilahkan mereka duduk di ruang kerja Ardhian. Ferro menarik napas dalam dalam lalu mengembuskannya perlahan ketika melihat setumpuk foto perkebunan yang terletak berantakan di atas meja.

"Bagaimana?" Ardhian menghirup kopinya lalu menatap foto itu satu persatu dan kembali melihat beberapa foto warga yang memiliki pengaruh di desa tersebut.

Jawa barat adalah penghasil kopi terbanyak dan memiliki lahan perkebunan yang luas. Di kabarkan warga sekitar masih membutuhkan lahan untuk menanam kopi, sebagian dari desa itu masih belum tahu bagaiaman cara mengolah kopi. Warga sekitar masih menggunakan cara tradisional untuk membuat kopi. Ardhian berpikir, warga yang masih lugu itu masih bisa di manfaatkan.

"Apa kita harus memulainya dari awal?" Cristhoper mengeluarkan sebatang rokok lalu menyalakannya. Pria itu memainkan rokoknya sesaat sebelum menghisapnya dalam dalam.

"Sudah berapa lama kau menyelidiki warga desa dan perkebunan itu?" Ferro yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara.

"Tapi ini tidak akan mudah, mengingat suku Sunda memiliki adat istiadat yang masih mereka pegang teguh sampai sekarang," timpal Ardhian.

Ferro menepuk pundak Ardhian. "Mari kita lihat di mana celahnya supaya kita bisa masuk dengan mudah."

"Birawa." Ardhian menunjuk salah satu foto. "Dia sesepuh desa itu dan sangat memiliki pengaruh besar bagi warga sekitar. Kita tidak akan mudah menghadapinya."

"Bagaimana dengan pria ini?" Ferro menunjuk salah satu foto pria lain.

"Pak Asep, dia memiliki perkebunan kopi yang paling luas di banding yang lainnya." Ardhian menjelaskan pada Ferro. "Tapi kita punya satu celah."

Ardhian mengambil salah satu foto lainnya. Ardhian mengambil foto foto itu secara diam diam saat mereka ada rapat musyawarah di balai desa. "Adiguna, pria kaya dan memiliki garis merah dengan para elit, kecurangan dan manipulasi yang dia lakukan sudah sering di ketahui pihak berwajib. Tapi selalu lolos dari jerat hukum." Masih banyak lagi foto foto pria lain yang di curigai memiliki konspirasi dengan Adiguna, pria terkaya di desa itu.

Ferro mengambil sebatang rokok lalu menyalakannya, menghisap rokok dalam dalam lalu menatap Ardhian dengan tajam.

"Adiguna dan Birawa. Dua pria yang sama sama memiliki pengaruh besar. Tapi Adiguna lebih mudah kita manfaatkan asal ada uang."

"Ferro." Ardhian bangkit dari kursi yang sedari tadi ia duduki. "Sebaiknya kita pergi ke desa itu untuk memastikan medannya. Lalu kita susun rencana berikutnya."

Ferro menatap Ardhian yang berdiri di hadapannya, lalu ia ikut berdiri. "Oke."

"Kau tetap di sini, Cris. Persiapkan anak buah kita semuanya." Ardhian menatap ke arah Cristhoper yang masih duduk di kursinya lalu menganggukkan kepala.

"Birawa pria yang cerdas, kita harus berhati hati padanya."

Ferro tersenyum sinis menatap Ardhian, lalu menepuk pundaknya. Pria itu merasa pekerjaan ini tidak akan terlalu berat atau beresiko seperti bisnis Outfit yang lain, jadi saran Ardhian terlalu berlebihan menurut Ferro. Pria tertawa kecil mencemooh menatap Ardhian.

"Kau tenang saja, aku sudah tahu bagaimana mengurus warga desa itu."

Ardhian mengangkat kedua bahunya, "aku sudah peringatkan kau. Tapi tidak ada salahnya mempercayaimu dan kita mencobanya menggunakan caramu."

"Kita berangkat!" Ferro menepuk pundak Ardhian lagi, lalu melangkahkan kaki mendahului Ardhian. Kemudian mereka berjalan bersama menuju halaman rumah. lalu masuk ke dalam mobil, langsung meluncur ke desa Parakansalak di kaki bukit gunung Salak.

Sepanjang perjalanan Ferro mengagumi keindahan alam. Gunung gunung yang menjulang tinggi dan jalan yang berkelok. Matanya terus memperhatikan pemandangan yang membuatnya berdecak kagum. Semakin jauh mereka melewati desa demi desa, udara semakin dingin. Di tambah pemandangan asri menjadi latar yang indah. Terlihat kabut putih yang pekat menyelimuti gunung Salak. Ferro menatap kagum dari kaca jendela mobil yang terbuka. Hamparan gunung menjadi panorama tersendiri. Dari jauh terlihat hamparan luas sawah dan perkebunan kopi.

Ferro membuka kaca mata hitamnya melihat warga sekitar tengah beraktifitas di ladangnya masing masing. Setiap jalan yang di lewati, pria itu melihat gadis desa terlihat cantik dan natural. Tidak seperti di Negaranya, Ferro tersenyum memperhatikan warga yang berpas pasan tengah menatap ke arahnya. Tak lama Ardhian menepikan mobilnya di tepi jalan raya. Lalu mengajak Ferro keluar dari mobil. Kedua nya berdiri di tepi jalan menatap hamparan luas kebun kopi yang sudah siap panen sebagian. Warna kopi yang berwarna merah menyala, semakin membuat hasrat Ferro semakin menggebu untuk menguasai perkebunan kopi milik warga desa tersebut.

Bule masuk kampung

Setelah puas melihat lihat medan desa itu. Mereka memutuskan untuk menemui Adiguna untuk mengajaknya bekerjasama sebagai celah untuk masuk ke desa itu. Namun di tengah jalan, Ferro meminta Ardhian untuk menepikan mobilnya. Ia tertarik dengan sekumpulan wanita tua dan muda tengah memilih kopi yang sudah di panen di salah satu perkebunan milik Asep.

Wanita yang tengah berkumpul itu, semuanya menoleh ke arah Ferro yang tengah mendekati mereka. Semua wanita itu saling berbisik dan tertawa kecil menatap Ferro.

"Cempaka lihat, ada bule masuk kampung," bisik salah satu wanita pada Cempaka yang tengah menunduk Lalu tertawa.

"Mana Lis?" Cempaka tengadahkan wajah menatap Lilis, lalu beralih menatap arah yang di tunjuk Lilis.

"Eh iya, itu bule nyasar kali," ucap Cempaka tertawa kecil di ikuti yang lainnya ikut tertawa.

Semua wanita itu terdiam menatap ke arah Ferro yang menyapa mereka menggunakan bahasa asing.

"Hallo."

Semua wanita itu ada yang terdiam, ada yang berbisik dengan yang lainnya, ada juga yang mengangguk pada Ferro sebagai jawaban.

"Mang bule, ada apa ke sini?" salah satu wanita paruh baya, nyeletuk begitu saja membuat yang lain tertawa terbahak bahak.

Ferro yang berniat melihat kopi, tidak mengerti bahasa yang di gunakan wanita itu, kedua alisnya bertaut menoleh ke arah Adhrian kenapa semua wanita itu tertawa. Pria itu mengangkat bahunya menatap Ardhian yang tersenyum sendiri. Karena Adhrian lebih mengerti bahasa yang di gunakan wanita tadi.

"Ada apa?"

"Mungkin mereka heran ada orang asing masuk kampung mereka." Ardhian menjelaskan.

Ferro menganggukkan kepala, ia menatap ke arah Cempaka yang terlihat bening di antara wanita lainnya. Ferro melepas kaca matanya tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Namun Cempaka terlihat cuek lalu kembali fokus memilih kopi.

"Maaf Bu, saya mau tanya. Rumahnya Pak Adiguna di mana ya?" tanya Ardhian.

"Oh, di sana Pak!" tunjuk salah satu wanita paruh baya ke arah tengah pematangan sawah yang menguning. Ferro dan Ardhian menatap arah petunjuk wanita itu. Mereka melihat rumah besar dari ke jauhan.

Setelah bincang bincang sebentar dengan mereka, lalu Adhrian dan Ferro kembali melanjutkan perjalannya menemui Adiguna.

Sepeninggal mereka berdua, semua wanita yang sedang memilih kopi itu tertawa dan saling melontarkan candaannya.

"Bulenya cakep ya," kata Lilis.

"Ah kamu, lihat yang cakep aja ijo matanya," timpal Cempaka.

"Aku mau lah sama bule itu, nanti biar bisa di ajak ke sana," ucap Indah.

"Halah, bibi juga mau. Gini gini Bibi masih kuat." Wanita paruh baya itu menepuk dada menggoda gadis gadis itu.

"Bi Odah tuh gimana, kalau si Mang Endul mau di kemanain? karungin begitu?" ucap Marni. Detik berikutnya mereka tertawa terbahak bahak mentertawakan Odah.

Tak lama seorang pria paruh baya datang mendekat dengan membawa bakul nasi dalam gendongannya. "Aya naon ieu? (ada apa ini?) tanya pria itu.

" Ini Bi Odah, katanya mau menikah lagi sama Bule, Mang Asep," jawab Marni, kemudian tertawa di ikuti yang lain.

"Bule?" Mang Asep meletakkan bakul nasi di atas tanah.

"Iya, tadi ada bule datang kesini, Abah." Cempaka putri Mang Asep menceritakan kedatangan Ferro baru saja.

"Mau apa bule datang kesini?" tanya Mang Asep sembari membagikan piring kaleng, lalu mempersilahkan semua wanita itu untuk istirahat dan makan siang.

"Tidak tahu, Abah."

Kemudian mereka makn tanpa ada yang bicara, karena menurut suku Sunda. Makan sambil bicara itu di larang atau di sebut pamali. Mereka makan sampai kenyang lalu mengucap syukur pada Yang Maha Kuasa atas nikmatNya hari ini. Kemudian mereka kembali melanjutkan pekerjaannya yang tinggal sedikit di bantu Asep, selaku pemilik kebun kopi. Tak lama mereka selesai, satu persatu wanita itu pulang ke rumah masing masing setelah mendapat upah dari Mang Asep. Kemudian pria itu menyuruh beberapa anak muda di desa itu untuk membawa kopi yang sudah di masukkan ke dalam karung, ke rumahnya.

Mang Asep dan Cempaka berjalan menyusuri pematang sawah yang menguning, di sela sela langkahnya Mang Asep menceritakan kalau ada pemuda dari desa lain yang bernama Dadang datang berkunjung ke rumah mencari Cempaka.

"Aku tidak suka sama Dadang, Abah," ucap Cempaka.

"Eh, jangan begitu. Kalau tidak suka, jawab saja pakai bahasa alus. Jangan suka nyakitin hati orang. Nanti kamu di apa apa-in." Mang Asep memberikan nasehat.

"Iya, Abah."

Sesampainya di rumah, Mang Asep langsung mengarahkan para pekerjanya untuk menjemur kopi terlebih dahuli selagi panas. Sementara Cempaka langsung membersihkan diri. Setelah selesai, gadis itu langsung menemui Ibunya yang bernama Sari.

"Neng, tadi ada si Dadang." Bu Sari langsung menceritakan sambil berdiri menatap Cempaka. Di tangannya memegang kayu bakar.

"Ah si Ambu, kenapa di biarin. Besok besok kalau kang Dadang datang lagi, bilang saja kalau aku sudah punya pacar. Beres kan Ambu?" Cempaka menoleh sesaat ke arah Bu Sari sembari menuangkan teh hangat ke dalam gelas.

"Neng, jangan menyuruh Ambu berbohong," sungut Bu Sari.

"Itu bukan bohong Ambu, tapi dusta sedikit," sahut Cempaka sembari tertawa kecil menggoda Bu Sari.

"Apa bedanya, ah si eneng suka begitu sama orang tua." Bu Sari mencubit gemas lengan Cempaka. Namun gadis itu hanya tertawa kecil sambil berlalu begitu saja meninggalkan Bu Sari di dapur

***

Sesampainya di rumah Adiguna, mereka berdua di sambut baik oleh pria itu. Tanpa banyak basa basi. Adhrian sebagai moderator antara Ferro dan Adiguna langsung menyampaikan inti kedatangan mereka yang ingin menguasai perkebunan kopi milik warga.

Tentu hal itu di sambut baik Adiguna, jika berhasil Adiguna akan mendapatkan sekian persen dari kopi tersebut. Terlebih Adiguna memiliki dendam masa lalu dengan mang Asep. Dia sangat ingin melihat Mang Asep terpuruk.

Setelah mereka sepakat, Adiguna meminta Ferro untuk menempati rumah Adiguna yang lain supaya memudahkannya melancarkan aksinya. Karena bahasa yang di gunakan Ferro tidak mungkin di mengerti warga sekitar. Adiguna akan membantunya sebagai moderator penghubung warga.

"Aku setuju, kalau begitu kami permisi dulu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Besok kami akan kembali lagi kesini," ucap Adhrian.

"Baik, senang bekerjasama dengan anda semua." Adiguna berdiri lalu mengulurkan tangannya. Ferro dan Adhrian menjabat tangan Adiguna bergantian. Lalu mereka meninggalkan rumah Adiguna untuk kembali ke Jakarta.

Sepanjang perjalanan pulang, Ferro tidak berhenti mengagumi keindahan Indonesia. Berbeda dengan tempatnya tinggal di Luar Negeri. Tidak lupa, ia juga memuji kecantikan Cempaka yang natural. Meski hanya sesaat mereka bertemu. Namun kecantikan Cempaka sudah terpatri dalam hatinya. Adhrian tidak ingin Ferro melenceng dengan niat awalnya. Kemudian pria itu mengingatkan Ferro.

"Wanita di sini memang cantik cantik, tapi kau harus ingat. Jangan tergoda dengan wanita di sini. Bukankah kau hanya mengincar kopinya saja?"

Ferro menganggukkan kepalanya, lalu tertawa kecil sembari menepuk pundak Adhrian.

"Kau tenang saja, aku tidak mungkin jatuh cinta pada gadis desa itu," jawab Ferro santai.

Maling

Udara malam semakin dingin menusuk ke tulang, warga kaki bukit gunung salak sudah tertidur pulas di rumah masing masing. Desa itu sangat sepi berbeda dengan di kota, hanya terdengar suara binatang malam. Di pos roda terlihat dua anak muda dan pria tua sedang berbincang sambil menikmati secangkir kopi.

"Malam ini nggak biasanya sepi pisan!" seru komeng, anak muda yang selalu rajin ngeronda.

"Perasaan kamu itu, kata aku mah biasa saja." Timpal Udin.

"Gandeng! (berisik!)" kata mang Suyadi sembari menggaruk kepalanya sampai peci yang ia kenakan miring dan hampir terjatuh.

"Eh liat!!" tunjuk Komeng ke arah semak semak pohon pisang. Sekelebat komeng melihat bayangan hitam berlari ke arah kanan ujung desa.

Udin dan yang lain menoleh ke arah petunjuk Komeng. "Naon (apa) Meng!" kata Udin matanya melotot ke arah semak semak pohon pisang.

"Maling!" seru mang Suryadi menunjuk ke arah ujung jalan desa.

"Panggil warga, kepung euy!" perintah Komeng.

Udin mengambil pentungan lalu memukulnya, sementara Komeng dan mang Suryadi berlari mengejar bayangan hitam tersebut.

"Maliing!!!" seru mereka berteriak.

"Trong trong!!" bunyi kentongan pertanda buruk terdengar nyaring di penjuru desa. Udin terus memukulkan pentungan sambil berlari ke sana kemari.

Sementara di rumah mang Asep yang kebetulan belum tidur, mendengar suara pentungan nyaring di telinga langsung berdiri dan berlari ke arah pintu dan membukanya memperhatikan Udin memukul pentungan.

"Maling mang Asep!" seru Udin terus berlari.

"Maling?" ucap mang Asep, lalu ia menutup pintu, melepaskan sarungnya, lalu mengambil tongkat kayu.

"Ada apa abah?" tanya bu Sari.

"Maling ambu, tutupin pintu. Abah mau ikut ngejar maling." Kata mang Asep lalu keluar dari dalam rumah menyusul Udin dan yang lain.

Nampak warga sekitar mulai berdatangan dan berlari mengejar maling yang di lihat Udin dan Komeng. Warga berbondong bondong mengejar maling tersebut, namun sampai perbatasan bukit. Bayangan hitam tersebut menghilang.

"Stop!" seru Birawa berdiri di depan warga, menghentikan pencariannya.

"Kunaon Abah?" tanya mang Asep menatap Birawa, selaku sesepuh di kampung pasir reungit.

"Dia bukan maling, abah pikir orang itu cuma mengintai desa kita!" seru Birawa.

"Mengintai, abah?" tanya Komeng.

Birawa menganggukkan kepalanya. "Ada yang di incar, tapi kalian jangan takut. Kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Kalian paham?"

"Paham!" jawab mereka serempak seraya mengacungkan lampu obor.

"Sekarang kalian pulang, biar aku ikut si Komeng sama si Udin buat berjaga jaga!" perintah Birawa.

"Siap abah!" sahut mereka serempak.

Mang Asep menggiring warga untuk pulang tapi tidak lupa mereka juga harus waspada. Sementara Komeng dan Birawa di bantu warga berjaga jaga.

Sementara bayangan hitam itu tak lain adalah anak buah Adhiguna bernama petruk. Dia di tugaskan untuk mengintai desa tersebut kalau malam hari. Sebelum rencana jahat Adhiguna di lancarkan. Ferro dan Adrian juga Adhiguna mendengarkan informasi dari petruk.

"Kita tidak bisa menyerang warga secara terang terangan, jelas kita akan kalah. Tapi, kalau kita hembuskan isu yang selama ini di yakini warga sekitar, sudah pasti akan mempermudah kita." Jelas Adhiguna.

Adrian mengangguk anggukkan kepala tanda mengerti, lalu ia menjelaskan kepada Ferro apa yang di ucapkan Adighuna baru saja.

"Bagaimana?" tanya Adhiguna.

"Tenang saja, kau paling mengerti medan dan adat desa ini. Kami mengikuti semua rencananu." Jawab Adrian, di sambut anggukkan kepala Ferro. Adhiguna tersenyum puas, kali ini rencana balas dendamnya akan kesampaian, pikir Adhiguna.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!