NovelToon NovelToon

Love Of A Crazy Boss

Awal Perjalanan

Hari mulai gelap, beberapa petani sudah mulai bersiap kembali ke rumah mereka masing-masing. Tapi tidak dengan gadis itu, ia masih sibuk dengan kegiatannya memetik daun singkong muda di kebun ayahnya. Sang Ayah sudah pulang lebih dulu, meninggalkan anak gadisnya sendirian di kebun singkongnya.

"Hehh... Akhirnya selesai," ujarnya sambil menatap tumpukan daun singkong muda yang sudah dipetiknya tadi.

"Sebagian diantar ke rumah Om Iwan, sisanya dibawa pulang," gumamnya lagi sambil mengingat pesan ibunya untuk mengantar sebagian besar daun singkong muda ke rumah Om Iwan. Om Iwan sendiri merupakan penjual sayur keliling dikampungnya.

Gadis itu menoleh kekanan dan kekiri. Barulah ia menyadari bahwa ia hanya sendiri dikebun itu, sementara para petani lain sudah tidak terlihat. Bahkan Bulek Susi yang biasanya selalu pulang bersamanya pun tak keliahatan batang hidungnya.Dengan cepat gadis itu memasukkan semua daun singkong muda itu ke dalam keranjang yang sudah dipersiapkannya dari rumah. Ia lalu segera berlalu dari tempat itu.

Gadis itu berjalan dengan tergesa-gesa. Jarak dari kebun ke rumahnya hanyalah sekitar tiga ratus sampai empat ratus meter saja. Tapi dengan situasi saat ini siapa yang berani berjalan kaki seorang diri melewati kebun karet saat petang mulai menyapa. Apalagi bagi gadis berusia tiga belas tahun tersebut. Situasi saat ini tentunya menakutkan.

Srheek

Terdengar suara daun kering yang diinjak seseorang. Gadis itu berhenti sejenak. Ditolehkannya kepalanya kekanan dan kekiri mencari sumber suara tersebut. Karena tidak ada apa-apa ia pun melanjutkan langkahnya.

Srheek

Srheek

Srheek

Suara itu terdengar lagi. Gadis itu kembali berhenti, jantungnya berdebar tak karuan. Bermacam pikiran negatif datang menghantui otaknya. Kali ini suara itu terdengar sangat dekat.

Gadis itu membalikkan tubuhnya, seorang pria tersenyum menyeringai padanya. Ia semakin mengetatkan pegangan tangannya pada keranjang yang ia bawa.

Lari...

Itulah yang ada dalam pikirannya sekarang. Dengan cepat ia berbalik dan berlari. Namun sayang, pria itu lebih cepat darinya. Dalam sekejap lelaki jangkung berbaju hitam itu berhasil menangkap lengan gadis itu.

*****

Hari ini adalah hari membahagiakan bagiku, pasalnya hari ini aku resmi bekerja di hotel milik ayahku sendiri, dan DIBAYAR!!

Selama setahun ini aku magang di sini sebagai asisten kakakku, sang direktur utama. Lebih tepatnya ayah dan kakakku melakukan kerja paksa padaku. Kalian bayangkan saja betapa menderitanya diriku saat harus bekerja menuruti perintah kakakku tanpa dibayar sepeserpun. Aku hanya mendapat jatah makan di kantin dua kali, saat makan siang dan saat makan malam.

Tapi aku beruntung karena ibuku yang cantik itu masih berbaik hati memberiku uang jajan sebanyak dua puluh ribu setiap hari. Setidaknya aku masih bisa membeli barang yang kuinginkan tanpa harus meminta pada ayah.

Ayah memang keras dalam mendidik kami. Kakakku pun mendapat perlakuan yang sama sepertiku, bahkan lebih ekstrem dari yang kualami. Kak Hendri bahkan harus membawa bekal dari rumah karena ia tidak punya kesempatan untuk makan siang dikantin hotel, kantin khusus staff dan pekerja di hotel ini. Waktu makan siangnya ia habiskan untuk menatap layar komputer, mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan bisnis perhotelan. Itulah yang membuatnya mampu menduduki jabatan sebagai direktur utama di usianya yang terbilang muda.

Begitu pula dengan adikku, gadis manja yang selalu memakai bandana polkadot dimanapun, kapanpun, dan dalam situasi apapun itu mendapat perlakuan yang sama seperti aku dan Kak Hendri. Ayah selalu menekankan padanya untuk menabung sebagian uang jajan yang diberikan, dan digunakan untuk membeli perlengkapan sekolah sendiri. Si manja itu bahkan diwajibkan mengikuti kegiatan beladiri pencak silat yang banyak tersebar di kota ini, agar ia bisa melindungi diri sendiri, apalagi bagi gadis cantik sepertinya kejahatan rawan terjadi.

Tapi aku bangga memiliki Ayah, karena sekeras apapun beliau mendidik kami, ayah adalah pria hangat yang sangat mencintai keluarganya, apalagi rasa cintanya pada ibu sudah tak diragukan lagi. MARISSA HOTEL adalah salah satu bukti cinta ayah pada ibu. Selain namanya yang disematkan di hotel ini, ibu juga menjadi pemilik saham terbesar hotel tempatku bekerja mulai hari ini. Padahal ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa, yang sangat menyayangi keluarga dan juga sangat pandai menyajikan hidangan yang membuat lidah bergoyang.

Dan disinilah aku, seorang Ardian Sanjaya akan memulai debut sebagai manajer hotel ini. Tugasku memastikan semua pegawai berada tepat diposisi masing-masing dan bekerja sesuai dengan keahliannya. Selain itu memastikan para pengunjung hotel kami mendapatkan pelayanan terbaik adalah kewajibanku. Aku ingin MARISSA HOTEL menjadi hotel terbaik di negara ini.

Pertemuan

Bruukk

Aku baru saja keluar dari mobil saat seseorang menabrakku dari belakang. Seketika aku menoleh dan mendapati seorang perempuan setinggi dadaku menundukkan kepalanya.

"Kalau jalan hati-hati mbak," ucapku lembut, aku tahu gadis itu ketakutan karena ia me***** ujung bajunya dan menundukkan kepalanya tak mau melihatku.

"Ma..maaf mas. Sa..saya gak se..sengaja nabrak mas," lirihnya. Suaranya bergetar menahan takut.

"Mbak, gak usah takut. Saya gak minta ganti rugi kok," ujarku sambil memegang kedua bahunya.

Gadis itu perlahan mendongakkan wajahnya perlahan. Cantik. Satu kata untuknya. Tapi ia terlihat seperti mencemaskan sesuatu.

"Sekali lagi saya mohon maaf mas, saya benar-benar gak sengaja," ucap gadis itu.

Setelah itu ia segera berlari meninggalkanku yang masih berdiri seorang diri di tempat parkir ini.

Aku pun berjalan perlahan menuju pintu utama hotel ini, sambil menikmati indahnya pemandangan di sekitar hotel. Tukang kebun yang kupekerjakan untuk mempercantik taman di depan hotel ini benar-benar melakukan tugasnya dengan baik. Tidak sia-sia aku membayar mahal mereka.

Saat sampai di lobby hotel aku melihat Dadang, salah satu petugas keamanan sedang berseteru dengan seorang gadis.

"Itukan gadis yang menabrakku tadi," aku bergumam dalam hati.

Aku pun berjalan mendekati mereka. Entah mengapa jantungku berdebar saat melihat gadis itu. Gadis yang mengenakan kaos polos berwarna putih dan celana jeans itu seketika berhenti berdebat dengan Dadang dan menatapku.

"Ekhemm...." aku berdehem untuk menyadarkan Dadang akan kehadiranku.

Dadang membalikkan tubuhnya, ia lalu sedikit menundukkan tubuhnya.

"Selamat pagi Pak Ardian," ucapnya sopan.

"Bisa tolong jelaskan tentang keributan yang terjadi disini?" tanyaku padanya.

"Begini Pak, wanita ini mengaku sebagai putri Bapak Haris, salah satu koki direstoran hotel dan memaksa untuk masuk ke ballroom hotel," jawab Dadang tegas.

"Lalu?"

"Seperti yang Bapak ketahui hari ini akan dilangsungkan resepsi pernikahan Putri walikota di ballroom hotel, dan hanya yang membawa kartu undangan saja yang diperbolehkan masuk," jawab Dadang lagi penuh ketegasan.

"Lalu apa hubungannya dengan Pak Haris?" tanyaku lagi.

"Pak Haris adalah koki yang bertanggung jawab untuk menyajikan menu restoran hotel kita pada acara resepsi pernikahan ini Pak,"

Aku lalu mengalihkan pandanganku pada gadis yang mengaku sebagai putri chef Haris, gadis yang tak sengaja menabrakku di parkiran tadi.

"Mohon maaf sebelumnya, mengapa anda ingin masuk ke ballroom hotel ini?" tanyaku pada gadis itu.

"Saya ingin menemui ayah, saya harus segera memberi tahu ayah, bunda terkena serangan jantung dan sedang dirawat di ICU," lirihnya. "Tapi bapak ini melarang saya," sambil menunjuk Dadang.

Wajahnya cemberut, tapi malah menambah kesan manis padanya.

"Kami mohon maaf apabila telah menyakiti perasaan anda, tapi petugas keamanan di hotel ini hanya mengikuti peraturan yang ada," aku berkata dengan lembut tapi tetap harus menunjukkan sikap profesional.

"Mengapa anda tidak menghubungi chef Haris lewat ponsel saja? Atau menelpon dapur resto hotel ini?" tanyaku. Dapur restoran hotel ini memang menyediakan telepon yang bisa digunakan bagi keluarga pegawai restoran bila ada hal mendesak.

"Ayah lupa membawa ponselnya, dan saya tidak tahu nomor telepon dapur restoran," jawabnya.

Gadis itu menunduk, beberapa detik kemudian kulihat tetesan cairan bening berjatuhan ke lantai. Rupanya gadis itu menangis.

"Hei.. Hei.. Tenanglah, jangan menangis," aku berusaha menenangkannya sambil memegang kedua pundaknya.

"Siapa namamu?" tanyaku.

"A..Ana," ia menjawab terbata-bata.

Aku pun tersenyum, nama gadis cantik ini ternyata Ana.

"Baiklah Ana, kau ikuti aku. kita akan menemui ayahmu," ujarku sambil terus tersenyum dan menatap matanya.

Deg..

Perasaan apa ini, rasa yang aneh, tak pernah kurasakan sebelumnya. Matanya seakan menghipnotisku. Aku merasa melayang.

"Benarkah, benarkah anda akan membantuku?" tanyanya yang menyadarkanku dari lamunanku.

Kulihat binar kebahagiaan dimatanya. Ah, mata ini lagi.

"Benar, sekarang ikuti aku," perintahku padanya.

Aku segera menuju dapur restoran hotel. Jarak lobby hotel menuju dapur restoran tidaklah jauh, mungkin hanya sekitar empat puluh sampai lima puluh meter saja.

"Terima kasih karena anda mau membantuku," kata Ana ditengah perjalanan kami.

"Tidak usah sungkan, sudah kewajibanku membantu para pegawai hotel ini, termasuk keluarganya," ujarku sambil tersenyum.

Sementara Ana hanya terdiam, lalu ia pun tersenyum padaku. Senyumnya sungguh indah dimataku.

Aku segera menemui Risma, ia adalah manajer restoran hotel. Aku lalu menjelaskan situasinya pada Risma, wanita yang terpaut tiga tahun lebih tua dariku itu pun memahami situasi yang ada dan segera meminta salah satu pelayan untuk memanggil chef Haris yang saat ini sedang berada di ballroom hotel.

Beberapa menit kemudian chef Haris tiba, ia terkejut melihat kedatangan Ana di sini.

"Ana, apa yang terjadi?" tanya chef Haris.

Ana yang ditanya tak menjawab, malah memeluk sang ayah, ia menangis sesenggukan.

"Ana, tenangkan dirimu." Chef Haris berusaha menenangkan Ana, ia membelai punggung putrinya dengan lembut.

"Tenangkan dirimu, kalau kau menangis bagaimana ayah tahu permasalahan apa yang terjadi,"

Tak lama tangisan Ana reda, ia memegang tangan ayahnya.

"Ibu.. Ibu terkena serangan jantung yah. Sekarang ibu dirawat di ruang ICU," Ana mulai menjelaskan.

Chef Haris pun terkejut, ia tak bisa menutupi rasa cemas pada raut wajahnya. Aku tahu yang dirasakannya. Ia pasti bingung, antara ingin pergi kerumah sakit atau tetap bertahan dihotel. Terlebih hari ini walikota mengadakan resepsi penikahan anaknya di ballroom hotel ini, dan Chef Haris adalah penanggung jawab menu sajian acara tersebut.

"Kalau anda ingin pergi kerumah sakit, saya tidak akan melarangnya pak," kataku pada chef Haris.

Chef Haris menatapku tajam, ada rasa tak percaya di wajahnya. Ia juga seperti orang bingung.

"Bagaimana dengan resepsi pernikahan putri pak walikota?" chef haris bertanya sambil menatapku, tatapannya berubah sendu.

"Tenang saja pak,apa bapak lupa restoran kita memiliki beberapa chef handal yang bisa diandalkan, contohnya chef Tika," aku menjelaskan pada chef Haris agar ia tak merasa bersalah dan bimbang.

"Yang dikatakan Pak Ardian itu benar chef," ujar Risma menambahkan.

Chef Haris kembali menatapku, ia lalu tersenyum.

"Terima kasih atas pengertiannya pak, bu," ucapnya. "Kalau begitu saya akan segera ke rumah sakit menemui istri saya. Sekali lagi terima kasih," ucapnya lagi.

Aku dan Risma hanya bisa tersenyum. Chef Haris lalu menggandeng Ana keluar restoran. Mereka melewati lobby hotel. Aku sempat mengantarnya sampai lobby, sebelum mereka melewati pintu utama hotel ini Ana menoleh kebelakang. Matanya menatap mataku, kemudian ia tersenyum sambil mengucapkan terima kasih lewat gerakan bibirnya.

Deg..

Jantung ini kembali berdebar tak karuan. Astaga... Apa yang sudah terjadi padaku?

BERSAMBUNG

Pernyataan

Dua minggu sudah berlalu semenjak pertemuanku dengan Ana. Semenjak saat itu pula chef Haris meminta cuti. Alasannya tentu saja untuk mengurus istrinya dirumah sakit. Sementara Ana yang kutahu ternyata masih duduk dikelas XII tidak bisa menemani ibunya karena ia harus belajar untuk persiapan ujian nasional.

Dan semenjak saat itu pula aku mulai merindukan Ana. Entahlah apa yang membuatku merindukannya, yang pasti aku sangat rindu. Oh Tuhan, apakah ini yang dinamakan jatuh cinta.

Dua minggu ini tidurku tak nyenyak, makan tak nyaman, kerja tak tenang, semua terasa hambar.

"Tandanya kakak lagi sakit malarindu," ejek Ica, adikku yang manja tapi juga atlet pencak silat.

Pipiku pun merona karena malu, iya, aku malu ketahuan merindukan seseorang yang bahkan belum tentu merindukanku. Kenalan juga mendadak.

"Tuh kan, pipi kakak merah," ejeknya lagi.

Dasar adik gak ada akhlak, batinku pun meronta memakinya. Apalagi selain mengejekku gadis itu pun berteriak memanggil ibu lalu mengadukanku seolah aku ini anak kecil yang melakukan kesalahan.

*****

Cuaca hari ini sangat cerah, berbeda dengan hatiku yang mendung kelabu. Kulangkahkan kakiku menuju pintu hotel dengan malas, ingin rasanya aku bersantai dirumah. Entah mengapa aku sangat malas bekerja hari ini.

Sampai di depan pintu hotel aku terkejut. Ana, gadis yang kurindukan memandangku dan tersenyum padaku. Sepertinya aku harus pergi ke dokter memeriksakan mataku. Bagaimana aku bisa seperti ini hanya karena RINDU.

"Selamat pagi mas,"

Astaga, apakah aku bermimpi. Kupukul wajahku. Plaak. Sakit.

"Mas.. Mas.. Itu pipinya kenapa di pukul sih," Ana menatapku dengan tatapan yang susah untuk diartikan.

"Eh, ka..kamu Ana... kan?" tanyaku terbata dan agak ragu juga sebenarnya.

"Iya mas, ini Ana," ucapnya seraya tersenyum manis.

"Kamu ngapain kesini?" tanyaku.

"Oh, itu loh, aku habis ngantar ayah. Mau langsung pulang, tapi taman di depan hotel ini cantik. Akhirnya ya gini, aku pengen menikmati indahnya ciptaan Tuhan," masih dengan senyum manisnya.

"Tapi kamu lebih indah," gumamku.

"Ehh, mas ngomong apa tadi?" Ana terkejut , rupanya ia mendengarkan gumamanku tadi.

"Enggak, enggak ada ngomong apa-apa," jawabku sambil menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal.

Duuhh, kok jadi kikuk gini sih. Kalau Ana tahu yang kuucapkan tadi tentang dirinya bagaimana ini. Kami baru bertemu lagi setelah perkenalan mendadak dua minggu yang lalu. Bisa-bisa Ana illfeel dan mengaggapku aneh, lalu dia tidak mau lagi kudekati. Gawat, aku harus bisa mengendalikan diriku.

"Bagaimana kabar ibumu?" tanyaku, susah payah aku mengendalikan rasa kikukku didepannya, belum lagi jantungku yang rasanya ingin lompat kesana kemari.

"Ibu sudah mendingan, sudah pulang dari rumah sakit dua hari yang lalu, sekarang tinggal rawat jalan saja mas," terang Ana.

"Maaf ya gak bisa jenguk, aku sibuk banget," alasanku, padahal aku yang bingung kalau menjenguknya, karena dengan chef Haris pun aku kurang akrab.

"Kenapa mas minta maaf, ibu kan bukan siapa-siapa buat mas," ujarnya.

"Kata siapa ibu kamu bukan siapa-siapa, beliau kan istri chef Haris, koki andalan di restoran hotel, tentu saja aku merasa bersalah tidak bisa menjenguknya," jelasku asal. Entahlah dia menganggapku aneh atau tidak.

"Apa mas selalu berbuat seperti ini pada semua pegawaimu?" Ana menatapku serius.

Aku yang ditatap mendadak kikuk dan salah tingkah. Astaga, kenapa matamu itu seperti ingin menghipnotisku, batinku.

"Chef Haris kenapa minta diantar, biasanya berangkat sendiri?" aku berusaha mengalihkan pertanyaannya tadi.

"Aku kan sudah selesai ujian, berhubung ibu masih harus rawat jalan jadi mobilnya aku yang pakai buat ngantar ibu, gak mungkin kan kalo ayah libur lagi," ujarnya.

"Jadi kamu tiap hari yang bakalan antar jemput chef Haris?" tanyaku penuh harap.

"Cuma ngantar aja mas, kalo yang jemput nanti ada kakakku, karena dia kuliah di kota S jadi berangkat pagi banget, pulangnya sekalian jemput ayah," jelas Ana panjang lebar.

Yess!! Aku bersorak dalam hati. Walaupun hanya tiap pagi tapi tak apalah, asal aku masih bisa memandangi makhluk ciptaan Tuhan satu ini.

"Mas, aku balik dulu ya, kasihan ibu sendirian di rumah,"

"Heem, hati-hati ya," aku menyunggingkan senyum, dan Ana pun membalas dengan senyuman termanisnya.

Baru beberapa langkah Ana berhenti dan berbalik lagi.

"Terima kasih mas," ucapnya.

"Untuk apa?" jelas aku heran untuk apa dia berterima kasih.

"Karena sudah bersikap ramah padaku, karena sudah membantuku waktu itu, dan untuk dikemudian hari," jelasnya.

Aku hanya bisa tersenyum, sedangkan pikiranku sudah kesana kemari memikirkan maksud dari kalimat terakhir Ana.

*****

Selama tiga minggu ini pertemuanku dengan Ana terjadi cukup intens, kami semakin dekat walaupun hanya berbincang sebentar di taman hotel setiap paginya. Hanya saja sampai sekarang aku masih belum bisa mengungkapkan isi hatiku, aku masih menunggu waktu yang tepat. Nomor telepon selulernya saja aku belum punya.

Sama seperti pagi ini. Kami kembali bertemu di taman hotel, sekedar menyapa dan berbicara sebentar. Tapi perbincangan kami kali ini berbeda, Ana seperti seorang reporter yang menggali informasi dari narasumbernya.

"Mas sudah punya pacar belum?" pertanyaan pertama cukup mengejutkanku.

"Belum," singkatku

"Kalo gebetan?"

"Gak ada," jawabku lagi.

"Tipe cewek idaman mas yang seperti apa?"

"Yang seperti kamu," jawabanku membuat pipinya bersemu.

"Kenapa? Gak suka kalo tipe cewek idaman aku itu kaya kamu?" hanya dijawab dengan gelengan kepalanya, sementara pipinya makin merona.

"Mas, ini," Ana memberiku sebuah amplop berwarna merah muda.

"Apa ini?" tanyaku, tanganku terulur mengambil amplop dari tangannya.

"Jangan dibuka sekarang mas, nanti aja tunggu aku pulang," jawabnya.

Setelah itu Ana pergi meninggalkanku ditaman, sambil memegang kedua pipinya Ana berjalan cepat tak seperti biasanya. Aku hanya menatap amplop itu dengan heran.

Malam harinya setelah menyelesaikan makan malam aku bergegas kekamar. Aku sungguh penasaran dengan isi amplop pemberian Ana tadi pagi. Perlahan ku buka, didalamnya ada selembar kertas berwarna senada, dan wangi. Kubuka lipatan kertas itu, senyumku mengembang saat membaca tulisan di kertas tersebut.

Dear Mas Ardi

Saat pertama kali bertemu denganmu entah mengapa jantung ini selalu berdetak tak menentu.

Hatiku terasa gembira saat berada disampingmu. Kegembiraan itu bahkan sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.

Saat belajarpun bayanganmu selalu menggangguku, untung saja aku masih bisa fokus dalam ujian kemarin.

Sepertinya aku sudah jatuh hati padamu, Mas Ardi.

Apakah Mas juga merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan?

Entah mengapa hatiku sangat yakin bahwa kau pun memiliki rasa yang sama sepertiku.

Kalau iya tolong hubungi aku

Dari gadis yang sangat mencintaimu

Anandita Wijaya

088765******

Tanpa berpikir dua kali segera kuraih ponselku yang tergeletak di atas nakas. Kutekan nomor yang tertera disurat itu. Betapa bahagianya diriku saat ini, ternyata Ana memiliki perasaan yang sama sepertiku. Bahkan ia lebih berani mengungkapkannya, tidak sepertiku yang seakan mengulur waktu.

Tuuutt

Tuuutt

"Hallo...," terdengar suara merdu Ana dari seberang sana.

"Hallo Ana, ini aku Ardian,"

Ana terdiam, seakan menungguku mengatakan sesuatu.

"Hallo Ana, kamu masih disitu kan?" tanyaku memecah kesunyian.

"Iya mas," jawabnya.

"Tentang surat itu, apakah kamu serius dengan perasaanmu?" tanyaku lagi, untuk memastikan.

"Iya mas, aku serius,"

Yessssssss!!! Aku bersorak dalam hati, tanpa kusadari aku sudah melompat kegirangan diatas kasur. Aku mengatur nafasku lagi.

"Eehhhmmm Ana," aku memanggilnya.

"Iya mas,"

"Mau gak jadi pacarku?"

"Iya mas, aku mau," jawabnya.

Yeeeesssss, akhirnya perasaanku terbalaskan. cintaku tak bertepuk sebelah tangan.

BERSAMBUNG LAGI YA GENGGSS

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!