Dorrrr!!!
Arghhh....
Ayesha terkesiap. Suara tembakan terdengar jelas di telinganya. Sontak ia mengalihkan pandangannya ke sumber suara. Pandangannya tertumpu pada rerimbunan semak yang tidak jauh dari tempatnya mengarahkan panahnya ke seekor rusa yang tidak jauh dari tempatnya bertengger. Buruannya yang sudah dalam intaiannya sejak beberapa waktu lalu akhirnya terlepas karena suara bising tersebut. Ia berpikir sejenak. Mungkin itu suara orang berburu seperti dirinya juga. Tapi mengapa ada suara teriakan manusia? Atau mungkin itu suara kesenangan si pemburu karena berhasil mengenai sasarannya? Pikirnya lagi. Tapi tak lama terdengar lagi suara yang sama.
Dorrr!!!
Arghhh...
Lelaki itu terkapar tak berdaya. Dua tembakan tepat bersarang di dadanya. Nyaris menembus jantung. Matanya terpejam. Nafas berhenti. Lima orang di depannya tertawa menyeringai mengalahkan ekspresi seekor binatang buas.
"Hahahaha....
“Akhirnya..
“Inilah akhir kisah seorang boss mafia kelas kakap...
“Maxwell Powwel..
“Matilah kau..
“Hahaha...."
"Boss sebaiknya kita hujani lagi dia dengan tembakan...memastikan dia mati sempurna...", saran si anak buah di samping orang yg menembak Maxwell.
"Betul. Jangan sampai kita ceroboh. Orang seperti dia bisa punya banyak nyawa.", kata si lelaki bengis.
Sambil berjalan mengitari sosok yang tergeletak tak berdaya di depannya, ia memain-mainkan pistolnya dengan memutar-mutarkannya dengan jari telunjuknya sebelum berniat hendak melakukan apa yang dikatakan anak buahnya barusan. Hingga setelah puas bermain-main dengan senjatanya ia pun menarik pelatuk pistol di tangannya. Bersiap menghujani lelaki tanpa daya yang tergeletak bersimbah darah di tanah. Namun tiba-tiba ….
Dorrr!
Arghhhh..
Si lelaki bengis giliran yang berteriak. Ia tertembak tepat di punggung tangan kanannya yang memegang pistol. Seketika senjata pembunuh di tangannya pun terjatuh. Matanya melotot tak percaya. Dipeganginya tangan kanannya yang berlumuran darah. Ia meringis kesakitan.
Hanya sejauh 10 m dari tempatnya berdiri, terlihat sesosok bayangan berpakaian hitam memakai cadar dengan senjata di tangan dan alat pemanah di punggungnya sedang berdiri di atas dahan pohon setinggi 3 m dari atas permukaan tanah. Senjata laras panjang yang dipegangnya lurus menghadap kepala si lelaki bengis.
"Lepaskan dia atau kuhabisi kalian semua", teriak sang bayangan bercadar.
Si lelaki bengis terkesiap. Dia bisa melihat nada ketegasan dan kepercayaan diri dari wanita di atas pohon itu. Ya, dia pasti wanita, pikirnya. Suara dan pakaiannya menunjukkan itu. Hah sejak kapan dia takut pada wanita? Hmmm...tidak ada kamus dalam hidupnya begitu. Tapi oh tidak. Wanita itu sepertinya penembak jitu. Buktinya tapak tangannya terkena sasaran dengan sangat tepat. Objek kecil. Bagaimana kalau ke arah kepala, dada atau jantungnya? Apalagi dengan senjata laras panjang itu…
"Siapa kau. Kami tidak ada urusan denganmu. Jangan ganggu kami hah?”.
Si bengis mencoba membangun kembali kegarangannya. Sepertinya wanita ini asli orang sini, bahasa Inggrisnya aksen Rusia, pikirnya sejenak. Sementara, anak buahnya sontak mengangkat pistol mereka semua ke arah si wanita. Namun mendadak …
Dorrr..
Dorrr...
Dorrr…
Suara tembakan kembali diarahkan si wanita ke arah punggung telapak tangan 3 orang anak buah yang berjajar di samping si bengis, membuat nyali mereka ciut seketika. Semua senjata mereka terjatuh. Hanya terjadi dalam 4 detik. Dua lainnya yang bersenjata pisau hanya bisa terpana dan sontak memegang dada masing-masing khawatir ada peluru nyasar yang tak diharapkan. Anak buah si bengis yang tertembak hanya bisa menjerit kesakitan memegangi tangan mereka.
"Aku tidak main-main. Jika kalian memaksa, akan kujadikan kepala kalian hari ini ajang latihan menembakku. Aku sudah rindu. Kebetulan aku sudah lama tidak melakukannya seminggu ini". Si wanita berteriak tegas.
Si lelaki bengis mulai menyadari bahwa wanita di depannya bukan omong kosong. Dengan tangan bersimbah darah, dikodenya anak buahnya untuk segera melarikan diri tanpa sempat mengambil kembali pistol-pistol yang mereka miliki, kerena Ayesha sontak menembak ke arah tanah dimana pistol mereka terjatuh. Hm, biarlah ia menang saat ini, akan kubalas suatu saat nanti. Lagi pula Maxwell pasti sudah mati, pikir si bengis. Mereka bergegas menyambar kuda-kuda yang berada di sana dan memacunya dengan cepat. Rupanya mereka ke hutan ini juga mengendarai kuda. Sama dengan si wanita.
Ayesha, si wanita tersebut segera melompat turun dari pohon tempatnya bertengger setelah dirasa Joeris dan komplotannya sudah pergi jauh. Ia segera mendapati orang yang tadi didengarnya berteriak ketika dia sedang berburu. Maxwell. Rupanya si lelaki tadi hanya pura-pura mati dengan menahan nafasnya. Menyadari musuhnya sudah berlalu, perlahan dibukanya matanya menatap sesosok wanita bercadar yang kini berjongkok meraihnya. Nafasnya tersengal. Dia terbatuk dan menyemburkan darah dari mulutnya. Pandangan matanya perlahan mengabur. Bumi seolah berputar dan ia pun tak sadarkan diri setelah sesaat sempat terkesima melihat sekilas wajah Ayeesha yang mendekat ke arah kepalanya. Wanita itu membuka cadarnya dengan cepat lalu melepasnya dan mengikatkan kain yang panjang itu dengan kencang ke dada lelaki yang sama sekali tak dikenalnya itu.
Dengan sangat cekatan seperti sudah terlatih, Ayesha membalutkan kain cadarnya ke tubuh Maxwell untuk menyumbat darah yang terus keluar dari lubang tembakan. Dia menahan nafasnya ketika melihat darah juga meleleh keluar dari luka menganga di betis kiri dan kanan pria itu. Sepertinya bekas tancapan pisau tajam yang melengkung ujungnya yang ditarik keluar. Bergegas dikoyaknya bagian bawah baju atasnya yang panjang dan diikatkan juga ke bagian kedua kaki Maxwell. Sekilas ia melihat wajah tampan dan maskulin di depannya yang separuhnya tertutupi darah. Darah dari semburan mulutnya sendiri yang entah kenapa bisa menyemburkan darah dan juga darah dari pelipisnya yang mungkin karena terjerembab kena akar pohon.
Ayesha terperangah melihat dirinya sendiri. Mengapa ia begitu peduli pada orang yang tak dikenalnya? Kelak apa yang dilakukannya saat ini tanpa diketahuinya akan menyebabkan sebuah perubahan besar dalam kehidupan seseorang. Perubahan yang bisa dibilang hampir seratus delapan puluh derajat. Perubahan pada seseorang yang terkenal sebagai sesosok iblis berwujud manusia yang bahkan pada Tuhan pun ia sudah bersumpah tidak mengakui dan tidak memerlukanNya sama sekali.
Ayesha menatap dirinya sendiri dengan asing. Kepalanya saat ini hanya dibalut jilbab kecil yang memang biasanya dipakainya di dalam jilbab besar yang bersatu dengan cadar yang menutupi kepalanya di bagian luar. "Ampuni aku ya Allah. Ku pikir ini kondisi darurat yang Engkau maafkan. Aku harus menyelamatkan nyawa orang ini. Bukankah menyelamatkan satu nyawa manusia berarti menyelamatkan semua manusia? Duhai Rabb, Sang Maha Khaliq. Aku tak tahu siapa pria ini. Ijinkan aku menyelamatkannya jika itu memang baik menurut-Mu dan lebih bermanfaat untuk umat. Aamiin", gumam Ayesha sambil mengangkat tubuh Maxwell ke atas kuda putihnya.
Ayesha memang agak kesulitan karena tubuh lelaki itu tinggi dan kekar. Namun latihan gulat yang selama ini dijalaninya dari Aiko, master gulat wanita dari Jepang yang khusus dikirim kakeknya untuk menggembleng kekuatannya ternyata sangatlah membantunya. Dengan tehnik memanfaatkan berat tubuh lawan, dalam hal ini orang yang sedang diangkatnya, ia pun dengan perlahan berhasil mendaratkan tubuh Maxwel di atas punggung kuda kesayangannya. Mereka pun langsung melesat menuju ke sebuah tempat, radius sepuluh kilometer dari hutan tersebut.
Maxwell terjaga. Dia baru tersadar dari pingsannya selama 72 jam. Pertama yang didengarnya sebelum matanya terbuka adalah sayup-sayup suara berirama asing di telinganya yang pelan dan mendayu-dayu. Sebuah suara manusia yang melantunkan bahasa aneh yang dia tak pernah dengar sebelumnya. Dia tak tahu suara apakah yang didengarnya ini. Ia berpikir itu sebuah nyanyian tapi ia juga merasa bahwa itu bukan nyanyian. Entahlah, begitu terbangun ia seperti merasa bahwa suara itu sudah lama ia dengar padahal ia yakin ia baru kali ini mendengarnya. Namun yang jelas, entah kenapa jiwanya merasa tenang mendengarnya dan ada sesuatu perasaan sejuk di relung-relung jiwanya.
Maxwell perlahan membuka matanya dan yang pertama dilihatnya adalah dinding kamar hijau muda dan tulisan seperti tulisan Arab yang pernah diketahuinya dari teman muslimnya dulu di sekolah dasar. Sepertinya itu simbol Tuhannya orang muslim, pikirnya. Ah dimana ini. Ia bertanya dalam hati. Ketika ia hendak bangkit, sontak ia meringis kesakitan. Terkejut melihat keadaannya sendiri, perlahan Maxwell mulai mengingat sesuatu. Kelebatan memori peristiwa yang dialaminya beberapa waktu sebelumnya berputar di dalam kepalanya. Dan kini ia mulai menyadari semuanya. Ia perlahan sadar, bahwa dadanya ditembak dua kali oleh Joeris, si penghianat, rekan bisnis illegalnya. Dadanya diperban. Kakinya juga. Ah, ia ingat bahwa Joeris juga melukainya dengan sebuah pisau di kedua kakinya itu untuk membalas dendam padanya. Maxwell mengutuk dalam hati. Rasanya ia ingin berteriak memaki maki Joeris. Tapi mulutnya tak bisa digerakkan. Lehernya terasa kaku. Tenggorokannya sangat sakit. Ketika ia menggerakkan tangannya secara spontan, ia baru menyadari bahwa selang infus menempel di tangan kanannya. Oh bukan hanya infus, tapi juga selang darah di tangan kirinya. Oh aku pasti kehilangan banyak darah, pikirnya. Tapi kenapa aku bisa di sini? Siapa yang membawaku? Siapa yang menyelamatkanku? Maxwell masih termangu berpikir keras. Ia mulai meringis kesakitan merasakan sakit yang luar biasa di sekitar dada dan betisnya. Sementara suara asing yang menenangkan jiwanya tadi masih terus mengalun syahdu dan Maxwell baru sadar bahwa suara itu ternyata berasal dari sebuah tape mini di atas meja mungil yang berada tak jauh dari sisi kanan bed-nya.
Masih terkesima dengan suara asing dari tape mini di dekatnya, 5 menit kemudian terdengar suara pintu dibuka perlahan. Maxwell menoleh dan terpana. Sesosok wanita bercadar coklat muda dengan gamis berwarna senada muncul ditemani seorang wanita muda berambut pirang dan bergelombang. Wajahnya cantik dengan hidung lancip dan mata biru, berpakaian putih dengan stetoskop di lehernya. Ia pasti seorang dokter, batin Maxwell. Sang wanita bercadar berjalan mendekat dan kemudian meraih tape mungil yang sebelumnya menjadi pusat perhatian Maxwell. Ia nampak memutar tombol tape kecil itu dan suara dari tape itu pun kemudian mengecil.
"Alhamdulillaah. Anda sudah sadar tuan. Tolong dokter Anne periksa keadaannya", kata Ayesha menyuruh wanita berpakaian putih disampingnya.
Dokter yang cantik itu pun segera mendekati monitor di dekat kepala Maxwel dan memeriksa Maxwel dengan stetoskopnya.
"Kondisi Anda mengalami kemajuan pesat. Kekuatan tubuh Anda tak seperti kebanyakan manusia biasa. Beruntunglah Tuan, Anda hidup kembali setelah koma 72 jam. Tuhan masih menyelamatkan anda”, kata dokter Anne setelah selesai. Ia kembali berdiri di samping Ayesha.
Maxwell terhenyak. Lidahnya kelu. Tenggorokannya sangat sakit. Sulit menyampaikan kata-kata. Ia masih sangat bingung. Kepalanya sangat berat. Sekilas ia menatap ke arah wanita bercadar di depannya dan melihat tahi lalat hitam di atas alis mata kanannya yang nampak ketika Ayesha memejamkan mata sejenak. Maxwell terkesima. Ia mulai mengingat-ingat. Ah, aku sudah ingat sekarang, pikirnya. Ia pasti wanita bercadar yang telah menolongku di hutan waktu itu. Ia yang telah menembak Joeris dan kawan-kawannya. Maxwell kembali teringat wajah di balik cadar tersebut yang sempat dipandangnya sesaat sebelum akhirnya ia tak sadarkan diri. Walaupun samar melihatnya waktu itu, tapi ia yakin gadis bercadar ini sangat jelita. Aku tak pernah melihat wajah secantik dan selembut itu sebelumnya. Walau cuma beberapa detik waktu itu melihatnya, tapi aku yakin dia sangat cantik. Pantaslah ditutupi wajah itu agar tidak membuat mabuk setiap pria yang melihatnya. Pikir Maxwell sambil meringis. Ia menahan perih dan sakit kepala yang tak biasa. Tapi sebentar, tentang wanita, sejak kapan ia mengagumi? Sebejat apapun dia selama ini tapi dalam hal yang berkaitan dengan wanita ia tak pernah bermain wanita seperti rekan-rekan dan anak buahnya karena ia sangat benci yang namanya makhluk wanita dan memikirkan untuk mengagumi sosoknya sama sekali tak pernah ada dalam otaknya. Semua sama saja memuakkannya seperti ibunya, pikirnya. Dan ini, wanita bercadar, ah dia ingat sosok ******* yang sering muncul di layar televisi saat ia menginginkan melihat berita yang berhubungan dengan bisnisnya. Hm, bisa jadi sosok ini juga *******. Dia ahli menggunakan senjata, pikirnya lagi. Hatinya seketika mengeras. Tatapannya tajam.
"Apa kau masih merasakan pusing yang hebat tuan?", tanya sang dokter.
Maxwell mengangguk pelan sekali sambil memejamkan mata sejenak. Kepalanya sangat sakit dan mulutnya masih sulit digerakkan.
"Wajar. Tuan masih berada dalam pengaruh obat bius dosis tinggi. Orang-orang itu sepertinya ingin membuat tuan mati over dosis namun kemudian batal dan menembak tuan seketika begitu melihat tuan bangun. Bukan begitu?". Kali ini Ayesha yang bersuara. Maxwell terperangah. Semua analisis wanita bercadar itu benar.
“Anda sangat kuat. Biasanya jika mengalami hal seperti tuan ini tida akan ada yang sanggup bertahan. Anda termasuk manusia yang memiliki nyawa rangkap yang diberikan Tuhan, tuan. Bersyukurlah.”, sambung sang dokter.
Maxwell terhenyak. Tuhan? Ahhh, sudah lama dia tidak mendengar kata Tuhan. Ia benci Tuhan. Tapi sekarang Tuhan menyelamatkannya melalui para wanita ini?. Tak bisa dipercaya, tapi ia memang mengalaminya. Ya, ya. Ia harus mengaku kalah pada Tuhan, batinnya. Ingin rasanya Maxwell mengucapkan sesuatu tapi ia merasa sangat lemah. Minimal ia ingin mengucapkan terima kasih walau ia ragu ia akan baik-baik saja bersama para wanita misterius ini.
"Tuan istirahat saja dulu. Asupan makanan dan minuman masih melalui infus dulu dan tranfusi darah, karena mulut tuan pasti masih sangat sakit. Mereka menyuntik leher tuan dengan zat tertentu. Banyak racun di tubuh tuan. Kami sedang berusaha melakukan detoksifikasi. Jika ingin sesuatu tuan boleh menuliskannya di kertas ini." Sang dokter menjelaskan panjang lebar.
"Mungkin tuan ingin mengirim kabar ke keluarga? Tinggalkan saja no hp di kertas ini. Kami akan menghubungi mereka". Ayesha bersuara.
Maxwell tertegun. Keluarga? Untuk saat ini ia tak ingin menghubungi siapapun. Sangat riskan. Tak ada yang 100 persen bisa ia percayai, mengingat kejadian penghianatan Joeris dan tangan kanan Maxwell sendiri. Sahabat? Sama saja, Maxwell merasa semua temannya bisa jadi adalah penghianat. Mereka hanya dekat padanya karena uangnya. Kekasih? No, ia benci wanita. Semua kejahatan dia sudah lakukan, kecuali minum alcohol dan bermain perempuan. Mengapa? Karena menyentuh keduanya saja ia jijik. Trauma masa lalu karena alkohol dan karakter semua sosok wanita yang dia kenal membuat pandangannya pada kedua hal itu menjadi mengerikan. Bagaimana dengan ibunya? Ia bahkan tak tahu siapa ibunya. Ia merasa lahir di dunia dari rahim ayahnya, walau ayah adopsi. Oh bukan, maksudnya, ia yang anak adopsi dari George Powell. Dan perihal ayah angkatnya tersebut, meski ayahnya itu sangat kejam dalam membesarkannya tapi darinyalah ia mendapat warisan kekayaan luar biasa, sampai tujuh keturunan pun tak akan ada habisnya. Ditambah beragam bisnis level dunia, baik legal maupun illegal yang kini di tangannya semakin berkembang mengepakkan sayap hingga ke seluruh benua. Semua tak lepas dari pengaruh warisan ayah angkatnya. George powell. Dia sekarang tentu sudah tenang di alamnya. Tenang karena sudah mewariskan segala kebiadaban yang dimilikinya padanya. Kecuali alcohol dan wanita tentunya.
“Tuan?”, Ayesha kembali menegur pria yang terbaring tanpa daya di bed kamar di rumahnya. Ia merasa prihatin melihat sosok di depannya. Ada rona menyakitkan di wajah pria itu. Maxwell melirik ke arah kertas. Ia ingin menulis sesuatu. Kedua wanita di depannya langsung paham. Dokter Anne memberikan kertas dan pulpen. Maxwell kesulitan menulis karena selang di kedua tangannya, tapi dia berhasil menulis.
Dokter Anne menerima kertas dari Maxwell dan tertegun ketika membacanya. Ia berikan pada Ayesha. Gadis bercadar itu membacanya. Thanks for saving me. Who are you? Where am I?
Ayesha mendesah pelan. Ia menghela nafas sejenak seraya berpikir, kemudian berkata :
“Baiklah, saya akan jelaskan agar Anda tidak bingung dengan situasi ini. Untuk kata-kata thanks dari Anda, jawaban saya adalah bahwa sudah menjadi kewajiban saya sebagai seorang muslim untuk menyelamatkan nyawa orang yang ditaqdirkan Tuhan saya harus saya tolong. Ketika mereka akan membunuh Anda, saya sedang berlatih memanah sambil berkuda dengan cara berburu rusa di hutan. Di samping membawa panah, saya juga membawa senjata laras panjang untuk berjaga, karena hutan bukan tempat yang cukup bersahabat untuk penghuni asing. Tentang siapa saya, tidaklah penting. Saya cuma orang biasa yang dengan kehendak Allah harus berjumpa dengan Anda dan menyaksikan pembunuhan terhadap Anda di depan mata saya, dan atas ijin Allah, Tuhan saya, saya berhasil membawa Anda kemari, di rumah keluarga saya. Di sebuah kawasan pinggiran kota, Negara Rusia”.
Maxwell sangat terkejut. Rusia? Licik sekali, pikirnya. Joeris benar-benar cerdas untuk merencanakan semuanya. Joeris tahu persis bahwa ia belum pernah ke Rusia. Dia tentu membawanya dalam keadaan tak sadarkan diri dari Australia, negaranya, dalam pengaruh obat bius dosis tinggi itu. Dan tentu saja dengan menaiki helicopter atau mungkin jet pribadinya sendiri. Samar-samar diingatnya terakhir kali sebelum si penghianat itu menjebaknya dengan sangat cerdas. Waktu itu ia diajak untuk bertemu dengan kolega pasar gelap yang menawarkan penjualan emas illegal dari Thailand, dengan iming-iming non-tax dan tentu saja akan jauh lebih murah harganya karena itu emas curian. Mereka deal untuk membicarakannya di salah satu hotel di Sidney. Tanpa curiga ia berangkat ditemani Joeris dan lima orang anak buahnya yang terkenal loyal pada Maxwell. Tapi ternyata anak buah yang ia anggap selama ini hanya setia pada perintahnnya jatuh pada segenggam emas yang pasti sudah dijanjikan Joeris, lelaki busuk itu.
“Maaf, sebenarnya saya berhak juga mengetahui siapa Anda. Tidak ada dokumen apapun yang Anda punya. Sepertinya Anda bukan dari negara kami. Tapi saya kira ini tidak penting untuk saat ini, karena kondisi Anda saat ini tidak memungkinkan untuk berbicara dan bergerak lebih banyak. Simpanlah rasa penasaran Anda karena saya juga demikian. Saat ini yang penting Anda aman dan InsyaaAllah sebulan ke depan Anda akan segera pulih”. Kata Ayesha sambil menatap Maxwell sekilas.
Selama berbicara ia lebih banyak menatap ke arah lain. Gadis itu nampak sekali menjaga pandangannya, meski sebenarnya wajahnya sudah cukup terlindung dari balik cadarnya. Entahlah, perasaannya mulai tak menentu sekarang kalau melihat lelaki yang kini terbaring lemah di depannya ini. Lelaki yang sama sekali tak dikenalnya walau seujung kuku. Ia merasa kikuk seperti ini sejak ia nekat mengangkat tubuh Maxwell naik bersamanya ke punggung kudanya dan berlari berdua sejauh 10 km waktu itu hingga sampai di kediaman sahabatnya Yovanna. Saat itu ia meminta bantuan kakek Yovanna yang seorang tabib untuk memberikan pertolongan pertama, sebelum kemudian membawa pria tersebut terbang berdua bersama dengan helikopternya pulang ke rumahnya yang ber-radius 300 km dari tempat tinggal Yovanna. Seumur hidup baru kali itu Ayesha berada berdekatan dengan seorang makhluk bernama pria yang bukan mahramnya kecuali ayah, kakek, paman dan kakak lelakinya, Ahmed.
“Baiklah Ayesha, aku sepertinya harus pergi sekarang. Ada tugas di rumah sakit 2 jam lagi. Aku tidak boleh terlambat karena pasien lain membutuhkanku juga”, kata-kata dr Anne membuyarkan lamunan Ayesha. Ayesha tersenyum dari balik cadarnya.
“Terimakasih banyak dokter Anne, engkau sudah bersusah payah datang kemari hanya untuk membantuku, padahal engkau sangatlah sibuk. Dokter spesialis yang sangat terkenal sepertimu tentulah punya banyak agenda yang tidak bisa ditinggalkan”.
Ayesha menjabat tangan dokter muda di depannya dan memeluknya hangat. Sementara, di sana sepasang mata biru yang masih bingung terus memperhatikan tingkah laku dua wanita asing di depannya.
“Aku sama sekali tidak pernah merasa repot karenamu sayang… Kau dan keluargamu sudah seperti saudara kandung bagiku dan adikku juga… Oh ya, ku kira tuan ini akan baik-baik saja, tinggal masa detoksifikasi dan pemulihan saja. Ayesha, jangan lupa ikuti semua petunjuk yang sudah kuberikan. Kalau ada apa-apa nanti hubungi aja aku ya… HP ku akan selalu siap menerima panggilanmu kapanpun… aku pergi dulu ya…”, dr Anne membalas pelukan Ayesha dan kemudian pamit kepada Maxwell yang hanya melihat dua makhluk di depannya ini dengan tatapan bingung.
“Tuan, jangan khawatir, Ayesha dan keluarganya sangatlah baik. Mereka pasti akan merawatmu hingga sembuh. Siapkan pikiran positif selalu dalam pikiran Anda jika Anda ingin segera sembuh dan kembali bersama orang-orang yang Anda kasihi di dunia ini. Sampai bertemu bulan depan. Aku pastikan akan bertemu lagi dengan tuan dalam kondisi tuan yang sudah baik seperti sedia kala. Ohya, ini ada tombol di dekat tangan kanan tuan, tekanlah jika Anda menginginkan sesuatu. Perawat pria sudah ditugaskan Ayesha-ku untuk mengurus keperluan Anda. ”, kata dr Anne seraya menunjuk kearah sebuah tombol kecil di sisi tempat tidur Maxwell, tepat di dekat tangan kanan Maxwell yang menjulur lurus di sisi kanan tempat tidurnya.
“Insyaa Allah. Atas ijin Allah. Dia akan sembuh”, Ayesha menyambung kata-kata dr Anne sebelum kemudian mengantarkan dokter cantik itu keluar. Sebelum pergi ia sempat minta ijin kepada Maxwell untuk meninggalkannya. Maxwell hanya menatap dan mengedipkan matanya sebagai tanda balasan.
Tiba di teras, datanglah seorang lelaki paruh baya menghampiri Ayesha dan Dr Anne.
“Ada apa Ayesha. Untuk apa memanggil Uncle?” Tanya lelaki tersebut.
“Iya Uncle John, ku harap Paman mau mengantarkan sahabatku yang cantik dan baik ini kembali ke rumah sakit. Dokter Anne akan masuk bertugas dua jam lagi katanya”, kata Ayesha lembut.
“Tentu saja keponakanku yang sholihah. Paman akan membawanya ke sana dengan gembira. Berputar di udara di pagi hari yang sejuk ini sangatlah menyenangkan. Mari nona dokter…hehe”, Uncle mempersilakan dr Anne berjalan di depannya. Lelaki ramah itu memang selalu memanggil dr Anne dengan panggilan “nona dokter”.
Setelah berbasa-basi sejenak, dr Anne pun pamit dan diantar Uncle John menuju hanggar yang ada di belakang rumah Ayesha yang berhalaman luas itu. Dua buah helicopter bermuatan 7 seat nampak terparkir di sana dengan gagah. Sepuluh menit kemudian desingan baling-baling sudah terdengar di langit atas rumah Ayesha, bergerak cepat menuju timur.
Sementara itu di kamar Maxwell, lelaki itu sedang termangu dan sesekali pandangannya menyapu sekeliling kamar yang ditempatinya. Ruangan hijau muda berukuran 6 x 4 m itu cukup luas dan nyaman. Ada kamar mandi di sisi kiri bed Maxwell dan lemari pakaian berukuran sedang di samping dinding kamar mandi tersebut, sementara di sisi kanan bed ada sofa kecil panjang berkepala berwarna hijau. Begitu orang masuk ke kamar ini maka ia akan menjumpai sofa ini membelakanginya dan sepertinya disediakan memang khusus untuk menjenguk orang yang berbaring di ranjang di depannya. Jarak sofa ini ke pintu sejauh 2 m sehingga menyisakan space kosong yang di lantainya khusus dihamparkan karpet hijau tua yang lembut dan tebal seluas 2x3 m. Di sudut kiri di depan karpet tersebut terdapat meja kecil yang di atasnya terletak sehelai kain dan sebuah kitab tebal. Maxwell tidak tahu benda-benda apa saja ini namun yang jelas kelak hidupnya akan berganti haluan sama sekali dikarenakan benda tersebut.
Suara pintu terbuka perlahan membuyarkan lamunan Maxwell. Sesosok pria berpakaian serba putih masuk dan tersenyum kearah Maxwell.
“Pagi tuan. Non Ayesha meminta saya untuk merawat tuan selama tuan masih belum pulih. Adakah yang bisa saya lakukan? Ohya, panggil saja saya Ali. Saya tetangga Nona Ayesha sekaligus perawat yang biasa bekerja di rumah sakit keluarga Non Ayesha. Apapun yang tuan butuhkan, termasuk keperluan ke kamar mandi silakan sampaikan saja tuan, jangan malu kepada saya. Kita semua adalah keluarga di sini”, lelaki yang bernama Ali ini bertutur dengan ramah dan terlihat dari wajahnya sangat bersahabat dan tidak ada kesan dibuat-buat.
Maxwell terpaku. Ia merasakan ketulusan di wajah lelaki muda di depannya ini. Ia mencoba tersenyum walau mulutnya masih terasa sakit. Ia mencoba menggeleng pelan walau kepalanya masih sangat berat dan pusing. Ia merasa saat ini belum memerlukan bantuan apa-apa.
“Ohya saya tahu tuan masih sulit bersuara. Mungkin tuan sudah diberitahu, bahwa tuan bisa memanggil saya kapanpun dengan menekan sedikit tombol ini”, Ali menambahkan sambil menyentuh tombol di sisi bed.
“Baiklah tuan, saya permisi dulu. Ingat jangan lupa memanggil saya jika tuan butuh sesuatu. Saya akan segera berada di sini karena ruangan saya ada di sebelah kamar ini”, Ali tersenyum tulus dan kemudian pergi dan menutup kembali kamar dimana Maxwell dirawat.
Maxwell pun berusaha memejamkan matanya. Ia ingin tidur dan berharap akan bangun dengan kondisi yang lebih baik. Di kepalanya masih penuh dengan memori kehidupannya selama ini, sebelum terdampar di negeri asing ini. Kelebatan wajah orang-orang di sekeliling hidupnya selama ini seperti menari-nari di atas kepalanya. Mereka semua nampak menertawakannya dan mengejek serta menunjukkan wajah mengasihani hidupnya yang pedih karena sudah terdepak dari singgahsana emasnya selama ini. Ia seperti pesakitan yang tak ada harganya sama sekali. Semua orang seolah-olah memandangnya hina karena kelemahannya saat ini.
Lihatlah, mengangkat kepala dan menulis saja ia sangat kesulitan dan nyaris tidak mampu, bagaimana jika ia akan melakukan hal yang lebih dari itu? Ingin rasanya ia mengambil senjata laras panjangnya atau samurainya untuk ditembakkan dan ditebaskan ke leher orang-orang yang sudah membuatnya seperti ini. Hati Maxwell kembali mengeras. Gemuruh di dadanya rasanya mau meledak memuntahkan kemarahan yang tiada tara. Tunggu pembalasanku. Geramnya dalam hati.
Mendadak ia merasakan perutnya mulas. Ia sepertinya ingin buang air besar. Oh No. pikirannya kalut. Tak terbayang rasanya kalau harus disentuh orang lain. Dia tidak mungkin bisa sendirian membersihkan dirinya. Tapi bagaimana lagi. Seumur hidupnya ketika sudah tidak menjadi balita lagi, dia selalu mandiri dan tidak pernah dibantu orang lain dalam urusan pribadi seperti ini. Lalu sekarang? Ketika sudah berusia 30 tahun ini? Setua ini akan …
Ah, dia selama ini tak pernah sakit parah. Tak pernah terbaring di rumah sakit. Ngomong-ngomong tentang rumah sakit, Ayesha, ya, nama bidadari bercadar itu adalah Ayesha, dia tahu karena orang-orang asing ini memanggilnya begitu, mengapa dia tidak membawanya saja untuk diobati di rumah sakit? Apa yang wanita itu inginkan? Atau jangan-jangan di sini sebenarnya dia hanya sedang menunggu kematian tepat pada waktunya? Ketika mereka ini nantinya akan membunuhnya dengan perlahan-lahan? Seperti sebuah rancangan kematian dengan penuh perhitungan terhadap suatu tempat dan akhirnya menunggu masanya tiba maka “booommmm”, meledaklah menara kembar WTC Washington saat itu, dan pelakunya adalah orang muslim. Ya, muslim di mana-mana menjadi *******. Bukan hanya lelaki berjanggut panjang dan bercelana cingkrang tapi juga wanita bercadar walau dibaliknya ada wajah bidadari seperti Ayesha.
Maxwell merasa marah sekali. Pikirannya melayang tak tentu arah. Perutnya semakin tak kenal kompromi. Oh tidak, ia akan buang air di bed ini dan tentu saja itu sangat memalukan. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Segera ditekannya tombol di sisi kanan bed nya. Tak lama kemudian. Suara kaki berlari mendekat ke kamarnya dan muncullah Ali di pintu yang dibukanya dengan cepat.
“Ada apa tuan?”, Tanya Ali gusar. Wajahnya jelas terlihat khawatir. Maxwell menarik nafas. Ia hanya menunjuk perutnya dan memalingkan wajah malu.
“Oh tuan hendak buang air besar?”
Maxwell mengangguk pelan.
“Oh syukurlah tuan. Kata dokter Anne itu pertanda bagus. Itu artinya tuan akan segera sembuh. ”, Ali tersenyum dan tanpa canggung ia pun mendekati Maxwell dan perlahan mulai melakukan aktifitas membantu lelaki yang kini tak berdaya itu untuk mengeluarkan hajatnya di atas pisvot dan kemudian memakai sarung tangan untuk membantu Maxwell istinjak (membersihkan kotoran buang air besar dengan air). Ia bahkan tidak terlihat risih dan jijik ketika melakukan semua itu. Ia lebih banyak tersenyum dan berkali-kali minta maaf ketika harus menyentuh Maxwell di area pribadinya. Ia terus berkata-kata yang menenangkan Maxwell. Ia mengatakan agar Maxwell tidak usah malu karena semua manusia tidak selamanya sehat dan pasti ada masa ketika ia membutuhkan pertolongan orang lain, dan itu sangat manusiawi. Ali juga mengatakan bahwa ia sendiri juga pernah mengalami hal yang sama, bahkan orang yang membantunya seperti ini waktu itu juga adalah orang yang tidak dikenalnya sama sekali, tapi mereka sangat baik dan menolongnya tanpa pamrih apapun. Padahal, ia yakin jika pun dia punya saudara kandung sekalipun barangkali tidak ada yang mau berbuat begitu. Jadi sebenarnya apa yang dilakukannya terhadap Maxwell saat ini adalah wujud pembalasan budi baik orang lain terhadapnya, dan itu memang atas perintah Tuhannya juga. Orang yang suka berbuat kebaikan kepada orang lain sesungguhnya ia sedang berbuat kebaikan untuk dirinya sendiri, begitulah kata Tuhannya dalam kitab sucinya, kata Ali tanpa bosan berbicara sambil menyelesaikan pekerjaannya.
Maxwell terperangah. Ia sama sekali tak percaya bahwa ada orang yang masih belia seperti Ali ini bisa berkata-kata yang menyejukkan hati. Semua yang diucapkannya tak ada yang bisa ditampiknya. Semakin lama Maxwell pun semakin galau dengan kecurigaannya yang muncul sebelum ini. Jika mereka memang ******* yang ingin membunuhnya, tidakkah cukup membiarkan saja dia hingga mati sendiri? Bahkan ketika di hutan itu, tak perlu Ayesha bersusah payah untuk menolongnya dengan mempertaruhkan nyawanya hanya untuk menolong orang yang tak dikenalnya ini? Dan sekarang untuk apa merawatnya seperti pasien VVIP khusus di rumah dan memanggilkan dokter spesialis ke sini untuk mengobati dan memeriksa keadaannya?
“Sudah selesai tuan. Ohya bolehkah saya membersihkan tubuh tuan? Mohon maaf saya selama ini juga tanpa ijin tuan membersihkan tubuh tuan dan mengganti baju tuan setiap hari karena non Ayesha katakan itu akan membantu memulihkan tuan dari koma. ”.
Oh ya, Maxwell baru sadar bahwa ia sudah berganti pakaian saat ini. Oh, ia bahkan tak ingat kalau pakaian di tubuhnya sangat asing. Ia tersenyum dan mengangguk. Mungkin dengan dibersihkan ia akan merasa lebih segar.
Setelah mendapat persetujuan dari Maxwell, Ali pun dengan cekatan melakukan pekerjaannya. Ia segera mengambil handuk kecil dari dalam lemari di ruang itu dan juga handuk besar serta sebuah pakaian panjang lengan pendek berkancing depan. Sepertinya pakaian ini memang sengaja disiapkan untuk pasien yang diinfus agar mudah mengenakannya.
Lima belas menit kemudian pekerjaan Ali selesai. Maxwell merasa jauh lebih baik sekarang. Entahlah, dia seperti mendapatkan kekuatan kembali dengan perasaan yang lebih baik. Kemudian ia teringat sesuatu.
“Ada apa tuan?”,Tanya Ali ketika melihat Maxwell seperti hendak mengatakan sesuatu. Maxwell menunjuk ke arah mulutnya.
“Ohya, sebentar. Tuan ingin membersihkan gigi?”
Maxwell mengangguk. Ia senang Ali paham kodenya.
Ali kemudian bergegas kembali mengambil sesuatu di lemari. Di tangannya ada seruas kayu kecil yang ujungnya berserabut karena sudah dihaluskan seperti sikat gigi. Ia memberikannya pada Maxwell. Namun kemudian urung.
“Ini namanya kayu siwak tuan, kami biasa menggunakannya untuk sikat gigi. Kata dokter Anne tuan disarankan untuk memakai ini untuk membantu pemulihan mulut tuan. Mari saya bantu, karena tuan belum sanggup menggosok sendiri gigi tuan.”
Maxwell hanya bisa menatap heran benda di tangan Ali. Tapi dia hanya pasrah. Jika kayu ini berracun toh tidak masalah. Sudah banyak racun di tubuhnya selama ini dan buktinya dia belum mati.
Maxwell kemudian membuka mulutnya sedikit. Barisan giginya yang rapi dan putih pun terlihat. Ali memujinya. Ia lalu memasukkan siwak pelan-pelan ke barisan gigi itu dan mulai menggosok gigi Maxwell dengan sangat pelan dan teratur. Maxwell merasakan kenyamanan yang tidak pernah dirasakannya pada mulutnya sekarang. Ada bau wangi keluar dari kayu yang sedang digosokkan Ali. Ada sesuatu yang entahlah dia tidak tau bagaimana menggambarkannya yang terjadi padanya ketika mulutnya terasa nyaman setelah dibersihkan dengan kayu siwak tersebut.
“Ini adalah kayu yang biasa dipakai Nabi kami untuk membersihkan giginya. Memakainya seolah-olah kami berjumpa dengannya, orang terkasih di seluruh dunia”, Ali kembali berpetuah. Dia seakan-akan tidak capek dan bosan untuk terus berbicara sambil bekerja. Keramahannya di tiap aktivitas yang dilakukannya tanpa ia sadari membuat suatu perasaan dan pikiran lain di hati orang asing yang terus memikirkan setiap ucapannya secara diam-diam.
Ayesha terbangun ketika suara kokok ayam piaraan Bibi Leida, khadimat (asisten rumah tangga) mereka mulai beraksi. Tasbih mereka di setiap dini hari sebelum subuh tak pernah terlambat, dan inilah hal yang sangat membantu seisi rumah terjaga dari mimpi indah mereka sepanjang malam. Bergegas turun dari tempat tidur, gadis jelita berkulit putih dan tinggi semampai itu mengikat rambut lebat keemasannya dan kemudian menuju ke kamar mandi untuk bersiap-siap qiyamul lail seperti biasa. Sekitar 10 menit kemudian ia sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah basah dan berseri. Diambilnya mukena yang terletak di ujung kamarnya dan tak lama kemudian ia pun mulai hanyut dalam ibadah di sepertiga malam terakhir yang sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari sebelum tiba waktu subuh.
Ayesha baru saja menyudahi aktivitas sholat tahajjud dan tilawah qurannya yang merdu ketika ia mendengar suara bel yang tersambung dari dalam kamar Maxwell. Sejurus kemudian ia menatap layar komputer di meja samping tempat tidurnya yang ternyata menampilkan semua aktivitas di kamar Maxwell. Ada CCTV yang memang khusus dipasang di ruang tersebut, yang letaknya tak akan disadari oleh siapapun yang berada di dalamnya. Ayesha dan kakeknya sengaja memasang alat tersebut di figura lukisan tulisan Allah berbahasa Arab yang berada di dinding kamar yang saat ini digunakan Maxwell selama masa pengobatannya dan letak CCTV tersebut tepat menghadap ke wajah pasien yang terbaring. Ayesha mengamati layar komputer.
Apakah Ali akan segera datang? Ia masih menunggu. Di layar nampak pria yang masih lemah terbaring itu gusar dan mulai menekan kembali tombol di sisi bed nya. Ayesha kembali memperhatikannya. Apakah ia hendak buang hajat lagi? Pikirnya. Dan ia melihat lelaki asing itu mulai memegangi perutnya. Ayesha pun langsung berpaling dan me-minimize komputernya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya salah tingkah. CCTV itu dipasang untuk mengamati kondisi setiap pasien emergency yang dirawat di kamar itu agar update kondisi di dalamnya bisa diketahui tanpa terlewatkan sedikitpun. Namun jika ada hal pribadi di dalamnya Ayesha pun langsung menahan pandangannya. Selama ini kamar rawat itu hanya pernah dipakai dua kali yaitu ketika seorang wanita paruh baya yang sedang sekarat dan kemudian koma yang kakak dan kakeknya temukan di lorong jembatan salah satu kota kecil di negeri itu beberapa tahun yang lalu dan kini Maxwell, seorang pemuda antah berantah yang kondisinya juga tak jauh berbeda yang lebih dramatis lagi Ayesha sendiri yang menemukan dan membawanya seorang diri dari tempat yang sangat jauh, tempat yang sebenarnya ia ingin relaksasi dari beragam kegiatan rutinitas dunia yang sangat melelahkan dengan melatih kembali kemampuan berkuda dan memanahnya.
Ayesha tahu apa yang harus dilakukannya. Ia bergegas keluar masih dengan balutan mukenanya dan ditambah dengan cadar yang seperti biasa dipakainya menuju kamar Ali yang letaknya tepat di samping kamar Maxwell. Setelah melewati dapur dan ruang tengah ia pun berhenti di depan sebuah kamar dan langsung mengetuknya. Karena tak ada respon Ayesha mengetuk lebih keras. Tak lama pintu pun terbuka. Ali nampak gelagapan seperti baru terbangun sambil mengucek matanya. Ia tertegun melihat siapa yg datang.
“Non Ayesha? Ada apa?”
“Pasien kita memanggilmu brother. Cepatlah. Ia sudah sangat gelisah.”
“Oh ya non. Maaf saya gak dengar tadi”
“Ohya brother Ali sebaiknya brother seterusnya menemani pria itu sepanjang tidur di kamarnya karena mungkin beberapa hari ini proses detoksifikasi melalui cairan buang air besar akan sangat melelahkan. Dan tahu sendiri kan gimana psikologi orang yang kemudian nantinya akan merasa sangat lemah dan melelahkn orang lain”.
Ali mengangguk. Ia paham apa yang dimaksud oleh tuannya. Setelah minta maaf kembali dan menutup pintunya sendiri, ia pun beralih ke pintu kamar di sampingnya lalu masuk karena memang tidak dikunci. Sekilas Ayesha mendengar suara Ali yang meminta maaf pada Maxwell dan gadis itu pun tak mendengar apapun lagi karena ia segera berlalu kembali ke kamarnya.
Sementara itu, di kamar Maxwel, Ali seperti sebelumnya mengurusi hajat Maxwell dengan telaten dan wajah ceria, serta tak lupa dengan celotehannya yang khas, sehingga membuat siapapun yang mendengarnya akan terhibur dan mengurangi beban di hatinya. Setelah selesai, Ali pun membereskan semua peralatannya dan bermaksud membersihkan tubuh Maxwell seperti biasa agar lelaki itu merasa lebih fresh.
“Bolehkah aku bersihkan tubuh tuan sekarang? Agar tuan lebih fresh lagi”.
“Tentu…saja…. Thanks…brother”,
Ali tersenyum mendengarnya dan mulai melakukan pekerjaannya sambil bersenandung riang.
Maxwell merasa kaku menyampaikan kata-katanya. Ia bersusah payah mengucapkannya karena tenggorokannya masih sakit. Seumur hidupnya, kata “terimakasih” sangat jarang diucapkannya. Namun di bumi asing ini ia mulai terbiasa karena ia memang seharusnya melakukannya. Semua kebaikan Ali dan Ayesha yang nampak tulus menolongnya perlahan meruntuhkan tembok kesombongannya selama ini yang merasa tak akan pernah membutuhkan pertolongan orang lain.
Setelah Ali selesai, Maxwell memberi tanda dengan menunjuk tape mini di dekatnya. Ali tersenyum kembali.
“Tuan ingin aku menghidupkan ini?”
Maxwell mengangguk. Matanya berbinar senang. Ali memahaminya dengan baik.
Ali pun menghidupakan tape mini yang ditunjuk Maxwell dan tertegun ketika mendengar suara lantunan qori’ membaca QS Arrahman di dalamnya. Tuan James suka mendengarkan Murottal Quran? Batinnya takjub. Sepertinya Allah akan segera memberikan hidayahNya pada pria tampan ini. Semoga dia mampu memeluk hidayah itu dengan erat dan tidak pernah melepaskannya. Ali mulai berkaca-kaca. Ia teringat masa lalunya. Dengan rasa penasaran ia pun bertanya,
“Tuan James….apakah Anda menyukai Murottal Quran ini?”
Maxwell mengangguk. Oh jadi ini namanya suara Murottal Quran? Batinnya. Ia bingung tidak paham.
Dengan susah payah ia pun bertanya pada Ali.
“Apakah…. Murottal….. Quran…. Itu… Brother… Ali? Aku… tidak… tau…. Yang…jelas…hatiku…merasa…tenang….sejuk…mendengarnya…”
“Tuan…. Murottal Quran yang kita dengarkan ini adalah perkataan-perkataan Allah yang dibukukan dalam sebuah mushab bernama Al Quran, kitab suci orang Muslim. Perkataan Allah ini diturunkan pada Nabi terkasih kami Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril. Kemudian sepeninggal nabi kami para sahabatnya berinisiatif membukukan perkataan Allah Tuhan kami ini dalam bentuk kitab, dan sekarang yang kita dengar ini adalah bacaan Quran itu sendiri. Ya perkataan Allah itu disebut Quran. Ia bukan sekedar firman Tuhan tapi juga sebagai pedoman hidup dan bahkan solusi dari semua persoalan hidup di dunia ini”, jelas Ali panjang lebar sambil tersenyum.
Maxwell hanya terpaku mendengarkan. Kemudian Ali menuju ruangan di sudut dekat pintu, dimana ada sebuah buku tebal terletak di atas meja kecil di atas karpet tebal. Ia mengambilnya dan bergerak kembali menuju ke arah Maxwell.
Maxwell melihat dengan seksama benda di depannya dan dengan penasaran bertanya. Ali lalu meletakkan mushab Quran tersebut di dekat tape mini di samping Maxwell.
“Brother Ali…apakah….ini kitab Quran yang engkau katakan tadi…? Kitab suci…kalian…umat…Islam?”
“Ya tuan James… tuan benar. Kalau boleh tau apakah agama Tuan? Maaf jika saya lancang”
“Aku…tidak…punya…agama…”
Ali menarik nafas sejenak. Ia sudah menduga. Masih banyak orang atheis di luar sana.
“Tuan… alangkah ruginya kalau kita tidak mengenal pencipta kita. Padahal kita hidup Karena Dia yang menciptakan kita. Dan kelak kita mati juga karena Dia yang mencabut nyawa kita. Dan kita ini akan kembali pada Pencipta kita.”
Ali berhenti sesaat. Ia melirik Maxwell yang nampak tertegun dan mendengarkan dengan seksama semua yang disampaikan Ali.
“Tuhan yang menciptakan kita ini punya tujuan, dan kebanyakan manusia tidak ingat dan tidak sadar apa tujuan hidupnya di dunia ini, yaitu semata-mata beribadah kepadaNya, melaksanakan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya. Dan ketika kita manusia mampu melakukannya dengan baik, maka kelak Tuhan pencipta kita akan memberikan balasan yang setimpal pada kita, yaitu memberikan syurga yang luar biasa besar kenikmatan di dalamnya, yang nikmatnya tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pula pernah terbersit sedikitpun dalam pikiran karena memang pengetahuan manusia amatlah terbatas.”
Maxwell terkesima. Dia tidak menyangka ada konsep pemikiran seperti itu dalam kepala pria muda di hadapannya. Ia seperti dihadapkan pada petuah orang-orang tua pemuka agama yang pernah ia tonton di televis yang itu pun secara tidak sengaja pernah ia buka channelnya karena gak sengaja.
“Sebaliknya, jika kita manusia tidak mampu dan tidak mau melakukan ibadah kepada Rabb pencipta kita, bahkan dengan pongah melanggar segala larangannya seperti berbuat jahat pada orang lain maupun lingkungannya maka Allah, pencipta kita juga sudah menyiapkan pembalasan yang setimpal, yaitu neraka, yang kekejaman di dalamnya juga tidak pernah terlintas sedikitpun dalam bayangan pemikiran kita.”
“Lalu…bagaimana..jika..seseorang…yang…sudah berbuat kesalahan dan ingin…menebusnya…apakah ia juga…akan dibalas oleh Tuhan….kalian”
“Tuhan kita Tuan…hakekatnya pencipta kita semua adalah sama. Satu zat yang sama. Hanya saja pengetahuan manusia yang berbeda membuat mereka memberi nama pencipta berbeda-beda dan membuat cara beribadah menyembahnya juga berbeda-beda. Tuan paham maksud saya”
Maxwell mengangguk. Ia tahu banyak nama agama dan keyakinan pada Tuhan di dunia ini. Dan tentu saja agama-agama yang berbeda itu membuat manusia yang memeluknya juga mempunyai cara yang berbeda dalam beribadah.
“Dalam agama kami, seseorang yang sudah bertaubat, tidak mau lagi melakukan kesalahan yang sama maka ia akan diampuni oleh Rabb, Allah swt. Allah akan merahmatinya dan memberinya hidayah untuk bersegera menuju syurgaNya. Dan berbahagialah kita semua jika termasuk ke dalam golongan hamba Allah yang suka bertaubat dan menebus setiap kesalahan yang kita lakukan”
Maxwell terpana. Agama ini sungguh ringan. Ia mulai tertarik. Sambil menutup mata karena mulai merasa mengantuk, Maxwell terus meresapi suara dari tape mini disampingnya. Sebelumnya ia tersenyum pada Ali sebagai isyarat terimakasih dan mempersilakan Ali untuk pergi. Sebenarnya Ali berniat untuk tinggal dan menemani Maxwell sepanjang hari tapi pria itu menolaknya dan mengatakan untuk tidak mengkhawatirkannya. Ia yakin akan baik-baik saja dan ingin tidur kembali karena semalam memang sulit tidur. Ali pun berpesan untuk tidak lupa memanggilnya jika ada perlu.
Tak berapa lama setelah Ali pergi , ia tertidur ditemani murottal quran yang terus mengalun merdu di dekatnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!