"Reyna ... Lareyna ..!"
Suara itu samar-samar meresap di indera pendengaran wanita yang berangsur-angsur mendapati kesadarannya.
Bulu mata lentik dan bola mata hazel itu pun terbuka. Kepalanya masih terasa pusing, gerakannya juga terbatas karena tubuhnya terikat oleh tambang yang cukup besar.
"Uh ...", dia melenguh, ingin membebaskan diri tetapi tida bisa.
Apa yang bisa dia lakukan dengan tubuh mungilnya itu? Ingin berteriak pun percuma sebab dia sudah cukup lama berada di sini tetapi tidak ada satu orang pun yang menghampirinya.
"Entah mengapa aku berharap dia datang menolongku," ucap Lareyna.
Wanita dengan alis bak pohon willow itu berpikir keras, dia ingat sebelumnya bagaimana dia bisa sampai berada di sini. Bibir mungilnya yang tipis dan berwarna ceri alami itu menggerutu, mengumpat sosok yang menurutnya menjadi dalang dari penculikan ini.
"Siapa lagi, sudah pasti itu dia. Bukankah dia memang tidak menginginkanku? Tch, dia sengaja membuatku diculik oleh para preman itu lalu dia bisa bersenang-senang dengan kekasih gelapnya. Dasar suami nggak berguna, sudah diangkat derajatnya tapi malah selingkuh sama sekretaris murahan itu. Aku nggak cinta sama dia dan untung aja aku bisa bertemu dengan Morgan. Dia cinta pertamaku yang paling tulus padaku!"
Bibir mungil Lareyna tersenyum manis membayangkan wajah tampan Morgan. Mereka sudah memiliki hubungan jauh sebelum Lareyna menikah dengan Ayden, tetapi karena perjodohan sialan itu dia harus menjalani pernikahan beracun selama tiga tahun lamanya.
Mereka tidak saling mencintai, Ayden adalah asisten kepercayaan ayahnya. Entah sihir apa yang lelaki itu tiupkan pada Jonathan Thompson sehingga dia berhasil membuat Jonathan setuju untuk menjodohkan putri satu-satunya dengan asisten pribadinya.
Hingga satu Minggu yang lalu Jonathan Thompson sekarat di rumah sakit dan memberikan warisannya untuk Lareyna juga Ayden secara adil. Lareyna langsung menaruh curiga jika Ayden lah yang membunuh ayahnya demi harta. Morgan juga memiliki bukti untuk tuduhan tersebut hingga Lareyna dengan sengaja memberikan asetnya pada Morgan agar dia bisa melawan kekejaman Ayden.
Lareyna percaya, Morgan bisa membalas Ayden dan membantunya mendapatkan kembali seluruh harta yang seharusnya hanya jadi miliknya saja.
"Reyna ... Lareyna ...!"
Kembali terdengar suara seseorang memanggil namanya. Lareyna memasang telinganya baik-baik dan mencoba mengenali siapa yang datang mencarinya itu.
"Jangan-jangan itu Morgan. Ya, dia pasti datang menyelamatkanku. Dia berjalan akan membawaku pergi bersamanya. Aku juga sudah menandatangi surat pengalihan aset atas nama Morgan. Dia pasti datang untuk menyelamatkanku. Oh Morgan, kamu begitu baik, nggak kayak Ayden yang berengsek itu!"
Kembali terdengar suara seseorang memanggil. Saat suara itu semakin jelas, senyuman di bibir Lareyna memudar karena dia begitu mengenali suara itu. Dia adalah Ayden Graham, suami tidak berguna itu, yang selalu Lareyna anggap sebagai parasit.
Belum sempat Lareyna mengumpat, pintu ruangan itu ditendang dan daun pintu lepas begitu saja. Dia bisa melihat Ayden terengah-engah di ambang pintu. Bajunya basah entah dia tersiram atau dia berkeringat.
Langkah Ayden begitu lebar, dia berlari ke arah Lareyna lalu dengan cepat dia melepaskan ikatan itu. Perasaan Lareyna yang tadinya terkekang akhrinya lega juga. Tetapi tanpa diperhitungkan dia langsung melayangkan satu tamparan pada pipi putih mulus Ayden.
"Kamu nggak perlu sok jadi pahlawan. Aku tahu kamu yang sudah menculikku. Kamu mau apa? Kamu sudah membunuh tuanmu lalu kamu juga mau membunuhku?" Lareyna membentak, namun Ayden tidak bicara apapun untuk membela diri.
Lareyna hendak berkata lagi tetapi mulutnya langsung dibekap oleh Ayden. Dia memberontak tetapi tubuh Ayden yang lebih besar itu mampu menariknya untuk bersembunyi di dekat pintu yang telah rusak. Kebetulan di sana ada sebuah lemari usang.
"Jangan bicara Reyna, kita nggak tahu siapa yang ada di luar sana. Kamu nggak tahu seberapa banyak penjaga di gedung ini. Aku nggak mampu melawan mereka semua saat ini, kamu harus aman dulu," bisik Ayden.
Lareyna menoleh, dia mendongak menatap wajah tampan penuh dusta dan manipulatif ini. Di saat-saat seperti ini dia baru menyadari jika Ayden ini sangat tampan, hanya saja selama ini dia enggan menatap wajahnya terlalu lama. Lareyna membenci Ayden.
Brakk ...
Suara pintu ditendang, sepertinya berasal dari ruangan sebelah. Lareyna semakin gugup, tanpa sadar dia mengeratkan pelukannya pada Ayden.
"Aku akan menjagamu, Reyna. Aku nggak akan membiarkan kamu terluka," bisik Ayden sambil mengusap punggung istrinya itu.
Ayden menghirup napas sedalam-dalamnya, dia tidak bisa terlalu lama berada di sini karena musuh akan semakin banyak berdatangan. Dia harus keluar dan melawan lalu mencari jalan keluar. Tenaganya sudah hampir habis, sebelum dia menemukan keberadaan Lareyna, dia melawan banyak penjaga.
"Lareyna, apa kamu percaya padaku?"
Lareyna mendongak, dia ingin menggeleng tetapi kepalanya justru mengangguk pelan.
"Tetaplah di sini, aku akan menghadapi mereka. Aku nggak mau kita tertahan di sini, mereka akan terus datang dan kita nggak akan sanggup untuk melawan mereka. Diam di sini, aku akan keluar."
"Tapi Ayden ...."
Ayden mencium dahi Lareyna dan gadis itu terbelalak. Ini adalah pertama kalinya Ayden mengecupnya.
"Apapun yang akan terjadi padaku di luar sana, aku harap kamu tetap hidup Lareyna. Bertahanlah, lari sejauh mungkin dan selamatkan dirimu," bisik Ayden.
"Bagaimana caranya aku per—"
Ayden membungkam mulut Lareyna dengan ciuman yang cukup menuntut. Lareyna tidak bisa membalasnya karena dia masih terkejut.
Ayden melepaskan ciuman itu lalu dia memeluk tubuh mungil istirnya dengan erat. "Reyna, aku akan melindungimu. Aku nggak akan mati sebelum kamu selamat. Aku nggak akan membiarkan kamu tergores sedikitpun. Aku sungguh mencintaimu, Lareyna. Sejak kecil, sejak kamu bermain piano itu, aku sudah jatuh cinta padamu. Berjanjilah untuk selamat. Aku nggak akan tenang jika kamu sampai terluka!"
Lareyna tercengang, dia menatap Ayden dengan lekat seakan tak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Ayden. Suaminya yang selingkuh dengan sekretarisnya ini menyatakan cinta padanya? Apakah ini hanyalah bualan Ayden semata?
Belum sempat Reyna bertanya, beberapa pria memasuki ruangan itu dan menemukan mereka. Lareyna memekik, Ayden pun langsung menyembunyikan istri arogannya itu di balik punggungnya.
"Ah, pasangan yang sangat serasi. Yang satu bodoh dan yang satu sangat bodoh."
Lareyna tidak terima dikatakan bodoh, dia ingin mengumpat tetapi Ayden menggeleng.
"Sudah, habisi saja mereka!"
Ayden maju, melawan empat pria yang terus berusaha mendapatkan Lareyna. Ayden berjaga, menangkis lalu membalikkan serangan. Tak sekalipun dia membiarkan empat orang itu menyentuh seincih pun kulit mulus istrinya.
Satu kali pukulan dan tendangan yang memutar berhasil membuat Ayden menumbangkan empat pria itu. Dia menarik tangan Lareyna untuk segera berlari.
"Apa kamu lelah?"
Ayden menghentikan langkahnya, dia meminta Lareyna untuk beristirahat. Bisa dilihat jika istri mungilnya itu sudah kelelahan. Mereka berlari dari lantai lima dan kini posisi mereka sudah berada di lantai dua bangunan ini.
Beberapa kali mereka harus bersembunyi karena masih ada penjaga yang berlalu-lalang. Ayden tidak tahu apakah anak buahnya sudah berhasil melumpuhkan ratusan pria bertubuh kekar yang berjaga di lantai satu atau belum.
Anak buah Ayden memang sengaja berjaga di lantai satu dan memancing keributan agar para penjaga hanya akan fokus di lantai satu saja.
Sebelum menemukan keberadaan Lareyna, di tiap lantai Ayden berpapasan dengan penjaga dan dia melumpuhkan beberapa dari mereka. Di lantai empat Ayden berhasil melarikan diri setelah menumbangkan tiga penjaga. Pikirnya sudah aman namun ternyata masih ada yang menyusulnya.
"Lari Ayden, kamu jangan menungguku. Aku yakin Morgan juga akan datang menyelamatkanku di sini. Kamu pergilah menyelamatkan dirimu sendiri. Kalau pun aku nggak selamat ya setidaknya kamu bisa melanjutkan hidup. Aku sudah nggak kuat lagi, Ayden. Tinggalkan saja aku di sini, jika kamu bertemu dengan Morgan di luar sana maka sampaikan saja salam untuknya dariku. Lari Ayden, lari!" ucap Lareyna panjang lebar namun Ayden bergeming.
Bisa Lareyna lihat sorot mata terluka di mata suaminya ini. Dia tahu dia melukai Ayden karena dia menyebut nama Morgan, namun bagi Lareyna apa yang dia katakan tidaklah salah.
Bukannya pergi karena sakit hati, Ayden berjongkok lalu dia meminta istrinya itu untuk naik di punggungnya.
"Kita nggak punya banyak waktu lagi. Arah timur ada pintu keluar yang aman. Naiklah, aku akan menggendongmu ke sana," ucap Ayden.
Lareyna tersentak, dia merasa enggan dan tidak enak hati pada Ayden. Dia menolak, Ayden pun berdiri sambil matanya awas memperhatikan sesuatu.
"Lareyna awas ...!"
Doorrr ...
Peluru itu memecahkan pembuluh darah yang ada di punggung Ayden saat dia memilih melindungi tubuhnya Lareyna.
Tubuh Lareyna terpaku, dia terdiam karena terlalu syok. Ayden sendiri meringis kesakitan. Dia meminta Lareyna untuk bertahan sebentar lagi karena mereka akan segera keluar.
"Kamu terluka, Ayden," ucap Lareyna terisak.
"Aku nggak apa-apa, ayo cepat, sebelum peluru selanjutnya ditembakkan," ujar Ayden. Dia menarik tangan Lareyna dan gadis itu hanya ikut saja.
Baru saja mereka menuruni anak tangga, Reyna dibuat kembali memekik karena tembakan yang hampir menghancurkan kepalanya justru kembali bersarang di punggung Ayden.
"Kamu terluka Ayden, huhu ... Ayden, kita harus bagaimana?" Tangis Lareyna akhirnya pecah juga.
"Ada sniper. Aku nggak bisa menghin—"
Doorr ...
Satu tembakan lagi menembus punggung Ayden hingga dia terjatuh dari tangga sambil memeluk tubuh Lareyna dengan erat.
"Kamu baik-baik saja? Ada yang sakit?" tanya Ayden.
Lareyna bisa melihat betapa kesakitannya Ayden saat ini. dia berteriak memanggil pasukan Ayden yang ternyata sudah banyak yang tumbang.
Sosok pria yang dikenali Lareyna sebagai asisten Ayden itu berlari menghampiri dengan wajah babak belur.
"Tuan, Nyonya, ayo kita pergi. Di sini ada banyak sniper dan kita sudah kalah jumlah. Terlalu berisiko jika harus bertahan. Tuan, Anda harus segera mendapatkan penanganan. Mobil sudah menunggu di arah timur," ucap Dwine.
Ayden hampir kehilangan kesadarannya saat Dwine menggendongnya di punggung. Lareyna menangis melihat keadaan Ayden dan juga darah yang terus mengalir dari punggungnya.
'Ayden, aku mohon bertahanlah,' bisik Lareyna dalam hati.
Dengan tertatih mereka akhrinya sampai di mobil. Kesadaran Ayden hampir hilang sepenuhnya saat dia dibaringkan di dalam mobil oleh Dwine dan Lareyna memangku kepalanya.
Dengan ugal-ugalan Dwine mengemudi. Dia harus segera sampai di rumah sakit karena dia mengkhawatirkan kondisi Ayden. Harusnya tadi mereka membawa banyak pasukan, tetapi semua ini seperti sudah direncanakan, ada yang membuat keributan di beberapa anak perusahaan Ayden hingga banyak anak buah yang dikerahkan ke beberapa tempat tersebut.
"Lareyna, istriku, jika aku tiada aku berharap kamu nggak membenciku. Aku nggak pernah memaksa Ayahmu untuk menjodohkan kita, aku juga nggak selingkuh dengan Misca, aku hanya mencintai kamu saja, nggak ada orang lain selain kamu."
Lareyna menggeleng, dia meminta Ayden untuk diam saja. Dia tidak ingin Ayden meninggalkannya padahal selama ini dia selalu ingin berpisah.
Lareyna membuka mulutnya hendak mengeluarkan suara tetapi sepertinya kata yang hendak diucap itu terhenti di kerongkongan.
Brukkk ...
Mobil membentur mobil yang lainnya hingga Lareyna merasa takut.
"Gawat Tuan, ada yang menyabotase kendaraan kita. Remnya blong, saya juga seperti merasakan jika di dalam mobil ini sudah dipasang alat peledak."
Mendengar ucapan Dwine, Lareyna dan Ayden sontak terkejut.
"Dwine, berjalan ke arah sepi. Aku ingin istriku selamat, kamu juga harus selamat untuk bisa menjaga istriku saat aku tiada. Berjalan sedikit ke pinggir," ucap Ayden dengan suara terputus-putus.
Ayden menurut, saat itu Ayden berusaha bangun dan memaksakan dirinya lalu dia memeluk tubuh mungil Lareyna.
"Aku mencintaimu, Lareyna Thompson. Aku mencintaimu sejak dulu hingga selamanya," bisik Ayden.
Tak sempat Lareyna membalas, tiba-tiba dia dikejutkan dengan Ayden yang membuka pintu lalu mendorongnya dengan kuat hingga terlempar di jalan.
"Dwine, sekarang giliranmu untuk lompat. Biarkan aku sendiri di sini," ucap Ayden.
Dwine menggeleng keras. "Saya tidak bisa Tuan, saya akan menemani Anda—
Belum sempat Dwine menjawab ucapan tersebut, mobil langsung dibanting ke arah kiri dan menabrak pohon besar di pinggir jalan, lalu dalam satu kali kedipan mata mobil itu meledak tanpa ada yang bisa melarikan diri.
Lareyna tercengang, tubuhnya terpaku di bumi melihat mobil itu meledak tanpa mengpoekan Ayden serta Dwine kluar.
"Aydeeeen ...!"
Tubuh Lareyna terasa kaku, dia berdiri menatap prosesi pemakaman suaminya yang sudah berkorban nyawa untuknya. Lelaki parasit bernama Ayden Graham kini telah tiada, meninggalkan ungkapan cintanya yang semakin mencekik perasaan Lareyna.
Mengapa lelaki itu pergi begitu saja setelah berhasil membuat Lareyna terpengaruh dengan pernyataan cintanya? Apa dia tidak ingin membuktikan semua itu?
Di detik berikutnya Lareyna menertawakan dirinya dalam hati. Dia begitu bodoh, mengapa dia masih ingin Ayden membuktikan ucapannya, sedangkan tubunya yang terbaring di dalam peti mati itu adalah buktinya. Apakah semua itu masih belum cukup?
Ah ya, tubuh Ayden hancur begitu pula dengan tubuh Dwine. Dari mobil itu, hanya dia yang selamat karena Ayden mendorongnya keluar sebelum insiden itu terjadi.
"Apa yang kamu pikirkan, Reyna? Aku memuji aktingmu yang begitu natural. Setelah ini kita akan mendapatkan segalanya. Kamu nggak perlu bersusah payah untuk menyingkirkan Ayden lagi, 'kan?"
Jika biasanya Lareyna sangat suka dengan sentuhan Morgan, untuk kali ini dia justru tidak ingin disentuh oleh siapapun selain Ayden yang kini petinya sudah terkubur. Dia merindukan sentuhan hangat suaminya itu, tetapi semuanya terlambat.
"Aku nggak bisa bicara denganmu sekarang, Morgan. Aku mau menenangkan diriku dulu," ucap Lareyna seraya beranjak pergi dari pemakaman.
Dia berjalan bersama bibi setianya, wanita paruh baya yang selalu mengurusinya dari kecil hingga saat ini. Asisten rumah tangga itu lebih dari seorang ibu untuk Lareyna.
"Apa Nona tidak ingin tinggal lebih lama? Tuan Ayden tidak memiliki siapapun selain Nona," bisik Layla.
Mata hazel itu melirik ke arah kuburan yang masih basah dan orang-orang sudah mulai berkurang.
"Nggak Bi, ayo kita pulang. Aku merasa sangat lemas. Bibi 'kan tahu kalau kondisi aku nggak baik," jawab Lareyna sambil menahan sesak di dadanya.
Layla hanya membuang napas pendek, dia tidak bisa menebak apa yang ada di dalam hati Lareyna. Sejak dia pingsan dan demam semalam, dia terus memanggil nama Ayden. Selama yang Layla tahu, nona mudanya ini membenci Ayden dan kebenciannya itu hingga ke tulang.
Langkah mereka berjalan beriringan, Morgan ada di sana sambil melihat punggung Lareyna dengan senyuman memudar.
Di dalam mobil Lareyna terus menatap ke arah jendela sambil menahan sesak di dadanya. Dia seakan-akan bisa melihat Ayden berdiri di atas kuburannya dan menatapnya seperti tatapan kemarin, penuh cinta dan ketulusan.
Hati Lareyna sangat sakit, begitu sakit hingga dia membenturkan kepalanya di kaca jendela mobil. Layla yang melihatnya memekik dan meminta Lareyna untuk memeluknya.
"Aku nggak tahu kenapa Ayden harus mati secepat ini, Bi. Aku nggak suka cara dia ninggalin aku. Dia bilang cinta tapi dia malah terkubur di tanah. Mengapa dia melakukan semua itu?"
Layla mengerutkan dahinya, dia memang tidak paham dengan apa yang terjadi sebelumnya. Lareyna enggan bicara. Saat polisi lalu lintas mengevakuasi mobil Ayden, mereka juga menemukan keberadaan Lareyna yang tak sadarkan diri sekitar seratus meter dari lokasi kejadian.
"Andai aku bisa memutar waktu, aku akan bersikap lebih baik dan mengenal Ayden dari sudut pandang berbeda. Dia memilih menyematkan aku Bi, dia menyelamatkan nyawaku berkali-kali. Dia menerima tembakan itu berkali-kali dan melemparku keluar dari mobil saat tahu remnya nggak berfungsi dan ada peledak di dalamnya. Dia memberiku hidup dan menukar semua itu dengan nyawanya. Oh Ayden yang malang. Aku bahkan nggak sempat bilang aku menyukainya."
Layla mengusap punggung Lareyna. Mereka kembali ke rumah sakit karena Lareyna memang harus mendapatkan perawatan intensif.
—00—
Satu Minggu berlalu begitu cepat, Lareyna sudah kembali ke kediaman yang dulunya selalu menjadi tempat paling tidak ingin dia datangi. Bayang-bayang bersama Ayden melintas. Dulu di ruang tamu ini Ayden terbiasa membaca surat kabar di pagi hari dengan secangkir kopi sebelum berangkat kerja.
Di ruang makan itu mereka menghabiskan sarapan dengan diam bahkan suasan cenderung dingin. Makan malam tanpa obrolan apapun.
Kini, apabila Ayden kembali hidup, Lareyna bersumpah akan mengajaknya sarapan dengan dia yang akan memasak, lalu mereka makan malam bersama sambil mengobrol kegiatan mereka seharian ini. Oh satu lagi, Lareyna akan menyiapkan secangkir kopi hangat untuk menemani Ayden saat membaca surat kabar.
Tubuh mungil yang semakin rapuh itu jatuh di sofa, duduk dalam keheningan dan hanya ada kenangan tak manis berputar di benaknya. Layla memilih untuk membuatkan makanan sambil sesekali memperhatikan kerapuhan Lareyna.
Kembali pemilik bulu mata lentik dan bola mata hazel itu mengingat di ruangan ini Ayden begitu dekat dengan Misca, sekretaris Ayden yang diduga Lareyna sebagai perempuan yang disukai Ayden.
Jika diingat kembali, Ayden tidak pernah begitu agresif pada Misca, perempuan itu yang selalu mendekati Ayden. Lareyna juga pernah mendengar Ayden mengusir Misca, meminta wanita itu pulang karena jam kerja telah selesai dan dia tidak ingin istrinya salah paham.
Sungguh semua itu terlambat disadari oleh Lareyna yang bodoh.
Dia memilih untuk masuk di kamarnya, kamar yang sangat jarang dia habiskan bersama Ayden. Hanya jika ada ayahnya saja mereka akan tidur bersama di kamar ini. Lareyna tidak pernah masuk ke kamar Ayden.
Baru saja duduk dia memilih keluar lagi untuk mengetahui isi kamar Ayden. celakanya, saat dia membuka pintu, tatapan matanya langsung tertuju pada bingkai foto besar yang terpanjang di dinding, seakan-akan Ayden ingin setiap kali membuka pintu kamar, foto itu lah yang langsung dilihatnya.
Tangan Lareyna gemetar, dia hampir jatuh jika tidak berpegangan pada handle pintu.
Itu adalah foto pernikahan mereka dan Lareyna tidak pernah tahu ada hal seperti ini di kamar Ayden. Di kamarnya sendiri dia tidak memajang foto pernikahan mereka.
Langkah gemetar itu memasuki lebih dalam kamar yang telah ditinggalkan oleh penghuninya.
"Lareyna, apa kamu nggak mau melihat kamarku?"
Ucapan Ayden itu kembali terngiang. Lalu dengan sombongnya Lareyna berkata saat itu, "Aku nggak mau. Untuk apa melihat kamarmu, nggak penting. Aku nggak mau dijebak olehmu. Aku nggak cinta sama kamu dan aku cuma ingin menikah dengan Morgan. Nanti, aku akan melihat kamar ini saat akan mengeluarkan barang-barangmu ketika kamu nggak tinggal lagi di sini!"
Masih Lareyna ingat bagaimana Ayden mati-matian menahan luka hatinya. Lelaki tampan itu hanya tersenyum tipis lalu dia menutup pintu kamarnya.
Kini Lareyna semakin menyesal. Andai dulu dia masuk, dia akan melihat betapa banyaknya gambar dirinya di kamar ini. Sejak dia kecil dan foto beberapa hari yang lalu saat dia sedang mengobrol dengan Margaretha, sahabatnya, di pusat perbelanjaan. Dia tertawa saat sedang membahas kisah masa lalunya bersama Margaretha.
Tubuh Lareyna bergetar, dia sangat menyesal telah menyia-nyiakan Ayden Graham. Dia berharap bisa memutar waktu tetapi dia tahu itu adalah hal yang mustahil.
"Ayden, kenapa kamu nggak pernah coba bilang sama aku kalau kamu cinta aku? Kenapa kamu ngomong itu di saat terakhir kamu berada di dunia ini. Apa kamu sudah tahu kalau aku akan menyesali semuanya saat ini? Apa kamu juga sudah tahu kalau aku akan sangat terluka dan merasa ingin mati saja menyusulmu? Apa kita akan bertemu di akhirat? Aku ingin bertemu kamu, Ayden. Mengapa kamu ninggalin aku dengan cinta yang begitu besar dan aku belum sama sekali membalasnya?"
Lareyna tersedu-sedu, Layla hanya bisa mengintip dari pintu tanpa berani mendekat. Dia tahu Lareyna butuh banyak waktu untuk menyembuhkan hatinya.
Mata bengkak Lareyna menyipit, dia melihat tulisan di sebuah foto saat dia sedang berlatih keras untuk kompetisi pertamanya dalam lomba piano.
[Semoga peri kecil bermata hazel bisa menjadi juara. Aku akan menuntut Tuhan kalau peri ini nggak jadi juaranya]
Lareyna menjatuhkan tubuhnya di lantai, menangis tersedu-sedu sambil memeluk tubuhnya sendiri. Dia ingin mati saja sekarang, dia ingin menyusul Ayden lalu membangun kembali rumah tangga mereka dengan cinta yang akan diberikan sepenuhnya pada Ayden.
—00—
Dua hari berkurung di dalam kamar Ayden dan mengenakan kemeja kebesaran Ayden, Lareyna akhirnya memutuskan untuk keluar dan menikmati sarapannya.
Semalam dia mendapat panggilan dari sepupunya dari pihak sang ibu untuk berlibur dan melepas semua kesedihannya di negara itu. Dulu Lareyna kecil sangat suka mendatangi rumah pamannya itu, bermain bersama Izzle, adik sepupunya yang hampir memiliki wajah seperti dirinya.
"Tolong bibi siapkan beberapa lembar pakaian saja. Aku akan membelinya di sana. Jangan lupa masukkan dua lembar kemeja Ayden dan bingkai kecil berisi foto pernikahan kami di dalam koper. Aku akan bersiap sebentar lagi," ucap Lareyna lalu dia tersenyum kecut.
Layla membuang napas pendek. Dia tidak membantah dan langsung mengerjakannya.
Usai menghabiskan sarapannya, Lareyna kembali ke kamarnya lalu dia mandi dan bersiap untuk pergi. Penerbangannya sekitar satu jam lagi, dia tidak ingin terlambat.
Begitu Lareyna siap dan Layla sudah membawakan kopernya, di teras ada Morgan yang datang dengan wajah masamnya.
"Reyna, mengapa kamu menghindari aku lebih dari sepekan? Apa kamu sudah nggak cinta sama aku?"
Lareyna mencari-cari perasaan cintanya pada Morgan namun sialnya dia tidak menemukan perasaan itu. Dia tersenyum kecut saat mengetahui hatinya telah direnggut oleh Ayden.
"Aku masih berkabung, nggak baik bila aku menerima tamu lelaki di rumah atau aku bepergian denganmu. Aku akan pergi ke rumah Paman Edmund, jangan khawatir, aku akan baik-baik saja," jawab Lareyna mencoba tersenyum namun senyuman itu tidak menyentuh matanya.
"Tapi Reyna ... ah sudahlah, nggak masalah. Aku memahami perasaanmu, meskipun kamu nggak cinta Ayden tetapi kamu tetap istrinya dah kamu harus menunjukkan jika kamu sedang berkabung. Aku akan mengantarmu," ucap Morgan dengan begitu pengertian.
Lareyna mengangguk, dia tidak ingin memperpanjang masalah sehingga memilih menurut saja.
Sepanjang perjalanan dia lebih banyak diam, alasan yang diberikannya adalah dia masih trauma dengan penculikan itu juga dengan insiden meninggalnya Ayden bersama Dwine.
Sesampainya di bandara, tak banyak kontak fisik yang bisa dilakukan Morgan. Banyak yang memperhatikan mereka dan tak sedikit yang turut berbela sungkawa.
"Lihatlah wajah Nyonya Graham, dia begitu terluka karena kehilangan suaminya. Matanya dan kondisi tubuhnya bisa menjelaskan semuanya."
"Kau benar, dia tampak kurus dan tak terawat. Lingkar matanya, dia benar-benar wanita malang. Mereka adalah pasangan serasi sepanjang tiga tahun belakangan, sudah pasti Nyonya Graham sangat depresi ditinggal Tuan Graham."
Morgan tersenyum tipis, dia memuji akting Lareyna yang bisa menarik banyak simpati masyarakat. Morgan hanya tidak tahu saja semua itu murni karena Lareyna sangat kehilangan. Hatinya pun telah dicuri oleh Ayden dan lelaki itu membawanya hingga ke akhirat.
Setelah berpisah, Lareyna menarik kopernya meninggalkan Morgan.
Duduk sendiri di pesawat membuat Lareyna mengantuk. Dia memang kurang tidur akhir-akhir ini. Saat dalam tidurnya dia bermimpi Ayden datang dan memeluknya lalu mengulang ciuman hangat itu.
Saat Lareyna mencoba mengulang kembali setelah Ayden melepaskannya, Ayden justru menghilang. Lareyna berteriak memanggil Ayden lalu dia terjatuh saat berlari mencarinya.
Guncangan hebat itu membuat Lareyna terbangun, ada sisa air mata di sudut matanya. Mendadak semua teriakan menggema di telinganya. Pesawat mengalami turbulensi parah, pramugari dan pilot telah mengumumkan untuk memakai sabuk pengaman.
Untuk sesaat Lareyna terdiam, dia mengamati sekitar. Dia bisa melihat gerakan mereka tetapi tidak mendengar suara sama sekali. Hanya kehampaan yang terasa hingga pelan-pelan suara itu kembali terdengar olehnya.
Bibir mungil semerah ceri itu tersenyum kecil, dia seolah bisa melihat keberadaan Ayden di sekitarnya sedang tersenyum.
"Apakah jika pesawat ini jatuh aku akan mati lalu bertemu dengan Ayden? Jika iya, aku sangat beruntung. Aku rasanya tidak sabar menjemput kematian," bisik Lareyna lalu pelan-pelan dia memejamkan matanya.
Pesawat itu pun hilang kendali lalu tanpa bisa dicegah pesawat mendarat di lautan. Semua berteriak berusaha menyelamatkan diri, berbeda dengan Lareyna yang semakin melemah, dia bisa melihat Ayden datang untuk mengulurkan tangannya.
Tangan Lareyna terangkat, dia meraih tangan Ayden tetapi keadaannya yang lemah dan kesulitan bernapas akhirnya merenggut kesadarannya.
—00—
Bunyi ketukan pintu itu membuat sosok yang sedang menikmati tidurnya terusik. Dia menutup rapat matanya saat dia mencoba membukanya dan cahaya sinar mentari langsung menerobos masuk.
"Nona Muda, apakah Nona sudah bangun?"
Sosok mungil dengan kulit mulus bak porselen itu membuka matanya karena kesal. Tetapi kekesalannya itu berubah menjadi keterkejutan saat mendapati dirinya berada di ranjang dengan pakaian tidur yang seingatnya ini adalah piyama kesayangannya di masa kuliah dulu.
Terduduk dengan perasaan tak karuan, dia mengucek matanya dan memperhatikan sekitar. Dia berada di kamarnya tetapi di rumah orang tuanya.
"Nona Muda, tim perias sudah menunggu sejak tadi. Tuan Jonathan berpesan agar Nona segera bangun dan mandi." Itu suara Layla.
"Bi–bi ... se–sekarang tanggal berapa?" teriak Lareyna dari dalam kamar.
Di luar Layla tersenyum gemas. Dia berkata, "Nona, sekarang tanggal delapan Februari, tanggal pernikahan Nona dan Tuan Ayden. Apa Nona lupa hari ini adalah hari pernikahan Nona? Tuan sudah menunggu sejak tadi, segeralah bersiap agar Tuan tidak marah."
Mata Lareyna terbelalak. Jika saat ini tanggal delapan Februari dan dia akan menikah hari ini, itu tandanya dia ...
"A–apakah aku kembali pada tiga tahun yang lalu? Apa ini nyata?"
Lareyna masih diam sambil mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Dia baru saja berada di dalam pesawat yang jatuh ke laut. Dia melihat Ayden membantunya naik ke permukaan lalu dia tidak mengingat apa-apa lagi dan saat dia terbangun, dia tiba-tiba terlahir kembali pada tiga tahun yang lalu.
Bukankah ini seperti mimpi?
Ini tidaklah nyata, tetapi saat Lareyna menampar pipinya sendiri, dia merasakan sakit.
"Tenangkan dirimu Reyna, ayo bernapas dengan baik dan jangan pikirkan apapun dulu."
Dia menoleh ke samping dan melihat pantulan dirinya di cermin rias. Dia terbelalak saat melihat pipi chubby itu, dia memiliki pipi seperti ini saat belum menikah dengan Ayden. Lalu setelah beberapa bulan menikah dia memilih untuk menurunkan sedikit berat badannya karena dia pernah mendengar jika Ayden mengatakan pipinya sangat menggemaskan.
Tangan Lareyna menyentuh kedua pipinya. Ingatan demi ingatan terbayang di benaknya. Dia masih yakin dan tidak yakin jika dia terlahir lagi di tiga tahun silam. Jika benar, betapa Tuhan begitu baik padanya. Namun, jika ini hanyalah mimpi, dia berharap tidak akan bangun lagi.
"Nona, apa Nona mendengar saya?"
Lareyna mendengar lagi suara Layla, dia tidak sepenuhnya percaya dengan apa yang terjadi namun jika memang ini adalah kesempatan kedua untuknya, maka dia tidak akan menyia-nyiakan semua ini. Dia akan memperbaiki hubungannya dengan Ayden, dia merindukan lelaki itu.
"Apakah Ayden juga mencintaiku? Apakah aku bisa mengubah segalanya menjadi lebih baik? Bagaimana kalau ternyata Ayden terlahir kembali lalu dia tidak mencintaiku? Bagaimana jika ternyata dia berharap terlahir dan mengulang waktu lagi demi menghindariku karena aku sangat menyakiti hatinya?"
Lareyna menjadi bimbang namun langkahnya bergerak ke arah kamar mandi. Berkali-kali dia melemparkan pertanyaan untuk dirinya sendiri berharap jawabannya juga akan datang dengan sendirinya.
—00—
Jonathan tersenyum melihat putri semata wayangnya berjalan turun dari lantai dua dengan gaun pengantin yang dulunya dipakai oleh sang istri. Dia sebenarnya kesal pada Lareyna, dia tahu putrinya tidak menyukai Ayden tetapi dia memaksakan keduanya untuk menikah.
Matanya berkaca-kaca, dia bagai melihat Maria, istrinya yang kini telah pergi menemui Sang Pencipta.
Dari anak tangga terakhir Lareyna juga menatap Jonathan dengan mata berkaca-kaca. Dia ingat di kehidupan sebelumnya dia banyak menentang ayahnya hingga pria hebat ini mengembuskan napas terakhirnya.
'Ayah, di dunia ini kamu kembali hidup. Aku minta maaf untuk semua yang pernah aku lakukan padamu dulu. Aku adalah anak yang nggak tahu berbakti,' ucap Lareyna dalam hati.
Lareyna sadar, saat ini Jonathan pasti sedang membayangkan sosok ibunya. Lareyna masih ingat mengapa dia memilih gaun ini. Alasannya sederhana, dia tidak menginginkan pernikahannya bersama Ayden, dia tidak berniat membeli gaun pengantin, dia juga tidak berniat mencari cincin bersama, juga tidak berniat terlibat dalam segala urusan pernikahannya. Dia membiarkan Ayden dan ayahnya mempersiapkan semuanya tanpa campur tangannya.
Sekarang dia benar-benar menyesal karena tidak menggandeng tangan Ayden untuk masuk ke toko perhiasan dan memilih cincin. Dia juga menyesal tidak mengambil waktu untuk melakukan sesi foto prewedding dan memilih gaun terbaik.
"Reyna, kamu sangat cantik sayangku," ucap Jonathan membuyarkan lamunan Lareyna.
Pipi memerah itu semakin merah. Dia masih ingat, dulu ayahnya juga berkata hal yang sama.
"Ayah, apa Ayden akan terpesona melihat penampilanku? Apa dia nggak marah aku pakai gaun pengantin ibu? Mengapa kita tidak menunda sedikit agar aku bisa pergi mencari gaun bersama Ayden?"
Jonathan tersentak. Bagaimana tidak, jawaban Lareyna memang sangat mengejutkan. Gadis ini masih ingat bagaimana dulu dia menyambut ucapan ayahnya dan itu membuat ekspresi ayahnya menjadi masam.
"Aku memang cantik tetapi mengapa ayah memberiku pada Ayden, aku nggak suka dia. Aku menikah demi mengabulkan permohonan ayah!" Ini adalah kalimat yang dilontarkan Lareyna pada saat itu. Kejam, dan dia menyesalinya sekarang.
Sesaat kemudian Jonathan menarik sudut bibirnya hingga melengkung dan membentuk senyuman, berbeda dengan ekspresinya tiga tahun lalu. Dia langsung menggandeng tangan Lareyna lalu mendaratkan kecupan kecil di dahi putrinya.
"Ayden mungkin tidak akan melepaskan pandangannya darimu. Apakah kamu tahu kalau dia sudah menyukaimu sejak kecil? Melihatmu mengenakan gaun pengantin dia pasti nggak akan sanggup untuk menutup matanya meskipun hanya sekali kedipan."
Lareyna kaget, mungkinkah memang benar begitu? Mungkinkah ayahnya menikahkannya dengan Ayden bukan hanya karena Ayden adalah asistennya melainkan karena Ayden menginginkan juga menginginkannya?
"Benarkah Ayah? Kalau begitu aku nggak sabar mau lihat ekspresi Ayden," ucap Lareyna sambil menggandeng tangan ayahnya dengan posesif.
Jonathan tertawa, dia menatap Layla seolah menanyakan apa yang sudah terjadi pada Lareyna sebelumnya. Layla hanya tersenyum tipis lalu dia menggeleng.
"Bukannya kamu nggak suka melihat Ayden? Katamu dia itu pria kaku dan tua. Bukan begitu?"
Sial sekali Lareyna membenarkan itu dalam hatinya. Dia selalu mengatakan hal itu jika ayahnya mulai membahas Ayden. Padahal Ayden hanya terpaut lima tahun darinya tetapi dia sudah mengatai Ayden adalah pria tua.
Dia meringis pelan lalu mengajak Jonathan melangkah keluar. Dia tidak sabar sampai ke gedung pernikahannya. Dia merindukan Ayden, dia ingin sekali memeluknya dan mengatakan betapa dia mencintai lelaki itu.
'Kalau ini hanya dunia mimpi maka jangan biarkan aku terbangun,' bisik Lareyna dalam hatinya.
—00—
Mobil itu berhenti tepat di depan gedung pernikahan. Lareyna begitu gugup, sejak tadi jantungnya bertalu-talu membayangkan pertemuannya dengan Ayden. Sekilas dia ingat bagaimana dulu dia turun dari mobil hingga prosesi sakral itu berlangsung, dia ingat dia bahkan enggan menatap Ayden sedikitpun. Saat mereka diminta untuk berciuman pun dia mengancam Ayden agar tidak mencium bibirnya.
Ah, betapa semua itu sangat menyebalkan.
Dengan dibantu Jonathan dan Layla, Lareyna turun dari mobil. Setelah itu bersama Jonathan yang mengapit tangannya dia berjalan ke arah altar di mana Ayden menunggunya. Dia bisa melihat pria itu, jantungnya hampir lepas dari sarangnya karena sosok yang begitu dia rindukan berdiri sama persis seperti tiga tahun lalu.
Lareyna bisa melihat tatapan mata memuja itu masih sama seperti dulu. Pikirnya jika Ayden pun ikut terlahir kembali maka dia akan meminta untuk tidak memiliki takdir dengannya lagi.
"Lihatlah, dia terus menatapmu tanpa berkedip. Ayah bilang juga apa, dia sangat menyukaimu," bisik Jonathan.
Lareyna tersenyum. Kalimat ini dulu tidak pernah terucap oleh ayahnya. Mungkin karena terlahir kembali, maka ada beberapa bagian yang berubah. Bukankah itu memang tujuannya terlahir kembali? Menebus kesalahannya pada Ayden?
Di depan mereka Ayden berdiri dengan senyuman yang begitu manis. Lareyna bisa melihat mata Ayden berkaca-kaca sama seperti dulu. Waktu itu dia mengabaikannya, tetapi kali ini dia merasa perlu menatap wajah Ayden sampai sedetail mungkin, dia takut tiba-tiba Ayden hilang dari pandangannya lalu dia terbangun dalam keadaan menyedihkan.
"Apakah kamu siap, Lareyna?" tanya Ayden.
"Apakah kamu nggak mau mengulurkan tanganmu?"
Ayden tersentak, begitu pula dengan Jonathan. Mereka sama-sama tahu kalau Lareyna begitu enggan disentuh oleh Ayden.
Tatapan Ayden beralih pada Jonathan seakan meminta izin. Jonathan pun melepaskan tangan Lareyna dan menyerahkannya pada Ayden.
Lareyna bisa merasakan betapa gugupnya Ayden saat ini. Dia pun merasakan hal yang sama, sesekali dia mencuri pandang ke arah Ayden dan rupanya lelaki itu pun melakukan hal yang sama.
Ayden tersenyum dan Lareyna membalasnya. Sontak saja mata Ayden terbelalak. Dia heran, kaget, juga bingung karena Lareyna tidak pernah sebelumnya tersenyum padanya.
Prosesi pernikahan pun dilaksanakan, kedua pasangan mengucap janji setia pernikahan hingga tibalah waktunya untuk mereka saling menyentuh pasangan masing-masing. Prosesi berciuman yang biasanya menjadi penutup rangkaian sakral itu.
Bisa Lareyna lihat Ayden yang tidak memiliki keberanian untuk menciumnya. Tangan kekar itu gemetar saat membuka tudungnya. Kini dia menyadari jika lelaki ini sangat mengutamakan perasaannya, dari segi mana Ayden menikahinya hanya karena mengharapkan harta sedangkan untuk menyentuhnya saja pria ini begitu gugup.
Sadar jika Ayden tidak berani melakukan itu padanya, Lareyna pun melepaskan bunga di tangannya, menjatuhkannya begitu saja di lantai kemudian dia berjinjit dan mengalungkan kedua tangannya di leher Ayden, menarik tengkuk pria itu dan menempelkan bibir mereka.
Ayden terbelalak, tetapi dua detik kemudian dia membalas ciuman itu. Tak disangkanya Lareyna malah semakin agresif, menciumnya tanpa mengingat di ruangan ini masih begitu banyak tamu undangan.
'Aku ingin menciummu sampai puas, sampai aku yakin jika ini nyata,' bisik Lareyna dalam hatinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!