NovelToon NovelToon

JEBAKAN JODOH

001. Jebakan Jodoh

Disalah satu kamar dirumah berlantai dua, dua orang gadis terlihat tengah merapikan peralatan make up yang sudah selesai di gunakan. Diandra Putri Katrina, MUA 24 tahun yang juga konten kreator terkenal di salah satu platform media sosial bersama sahabatnya Githa Naniodra selaku hairstylist.

Keduanya mendapat orderan make up tunangan, acara pertunangan tersebut akan dilaksanakan pukul 19.00 waktu setempat. Jam yang terdapat dinangkas sudah menunjukan pukul 17.50, yang artinya satu setengah jam lagi acara akan dimulai.

"Kak, kalo udah nanti makan dulu ya."

Hilda Agustin Miranti, Clien Diandra tengah duduk di ujung sofa yang terdapat di dalam kamar tersebut memperhatikan gerak gerik Diandra dan Githa yang masih sibuk memasukan ini dan itu kedalam koper yang berisi peralatan make up milik Diandra yang bukan main banyaknya. Sedangkan barang barang milik Githa sudah dimasukan kedalam ransel yang wanita itu bawa. Barang Githa tidaklah banyak seperti barang Diandra.

"Oke kak, ini bentar lagi selesai kok."

Githa menoleh kearah gadis yang saat ini memakai kebaya berwarna soft pink dan bawahan rok span batik ketat yang membetuk lekuk tubuhnya.

Tak lama kemudian, Hilda di anggil oleh fotografer untuk melakukan sesi foto bersama keluarga besar dari pihak wanita, sedangkan dari pihak pria yang Diandra dengar tadi masih di jalan menuju kemari.

"Akhirnya selesai juga."

Diandra menghembuskan nafas lelah setelah hampir 5 jam melakukan tugasnya. Sebenarnya Diandra memiliki satu asisten, namun hari ini asistennya itu tidak bisa ikut karena sedang berada di rumah sakit. Semalam asistennya mengabari bahwa dirinya demam tinggi disertai muntah muntah, dan dilarikan ke klinik terdekat.

"Yuk makan, gue laper banget. Nih, liat. Tangan gue sampe gemetar gini." Githa mengangkat tangannya dengan dramatis.

"Halah, drama aja lu. Tadi udah makan kue juga."

Mendengar perkataan Diandra, Githa lantas cengengesan. Tadi mereka memang sempat dibawakan oleh salah satu Tante Hilda kue-kue tradisional yang menjadi hidangan dicara pertunangan Hilda dan calon suaminya.

Diandra dan Githa pun meletakkan koper serta tas disamping pintu kamar tempat mereka merias Hilda dan ibu dari wanita itu. Lalu keduanya menuju dapur sesuai arahan yang tadi sempat Hilda berikan.

Sesampainya di dapur, keduanya segera mengambil piring dan mengisi piring masing-masing dengan nasi dan lauk pauk yang tersedia. Rasanya seperti sedang kulineran, berbagai macam makanan ada. Sate, soto, bakso, mie ayam, rendang, opor, dan masih banyak lagi yang lainnya.

"Duh, gila. Tunangan holang kaya memang beda ya Di, paket komplit ini teh."

Githa tersenyum senang menatap Diandra yang juga tengah tersenyum. Yang ditatap menganggukan kepala setuju. Diandra dan Githa bukanlah orang yang hidup pas-pasan, keduanya juga anak orang kaya. Dan juga tidak pernah pamer harta orang tuanya.

"Bener banget anjir, berasa lagi kulineran tapi versi gratis."

Diandra sendiri adalah pencinta makanan, segala macam makanan Diandra suka. Jika ada waktu liburan maka hal pertama yang akan Diandra lakukan adalah kulineran ke berbagai daerah untuk mencicipi makanan baik tradisional maupun yang umum ditemukan. Perbedaan cara masak dan rempah-rempah yang digunakan di setiap daerah, itulah yang Diandra cari.

Diandra dan Githa duduk di meja makan, hanya ada mereka berdua disana. Para pekerja yang ditugaskan oleh tim event organizer tentu saja sibuk diluar, tepat di halaman belakang kediaman Hilda. Sedangkan para keluarga tentu saja masih sibuk foto foto cantik sembari menunggu rombongan dari pihak laki-laki.

"Gue denger calonnya polisi ya?"

Githa yang tengah minum mengangguk, mengiyakan pertanyaan Diandra. Gadis yang sejak kuliah berteman dengan diandra itu mengambil tisu lalu mengelap ujung bibirnya sendiri.

"Katanya sih iya. Pangkatnya yang gue denger IPTU."

"Gue nggak ngerti pangkat-pangkatan kayak gitu ah." Diandra mengibaskan tangannya sambil menggeleng pelan.

"Lu pikir gue ngerti? Kagak. Udah ayo naik lagi."

Diandra dan Githa yang sudah menyelesaikan makannya segera menuju wastafel dan mencuci piring bekas makannya masing-masing. Mumpung makannya di dalam rumah, kalau di luar sih mereka ogah mencuci piring, ribet say harus masuk kerumah orang. Mending kalau pemilik welcome, lah kalau judes?

Saat akan menaiki tangga menuju kamar tempat keduanya merias Hilda tadi terdengar gaduh dari keluarga Hilda yang sedang foto foto-foto diruang tamu.

"Eh Hilda, itu calon suami kamu datang. Masuk dulu ke kamar lagi."

"Eh, iya iya. Nanti ngga jadi kejutan kalo si Fandi ngeliat kami yang cantik banget gini."

"Iya iya, sana ih."

"Ohh, namanya Fandi?"

Githa berbisik pelan disebelah Diandra. Diandra sih hanya mengangguk saja. Fandi ya? Diandra jadi ingat, Abang-Abang polisi tampan yang dulu tidak sengaja Diandra lempar pakai adonan tepung di sekolahnya semasa SMA.

Diandra dan Githa yang tadinya sudah akan naik ke anak tangga paling bawah lalu mundur kembali melihat ibu-ibu yang dengan semangat menarik Hilda kembali ke lantai atas. Bahkan Hilda hampir saja jatuh jika tidak berpegangan pada sisi sofa. Melihat hal itu, Diandra dan Githa reflek berpandangan dengan mulut mengangga.

"Anjir, nggak kebayang kalo jatoh terus benjol kepalanya."

Githa bergumam pelan, Diandra yang mendengar hal itu segera menabok pelan bahu Githa. Lalu keduanya kompak tertawa kecil, lalu kembali melanjutkan langkah menuju kamar tadi.

"Gila, akhirnya bisa rebahan juga."

Diandra mendesah pelan merasakan empuknya kasur. Disusul Githa yang juga langsung rebahan setelah masuk ke kamar tempat merias tadi. Keduanya belum pulang karena biasanya mereka akan tetap standby sampai acara selesai, oleh karena itu kamar ini disiapkan khusus untuk merias sekaligus tempat istirahat bagi Diandra dan Githa.

Baru saja Diandra akan terlelap terdengar ketukan pintu tadi luar. Githa yang saat itu masih bermain ponsel segera beranjak untuk membuka pintu.

"Iya, cari siapa?"

Bau parfum yang menenangkan langsung masuk ke indra penciuman ketika Githa membuka pintu seketika membuat Diandra teduduk dan menatap kearah pintu. Pintu yang terbuka lebar membuat Diandra bisa melihat dengan jelas seorang pria tampan nan gagah dengan kulit sawo matang dan juga tinggi kurang lebih 180 cm. Hidung mancung serta pipi sedikit chaby. Jangan lupakan potong rambut comma hair yang membuatnya berkali-kali lipat lebih tampan.

Dia, Fandi. Fandi Gentala Dierja, pria yang tengah memakai kemeja batik berlengan panjang senada dengan bawahan yang tadi digunakan Hilda. Dia, Fandi. Calon suami Hilda, sekaligus pria yang pernah tidak sengaja Diandra lempar dengan adonan tepung semasa SMA Diandra. Dia, Fandi. Crush Diandra semasa SMA. 'Fandinya Diandra' kembali setelah menghilang bertahun-tahun lamanya entah kemana.

Diandra membatu menatap Fandi yang sedang berdiri diambang pintu, begitu pula sebaliknya. Bahkan Githa sekarang sudah menyingkir dari hadapan Fandi dan ikut menatap Diandra. Githa memang dulu belum berteman dengan Diandra, keduanya satu sekolah berbeda kelas. Namun cerita tentang Diandra yang melempar Abang polisi ganteng dengan adonan tepung siapa yang tidak tau.

Bahkan satu sekolah sempat heboh dengan inseden tersebut. 'Diandra ngelempar Abang polisi pake adonan tepung' topik itu bahkan menjadi perbincangan disekolah selama hampir dua bulan.

Lelaki yang mengisi masa SMA nya dengan cerita serta julukan absurd, lelaki yang beberapa kali datang ke sekolah mereka untuk melakukan kegiatan rutin sekolah yang diadakan bersama Polsek setempat. Lelaki itu kembali.

Fandi Gentala Dierja masih sama. Tampan dan tinggi. Yang berbeda sekarang pria itu tampil dengan versi matang. Rambut yang dulu dipotong pendek sekarang berubah menjadi lebih panjang namun masih terlihat rapi. Tubuhnya yang dulu berisi kini terlihat semakin gagah dengan otot-ototnya. Bahkan mungkin terdapat roto sobek di perut pria itu.

Namun semua itu tak lagi sama seperti dulu. Fandi mungkin masih sama, tapi kondisinya sekarang berbeda. Fandi calon suami orang, dan orang itu saat ini menjadi clien Diandra. Dan jika boleh jujur, Diandra ingin berlari dan memeluk erat pria yang saat ini masih membatu menatap kearahnya.

Tetapi Diandra tidak bisa, sekarang semuanya berbeda. Diandra rindu, namun juga ada sedikit benci. Bahkan dulu Diandra berfikir bahwa mungkin saja Fandi sudah mati, atau bahkan dikirim ke daerah terpencil. Dan sekarang lelaki itu kembali juga membangkitkan kembali perasaan yang sudah lama Diandra kubur. Dia kembali, dengan wangi parfum itu. Parfum yang Diandra pilihkan dulu.

002. Jebakan Jodoh

Song play : send my love (Adele)

"Bang? Ngapain disini?"

Sebuah suara membuat Fandi dan Diandra kembali tertarik ke realita. Fandi berbalik kearah suara. Lingga, adik Fandi berdiri di tangga paling atas dan berjalan ke arah Fandi berdiri.

"Hah? Oh ini." Fandi mengangkat sebuah paper bag. "Mama minta tolong kasi ke tukang make up nya."

"Oh." Lingga mengangguk. "Ayo, udah ditungguin dibawah."

"Iya, ini Abang mau turun kok."

Lingga memutar tubuhnya lalu kembali menuruni tangga. Sedangkan Fandi kembali menatap kearah Diandra yang saat ini menundukkan kepala memandang lantai.

"Ini kak, titipan ibu Gina Rahayuwati. Katanya punya kakaknya."

Fandi menyerahkan paper bag berwarna gold dengan ornamen pita berwarna putih kepada Githa yang berdiri tak jauh dari hadapannya, sedangkan Diandra masih tertarik menatap lantai dari pada menatap pria tampan yang berdiri diambang pintu.

"Ibu Gina? Pemilik katering bukan?"

"Iya, Bu Gina yang itu."

"Oke, makasih ya. Kayaknya ini punya Diandra."

Githa mengambil paper bag yang disodorkan Fandi. Lalu menatap Diandra sekilas. Melihat Fandi yang tak juga beranjak membuat Githa geregetan sendiri. Githa tau Fandi jelas mengingat Diandra, lalu kenapa tidak disapa saja.

"Ada lagi?"

"Aaa, nggak kak. Cuma mau antar itu aja. Saya permisi."

Fandi beranjak setelah ditegur oleh Githa, sebelum benar benar pergi, Fandi kembali menatap Diandra dalam. Githa membiarkan itu, dirinya tau Fandi merindukan Diandra. Terlihat jelas dari sorot matanya. Begitu juga Diandra. Dari sorot matanya baik Fandi maupun Diandra  terlihat jelas masih saling menyimpan rasa.

Setelah Fandi benar benar pergi, Githa menutup pintu kamar dan berjalan menuju ranjang tempat Diandra duduk menundukkan kepala menatap lantai, entah apa yang menarik di sana, Githa tidak tau.

Githa duduk di samping Diandra, menatap sejenak sahabatnya itu lalu menghela napas pelan. Disodorkan nya paper bag yang tadi Fandi bawa hingga menyentuh lengan Diandra. Setelah itu Githa kembali rebahan dan memainkan hp.

Bukannya Githa tidak perduli pada sahabatnya itu, setelah sekian tahun bersahabat dan mengenal baik, Githa paham jika Diandra saat ini perlu waktu untuk berperang batin antara otak dan hati. Antara logika dan rasa.

Diandra menatap paper bag disampingnya, paper bag sialan ini. Andai saja Bu Gina yang mengantarkan secara langsung, andai saja tadi dirinya langsung tidur saja, andaikan dirinya dulu tidak meminjamkan bajunya kepada Bu Gina yang saat itu ketumpahan minuman, andai saja, andai saja.

Diandra menghela napas panjang, perasaan carut marut. Dan Diandra benci itu. Kembali menghela napas panjang, Diandra bangkit seraya membawa paper bag sialan itu menuju kopernya. Di letakkannya paper bag itu diatas koper, lalu kembali ke atas ranjang bergabung bersama Githa yang sedang rebahan miring scroll aplikasi yang sedang tren saat ini.

"Gue nggak akan nanya lo baik baik aja apa engga. Yang jelas, lo pasti nggak baik baik baik aja. Keliatan jelas dari muka lo."

Githa berbalik menghadap Diandra yang kembali berbaring telentang di sampingnya. Diandra menatap plafon kamar dengan menerawang.

"Gue baru tau kalo Bu Gina itu ibunya bang Fandi."

Pengalihan isu. Githa menghela napas, lalu ikut berbaring telentang seperti Diandra. Hp yang tadi Githa Penang wanita itu lemparkan ke atas dengan lembut, bahkan masih mengeluarkan suara yang tidak dipedulikan kedua wanita itu.

"Kalo lu tau, lu masih mau pinjemin Bu Gina baju waktu ketumpahan minuman?"

Gina Rahayuwati, pemilik katering yang juga beberapa kali satu acara baik tunangan, pernikahan, ulang tahun, dan sebagainya dengan Diandra dan Githa. Mereka mengenal satu sama lain.

Minggu lalu di sebuah acara ulangtahun anak pemilik pabrik ternama, Bu Gina yang sedang dapat orderan memantau kegiatan orang-orangnya ketumpahan minuman yang dibawa karyawannya karena tertabrak anak kecil yang sedang berlarian, dan membuat baju Bu Gina menjadi basah. Dianfra yang saat itu tengah mengantarkan keponakannya di acara tersebut menawarkan untuk meminjamkan baju kepada Bu Gina dan beliau pun mengiyakan tawaran tersebut.

Bu Gina menceritakan tentang rencana pertunangan anak sulungnya kepada Diandra, dan meminta Diandra untuk merias calon menantunya. Setelah mengecek jadwal dan dirasa bisa, Diandra pun menyetujui permintaan Bu Gina itu. Dan disinilah Diandra sekarang, berbaring terlentang menutup matanya berharap bisa kembali tidur. Namun bukannya mengantuk, wajah Fandi 'lah yang terbayang di benaknya membuat Diandra kembali menghela nafas.

"Tau gini nggak gue iyain kemaren."

Diandra berdecak, lalu beranjak dari rebahannya. Hpnya berdering, diandra berjalan menuju tas selempangnya yang diletakan diatas koper. Diangkatnya paper bag yang sukses membuat perasaaan acak-acakan karena orang yang mengantarkan. Dirogohnya hp yang masih berdering itu, setelah dapat Diandra segera mengangkat telepon yang ternyata dari kekasihnya yang saat ini melanjutkan studinya ke Australia. Galuh Wicaksono, lelaki yang sudah lebih dari dua tahun Diandra pacari. Diangkatnya palinggilan video dari Galuh, Diandra duduk di sofa yang terdapat di kamar tersebut.

"Kenapa? Tumben nelpon duluan?"

Diandra bertanya heran, pasalnya kekasihnya itu sangat jarang mengabari. Mendapat telepon mendadak jelas membuat Diandra bingung.

"Aku nggak bisa balik tahun ini, nggak apa-apa 'kan? Aku harap kamu bisa ngerti, Di."

Diandra menghela napas lagi. Tebak sudah berapa kali Diandra menghela napas saat ini, bahkan belum sampai sejam sejak dirinya dan Githa makan tadi rasanya Diandra terus-terusan dibuat menghela napas oleh orang orang. Begitu juga Githa yang mendengar perkataan Galuh. Gadis yang tengah memejamkan mata diatas kasur itu ikut menghela napas kasar.

Galuh, lelaki brengsek yang terobsesi dengan gelar itu seakan tak perduli pada pacarnya sendiri. Bahkan Galuh sangat jarang mengabari Diandra, selalu saja Diandra yang memberi kabar duluan. Jika Galuh sudah memberi kabar maka dapat dipastikan lelaki itu hanya mengatakan bahwa dirinya tidak bisa pulang, ataupun jadwalnya tidak ada yang kosong sehingga dirinya tidak bisa libur.

"Terserah kamu lah, aku capek."

Diandra mematikan panggilan video itu dan meleparkan ponselnya kesisi sofa. Diandra menghela napas lelah, Galuh. Entah akan jadi apa hubungannya dengan pria itu. Diandra bahkan saat ini berpikir untuk putus saja dengan Galuh. Namun kesibukannya dibeberapa hari ini membuatnya lupa bahwa dirinya masih mempunyai pacar.

"Nggak mau putus aja, Di?"

Githa yang mendengar helaan napas kasar dari Diandra mendudukan dirinya di ranjang menghadap ke arah Diandra.Diandra kembali menghela napas kemudan memijit kepalanya yang terasa sakit.

"Gue rasa emang nggak bisa lanjut lagi sih Git, capek sendiri gue. Hubungan gue udah masuk ketahap toxic parah."

Bukan tanpa hal Diandra berkata demikian, beberapa Minggu lalu Diandra sempat mengeluh kepada Galuh terkait sikap pria itu. Tetapi Galuh malah tak terima dan mengatakan Diandra terlalu banyak menuntut dan tidak pengertian. Diandra menceritakan itu semua kepada Githa.

"Gila, nggak pengertian katanya. Dianya aja yang gila." Githa menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Terus, mau lu gimana sekarang?"

"Gue pengen putus."

Diandra berkata dengan tegas dan menatap tepat kearah mata Githa. Kali ini sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Diandra muak, sangat muak.

"Bagus, gue setuju."

Disaat keduanya tengah membicarakan hubungan Diandra dan Galuh diluar terdengar suara saling berteriak dan tangisan meraung-raung. Diandra dan Githa yang kepo segera beranjak keluar kamar dan menuruni tangga untuk melihat apa yang terjadi. Suaranya dari arah belakang, yang artinya dari taman tempat acara pertunangan Fandi dan Hilda di laksanakan.

Sayup sayup terdengar bentakan pria yang sepertinya ayah Hilda yang menanyakan tentang janin anak siapa yang tengah dikandung itu, lalu ada sautan parau yang sepertinya suara Hilda. Gadis itu mengatakan bahwa dirinya tidak hamil, hanya sedang tidak enak badan saja. Tidak lebih.

Sesampainya ditaman belakang, Diandra dan Githa segera melipir dan mencari tempat yang pas untuk menonton kejadian tersebut.

"Beneran Hilda dong, wow." Githa menepuk kecil lengen Diandra yang sedang mengandeng lengannya.

"Anjir, pantas tadi muntah-muntah terus bilang pusing."

Diandra balas menepuk lengen Githa. Diandra ingat, tadi saat sesi makeup Hilda sempat muntah muntah saat salah satu keponakan masuk kedalam kamar, anak itu sedang membawa sate ditangannya. Hilda bilang satenya bau dan tak lama Hilda berlari menuju toilet dikamar tersebut dan mengeluarkan isi perutnya. Setelah itu Hilda mengeluh pusing.

"Oh, pantas tadi kamu muntah pas agas masuk kamar bawa sate ya. Tante kira kamu beneran lagi ngga enak badan Hilda."

Ibu dari anak yang memegang sate tadi maju dan menunjuk-nunjuk wajah Hilda dengan emosi.

"Merusak nama keluarga kamu. Dasar."

"Hilda nggak hamil Tante, Hilda cuma nggak enak badan."

Hilda yang saat ini tengah duduk bersimpuh dibawah menatap nyalang kearah salah satu Tantenya yang baru saja bersuara.

"Anak kurang ajar kamu."

Ayah Hilda kembali ingin mengayunkan tangannya kearah Hilda, dan dihentikan oleh ibu Hilda yang berteriak. Ibu Hilda pun segera memeluk anaknya yang masih terduduk dibawah. Keduanya menangis dengan Hilda yang mengatakan bahwa dirinya tidak hamil.

003. Jebakan Jodoh

Sementara itu, sepasang mata tajam memandang kearah Diandra yang sedang saling tepuk lengan dengan sahabat, Fandi yang sedari tadi diam menonton adegan memilukan sekaligus memalukan di depannya tak berhenti menatap kearah Diandra sejak wanita itu berjalan memasuki halaman belakang.

Sementara Diandra sendiri tidak menyadari Fandi yang tengah menatapnya dalam. Diandra dan Githa masih sibuk saling colek dan menepuk pelan lengan masing masing-masing. Tatapan keduanya juga tak lepas dari Hilda yang tengah menangis meraung-raung membantah semua tuduhan yang ditujukan padanya.

Setelah mencari tau dengan bertanya kepada beberapa orang yang ada disana. Diandra dan Githa akhirnya tau penyebab Hilda menangis seperti itu. Tepat pukul 18.00 Hilda yang tadinya diantar ibu dan kakaknya menuju bangku yang telah di siapkan mendadak pingsan didepan pintu penghubung ke taman belakang. Sontak saja hal itu membuat seluruh tamu undangan yang hadir menjadi khawatir. Lalu setelah sadar, Hilda kembali muntah muntah setelah mencium beberapa aroma parfum yang menusuk ke dalam indra penciumannya.

Hal tersebut membuat salah satu Tantenya curiga, setelah tadi mendengar kabar jika saat sesi makeup Hilda juga muntah muntah tidak jelas. Tantenya yang terlihat julid itu semakin memojokkan Hilda, sehingga membuat ibunda Hilda meradang dan terlihatlah aksi adu mulut sampai salah seorang sepupu Hilda menemukan tes pack di tempat sampah kamar Hilda.

Ayah Hilda yang merasa malu, lalu ikut menanyakan kebenaran namun Hilda masih saja membantah tuduhan tersebut. Hingga sekarang puncaknya. Hilda mengaku hamil dan membuat semua orang yang berada disana tercengang.

"Siapa ayahnya?"

Bu Gina bertanya setelah tadi sempat hampir jatuh karena rasa terkejut. Beruntung disebelahnya ada Fandi yang sigap menahan sang ibu. Fandi mendudukan ibunya di bangku yang tadi dirinya duduki.

"Fandi, ini anak Fandi."

Hilda menunjuk perut, lalu menunjuk ke arah Fandi. Fandi yang mendengar hal itu tersenyum miring. Dirinya tidak pernah menyentuh Hilda, bagaimana mungkin anak itu adalah anaknya.

Semua orang yang berada di sana menatap Fandi dengan berbagai macam ekspresi. Fandi tidak perduli akan hal itu, namun sepasang mata teduh berwarna coklat terang yang menatap Fandi dengan sorot yang susah untuk dijelaskan itu mengusik Fandi. Diandra mematung disana, menatap Fandi beralih ke Hilda, lalu kembali ke Fandi lagi. Entah apa yang dirasakan oleh wanita itu, Fandi tidak tau yang jelas Fandi benci situasi ini.

Fandi yang tadinya tengah berjongkok sembari memegang tangan sang ibu yang terduduk di kursi segera bangkit berdiri. Ditatapnya calon tunangannya yang tengah terisak. Tatapan Fandi nyalang, namun Hilda tidak gentar. Terus menyebut bahwa janin yang dikandungnya adalah anak Fandi.

"Fandi? Nak?"

Bu Gina memegang jantungnya yang terasa nyeri. Kepalanya sangat sakit mendengar pengakuan Hilda. Tak lama semuanya menjadi gelap, Bu Gina pingsan. Fandi memerintahkan beberapa anak buahnya yang turut memeriahkan acara tersebut untuk membawa ibunya kerumah sakit terdekat.

Sementara Abidin, ayah Fandi yang tadinya hanya berdiri menyimak dengan baik apa yang terjadi pada calon menantunya berpegangan pada Lingga. Lingga yang tadinya hendak berlari kearah ibunya pun membantu ayahnya untuk duduk. Lingga panik melihat wajah ayahnya yang terlihat pucat.

"Papa baik-baik aja. Kamu ikut mama mu kerumah sakit bareng temen Fandi, ayah disini." Abidin menepuk pelan pundak anak bungsunya.

"Papa yakin?"

Lingga tak tega meninggalkan ayahnya saat ini, namun membiarkan ibunya pergi hanya ditemani anak buah Fandi juga tidaklah etis. Sedangkan Fandi, Lingga tidak perduli, lelaki itu pasti bisa mengatasi masalahnya sendiri. Setelah mendapat anggukan Abidin yang terlihat yakin akan putusannya, Lingga berlari menyusul beberapa anak buah Fandi yang sudah lebih dulu membawa ibunya ke mobil.

Situasi menjadi kacau, kemarahan keluarga Hilda tidak dapat dielakkan. Sumpah serapah tertuju kepada Fandi yang dinilai tidak bisa menjaga Hilda. Padahal faktanya Fandi sangatlah menjaga Hilda. Fandi memang bukan lelaki baik, Naum Fandi juga tida brengsek. Fandi tau batasan mana yang boleh dan mana yang tidak. Dan untuk urusan yang satu itu, Fandi jelas tau bahwa itu salah. Fandi sangat menghormati ibunya, merusak anak perempuan ataupun bermain wanita bukanlah gaya Fandi. Fandi mempercayai hukum tabur tuai itu ada, sehingga Fandi tidak ingin apa yang dirinya lakukan sekarang akan dituai oleh anak cucunya dimasa depan. Oleh karena itu Fandi amat sangat menjaga Hilda, Fandi berjanji kepada dirinya sendiri bahwa dirinya hanya akan melakukan itu ketika sudah menikah, dirinya akan melakukan itu hanya dengan istrinya saja.

"Benar begitu nak Fandi?" Ayah Hilda menatap tajam kearah Fandi yang terlihat santai.

"Jika berciuman bisa menyebabkan hamil, maka benar anak yang dikandung Hilda saat ini adalah anak saya. Tapi nyatanya, ciuman tidak bisa membuat seorang gadis hamil 'kan? Itu artinya anak ini bukan anak saya."

"Anjir, yakali ciuman bisa hamil. Kalau iya, udah bunting berapa kali gue?"

Githa mengikut pelan Diandra yang masih setia merangkul lengannya. Setelah menyaksikan kehebohan karena Bu Gina pingsan, kini keduanya kembali menyaksikan wajah pucat Hilda. Wajahnya benar benar pucat, seperti aliran darah mendadak berhenti.

Mendengar jawaban Fandi semuanya terdiam dan menatap Hilda. Cibiran kembali terdengar sayup sayup. Hilda yang panik kembali menuduh bahwa Fandi lah ayah dari janin yang tengah dikandungnya.

"Mana bukti kalo saya pernah tidur sama kamu. Kamu pernah tidur dengan mantan kamu dulu saya maafkan, karena itu terjadi sebelum kamu kenal sama saya. Sekarang saya tanya baik baik, siapa ayah anak itu Hilda?"

Fandi berdiri dengan pogah menatap Hilda yang masih terduduk dibawah. Semua orang pun kembali tercengang dengan fakta yang Fandi beberkan. Hilda yang dikenal sebagai anak baik, penurut, dan pendiam itu ternyata tidak sebaik itu. Cibiran kembali terdengar membuat tangis Hilda kembali meraung-raung. Hilda berteriak dan melempar apa saja yang ada di dekatnya.

"Anak kamu Fandi. Ini anak kamu. Kamu harus tanggung jawab."

"Saya tidak pernah menyentuh kamu, saya tidak pernah meniduri kamu. Dan kamu mau saya tanggung jawab?"

Fandi terkekeh, pria tampan itu memijit pangkal hidung nya. Fandi menguyar rambut hitamnya kebelakang membuat beberapa gadis di sana salah fokus akan ketampanannya, termasuk Diandra juga. Diandra yang sadar akan situasi segera menggelengkan kepalanya.

"Hilda, pertunangan kita batal. Saya tidak mau bertanggung jawab atas anak yang bukan darah daging saya, dan membiarkan pria yang seharusnya bertanggung jawab atas anak itu bebas berkeliaran diluar sana."

Fandi melangkah menuju ayahnya, dan segera mengandeng lelaki paruh baya itu untuk keluar dari kediaman Hilda. Melihat hal itu, Hilda kembali meradang dan mengejar Fandi. Hilda mencekal lengan Fandi, Fandi yang merasa jijik pun menghempaskan tangan Hilda dengan kasar sehingga Hilda tersungkur ke tanah.

"Papa duluan, nanti Fandi bareng anak buah Fandi."

Abidin mengangguk, lalu Fandi mengkode anak buahnya yang tadi hanya ikut mengantar ibu Fandiya pergi dari sana. Setelah ayahnya tak lagi terlihat, Fandi berbalik memandang Hilda yang memohon dibawah kakinya.

"Aku mohon sama kamu buat tanggung jawab, ini anak kamu. Kamu nggak bisa lepas tangan gitu aja."

Fandi memundurkan langkahnya dan mengelap celana hitamnya yang barusan dipegang oleh Hilda. Raut wajahnya seakan menunjukkan bahwa Hilda adalah makhluk paling menjijikan. Hal itu membuat ibu Hilda murka.

"Kamu! Kamu harus tanggung jawab Fandi! Jangan mau enaknya aja kamu! Setelah putri saya hamil, lalu kamu mau lepas tangan gitu aja! Jangan jadi pria brengsek kamu Fandi!"

Ibunda Hilda menunjuk Fandi dengan berteriak. Dirinya tidak terima anak tersayangnya diperlakukan seperti itu. Dirinya percaya pada Hilda, bahwa janin itu adalah anak Fandi. Fandi merusak anaknya, anak gadis kesayangannya.

"Sekali lagi saya tegaskan, saya tidak akan bertanggung jawab. Karena janin ini memang bukan anak saya. Saya bukan lelaki brengsek Bu, saya juga bukan lelaki baik yang akan menerima dengan tulus janin ini dan membiarkan lelaki yang seharusnya bertanggung bebas berkeliaran di luaran sana. Saya tidak sebaik itu."

Ibunda Hilda yang masih tidak terima itu kembali berteriak menyuruh Fandi bertanggung jawab. Kesal dengan hal itu, Fandi berjalan kearah Diandra dan Githa yang masih setia menabok lengan satu sama lain. Dan jangan lupakan Diandra yang masih setia juga merangkul lengan Githa, jangan lupakan ekspresi julid Githa yang terlihat jelas itu.

Melihat Fandi yang sepertinya berjalan kearah dirinya, Diandra menjadi deg-degan. Dirinya bertanya tanya Fandi akan kemana, sangat tidak mungkin jika Fandi berjalan kearah dirinya 'kan. Sibuk dengan pemikirannya sendiri, Diandra bahkan tak sadar kalau Fandi sudah berada dihadapan.

Fandi menarik lengan Diandra dan sebelah tangannya memegang tengkuk wanita itu. Fandi menciuminya didepan banyak orang. Sekali lagi, FANDI MENCIUMINYA DIDEPAN BANYAK ORANG. Diandra menahan napasnya, sebuah benda kenyal itu menempel tepat dibibir nya. Bukan hanya menempel, benda kenyal itu juga sedikit melumat bibirnya.

Setelah dirasa puas, Fandi melepaskan lumatannya pada bibir Diandra. Dilapnya bibir mungil itu dengan jempol, lalu menggandeng bahu Diandra dengan mesra. Diandra yang masih mencerna situasi itu pun pasrah saja. Sedangkan Githa yang berada disamping Diandra membekap mulutnya tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Matanya melotot kearah Diandra yang saat ini terlihat seperti orang bodoh.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!