Di sebuah rumah besar yang dulunya penuh dengan canda tawa dan kehangatan, kini hanya sunyi yang menggema di setiap sudut ruangannya. Lebih tepatnya di ruang makan, tempat yang seharusnya menjadi saksi kebahagiaan malam itu. Makanan tersaji dengan indah di atas meja panjang berlapis kain putih bersih—nasi hangat yang kini telah dingin, sup yang uapnya sudah menghilang, dan lauk-pauk yang dibuat dengan sepenuh hati. Aroma harum yang tadi sempat memenuhi ruangan, kini hanya menyisakan kesepian yang menyesakkan.
Di ujung meja, duduk seorang perempuan cantik, usianya dua puluh delapan tahun. Rambutnya disanggul rapi, make-up tipis menghiasi wajah yang pucat, namun matanya tampak lelah, menyimpan duka yang sudah terlalu sering dipendam. Ia tidak menyentuh sepiring pun makanan di hadapannya. Tangannya hanya menopang dagu, sementara pandangannya terpaku ke arah pintu depan yang tertutup rapat dan ponselnya yang tergeletak di meja. Sesekali ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh oleh harapan dan kekecewaan yang saling bertarung.
“Apakah ini akan terulang kembali... seperti tahun-tahun sebelumnya?” gumamnya lirih, dengan suara yang nyaris tenggelam dalam keheningan. Tawanya pelan, getir, nyaris seperti isak yang ditahan.
Ini bukan pertama kalinya ia menunggu dalam diam. Bukan pula yang kedua. Sudah lima tahun lamanya ia menjalani peran sebagai istri—seorang istri yang selalu merindukan kehadiran suaminya di momen-momen yang paling berarti. Hanya tahun pertama pernikahan suaminya menemani nya merayakan anniversary pernikahan.
Namun, tahun berikutnya, setiap tahun, setiap tanggal yang seharusnya istimewa, ia selalu ditinggal dengan alasan yang sama: pekerjaan, kemacetan, urusan mendadak. Alasan yang terus berulang, dan semakin lama, terasa semakin hampa.
Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, ke kursi kosong di seberangnya. Kursi itu seharusnya diduduki oleh sosok yang ia cintai. Seseorang yang dulu berjanji akan membuatnya bahagia. Tapi malam ini, seperti malam-malam lainnya, ia hanya ditemani oleh kesunyian dan janji yang kembali tak ditepati.
Air matanya menetes perlahan, jatuh ke atas meja, menyatu dengan sejuknya malam. Mungkin ia masih berharap, mungkin ia masih percaya. Tapi di lubuk hatinya yang paling dalam, ia mulai bertanya... sampai kapan ia harus terus menunggu?
Wajah perempuan itu kian memucat. Sudah berjam-jam ia duduk di ruang makan, menatap jam dinding yang terus berdetak tanpa kompromi. Perutnya sudah sejak tadi memberontak, namun ia menahannya. Bukan karena tak ada makanan, tapi karena satu alasan yang terus ia pegang teguh—ia ingin menyambut suaminya pulang, makan bersama seperti dulu, seperti saat semuanya masih terasa hangat dan penuh cinta.
Padahal, tubuhnya tidak sekuat dulu. Ia memiliki riwayat asam lambung yang parah. Sedikit saja terlambat makan, tubuhnya bisa gemetar, perutnya terasa perih seperti disayat. Tapi demi pria yang ia cintai—atau yang masih ia yakini cintanya—dia rela menanggung semuanya.
Bukankah itu definisi dari cinta yang bodoh? Cinta yang tak logis, tapi terus dipeluk erat-erat?
Di sudut ruang, seorang asisten rumah tangga memperhatikan dengan gelisah. Ia sudah lama bekerja di rumah ini dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa sabarnya majikannya menanti setiap malam. Sering kali dalam diam. Sering kali dengan tatapan kosong ke luar jendela, seperti berharap sesuatu akan berubah.
Perlahan, dia mendekat. Suaranya pelan dan penuh khawatir. "Nyonya, wajah Nyonya... kelihatan pucat sekali. Sebaiknya Nyonya makan dulu. Tuan pasti akan datang terlambat seperti biasa."
Perempuan itu tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip dengan topeng daripada ekspresi tulus. "Aku baik-baik saja, Bi. Aku akan menunggu kepulangan Mas Ardian. Dan aku yakin sekali, dia akan datang sebentar lagi," ucapnya sambil membelai pergelangan tangannya, menenangkan diri. Tapi dalam hatinya, keraguan membuncah. Bahkan ia tak tahu apakah ucapannya itu ditujukan untuk Bibi atau untuk menenangkan dirinya sendiri. Kalimatnya seperti mantra kosong yang diulang-ulang agar luka batinnya tidak semakin dalam. Sungguh, ini bukan sekadar kesabaran—ini adalah bentuk manipulasi terhadap diri sendiri.
ART itu membuka mulut, ingin berkata sesuatu, namun belum sempat keluar satu kalimat pun, terdengar suara mobil memasuki pekarangan rumah. Suara mesin yang begitu dikenal, yang tiap malam ditunggu dengan harap-harap cemas.
"Tuh kan, apa aku bilang. Mas Ardian pasti datang," ucap perempuan itu, senyumnya kali ini sedikit lebih tulus, meski tetap ada getir yang sulit disembunyikan. Ia berbisik lirih, nyaris tak terdengar, "Walaupun dia datang terlambat."
Bibi hanya membalas dengan senyum kecil, tidak ingin mengganggu momen itu. Namun, di dalam hatinya, ia merasa getir. Ia tahu, nyonyanya terlalu baik. Terlalu setia. Bahkan untuk seseorang yang kadang lupa pulang, lupa memberi kabar, dan lupa bahwa di rumah ini ada seseorang yang menunggunya dengan seluruh cinta yang tersisa.
Bibi pernah tanpa sengaja melihat sang nyonya menangis sendirian di kamar. Perempuan itu selalu berusaha terlihat kuat di depan orang lain, namun begitu pintu tertutup, air matanya mengalir deras, seolah seluruh luka yang dipendam tumpah sekaligus. Tak pernah sekali pun dia mengadu. Tak pernah memaki. Ia hanya menangis dalam senyap.
Hari ini pun, meski suaminya akhirnya datang, Bibi tahu luka itu belum sembuh. Hanya tertunda. Seperti luka lama yang ditutupi perban baru. Dan setiap malam, drama yang sama akan terulang. Cinta yang diam-diam menyiksa, tapi tetap dipeluk dengan sabar oleh seorang perempuan yang terlalu setia.
Pintu utama akhirnya terbuka. Ardian, sang suami, masuk dengan langkah cepat namun tak tergesa. Raut wajahnya seperti biasa—tenang, sedikit lelah, dan sulit dibaca. Ia melepas sepatu di depan pintu, menyampirkan jas kerja ke lengan, lalu tersenyum ketika melihat istrinya masih duduk di ruang makan.
“Eva sayang... maaf ya, aku pulang telat lagi,” ucapnya seraya berjalan mendekat. Ia mencium kening istrinya sekilas, kemudian duduk di sebelahnya.
Perempuan itu menatap suaminya dengan pandangan yang sulit dijelaskan—antara lega, kecewa, dan tetap ingin percaya.
"Aku masak makanan kesukaanmu," ucapnya pelan, mencoba menyembunyikan suara gemetar. "Aku kira kita bisa makan bareng malam ini."
Ardian tersenyum, lalu mengusap lembut punggung istrinya. “Aduh, sayang... aku tadi ada meeting dadakan. Klien dari luar negeri, susah banget dijadwalin. Tadinya aku pikir bisa kabur lebih cepat, tapi tahu sendiri lah kalau udah urusan kerjaan.”
Istrinya mengangguk kecil. Ia tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya menyimak.
“Terus,” lanjut Ardian, seolah merasa perlu memperkuat alasannya, “habis dari kantor, aku sempat mampir ke toko roti langganan kamu itu, yang kamu suka banget. Tapi udah tutup, yank. Aku telat banget sampai sana.”
Dia merogoh sakunya, mengeluarkan selembar kertas kecil—struk parkir—dan menunjukkannya seperti bukti tak terbantahkan.
“Lihat, ini jam aku keluar dari sana. Setengah sembilan lewat. Aku niat kok, yank. Beneran.”
Perempuan itu mengangguk lagi. Kali ini senyumnya muncul, tapi tetap lemah. “Iya… aku percaya, Mas.”
“Sorry banget ya, kamu nunggu lama. Aku tahu kamu suka nahan lapar kalau belum makan bareng aku. Tapi kamu nggak usah kayak gitu lagi, yank. Jangan sampai sakit, aku nggak mau lihat kamu kayak gini terus.”
Ia memeluk istrinya dengan satu tangan. Hangat, tapi juga terasa seperti pelukan kewajiban. Perempuan itu bersandar di bahunya. Ada sedikit kenyamanan di sana, meski hatinya masih menyimpan pertanyaan yang tak berani ia ucapkan.
Di kejauhan, Bibi hanya diam, memperhatikan dari balik pintu dapur. Ia melihat segalanya, mendengar setiap nada dalam suara sang Tuan—dan melihat tatapan kosong sang Nyonya yang berpura-pura bahagia.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, kembali ditutup dengan kata-kata manis, pelukan, dan senyuman yang dipaksakan. Namun cinta, jika terus dipaksakan untuk percaya tanpa bukti nyata, lama-lama bisa berubah bentuk. Bisa menjadi luka yang lembut tapi dalam—yang tak tampak di permukaan, tapi perlahan menggerogoti hati.
***
Jangan lupa tinggalkan jejak kaki yaa ehh komentar, maksudnya 🤧🤣
"Kalau begitu, kamu makan saja. Mas mau ke kamar mandi, badan Mas gerah sekali," ucap Ardian dengan nada datar, seolah-olah kalimat itu adalah hal paling wajar di dunia. Tanpa menunggu balasan, tanpa menoleh lagi, dia langsung berjalan menuju kamar. Langkahnya cepat dan santai, seperti seseorang yang benar-benar tak menyadari ada sesuatu yang sedang pecah pelan-pelan di hadapannya.
Eva. Perempuan cantik itu masih duduk di tempatnya, membatu. Tatapannya kosong, menembus ruang yang kini hanya berisi keheningan. Suara pintu kamar yang tertutup menjadi satu-satunya isyarat bahwa suaminya telah benar-benar pergi dari pandangan—dan entah kenapa, terasa juga seperti menjauh dari hatinya.
Sakit.
Tentu saja.
Sakit itu tidak perlu dijelaskan. Ia hadir seperti kabut—pelan, tapi mencekik.
Tenggorokannya tercekat. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia buru-buru memejamkannya. Tidak malam ini. Jangan menangis malam ini, batinnya merintih. Tapi hatinya berkata lain. Hatinya sedang berteriak, meronta, menggedor kesadaran: Malam ini malam apa? Kenapa dia bahkan tidak ingat?
Anniversary. Lima tahun pernikahan. Lima tahun sejak mereka mengucap janji suci di hadapan Tuhan, di hadapan keluarga dan sahabat. Lima tahun sejak ia meyakinkan dirinya bahwa pria itu adalah takdirnya.
Dan malam ini? Tak ada bunga. Atau sekedar ucapan semata. Hanya permintaan maaf saja, itu pun seperti kalimat lumrah pada umumnya. Tak ada kalimat, “Selamat ulang tahun pernikahan, sayang." Bahkan tatapan pun tak ada. Yang ada hanya kalimat biasa, seperti suara air keran, dan pintu yang menutup dingin.
Dia mendongak perlahan, menatap ke langit-langit rumah yang terlalu sunyi.
Apakah dia lupa? Atau… apakah dia memang tak peduli lagi?
Pertanyaan itu menggantung seperti asap di dada Eva—semakin lama semakin pekat.
Dia menarik napas panjang. Ingin marah? Ya. Tapi apakah dia bisa?
Apakah ia harus berontak? Membanting piring? Menyusul suaminya dan menuntut penjelasan? Tapi itu bukan dirinya. Ia bukan perempuan yang hobi bertengkar. Ia bukan wanita yang membesar-besarkan masalah.
Bukankah itu... kekanakan?
Namun kali ini, batinnya berontak sendiri. Lalu sampai kapan aku harus diam?
Selama ini ia selalu sabar. Ia selalu memahami. Selalu memberi ruang. Tapi ruang itu kini terasa seperti jurang, dan dirinya sendiri seperti sedang jatuh perlahan, tanpa pegangan.
Suara dari kamar terdengar samar. Mungkin keran air menyala. Atau mungkin Ardian sedang bercermin, membasuh wajahnya, tanpa tahu bahwa di luar sana, ada seseorang yang sedang kehilangan kepercayaan satu demi satu.
Eva menunduk. Tangannya meremas kain baju di pangkuannya. Dadanya sesak, tapi ia tetap diam. Bahkan malam ini, di hari yang seharusnya menjadi momen paling indah, ia tetap memilih menjadi perempuan yang diam—karena ia tidak tahu, apakah suaranya masih punya arti di hati suaminya.
Eva duduk termenung di meja makan, menatap makanan yang kini sudah dingin. Uap hangat yang tadinya mengepul dari nasi dan lauk-pauk itu sudah lama menghilang, menyisakan aroma samar yang tak lagi menggugah selera. Sendok di tangannya hanya digerakkan perlahan, seolah kehilangan tujuan.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang berat. Ia akhirnya mulai menyuapkan makanan ke mulutnya, meski tanpa nafsu. Padahal, perut nya terasa perih sejak tadi. Setiap kunyahan terasa hambar, seakan lidahnya tak mampu merasakan apapun. Tak ada suara selain denting halus dari sendok yang menyentuh piring porselen, dan gemericik air dari kamar mandi di ujung lorong. Suaminya masih mandi, seperti biasa, tanpa tahu bahwa Eva telah menunggunya cukup lama.
Selesai makan, Eva membereskan meja dengan gerakan pelan. Asisten rumah tangga nya mendekat, "Biar saya saja yang membersihkan nya, nyonya."
Eva tidak punya tenaga banyak lagi, akhirnya dia mengangguk, "Terimakasih, Bi."
"Sama-sama, Nyonya. Ini sudah menjadi kewajiban saya." sahut Bi Mala
Bibi Mala pun membawa piring tersebut ke dapur. Sedangkan Eva, dia berjalan menuju kamarnya dengan langkah lesu. Saat tiba di dalam kamarnya, matanya tanpa sengaja tertuju pada ponsel suaminya yang tergeletak di sana. Layar menyala karena notifikasi masuk.
Seketika langkah Eva terhenti. Ia menoleh, memastikan suara air di kamar mandi masih terdengar. Hatinya berdebar, bukan karena rasa penasaran semata, tetapi karena firasat yang pelan-pelan muncul dari dalam dadanya.
Satu pesan baru muncul di layar terkunci—nomor itu tidak diberi nama, hanya deretan angka yang asing, tetapi pesannya cukup singkat untuk terbaca jelas: “Makasih yaa, sayang. Baju nya pas banget ke tubuh aku. Aku suka sekali 😍😍 "
Jantung Eva langsung berdegup kencang, seperti baru saja dipukul keras dari dalam. Matanya tak berkedip menatap layar yang masih menyala, memperlihatkan pesan yang terasa seperti tamparan. Kata “sayang” dan emosticon tatapan penuh cinta itu menggema dalam pikirannya, bergema seperti suara yang tak kunjung padam. Hatinya mencelos. Tubuhnya mendadak terasa dingin, meskipun udara malam masih cukup hangat.
Siapa yang berani memanggil suaminya dengan sebutan seperti itu? pikir Eva. Tangannya gemetar, seolah-olah ponsel itu bisa terbakar hanya karena tatapannya yang penuh kemarahan. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak perasaan yang mulai membuncah.
Apakah suaminya diam-diam selingkuh? Tapi… sejak kapan? Sejak kapan dia mulai menyembunyikan sesuatu? Eva mencoba mengingat-ingat. Tiga tahun terakhir ini, memang ada yang berubah. Suaminya jadi lebih sering sibuk dengan ponselnya, sering pulang lebih malam, dan kadang terlalu cepat tidur—seakan tak ingin diajak bicara panjang lebar.
Tapi apakah semua itu cukup jadi tanda? Apakah Eva hanya terlalu curiga?
Ia melirik lagi ke kamar mandi, suara air masih mengalir. Waktu terasa melambat. Otaknya sibuk menyusun kemungkinan, hatinya berteriak ingin tahu lebih banyak, tapi tubuhnya seolah membeku di tempat.
Dia ingin membuka ponsel itu. Ingin tahu isi percakapan lengkapnya. Tapi ponsel terkunci, dan Eva tahu suaminya sudah lama mengganti sandinya. Mengapa? Kenapa harus mengganti sandi jika tak menyembunyikan apa-apa?
Pikiran Eva bercabang, antara ingin percaya, dan takut bahwa kepercayaan itu akan dikhianati. Ia menatap ponsel itu sekali lagi, lalu mengambilnya pelan-pelan… dan menyelipkannya di balik bantal. Bukan karena ia tak ingin tahu, tapi karena ia tahu—malam ini, keheningan tidak akan membawa kedamaian.
Beberapa menit kemudian, suara air dari kamar mandi berhenti. Tak lama, pintu terbuka, dan sang suami keluar sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Ia tampak seperti biasa—santai, tanpa beban. Bahkan sempat tersenyum kecil saat melihat Eva duduk di tepi tempat tidur, menunduk, seolah sedang memikirkan sesuatu.
“Sayang, kamu belum tidur?” tanyanya ringan, sambil berjalan menuju lemari.
Eva menoleh perlahan, mencoba tersenyum, walau bibirnya terasa kaku. “Belum ngantuk,” jawabnya singkat. Suaranya terdengar datar, tapi suaminya tampak tak menyadarinya.
Suaminya mengganti pakaian, lalu naik ke atas tempat tidur. Ia mengambil ponselnya di atas bantal—yang kini sedikit bergeser karena Eva meletakkannya di sana. Sekilas, ia terlihat ragu, namun cepat-cepat membuka layar, memasukkan sandi, dan menengok ke arah Eva dengan senyum.
“Ada apa?” tanyanya, seolah tak ada yang terjadi.
Eva memandang suaminya dalam diam, matanya menelisik ekspresi wajah pria itu. “Enggak,” katanya akhirnya. “Cuma kepikiran aja.”
“Kepikiran apa?”
Eva mengalihkan pandangan. Di satu sisi, ia ingin langsung bertanya soal pesan itu. Ingin menuntut jawaban, ingin tahu kebenaran. Tapi di sisi lain, ia takut akan jawaban yang mungkin akan mengubah segalanya.
Lalu dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, Eva bertanya, “Kamu ada beliin baju buat siapa hari ini?”
Pertanyaan itu membuat suaminya sedikit terdiam. Ada jeda, sepersekian detik, sebelum ia menjawab. “Baju? Oh... iya, aku bantuin temen kantor beliin hadiah buat adiknya. Dia minta tolong karena lagi sibuk.”
Eva mengangguk pelan, menelan keraguan yang masih menggantung. “Oh gitu…”
Tapi di dalam hatinya, badai belum mereda. Wajahnya mungkin tampak tenang, tapi pikirannya terus menimbang-nimbang: apakah jawaban itu jujur? Atau hanya awal dari sebuah kebohongan yang lebih besar?
Di malam yang senyap itu, Eva berbaring memunggungi suaminya. Mata terbuka, menatap gelap. Dan di balik selimut, pertanyaan demi pertanyaan masih berdengung… tanpa jawaban.
"Sayang, kamu jangan berpikir yang macam-macam yaa. Aku enggak melakukan hal aneh apapun kok." ucap Ardian saat melihat punggung istrinya, tatapan nya seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
"Aku percaya kok, Mas." sahut Eva singkat, "Aku tidur duluan yaa, aku ngantuk banget." ucap Eva lagi
"Lho, kok tumben sih. Padahal aku lagi pengen lho! Ayo dong sayang. Aku enggak tahan nih." ucap Ardian dengan nada kesal, karena dia sedang menahan hasrat sejak tadi. Tapi, istrinya justru menolaknya dengan alasan ngantuk.
"Maaf, Mas. Aku ngantuk banget." ucap Eva dengan nada tak goyah, padahal selama ini dia selalu menuruti perkataan suaminya. Tapi, malam ini dia enggan sekali melakukan apapun.
"Ckk... Yasudah!" ketus Ardian. Lalu, dia beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk melakukan pelepasan.
***
Keesokan paginya, mentari baru saja menyingkap tabir gelap malam, menyusup perlahan melalui celah tirai jendela yang setengah terbuka. Cahaya keemasannya jatuh lembut di lantai dapur, membentuk pola-pola cahaya yang bergerak pelan, seolah enggan mengganggu keheningan pagi yang masih suci. Udara masih menyimpan sisa dingin malam, menghembuskan aroma embun dan dedaunan basah yang menyelinap masuk dari celah-celah ventilasi, menambah kesyahduan suasana.
Dengan langkah ringan, namun mata yang sedikit sayu, Eva turun ke dapur. Suaranya tak bersuara, tapi hatinya gaduh. Di sana, seperti biasa, Bibi sudah lebih dulu berdiri di depan meja, sibuk menyiapkan bahan-bahan masakan. Suara pisau menyentuh talenan terdengar ritmis, menenangkan.
Eva mengerahkan seulas senyum. Tipis, nyaris tak terlihat. Tapi cukup untuk menutupi gejolak yang tengah mengaduk-aduk dadanya.
“Apa hari ini kita masak yang istimewa, nyonya?” tanya Bibi sambil memotong bawang, nada suaranya ramah dan hangat.
Eva menarik napas pelan, seolah menenangkan dirinya. “Telur dadar keju, roti panggang, dan sedikit buah. Biar agak spesial,” jawabnya sambil menuangkan adonan ke wajan. Suaranya ringan, tapi hatinya berat.
Wajah Eva tampak sumringah, gerak-geriknya luwes, seperti perempuan yang tengah bahagia menjalani perannya. Tapi jika seseorang cukup peka, cukup peduli untuk menatap lebih dalam, akan terlihat keretakan halus di balik senyum manis itu—seperti kaca bening yang retak di satu sudut, nyaris tak terlihat, tapi siap pecah kapan saja.
Semalam, ada sesuatu yang mengusik. Sebuah pesan. Pendek. Misterius. Tapi cukup untuk membuat dunia Eva berguncang. Ia belum sempat memahaminya sepenuhnya, tapi bayang-bayangnya masih tertinggal di pelupuk mata, menghantui pikiran.
Namun pagi ini, ia memilih untuk bangkit. Ia memilih untuk tetap menjalankan perannya—bukan karena ia tidak terluka, tapi karena ia tahu: jika ia berhenti, segalanya bisa runtuh. Rumah ini. Kepercayaan. Mungkin juga pernikahan mereka. Jadi ia menutupi luka dengan rutinitas, menambal duka dengan senyum, dan menyelipkan permintaan maaf dalam tiap iris keju yang ia masukkan ke dalam telur.
Bukan karena ia bersalah. Tapi karena semalam, ketika suaminya mendekat dengan lembut, menginginkan keintiman, ia menolak. Bukan karena tidak cinta, tapi karena pikirannya terlalu penuh. Tubuhnya terlalu letih. Hatinya terlalu bising. Dan ia tahu, ia bisa merasakan—suaminya kecewa. Diamnya seperti tirai tebal yang menutupi ruang di antara mereka. Tak ada kata, hanya tatapan yang menjauh.
Eva tidak ingin luka itu melebar. Jadi ia mencoba merawatnya dengan hal kecil. Sarapan hangat. Kopi hitam kesukaan suaminya. Dan senyuman—yang ia paksa hadir meski hatinya belum pulih.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Berat, tapi teratur. Eva menoleh, dan di sana, suaminya muncul dengan pakaian kerja yang rapi, dasi yang sudah sempurna diikat. Wajahnya tenang, namun tidak sepenuhnya lepas dari ketegangan yang tertinggal dari malam tadi.
“Sarapan dulu, aku buatkan khusus hari ini,” ucap Eva dengan suara lembut, mencoba menyapa seperti biasa, seolah tak ada yang berbeda.
Suaminya tersenyum kecil. Duduk. Menatapnya sesaat, ada jeda yang terasa begitu panjang dalam keheningan singkat itu. “Wangi banget… kayaknya enak nih.”
Eva hanya membalas dengan senyum. Kali ini lebih meyakinkan, meski masih menyisakan sisa getir di sudut bibir. Ia menuangkan kopi dengan tangan yang tenang, padahal hatinya masih diguncang gelombang.
“Cobain aja. Semoga suka,” ucapnya pelan.
Mereka duduk berhadapan. Meja makan itu menjadi saksi dua hati yang sedang mencari jalan kembali. Dari luar, semuanya tampak normal. Seperti pasangan lain yang memulai pagi mereka dengan sarapan dan obrolan ringan. Tapi di dalam Eva, badai masih belum reda. Ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang belum sempat ditanyakan. Dan mungkin, belum siap untuk dijawab.
Tapi untuk saat ini, ia memilih diam. Menunggu. Menyembunyikan luka dalam lapisan-lapisan cinta dan tanggung jawab. Karena terkadang, cinta yang paling dalam tak terlihat dalam pelukan, tapi dalam upaya bertahan—meski hati masih bergetar.
Tiba-tiba, dering telepon memecah suasana. Tajam, mendesak, seolah membawa kabar dari dunia lain yang tak terjangkau oleh kehangatan dapur pagi itu. Ardian meraba saku celananya dengan gerakan refleks, lalu menatap layar ponsel. Sekejap saja, rona wajahnya berubah. Ada sesuatu dalam sorot matanya—sebuah kekhawatiran yang tak sempat disembunyikan, atau mungkin, tak ingin dijelaskan.
Eva sempat membuka mulut, hendak bertanya. Namun Ardian lebih dulu berdiri. “Sebentar ya, aku harus angkat ini,” katanya cepat, suaranya seperti pecahan kaca—rapuh, dan terasa jauh.
"Selesaikan dulu sarapannya, Mas."
Sejenak Ardian meragu, dia menatap istrinya, kemudian menatap ponselnya yang terus saja berbunyi.
"Ini sangat penting, Eva."
"Apakah sarapan yang istrimu masak tidak penting?" tanya Eva dengan wajah datar, namun tatapannya fokus pada makanan.
Sementara itu, Ardian menatap lekat wajah istrinya. Dia merasa, istrinya tengah menyindirnya.
"Bukan begitu, tapi ...." belum sempat Ardian melanjutkan, Eva memotongnya.
"Silahkan saja kamu pilih. Meneruskan sarapan bersamaku atau menerima telepon itu?" potong Eva dengan tatapan datar pada suaminya. Nada suaranya terdengar serak, namun Ardian tidak menyadarinya.
"Kenapa kamu jadi egois begini sih?" ucap Ardian dengan nada kesal
"Aku tidak egois. Aku hanya mengatakan apa yang ingin aku sampaikan. Kamu bekerja siang dan malam, dan mengumpulkan uang yang begitu banyak. Lalu, saat kamu ingin sarapan. Tiba-tiba ada telepon penting, dan kamu ingin mengangkat nya. Lalu, kamu mengabaikan sarapan buatan istrimu. Mau kamu apa, Mas?"
"Aku makin enggak ngerti arah pembicaraan kamu. Aku cuma ingin angkat telepon doang, Eva!"
"Kamu tahu, Mas. Tadi malam adalah anniversary pernikahan kita yang ke -- lima. Aku... aku menunggumu berjam-jam di meja makan. Dan kamu bilang, kamu akan datang tepat waktu. Tapi nyatanya, kamu telat datang dan pulang dengan menyampaikan alasan seperti biasa. Kamu membiarkan aku makan malam sendiri merayakan anniversary kita. Apalah pernikahan kita tidak ada artinya lagi di matamu, Mas? Apakah kamu sudah bosan dengan ku?" tutur Eva dengan suara serak dan lirih.
Ardian mendengar tutur kata istrinya. Dia benar-benar lupa akan anniversary pernikahan mereka. Karena dia begitu sibuk tadi malam. Dia ingin menyahuti perkataan istrinya, namun ponselnya terus saja berbunyi.
Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi. Langkahnya tergesa, nyaris seperti melarikan diri. Punggungnya menjauh tanpa menoleh. Hanya bayangan yang tertinggal, menghilang di balik dinding ruang tamu, meninggalkan Eva duduk sendiri di meja makan—meja yang baru saja dipenuhi kehangatan, kini terasa dingin dan asing.
Hening.
Eva mematung. Tangannya masih menggenggam cangkir kopi yang kini tak lagi beruap. Matanya menatap kosong pada piring yang sudah nyaris bersih. Semua yang tadi terasa berarti kini runtuh begitu saja, hanya dalam detik-detik hening yang memanjang terlalu lama.
Ia menarik napas dalam-dalam, tapi udara yang masuk tak cukup untuk mengisi dadanya. Jantungnya berdegup tak karuan, seolah ikut membaca gelagat yang tak terucap. Ada sesuatu yang janggal. Bukan sekadar telepon biasa. Bukan sekadar urusan kantor.
Itu terlihat jelas—dari cara Ardian menghindari matanya, dari bagaimana suaranya berubah, dari keheningan yang tiba-tiba menggantung seperti awan gelap di langit yang baru saja cerah.
Eva menggigit bibirnya pelan, mencoba menahan sesuatu yang tak ingin jatuh—air mata atau kecurigaan, entahlah. Kepalanya penuh tanya, tapi bibirnya tetap diam. Ia hanya duduk di sana, membeku di tengah pagi yang terus berjalan tanpa belas kasihan. Di antara aroma kopi yang dingin, dan suara jam dinding yang tak pernah berhenti berdetak, Eva merasa semakin sendiri.
Dan untuk pertama kalinya pagi itu, ia benar-benar merasa ditinggalkan. Bukan karena langkah Ardian yang menjauh—tapi karena hatinya mulai merasa bahwa yang pergi… mungkin takkan benar-benar kembali.
"Kamu tega sekali, Mas." gumamnya sembari mendongak kan kepala, menahan air matanya yang ingin jatuh.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!