Namaku Helmy Syahputra. Orang biasa memanggilku Agam. Aku adalah manusia yang dilahirkan tidak peka. Seorang lelaki yang bisa disebut lebih sering kurang beruntung untuk mendapatkan kasih sayang seorang wanita yang aku inginkan. "Hahahahaha..." Jika kalian bertanya mengapa? Aku pun tidak tau mengapa. Namun betapa anehnya, aku bisa tertawa meski jalan hidupku seperti ini. Namun aku sangat berterima kasih kepada Tuhan yang telah menciptakan hatiku penuh rasa syukur.
Inilah sebuah cerita yang biasa-biasa saja, tidak ada faedahnya. Hari ini adalah di mana hatiku telah siap untuk patah dari kesekian kalinya. Ya benar, kali ini hati aku mengemis kepada logika untuk mengundang seorang wanita
agar menetap di relung sukmaku. Namanya adalah Cut Lamkaruna Maula. Seorang wanita yang biasa-biasa saja di mata lelaki lain, namun dimataku ia yang mampu mengendalikan elemen darah sehingga jantungku berdetak
cepat.
Kamar bagiku adalah surga dunia kedua setelah hutan dan pantai. Di mana aku bisa merencanakan sesuatu dengan matang dan berimajinasi dengan jelas ketika ego tidak diberi makan. Buku dan kopi yang menemaniku pagi ini. Hidupku yang datar dan biasa-biasa saja, aku tetap bisa mensyukuri. Aku juga masih bisa tertawa di saat sendiri. Memang sihh seperti orang gila. Inilah aku, tetap bisa tersenyum tawa meski tidak ada wanita yang mendampingi.
Aroma kopi mengingatkanku pada sebatang rokok. Lalu membakar dan menghirup dalam-dalam. "Ssss.. huuufffhh..." Imajinasiku semakin terlihat jelas ketika aku membaca buku karya Fiersa Besari yang berjudul 'Garis Waktu' yang berbunyi 'Menangis tidak membuktikan kau lemah, itu mengindikasikan kau hidup. Apa yang kau lakukan setelah menangislah penentu lemah atau tidaknya dirimu'. Aku pun tersenyum, jiwa bangkit seperti ada dorongan dalam motivasi tersebut. Telepon berdering menandakan aku harus kumpul di taman Bambu Runcing dengan teman-teman. Dan bergegas berangkat dengan sepeda motor kesayanganku.
Aku pun telah sampai di tempat yang telah ditentukan oleh temanku. Siang ini aku dan teman-teman berkumpul dan merencanakan pukul 20:00 wib untuk menghadiri sebuah acara tunangan Abay. Kami berkumpul di kedai kopi.
"Wey, nanti malam kita kumpul di mana?" kata Dery.
"Di lapangan Merdeka aja, gimana?" sahut Angga.
Lalu, Megy yang baru berkumpul menjawab "Udah-udah, jangan ribut lagi, nanti malam kita langsung aja ke rumah Abay. Gimana? cocok?"
Akhirnya kami pun setuju dengan usulan Megy. Setelah kami menyepakati semua, kami pun kembali kediaman masing.
Setiba di rumah. Rumah aku kosong, karena seluruh keluarga keluar kota. Aku pun melangkah ke dapur dan mengambil gelas untuk menyeduh kopi. Setelah selesai, lalu aku mengambil mainan kesukaan yang tergantung di dinding. Lalu memetik melodi dengan frekuensi yang ada di kepala. "PENGUASA... PENGUASAA.. BERILAH HAMBAMU UANG". Berteriak dengan gitar hingga suara parau. Bernyanyi seakan mengutuk keadaan.
Jam menunjukkan pukul 19:30 wib yang menandakan untuk berkumpul di rumah Abay untuk mengantarnya yang akan bertunangan dengan pujaan hatinya. Aku mempersiapkan diri sendiri dan serapi mungkin. Kemudian aku pun berangkat dengan sepeda motor.
Akhirnya tiba di rumah Abay. Dery, Megi, Angga, Yoga, Adi, Acol, dll. Telah menunggu, dan aku pun langsung bergabung dengan perut yang kosong.
"Arrgghh" suara cacing perutku. Cenger kuda.
"Yahh, perutmu paduan suara Gam, hahahaha..." kata Yogi.
"Gam, ini acara tunangan, bukan acara pesta. Bukan waktu nya kita berburu rendang," sahut Diandra, dan kami pun tertawa pecah. "Hahahahahaha...."
Abay pun datang menghampiri kami. "Ada apa nih ribut amat, kayaknya lucu?" kata Abay.
"Bay, Agam datang kemari cuma mau makan doank..!!" Yoga pun sahut.
"Kok gitu?"
"Habis, cacingnya Agam paduan suaranya," Yogi jawab.
"Hahahaha... Selow, di sana ada makanan. Nanti kita makan sana...!!" kata Abay.
Sungguh malam yang menyenangkan. Didukung bulan purnama yang dikelilingi oleh taburan bintang. Senyum dan tawa hampir sekitar rumah. Mobil-mobil memenuhi halaman rumah yang hendak akan menghantarkan temanku ke sebuah upacara memasangkan logam mulia di jari manis kekasihnya.
Setelah semua telah siap untuk menuju kediaman pihak mempelai wanita, kami pun berangkat bersama. Dalam perjalanan, aku sangat senang. Melihat teman-temanku yang berangkat dengan sepeda motor yang bergandengan tertawa riang. Kami semua sangat senang, karena salah satu teman kami akan menjadi pemimpin rumah tangga yang bahagia. Namun jauh di sudut hatiku, ada rasa iri. "Kapan ya? Aku seperti Abay. Jangankan untuk menikah, untuk mendapatkan pacar aja sangat sulit," keluh dalam hatiku. Aku pun tersenyum sendiri, betapa lucu dunia ini.
Kami para rombongan pihak mempelai pria pun telah tiba di rumah mempelai wanita. Saat kami tiba, perutku bersuara.
"Gam... Cacing kamu tuh, tolong dikondisikan. Suruh diam dulu, sebentar lagi kita akan makan," kata Acol dengan bahasa cadelnya.
"Kamu sih enak bicara, tapi gak ngerti perasaan cacing perutku," aku pun jawab.
"Yahh.. Keluar deh kata-kata puitis jomblo. Hahahaha..." Abay pun sahut.
"Iya memang aku akui kalau Agam berkalimat, amazing-lah. Tapi sayangnya, ditolak terus," sambung Acol. Yang lain pun ikut tertawa.
Kami pun mengangkat barang serahan ke dalam rumah mempelai wanita. Setelah selesai, kami kembali pun keluar menuju rombongan mempelai pria. Saat melangkah keluar aku ditegur oleh istri temanku. "Agam..!!" Aku hanya menjawab dengan melambaikan tangan sambil langsung bergegas menuju kumpulan rombongan mempelai pria. Karena aku merasa malu di sana banyak teman-teman ceweknya yang sedang duduk santai.
Ada lelaki berusia paruh baya datang menghampiri kami. "Pak..!! Hidangan telah kami siapkan, mari..!!"
"Akhirnya makan juga," gumanku.
"Makan mulu dalam pikiranmu, gemuknya kapan?" Sahut Yoga.
"Nanti, kalau sudah ada yang tiap paginya menghidangkan makanan," jawabku dengan sedikit kesal.
"Makanya, cepat-cepat cari pacar, biar ada yang terus memperhatikan pola makanmu."
"Iya deh iya, nanti aku coba. Doain saja di antara mereka-mereka ada yang tertarik denganku" jawabku sambil menunjukan tangan ke arah kumpulan gadis yang sedang duduk santai.
Kami pun langsung ke meja prasmanan. Setelah mengambil makanan, kami duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuk para tamu.
Setelah makan, kuambil satu kretek dari saku bajuku. Kuhisap dalam-dalam dengan mata terpejam. Ada warna cerah bercahaya menghampiri dalam imajinasiku. Bukan cahaya bintang maupun cahaya bulan. Benar, ini warna kesukaanku. Warna biru langit dan cahaya yang biaskan oleh embun pagi. Entahlah, aku pun tidak tau maksud dari imajinasi tadi.
Acara telah selesai. Aku yakin, Abay sangat senang dengan selesainya tahap ini. Seorang wanita yang didamba-dambanya, mengakhiri perjalananya di hati yang ia puja. Aku bisa melihat jelas warna-warna yang ada di hatinya. Seperti Christopher Columbus yang senang bukan kepalang menemukan Benua Amerika.
Kemudian aku pun pamit kepada Abay, Mahaela dan teman-temanku. Saat aku hendak menuju motor, Meida menegurku.
"Woy, Agam..!!"
"Eh, ternyata ada bini orang yang memanggilku. Hehehe..." jawabku sambil cengar-cengir.
"Dasar!! Oh ya... kenalkan ini temanku, namanya Cut," kata Meida.
Woww... Langit mana yang meledak melihat mata sayunya berpadu dengan senyuman bibir tipis berwarna merah muda. Rona merah alami yang mengalahkan putih pipinya. Gunung vukanis di relung sukmaku seakan ingin mengeluarkan seisinya. Apakah ini gempa? Bukan, ternyata tubuhku bergetar. Apakah hujan telah turun? Bukan, ternyata keringat dingin bercucuran. Di menit itu juga, aku seakan sudah siap meledakan tubuhkan layaknya bom bunuh diri *******. "Tuhan, Aku tak tahan nikmat yang Engkau beri" guman hatiku.
"Hallo Agam...?" kata Meida. Aku pun tersentak dari lamunan.
"Da, aku balek dulu, ya?" jawabku.
"Hey... kenalan dulu, main pulang-pulang aja."
"Lain kali aja. Lagian aku buru-buru, kalau jodoh gak ke mana," jawabku sambil melambaikan tangan. Aku langsung menancapkan motor menuju arah pulang.
Setiba di rumah, aku hempaskan tubuhku di kasur. Erat-erat kupeluk bantal guling. Memang setiap ucapan adalah doa, dan ucapanku di rumah Abay benar-benar terjadi. Mimpi apa aku semalam? bahwa malam ini lidahku pahit.
Antara senang dan bodoh. Siapa yang tidak senang? setengah jam lalu aku melihat malaikat yang dikirim oleh Tuhan melalui temanku. Aku merasa beruntung. Seperti halnya aku sedang berjalan dan melihat uang Rp. 100.000 tercecer di saat bulan tua. Aku rasa kalian juga bisa merasakan seperti halnya yang aku rasakan. Aku girang bukan main. Hanya saja yang tidak aku lakukan ialah aku gigit dan ******* bantal guling yang aku peluk. Seperti itulah rasa senang, hampir mendekati gila.
Namun bodohnya aku adalah tidak sempat menjabat tangannya, dan belum lagi sempat membiarkan dirinya menanyakan namaku. Kalian tau karena apa? Ya benar, grogi. Serius, tubuh yang bergetar yang sempat di sangka gempa. Keringat dingin yang kukira hujan. Seandainya aku memiliki daya untuk sedikit saja menahan hal bodoh itu, mungkin tercapailah sesuatu yang diharapkan. Begitulah kira-kira betapa idiotnya Hemy Syahputra ini.
Malam semakin larut. Aku pun semakin larut dalam imajinasiku. Lalu memutar lagu Rhoma Irama di layar ponsel yang berjudul Judi. Tanpa sadar aku pun hilang ingatan memasuki alam gendeng.
..."Selamat pagi keadaan? Berpihak kepada siapakah engkau hari ini? Jika kau berpihak padaku, akan aku ucapkan terima kasih kepada Pencipta-mu. Seandainya kau tidak berpihak kepadaku, maka aku akan menertawaimu sepanjang jalan"...
Begitulah cara menyapa pagi pada diri sendiri. Hahahahaha...
Waktu menunjukan pukul 05:30 wib. Setelah mandi, aku berpakaian dan merapikan diri untuk bekerja, yang pasti tidak pakai bedak apalagi lipstik. Aku pun telah siap lepas landas dengan motor kesayangan menuju ke pasar. Aku bekerja di pasar untuk menggoda janda-janda, gadis, dan ibu-ibu di pasar. Ya benar, agar dagangan ikan yang aku jual laris. Namanya saja penjual. Hehehehe...
"Pagi ibu, silahkan dipilih ikannya. Masih segar loh buk..!!" Sapaku kepada calon pembeli.
"Ikan tuna, berapa sekilo?" Seorang ibu bertanya kepadaku.
"Rp. 80.000 Bu."
"Mahal amat, kuranglah. Rp. 74.000 ya?"
"Oke Buk."
Dari kejauhan, terlihat sosok yang tidak asing. Ternyata ia adalah pelanggan tetap, Ibu Salamah. Pada rumornya, ia adalah janda muda di desa yang ia tempati. Yang paling luar biasa bagi para cowok bermata keranjang, ia belum memiliki anak.
"Hay Agam, pagi yang cerah ya?" Sapanya, dan aku hanya menjawab dengan senyum.
"Ikan ini berapa sekilo?"
"Rp. 30.000 Buk," jawabku.
"Jangan panggil ibu, saya ini masih muda loh. Lagian saya belum punya anak, masih ketat," jawabnya dengan bernada lirih.
"Hehehehe... maaf saya gak paham di kalimat terakhir, saya masih polos," jawabku dengan cengiar-cengir.
"Hahaha, ada aja kamu. Jadi berapa harga yang bisa dinego?" jawab janda tersebut.
"Gratis aja Kak, asal mahar untuk nikah dengan Kakak, free. Hehehehe," jawabku secara bercanda.
"Enak aja gratisan, apa kata dunia kalau nikah dengan janda muda tanpa mahar? Hahahaha," jawabnya. Kami pun tertawa bersama.
"Rp. 23.000 saya bungkus terus deh ikanya."
"Oke, deal..!" jawab janda tersebut. Transaksi pun berhasil.
Detik demi detik, jam ke jam, butiran keringat bercucuran di sekujur tubuhku. Bau amis sudah menjadi kerabat di keseharian. Seandainya aku tidak bisa bersahabat dengannya, mungkin untuk beberapa lembar rupiah mustahil
berada di saku. Di satu sisi, aku menertawakan diri sendiri. Mengapa manusia mengikat diri pada uang? Padahal uang yang didapat juga untuk dibelanjakan. Tidak heran karena uang korupsi di mana-mana karena terlalu memuja uang untuk dihabiskan.
Hahahaha... Aku menertawakan diri sendiri. Meski aku tidak dilahirkan kaya tapi aku masih bisa tertawa lepas dalam situasi apa pun. Walaupun orang tua tidak berlipah harta, namun aku bahagia masih dipukul ketika aku lupa atau telat shalat, karena ada kasih sayang di sana. Namun sangat menyedihkan seandainya aku dibahagiakan dengan uang tapi mereka pernah sempat minum teh bersama saat menjelang sore.
"Alhamdulillah," ucap rasa syukur ini kepada Sang Maha Pemberi. Tepat pukul 15:00 wib barang dagangan laris habis. Saatnya berkemas dan membersihkan tempat berjualan. Aku pun kembali ke rumah. Karena bagaimana pun lelah, rumah adalah tempat pulang.
Selesai makan malam. Secangkir kopi menemaniku di gubuk kecil yang terdapat di belakang rumah. Ada rasa penasaran pada wanita di malam kemarin. Gelisah, resah, takut bercampur aduk menjadi geram pada diri sendiri.
Rasa bercampur tersebut semakin padat dan meledak. Akhirnya aku mengambil mencoba untuk mencari tau tentang dirinya. Aku mencoba bertanya pada Meida melalui via whatsapp.
"Oh ya Mei, siapa nama teman kamu yang semalam itu? Maaf semalam aku buru-buru."
"Iya gak apa-apa," jawabnya.
"Kirim kontaknya boleh? kenalannya nanti aja nyusul," jawabku.
Meida pun mengirin kontaknya, "Makasih ya Mei?"
"Oke, sama-sama," jawab Meida.
Masih dengan rasa geram yang tadi. Aku hiraukan semua bisik-bisikan setan yang ada di telinga. Dengan segenap tekad, seperti anak sekolah yang bandel dan tidak pernah belajar ketika menghadapi UN. Rasa khawatir dan takut untuk tidak lulus sekolah, telah ia bunuh sedari dulu. Seperti itulah perasaan saat ini. Aku pun mengawali chattingan dengannya.
Aku menyapanya dengan rasa takut dan penasaran, entah apa yang ditakutkan saat ini. Aku pun tidak mengerti. Kulayangkan sebuah pesan singkat, *Assalamualaikum.
"Walaikumsalam." Tidak sampai satu menit, pesanku langsung disambar. Sudah seperti mancing aja ya? Hehehehe. Atau mungkin dia telah menunggu untuk hal ini*?*
"Benar ini temannya Meida?" tanyaku.
"Benar, Ini Bang Agam temannya Kak Meida, kan?"
"Ia Dik. Maaf ya? Semalam Abang buru-buru."
"Emang, Abang mau ke mana sampai buru-buru?" tanya Cut.
"Itu mau ke pasar jumpai itu nahkoda kapal ikan." Aku berbohong, yang sebenarnya jantungku mau pecah malam kemarin berhadapan dengannya.
Dengan penuh rasa penasaran di dada, aku mencoba meneleponnya.
Aku bertanya, "Boleh tanya-tanya, gak?"
Cut pun menerima, "Silahkan...!"
"Tapi gak tau mau tanya apa."
"Hahaha... Kenapa begitu?" terdengar ia tertawa.
"Ya begitu juga, habis Abang gak lihai dalam mencari topik pembicaraan," jawabku dengan gugup.
"Aneh... Tadi mau bertanya?"
"Kuliah?" tanyaku.
"Iya Bang."
"Jurusan apa?"
"Ekonomi. Kalau Abang gimana? Kuliah juga?"
"Iya... Jurusan Teknik Sipil," jawabku. Dan bulan purnama baru saja dimulai.
Tidak peduli berapa pulsa habis, aku sangat menikmatinya. Berjarak, kami hanya dibatasi oleh telepon genggam. Aku merasakan telepon itu, dia sedang berada di sebelah. Yang berada digenggaman, seakan aku merangkul jemarinya. Syahdunya malam ini, bintang bertaburan cerah dengan ditemani telepon genggam. Senyum-senyum dan tertawa dengan telepon genggam. Biarkan aku menjadi orang gila malam ini dalam pandangan orang lain. Aku bahagia...
Malam yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Kebiasaan aku di malam hari adalah bermain minum kopi sambil bermain gitar dengan sebatang rokok di mulut. Dan malam ini berbeda. Tiba di mana pulsa telepon habis. Sungguh kesal, padahal aku baru saja menemukan titik nyaman. Setelah aku melihat jam pukul 23:00 wib. Aku pun tertawa, tidak biasanya aku segila ini, menghabiskan pulsa hanya untuk berbicara yang tidak penting. Dan yang tidak penting, malam ini menjadi penting...
Malam semakin larut, dan aku semakin larut dalam khayalan. Aku melihat fotonya yang ada di sosial media. Dia sangat manis saat tersenyum. Ada sebuah fotonya yang berpose layaknya sedang berjalan di bibir pantai. Seketika
halusinasi sedang berjalan di sebelahnya. Menggenggam jemarinya yang hangat. Matanya yang teduh seperti pohon rimbun di kala kemarau. Angin sepoi-sepoi yang membelai rambut ikalnya, hingga menyapu ke permukaan
wajahku. Sial, hancur sudah imajinasiku. Semua itu karena kucing yang ribut memangsa tikus.
'Wahai jelita, sedang apa kau di sana? Apakah kau telah tidur? Sudahkah kau sampai di dalam mimpi? Ruang mimpi mana yang kau masuki? Aku ingin menyusulmu dari sini. Aku tidak ingin menjadi hantu untuk bunga tidurmu. Aku ingin menjadi setiap yang engkau genggam. Aku ingin menjadi setiap sandaranmu. Aku ingin menjadi setiap pelukmu'
'Wahai wanita kedua setelah ibuku. Aku tidak bermaksud untuk memilikimu. Namun maksud dari inginku adalah menjadi bagian dari hidupmu. Di malam yang penuh bintang ini. Aku bergosip tentang kau kepada mereka bahwa manisnya dirimu membuat darah diabetes. Anggunnya di kau membuat tubuh stroke yang diakibatkan oleh jantung terlalu cepat berdetak. Namun para bintang melarang keras untuk mendapatkan hatimu, tapi mereka menegaskan pada diri ini untuk selalu ada untukmu'
..."Masih saja bertanya pada rembulan bagaimana cara mendapatkan dirimu...
...Namun bulan hanya diam dengan cahayanya semakin terang...
...Kodok berkata......
...Brokk.. brokk.. bodoh.."...
Pagi yang tidak diingin oleh para penggila uang. Udara dingin hinggap di sela pori-pori kulit. Menghambat aktivitas untuk kompor di rumah agar tetap menyala. Air langit terus-menerus membasahi kulit bumi. Sebagian merasa mempersulit langkah untuk menjaga bedak dan alis mata agar tidak luntur dan terjatuh dalam genangan air.
Ada juga yang membenci hujan. Karena menganggap yang jatuh bukanlah butiran air dari langit, akan tetapi yang jatuh adalah jutaan kenangan muram yang jatuh dari pintu dimensi masa lalunya. Menganggap hujan adalah benalu untuk dikonsumsi otak. Semua itu hanyalah belumnya berdamai dengan masa lalu.
Meski aku selalu gagal dalam hubungan asmara, bisa disebut masa lalu yang tidak layak untuk diceritakan pada cucuku. Aku masih menikmati semuanya. Hujan yang dingin membuat diriku lebih tenang. Hening dari setiap air yang mengalir di sudut-sudut daun. Sejuknya hujan aku percaya bahwa dunia masih bernapas, masih memberi harapan dan kesempatan untuk kegagalan dari segala kesalahan.
Secangkir kopi Aceh dan gitar akustik yang menemani pada pagi biru yang buram. "SEMUA KATA RINDUMU SEMAKIN MEMBUATKU.. TAK BERDAYA.. MENAHAN RASA INGIN JUMPAA..." teriak aku menyanyikan lagu Dewa 19 dengan judul 'Kangen'. Aku merasa bebas saat aku bernada tinggi, karena tidak ada yang tau betapa cempreng-nya suaraku. Kalau dibandingkan, masih bagus suara radio jadul punya nenek yang ada di kampung. Intinya tidak layaklah untuk masuk ke dapur rekaman.
Ada rasa sesak di dadaku. Seperti masuk angin, tapi bukan angin yang ini aku keluarkan. Buru-buru mengambil telepon. Rasa yang aku benci pun muncul. Padahal aku telah membunuhnya kemarin-kemarin hari. Namun nyatanya ia memiliki banyak nyawa. Karena rasa rindu mengalahkan rasa takut. Akhirnya, aku memiliki modal nekad untuk meneleponnya.
"Hay Cut?"
"Hey juga Bang..!!"
"Panggil saja Agam biar lebih akrab."
"Oke Agam..."
"Pagi yang dingin, ya?" tanyaku yang sok akrab.
"Iya Agam. Kenapa sedingin ini ya?"
"Ya namanya saja hujan. Kalau tidak dingin, berarti bukan hujan namanya."
"Terus, apa donk?"
"Pastinya kemarau.." jawabku.
"Hahahaha... Benar juga ya"
"Cut tau gak? Kenapa kodok bersuara?"
"Enggak tau"
"Aku juga gak tau kenapa"
"Apaan sih? Hahaha... Udah kasih pertanyaan tapi gak tau jawaban dari pertanyaan sendiri"
"Habis gak tau mau tanya apa"
"Terus, untuk apa nelpon?" Cut bertanya.
"Cuma ingin dengar suara Cut aja."
"Emang aku penyanyi? Hahaha ada aja."
"Ia, dan aku fans pertama kamu."
Aku tidak lihai dalam mencari topik pembicaraan. Aku tetap saja bekerja keras agar tetap mendengar suaranya. Kecanduan, seakan suaranya menjadi kebutuhan telinga.
Semakin terasa. Menarik napas dalam-dalam, sejuk dan tenteram di setiap rongga dada. Aku tidak tau apa yang terjadi pada diriku. Gejolak-gejolak dalam dada dan otak menyatakan bahwa dia adalah asumsi untuk jiwaku. "Huuuffffsss," lepaslah gumpalan asap yang aku hisap dengan dalam.
"Kapan kita bisa makan malam di luar bersama?"
"Aku tidak makan malam," jawabnya.
"Diet..?"
"Bukan, tapi memang gak bagus makan malam. Lagian gak ada kegiatan kalau malam, jadi tidak butuh asupan makanan."
"Yasudah kalau gitu. Bagaimana makanan ringan atau hanya sekedar minum di luar?" tanyaku.
"Oke deh... Kapan?"
"Kan aku tadi sudah tanya"
"Hahaha... Oh ya lupa. Malam minggu, gimana? Kamu bisa gak?"
"Aku sih bebas, gimana enak kamu aja."
"Berarti fix, kan?"
Sungguh terpaksa mengajaknya untuk makan malam. Ternyata jiwa membutuhkan lebih dari pada sekedar suara. Aku percaya, takut hanyalah kulit yang di balik tekad. Bila sekuat tenaga dan mampu mengupas kulit itu, maka aku bisa menikmati isinya.
Hujan telah reda, maka pelangi adalah buah dari pada hujan. Begitulah hidup, setelah air mata ada tawa yang menanti. Kita tidak selamanya murung. Tidak perlu bersedih, hanya perlu bersabar menunggu melewati fase sial. Jika tidak bersabar, maka fase sial itu seharusnya tiga atau empat hari telah kamu lewati tapi diperpanjang masa fase itu oleh kamu sendiri.
Dua hari lagi aku menunggu sebuah pertemuan itu. Aku sangat girang bukan main. Pelangi di sebelah timur mendukung suasana hatiku. Kini keadaan sedang berbaik hati padaku. Aku bahagia, ternyata masih ada wanita yang mau diajak makan malam. Aku mengira ia menolak tawarku. Ternyata ia menerimanya. Mungkin pikiran aku saja yang pesimis.
Semalam kami telah sepakat untuk nongkrong di sebuah restoran, yang bisa dikatakan memiliki nama di Kota Langsa. Mereka lebih dulu sudah berada di sana. Seperti biasa, aku terlambat.
Sesampai di sana, ada dua meja yang telah di gabung menjadi satu. Meja yang tidak terlalu besar, mungkin pemiliknya memang men-setting untuk sepasang kekasih. Wajar ini sedang ramai-ramainya. Tampak dari mereka menyambut dengan antusias. Kami berada di lantai dua, dengan makanan berjejer rapi dia atas meja, entah siapa yang baru saja gajian, pikirku. Kebetulan aku mendapatkan kursi di dekat balkon.
Mantan gebetan telah menjatuhkan pelukannya di punggung seorang pria. Mesra di atas sepeda motor seakan dunia milik mereka. Mereka berbelok ke arah restoran yang kami tempati. Aku merasa risih dan tidak nyaman. Namun aku menyembunyikan agar tetap biasa-biasa saja. Sesekali aku melirik mereka yang sedang bersulang. Tersenyum kecil di sudut, karena aku belum beruntung untuk mendapatkannya. Mungkin karena aku masih banyak
kekurangan dan belum mampu menutupi kekurangan-kekurangan ini.
"Gam, itukan pacar kamu, kan?" tanya Deri.
"Bukan..." jawabku.
"Kok bukan? Kan, sempat juga kamu jalan dengannya?"
"Ia sih, tapi gak sempat pacaran"
"Terus apa juga?" tanya Diandra.
"Mantan gebetan," jawabku dengan lesu.
"Kenapa bisa?" tanya Yoga.
"Ya bisalah... namanya aja cewek bisa pilih-pilih timba mana aja yang boleh masuk ke dalam sumur" jawabku sedikit kesal.
"Yahhh apa pula gitu. Di mana-mana timba-lah pilih sumur mana aja yang ia suka" jawab Angga.
"Sumur yang ini beda njir. Sumur ini bisa pilih karena ia merasa cantik dan aku belum bisa seperti apa yang ia mau. Jadi, ia pun memilih yang berkualitas." jawabku.
Sambung Dimas "Berkualitas apaan gila. Aku kenal cowok yang ada di sana. Dia itu mantan teman aku saat di SMA. Itu cowok, cowok nakal. Memang sih tajir, tapi selalu ganti-ganti cewek"
"Hahahaha... Masuk dalam kubangan sapi-lah ya, cewek itu?" sahut Deri.
"Bukan, kubangan kerbau" jawab Yoga.
"Bukan juga, tapi masuk kubangan cinta," jawab Diandra.
"MAKAN TUHH CINTAAA.... HAHAHAHAHAHA......" jawab kami kompak seraya tertawa pecah bersamaan.
Memang benar seperti orang-orang bilang. Bahagia itu tidak mesti dengan pacar. Kita bisa menemukan kebahagiaan di mana saja. Yang menentukan kita bahagia atau tidak, adalah kita sendiri. Mana kala kita baru saja ditinggalkan. Kita tidak perlu sedih, kita hanya perlu bangkit.
Namun yang sedang aku lamun adalah bukan mantan gebetan yang sedang bermesraan dengan kekasih barunya. Akan tetapi membayangkan; seharusnya yang ada di sana adalah aku dan Cut yang sedang bersulang minum.
Bukan ingin diriku membayangkan Cut, tapi memang harus dikatakan sebenarnya rindu. Aku tersenyum sendiri, karena aku berpikir terlalu jauh. Satu sisi aku tidak pernah menyangka, karena apa yang diharapkan telah tercapai.
"Woy... Bengong aja. Galau ya, karna di tikung?" Deri mengagetkan aku.
"Bukan, tapi lucu aja apa yang telah terlewati," jawabku.
"Lucu apaan?"
"Lucu aja membayangkan planet bumi ini. Di mana para penghuninya sibuk mengejar kesempurnaan."
"Maksudnya gimana?" tanya Diandra.
"Contoh nih ya. Setiap kita mencari gadget. Maunya RAM besar, kamera dengan megapixel tinggi, memori internal yang besar, CPU yang tinggi. Kira-kira ada gak, gadget yang seperti itu?" aku bertanya. mereka hanya
menggelengkan kepala.
"Ya gak ada-lah bossku. Mau itu gadget yang harganya selangit, tetap ada sisi kurangnya" tegasku.
"Begitu juga, semua orang menginginkan sempurna. Setia, tajir, tampan, dan baik? Benar gak?" sambungku. Mereka hanya mengangguk. "Ya pasti enggak ada" tambahku.
"Kalau pun ada pasti biaya pembuatannya mahal, benar gak?" sahut Diandra.
"Kau kira robot anjirr..." tegas Yoga.
"Kan secara gitu. Pria itu lebih sedikit dari pada wanita di muka bumi. Mana tau stock cowok jomblo sudah habis. Jadi, ceweknya kawin dengan robot-lah," jawab Diandra dengan tampang sok keren.
"Jadi apa ya kira-kira kalau kawinnya dengan robot?" tanyaku.
"Nanti anaknya Terminator, njirr," jawab Dimas.
'Seandainya kau berada di sini pasti aku menang banyak. Bagaimana tidak? Aku bisa setiap saat melihat kau tersenyum. Aku bisa setiap saat melihatmu tertawa. Suara dan senyummu adalah kebutuhan jiwaku. Tapi, jangan terlalu sering kau tersenyum. Itu sama saja membuat aku tidak bisa tidur.'
'Seandainya kau berada di sini. Terimaksih kau telah menyembuhkann penyakit rinduku. Terimakasih telah memberi makan telingaku dengan suaramu. Terimaksih telah memberi minum mataku dengan senyummu. Terima kasih...'
'Seandainya kau berada di sini. Kau akan paham makna kopi. Bahwa manis itu adalah kamu, dan Pahit itu adalah aku. Kita saling melengkapi. Dengan begitu, kopi akan terasa nikmat. Begitu pula hidup. Akan terasa nikamt dan indah jika saling melengkapi.
'Seandainyaa... Ahh terlalu banyak seandainya...'
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!