“Percuma, Zil…” suara Naila pelan, nyaris seperti bisikan yang hampir tak terdengar oleh laki-laki muda yang duduk di sampingnya.
“Lulus atau tidak, hasilnya akan tetap sama. Ayah dan Ibu tetap tak akan sanggup membiayai aku untuk kuliah. Di mana pun itu.”
Reyzil menghentikan langkahnya. Laki-laki remaja itu mengerutkan kening, menatap sahabatnya dengan rasa kasihan. Naila, dengan segala mimpi yang ia miliki, hanya mampu bersandar di dinding sekolah, seolah kehilangan arah.
“Jangan menyerah begitu, Nai. Siapa tahu ini memang rezekimu. Kalau Tuhan sudah menakdirkan, pasti ada jalannya.”
Naila mengangguk, tapi tak ada semangat di sana. “Tadi pagi... Ayah bilang, setelah pengumuman kelulusan, aku akan dinikahkan dengan Zidan.”
Ucapan itu seperti bom. Reyzil spontan menegakkan tubuh, matanya melebar tak percaya. “Zidan?” tanyanya nyaris berteriak. “Kenapa kamu dinikahkan? Bahkan, kita ini belum lulus! Dan kenapa harus dia?”
“Karena dia anak Pak Amir,” jawab Naila sambil mengusap matanya yang mulai basah. “Ayah bilang, Zidan pasti bisa menjamin hidupku. Keluarganya kaya, punya tanah luas, dan... Yang pasti karena dia mau, mungkin.”
Reyzil mengepalkan tangan. Dalam hati, ia merasa tak terima. Kenapa semua ini harus terjadi pada sahabatnya, yang dikenal sangat pintar. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia meraih tas dari pelukan Naila dan mengobrak-abrik isinya.
“Zil! Apa yang kamu lakukan?” protes Naila panik.
“Diam sebentar!” desis Reyzil, jemarinya terus mencari sesuatu dalam waktu yang cukup lama. Namun, akhirnya berhasil menemukan formulir pendaftaran SNMPN yang sempat diberikan Bu Aisyah, guru BK yang membantu mereka. Ia menyalakan gawainya dan mulai mengetikkan data yang tertera di formulir tersebut.
Tak lama, ia menyerahkan ponsel tersebut kepada Naila seakan menahan napas. “Lihat ini!” soraknya.
Naila membaca isi layar perlahan. Matanya membesar. Di sana, jelas tertulis:
Selamat! Anda diterima di Jurusan Ilmu Hukum melalui Jalur SNMPN.
“A-aku lulus?” bisiknya, menatap Reyzil dengan tatapan campur aduk antara bahagia dan cemas.
Reyzil tersenyum kecil, menahan gejolak emosinya. “Kamu lulus, Nai. Di kampus impianmu. Kamu punya kesempatan buat jadi jaksa, seperti yang selalu kamu ceritakan kepadaku.”
Namun, dalam benak Naila, suara sang ayah kembali terngiang dengan jelas.
“Kita tidak punya uang. Bahkan kalau kamu lulus pun, siapa yang mau membiayai kuliahmu? Lebih baik kamu menikah dengan Zidan. Kamu akan hidup enak. Dia bisa menanggung semua biaya hidupmu dan anak-anakmu.”
Tanpa berkata apa pun, Naila menyerahkan kembali ponsel Reyzil. Ia meraih formulir yang telah remuk dalam genggamannya. Lalu berlari sekuat tenaga, menuju gubuk sederhana yang terletak di pinggir sawah. Ya, gubuk itu rumahnya.
Sore itu, rumah Naila dipenuhi orang. Beberapa tamu duduk rapi di ruang tamu sempit, mengenakan batik dan senyum sekedar basa-basi. Aroma makanan, rendang, dan kue tampak memenuhi meja kecil yang dipaksa menemani kursi kayu yang telah rapuh dimakan usia. Naila berdiri tertegun di ambang pintu.
“Nah, ini dia calon menantu kami sudah pulang,” seru Pak Amir bangga. Di sampingnya berdiri Zidan, pria bertubuh kekar dengan wajah mencibir yang hanya menatap Naila dari ujung kaki hingga ujung kepala, bagai menilai sebuah barang dagangan.
Naila menunduk. Tangannya menggenggam erat kertas hasil SNMPN yang mulai lecek.
“Nai, duduk sini,” panggil ayahnya, penuh semangat.
“Ada apa, Yah?” Naila bergumam. Tapi ia merasa ragu untuk melangkah, apalagi saat ia melihat keempat istri Pak Amir duduk rapi bersama anak-anak mereka yang tersusun bagai anak tangga.
“Jadi ini yang Papa bilang?” Zidan mendengus, lalu bersandar dengan angkuh. “Lihat tuh, baju sekolahnya. Udah lusuh banget. Wajahnya ... Hmmm... ya begitulah.”
“Zidan!” bentak Pak Amir.
“Biarin aja, Pak. Emang begitu lah keadaan yang sebenarnya,” jawab ayah Naila cepat.
“Meski demikian, anak kami ini sangat pandai mengurus urusan rumah dan tentunya cukup berpengalaman mengasuh anak, kelak. Sepertinya, begitu saja sudah cukup.”
“Apakah ini artinya lamaran kami diterima?" tanya Pak Amir memastikan.
"Tentu saja, Pak. Dengan senang hati kami bersedia menjadi besan keluarga Pak Amir."
"Bagus lah, jadi setelah Naila lulus, langsung saja kita gelar akad. Tak perlu menunggu lama-lama,” ujar Pak Amir mantap.
"Kalian tidak perlu memikirkan masalah biaya, semua akan kami bantu," ucapnya dengan senyum yang tertutup oleh kumis tebal.
“Bagaimana, Nai?” tanya sang ayah, seakan semuanya sudah diputuskan.
Malam harinya.
“Ayah, Ibu, tolonglah. Aku belum ingin menikah. Aku masih muda. Aku mau kuliah. Aku akan mengejar mimpi menjadi seorang jaksa seperti cita-citaku semenjak dulu."
Sang ayah menatapnya dingin. “Cukup, Naila. Jangan membantah lagi. Kita ini hanya orang miskin. Bisa menyekolahkanmu sampai lulus SMA saja rasanya sudah bersyukur. Kamu pikir, kuliah itu pakai daun?”
“Tapi, Yah! Aku lulus, Yah! Kemungkinan, aku bisa mendapat beasiswa! Bu Aisyah bilang akan membantuku untuk mendapatkannya!"
“Berhenti bermimpi, Naila!” bentaknya. “Kamu itu perempuan. Tempatmu itu cukup di dapur, di rumah, mendampingi suami! Karena itu memang kodratmu terlahir sebagai wanita!"
Pertengkaran pecah. Tapi tak ada suara yang cukup keras untuk memecahkan keputusan ayah dan ibu yang menjodohkan anak mereka mengharapkan ‘jaminan masa depan’.
Akhirnya, Naila hanya mampu meneteskan air mata. “Baiklah...” suara Naila bergetar.
“Seperti yang Ayah dan Ibu inginkan, aku akan menikah dengan Zidan."
Beberapa hari kemudian, di sekolah.
“Naila, kenapa kamu belum mendaftar ulang juga sampai hari ini?” tanya Bu Aisyah di ruang BK. “Ini kesempatan emas, untukmu Nak. Sekolah kita jarang mengirim siswa ke kampus besar. Kenapa kamu menyerah begitu saja?”
Naila menunduk. “Saya tidak punya pilihan, Bu. Orang tua sudah memberikan rencana lain untuk saya.”
“Ibu sempat kabar angin yang mengatakan kamu akan menikah? Apa itu benar?"
Naila mengangguk, pelan. Akhirnya, air mata pun menetes tanpa mampu lagi ia bendung.
Bu Aisyah menghela napas panjang. “Dengarkan ibu, Nai, kamu masih punya waktu seminggu lagi untuk berpikir. Ibu akan membantu mengurus beasiswa untukmu. Hanya saja, kamu perlu meyakinkan dirimu sendiri dan orang tuamu, bahwa kamu pantas untuk melanjutkan mimpimu.”
Mendengar penguatan yang begitu meyakinkan, harapan kecil tumbuh kembali di hati Naila. Meski harapannya sangat tipis, setidaknya ia akan masih memiliki kesempatan.
Di saat perjalanan pulang sekolah, ia melihat Zidan berkendara tanpa menoleh padanya sedikit pun. Di atas motor, satu tangannya mengusap paha seorang gadis yang memeluknya mesra di bangku belakang. Dua sejoli itu tertawa lepas tanpa beban.
Naila terpaku dengan mata berapi. Dunia seolah berhenti berputar. Dan sekali lagi, hatinya berbisik.
'Sepertinya Tuhan menjukkan jalan yang harus aku pilih.'
^^^Revisi tanggal 15 Mei 2025^^^
"Jadi, kamu begitu ya Zidan? Kenapa kamu melamar aku jika kamu sendiri tidak menyukaiku?" batin Naila, matanya tak lepas dari pandangannya yang semakin menajam.
Pikiran Naila langsung kembali pada ucapan Bu Aisyah tadi pagi. Tanpa berpikir panjang, ia berbalik arah dan masuk lagi ke gedung sekolah, langsung menuju ruang guru tempat Bu Aisyah berada.
Setelah keluar, Naila tersenyum, menyimpan sesuatu yang tak ingin diungkapkan hingga masanya tiba.
Hari-hari pun berlalu, membiarkan orang tuanya sibuk mengurus ini itu persiapan pernikahan. Sedangkan Naila, tak ambil pusing menyibukkan diri mempersiapkan ujian kelulusan.
Hingga sampai waktunya, tiga bulan kemudian. Pada hari pengumuman kelulusan. Naila hadir membawa surat keterangan lulus di tangannya.
Naila menyusuri jalan pulang. Kertas kelulusan di tangannya seakan tak ada arti bagi kedua orang tuanya. Gubuk yang biasanya sepi, dari jauh memperlihatkan suasana yang riuh membuat perutnya sedikit bergejolak. Tenda telah berdiri. Suara ibu-ibu cekikikan di dapur. Anak-anak kecil berlarian, dan aroma masakan tercium sampai ujung jalan, di mana Naila masih terpaku melihat pemandangan itu.
Esok adalah hari pernikahannya yang tidak pernah ia inginkan.
Selama beberapa bulan terakhir, ia telah diam-diam mempersiapkan segalanya. Ia tahu, pilihannya ini akan membuatnya dicap sebagai anak durhaka. Tapi bagaimana lagi, tak ada cara lain yang terpikirkan dalam waktu yang mendesak ini.
Naila berdiri sejenak. Tangannya mengepal, ia telah membulatkan tekad. Ia hanya perlu memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Naila melanjutkan langkah memasuki suasana ramai itu.
“Naila, cepetan ganti bajumu. Kakak mau memasangkan henna di tangan dan kaki kamu!” seru Tami, tetangga yang juga jago menggambar henna.
"Hmmmfff..."
Naila menarik napas panjang. Ia masih tak habis pikir, demi pernikahan ini, orang tuanya rela meminjam uang lagi pada Pak Amir, sang calon besan.
Namun, untuk membantu biaya kuliah yang ia dambakan, mereka selalu mengatakan, "Mana ada uang?"
Naila menatap rumah itu. Menyusuri detil-detil kecil dengan sekaama, pintu tua, kursi reyot di teras, bunga kertas di pagar. Sudut-sudut penuh kenangan. Tapi sebentar lagi hanya akan menjadi kenangan.
Ia masuk ke kamar dan mengganti seragamnya dengan cepat. Tak lupa mengenakan topi dan masker, bukan masker bedah biasa, tapi penutup wajah yang ia siapkan khusus sejak sebulan lalu.
“Nai?” suara ibunya membuat jantungnya nyaris meloncat.
"Naila? Kamu dengar ibu panggil gak?" suara sang ibu terdengar jelas.
Dengan refleks, ia lepas kembali topi dan masker itu, buru-buru menyembul dari balik pintu.
“Iya, Bu?”
“Kamu mau ke mana lagi?” tanya ibunya curiga.
“Besok kamu nikah, lho. Gak boleh kemana-mana lagi!”
“Enggak, Bu… Naila di kamar aja kok.”
“Lho, kenapa kerudungan? Ini kan di rumah doang?”
“Kan banyak yang bukan mahrom, Bu. Jadi, ya… Harus begini.”
Ibunya mengangguk, meski wajah ibu masih tampak heran.
“Ya udah, cepat keluar. Tami nungguin dari tadi.”
"Baik, Bu." Naila kembali masuk, dan menutup pintu. Ia segera mengganti kerudung yang lain, topi, dan masker. Ransel yang sudah ia siapkan berisi pakaian dan dokumen penting segera ia gendong.
“Bismillah…” bisiknya pelan. “Maaf, Bu, Yah… Ini mungkin jalan yang durhaka. Tapi hamba ingin hidup yang hamba pilih sendiri.”
Ia mengenakan kembali topi dan masker. Setelah itu, mengeluarkan ransel yang sudah ia isi: beberapa baju, dokumen penting, dan amplop pemberian Bu Aisyah.
"Bismillah... Ya Allah, maafkan aku. Semoga Engkau ridho."
Ia membuka jendela, memandang sekitar. Beberapa ibu-ibu lewat sambil membawa panci besar. Naila menunggu, menahan napas. Saat jalan mulai sepi, ia melompat dan lari sekencangnya, meninggalkan semuanya.
Beberapa orang menoleh.
“Itu siapa? Aneh amat, siang bolong pakai masker begitu? Apa masih musim korona?” tanya salah satu ibu-ibu tetangga
“Mungkin tukang dagang keliling yang nyasar!” sambut yang lain.
Mereka tertawa kecil, tak tahu bahwa ‘penyusup’ itu adalah mempelai yang akan menghilang.
Sementara itu, ibunya kembali mengetuk kamar Naila.
"Naila? Kamu belum juga keluar?"
Perlahan ia membuka pintu. Kosong. Tak ada siapa pun.
"Oh... mungkin sudah bersama Tami," gumamnya, tak menyadari apa yang baru saja terjadi.
Sementara itu, Naila berhenti di depan rumah kecil dengan cat tembok biru pudar.
"Assalamualaikum, Bu... Bu...?"
Suara langkah tergopoh. Pintu dibuka, dan wajah Hangat Bu Aisyah muncul di baliknya.
"Walaikumsalam... Naila? Sudah siap?" tanya Bu Aisyah.
Naila mengangguk cepat. Wajahnya cemas.
"Apa kamu yakin? Orang tuamu pasti kebingungan."
Gadis itu mengangguk cepat. Wajahnya tertutup topi dan masker, tapi matanya… bicara banyak.
“Kamu Yakin? Namun semua ini akan mengubah hidupmu.”
“Ayo, Bu. Nanti mereka keburu mencari.”
Tanpa tanya lebih lanjut, Bu Aisyah mengangguk, mengambil kunci mobil, dan mereka pun meluncur ke terminal. Setelah membelikan tiket, ia menyerahkan amplop putih kepada Naila.
"Semoga ini bisa membantumu untuk sementara. Kalau beasiswamu sudah cair, kamu tak perlu khawatir lagi. Ingat, tugasmu cuma satu: belajar! Kamu harus bisa membuktikan bahwa kamu bisa. Buat lah mereka bangga memilikimu."
Naila menganggukan kepala memberi pelukan hangat menyertai ucapan terima kasih paling dalamnya. Naila menahan tangis.
"Terima kasih, Bu. Aku tak tahu bagaimana membalas semua kebaikan Ibu. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang lebih besar."
"Amin." Bu Aisyah mengangguk mengusap kepala yang tertutup kerudung itu beberapa kali.
Tak lama kemudian, bis yang akan membawanya menjemput mimpi pun melaju, membelah jalan lintas Sumatra menuju ibukota.
Selama perjalanan, Naila menyerap tiap detik pemandangan yang asing baginya: laut luas, Gunung Anak Krakatau di kejauhan, dan langit yang tampak berbeda. Ada cemas, takut, kalut, tapi juga bahagia, karena untuk pertama kalinya, ia berjalan mengikuti keinginan hatinya sendiri.
...****************...
Setelah perjalanan panjang, ia turun di sebuah terminal yang ramai dan asing.
Perlahan ia menyusuri jalan. Di ujung sana, kubah masjid menyapa matanya. Ia mendekat. Mencuci muka, melaksanakan sholat. Minum air galon gratis. Duduk di teras, menghela napas.
Tas dibuka. Dokumen diperiksa. Amplop uang ditarik dari dalam tas.
“Bu Aisyah… aku izin ya, pakai sedikit buat makan.”
Ia mengambil dua lembar uang, lalu menyimpan amplop itu kembali. Setelah itu, ia membuka berkas-berkas penting dan mengeceknya satu per satu.
Tiba-tiba, sebuah tangan kecil mengambil kertas-kertas itu.
"Hah?" Naila menoleh.
Seorang balita perempuan berdiri di dekatnya, memegang salah satu berkas yang tergeletak di atas lantai.
"Halo, Sayang... Kamu sama siapa ke sini?" tanya Naila lembut.
Anak itu menunjuk ke dalam masjid.
“Oh, ibunya di dalam ya? Ayo, kakak anterin," ucap Naila, menggenggam tangan mungil itu dan mengajaknya masuk ke bagian wanita.
Namun, begitu sampai di pojokan tempat anak itu duduk, Naila sadar bahwa telah melupakan sesuatu.
Dengan jantung berdebar, ia berlari kembali ke tempat semula. Di sana tampak seorang pria mengenakan hoodi membawa benda miliknya.
"Tas-kuuu!" pekiknya.
^^^Revisi tanggal 15 Mei 2025^^^
Matanya terbelalak saat melihat sosok pria menenteng tas ransel, satu-satunya benda yang menyimpan semua hasil perjuangan selama bertahun-tahun ini.
Tanpa berpikir panjang, Naila menerjang ke depan mendorong pria itu. “Hei, itu tasku!” teriaknya, suaranya menggema di antara deru kendaraan dan jemaah yang sedang melaksanakan kewajiban di dalam mesjid.
Pria itu berhenti sesaat, menoleh kaget, karena ketahuan oleh sang pemilik. Tatapannya tiba-tiba berubah menakutkan, lalu mendorong Naila dengan sekuat tenaga yang membuat Naila terhuyung jatuh tersungkur di atas ubin di teras mesjid.
Dalam kesakitan itu, ia sadar berkas-berkas penting, surat keterangan lulus di kampus negeri jalur SMNPTN, formulir pendaftaran, dan fotokopi ijazah melayang di udara, kemudian tergeletak berserakan.
Lututnya terasa berdenyut, tapi Naila tahu tak ada waktu untuk menjerit. Ia merunduk, merogoh remuk-rebutan kertas putih itu. Setiap lembar yang ia genggam adalah jembatan menuju impian yang tak boleh hilang.
Di saat mencoba menyelamatkan semua berkas penting tersebut dalam beberapa detik, pria perampok itu telah menghilang dalam semerbak hiruk pikuk terminal yang tiada henti diisi oleh masyarakat yang berlalu lalang.
Langkah seakan Naila terhenti, tapi sebelum ia sempat mendongak, sebuah tangan mungil menarik ujung pakaiannya yang telah lusuh hingga hampir menyeret gadis kecil itu ke lantai.
“Adek nggak apa-apa?” Naila secepat kilat menangkap tubuh kecil itu. Gadis berkuncir dua itu duduk terguncang, matanya membulat penuh kaget dan air mata.
“Ma-ma, Ma-ma,” suara lirihnya memecah kepanikan Naila.
Sekian detik kemudian, terdengar hardikan dingin seorang pria yang mungkin ayahnya. “Rindu! Kamu di mana saja? Kamu membuat Papa khawatir!”
Dari sisi lain dinding masjid, seorang pria menggendong bayi mungil, wajahnya datar sedikit semburat kehilangan.
Naila menenangkan diri meski di dalam hatinya kalut, cemas, dan greget ingin mengejar, tapi langkahnya sedang dihalangi gadis kecil. Kini, ia beralih menggandeng tangan si bocah cantik itu dengan cepat.
“Jadi, nama kamu Rindu ya?” tanya Naila sambil tersenyum tipis.
Gadis yang ditanya, terlihat ceria kala digandeng oleh Naila. "Papaaa," soraknya dengan senyuman dalam mata berbinar.
Ia menyerahkan Rindu langsung ke salah satu tangan pria yang menatap tanpa ekspresi.
“Nah, sekarang kamu sudah bersama papa kan? Jangan jauh-jauh main dari papa ya.” Naila melambaikan tangan memberikan senyuman manis kepada gadis kecil itu.
Pria itu menatap Naila beberapa waktu tanpa berkedip. “Terima kasih, Mbak," ucapnya dengan suara datar.
Naila seakan tak mendengar ucapan tersebut telah berbalik langkah, mencoba menebak arah langkah orang yang mengambil tas nya dengan wajah putus asa.
Di saat langkahnya belum terlalu jauh, dengan jelas Naila mendengar Rindu memanggilnya. “Pa-pa ... Ma-ma, Pa?” Suara polos itu hilang di antara hiruk pikuk suasana ramai sekitar.
Naila terus memutar akal, apa yang harus ia lakukan. "Ke mana aku harus mencari tas itu?” gumamnya dalam rasa lelah yang sungguh hebat.
—“krucuuuuk”—
Tiba-tiba perutnya menggerutu lantang seperti alarm kelaparan yang tak bisa ditawar. Dua lembar uang ratusan ribu ini masih utuh di kantong celananya. Teriknya matahari terus mendorong pikirannya yang telah panas karena kejadian tak terduga ini.
"Apakah uang ini cukup untuk perjalanan ke kampus?" Sejenak, Ia tertunduk, memejamkan mata. Dalam diam, ia berdialog kepada Yang Maha Kuasa.
“Ya Allah...
Ampuni hamba yang lemah ini.
Jika ini ujian-Mu mengharap aku tak mudah goyah,
beri lah hamba kekuatan untuk terus berjalan.
Meski tak tahu ke mana harus melangkahkan kaki,
ridhoi setiap niat dan usahaku, ya Rabb.”
Setelah menarik napas panjang, Naila bangkit. Tasnya mungkin telah hilang, tapi tekadnya tak boleh pudar.
“Bismillah...” gumamnya, lalu berjalan menuju jalan utama yang telah hilir mudik diisi oleh kendaraan kota yang padat merayap.
Busway pertama sudah menunggu beberapa puluh meter di depan. Ia berjalan cepat, boots kanvasnya terantuk batu kecil, tapi ia tak mengeluh. Setiap langkah adalah janji: “Aku harus sampai di kampus malam ini.”
Namun, eberapa detik kemudian, perutnya benar-benar meronta tak mampu lagi bila terus diberi jeda untuk diisi. Ia teringat akan rekomendasi Bu Aisyah yang mengatakan: “Ada makanan warteg dengan harga yang sangat terjangkau di dekat halte. Pemiliknya juga sangat ramah. Setiap kali sampai di ibu kota, Ibu pasti singgah ke sana."
Naila memutar kepala mencoba menerka tempat yang dimaksud sang guru. Dan benar, tak jauh dari tempatnya berdiri, ia menemukan sebuah warteg yang terlihat begitu ramai.
Meski sedikit ragu, ia masuk dan segera memesan sepiring nasi putih, ikan goreng, dan sayur bayam. Aroma sederhana itu mampu menyenangkan perutnya yang sudah tidak bisa diajak kompromi.
Saat suapan pertama masuk ke mulut, air mata tiba-tiba menetes. Ia segera menyeka pipinya dengan punggung tangan, mencoba tegar. Ia tak ingin terlihat lemah di depan orang lain dan berpikir untuk mengurangi porsi makan dari biasanya.
“Bu, apa boleh sisa nasiku dibungkus saja?”
Ibu penjual berpikir sejenak, dan melihat raut Naila yang terlihat lelah. Ia mencoba menerka sendiri apa yang baru saja dialami oleh gadis belia yang tentu sangat asing ini.
“Lebih baik nasinya dihabiskan saja. Bude lihat, kamu masih laper. Lagian, kalau dibungkus dalam keadaan seperti ini, nasinya akan basi. Jadi percuma dong?"
Naila sedikit gelagapan karena penjual nasi ini bisa menebak apa yang sedang terjadi padanya. "Jadi, ga bisa dibungkus ya, Bu?" tanyanya canggung menahan malu.
"Habisin aja gih. Nanti Bude bungkus yang baru untukmu.”
Naila telah pasrah dengan pengeluarannya yang tak bisa ditekan. Ia kembali melanjutkan menghabisi isi piring tersebut. Sementara itu si pemilik warung tengah sibuk menyiapkan lauk dan sayur diatur rapi dalam kresek, terpisah kuahnya agar tidak bikin lembek.
Ketika Naila menyerahkan uang seratus ribu, ibu itu menolak. “Simpan saja, Dek. Lain kali saja kamu bayar.”
Hati Naila sesak. Ia teringat keuangan yang memang sangat tipis yang akan digunakan untuk membeli tiket busway, tiket kereta, hingga biaya makan di kemudian hari.
Ibu itu kemudian mengambil sehelai kaos lengan panjang,bekas seragam olah raga mungkin milik anaknya lalu diserahkan pada. Naila.
“Pakai ini jika kamu butuh. Siapa tau bisa sedikit membuatmu lebih hangat.”
Mata Naila berbinar karena haru. “Terima kasih banyak, Bu.” Ucapan itu terengah, ia tak sanggup berkata lebih panjang.
Lampu jalan kota kini mulai menyala satu per satu dan berkelip seakan menyambutnya. Ini menandakan, bahwa ia akan berperang melawan dinginnya malam. Ia pun memakai pakaian olah raga yang diberikan bude tadi, dan memang memberinya sedikit kehangatan.
Dari halte, ia naik busway menuju stasiun, lalu berganti kereta. Malam makin larut saat akhirnya ia memijak gerbang kampus. Gedung-gedung tua bergaris bayangan, sementara masjid kampus berdiri terang di tengah pekarangan.
Dengan napas masih tersengal, Naila menarik pintu mesjid, “Assalamualaikum.”
Suara lembut menjawab dari arah dalam mesjid, “Walaikumsalam.” Beberapa mahasiswa menoleh, lalu kembali khusyuk dengan aktivitasnya.
Di sudut masjid, Naila menyelipkan map berkas ke meja sudut di balik rak mukena, memandang deretan kopiah dan Al-Qur’an yang rapi.
Tanpa baju ganti, ia kembali mengenakan kaos olahraga pemberian ibu warteg. Lalu ia ke toilet, mencuci wajah, dan merapikan rambut. Setelah itu, ia wudhu, salat Isya dengan khusuk berharap setiap ayat dan doa menenangkan hatinya.
Selesai salat, ia membuka nasi bungkus. Betapa laparnya ia, hingga setiap suap terasa seperti oasis di padang gersang. Ia berdoa kecil di dalam hati, lalu memenuhi perutnya. Setelah kenyang, ia menata sarung masjid sebagai selimut. Lampu masjid meredup saat petugas azan telah tertidur sebagai mana mestinya.
Naila menutup mata, merasakan kelelahan teraliri damai. Map berkas di bawah kepala menjadi bantal, dan desah napasnya menyatu dengan dengungan kipas angin. Namun, baru beberapa menit, suara tegas membangunkan.
“Siapa itu? Dilarang tidur di masjid ini!”
^^^Revisi tanggal 15 Mei 2025^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!