“Percuma, Zil…” suara Naila pelan, nyaris seperti bisikan yang terbawa angin sore. “Lulus atau tidak, hasilnya tetap sama. Ayah dan Ibu tetap tak akan sanggup membayar uang kuliahku. Di mana pun itu.”
Reyzil menghentikan langkahnya. Laki-laki remaja itu mengerutkan kening, menatap sahabatnya penuh iba. Naila, gadis sederhana dengan seribu mimpi besar, kini duduk bersandar di dinding sekolah, seolah kehilangan arah.
“Jangan menyerah begitu, Nai. Siapa tahu ini memang rezekimu. Kalau Tuhan sudah menakdirkan, pasti ada jalannya.”
Naila mengangguk, tapi tak ada semangat di sana. “Tadi pagi... Ayah bilang, setelah pengumuman kelulusan, aku akan dinikahkan dengan Zidan.”
Ucapan itu seperti bom. Reyzil spontan menegakkan tubuh, matanya melebar tak percaya. “Zidan?” tanyanya nyaris berteriak. “Kenapa kamu dinikahkan? Kita bahkan belum lulus! Dan kenapa harus dia?”
“Karena dia anak Pak Amir,” jawab Naila sambil mengusap matanya yang mulai basah. “Ayah bilang, Zidan pasti bisa menjamin hidupku. Keluarganya kaya, punya tanah luas, dan... Yang pasti karena dia mau menikahiku.”
Reyzil mengepalkan tangan. Dalam hati, ia marah. Bukan pada Naila, tapi pada keadaan. Tanpa berkata-kata, ia meraih tas dari pelukan Naila dan mengobrak-abrik isinya.
“Zil! Apa yang kamu lakukan?” protes Naila panik.
“Diam sebentar!” desis Reyzil, jemarinya terus mencari sesuatu—dan akhirnya menemukan formulir pendaftaran SNMPN yang sempat diberikan Bu Aisyah, guru BK mereka. Ia menyalakan gawainya dan mulai mengetikkan data yang tertera di formulir.
Tak lama, ia menyerahkan ponselnya ke Naila dengan napas tertahan. “Lihat ini.”
Naila membaca isi layar perlahan. Matanya membesar. Di sana, jelas tertulis:
Selamat! Anda diterima di Jurusan Ilmu Hukum melalui Jalur SNMPN.
“A-aku lulus?” bisiknya, menatap Reyzil dengan tatapan campur aduk antara bahagia dan cemas.
Reyzil tersenyum kecil, menahan gejolak emosinya. “Kamu lulus, Nai. Di kampus impianmu. Kamu punya kesempatan buat jadi jaksa, seperti yang selalu kamu ceritakan itu.”
Namun, dalam benak Naila, suara sang ayah kembali terngiang dengan jelas.
“Kita tidak punya uang. Bahkan kalau kamu lulus pun, siapa yang mau membiayai kuliahmu? Lebih baik kamu menikah dengan Zidan. Kamu akan hidup enak. Dia bisa menanggung semua biaya hidupmu dan anak-anakmu.”
Tanpa berkata apa pun, Naila menyerahkan kembali ponsel Reyzil. Ia meraih formulir yang telah remuk dalam genggamannya. Lalu berlari sekuat tenaga—menuju pondok sederhana berada di tepi sawah—rumahnya.
Sore itu, rumah Naila dipenuhi orang. Beberapa tamu duduk rapi di ruang tamu sempit, mengenakan batik dan senyum basa-basi. Aroma makanan, tumpeng, dan kue tampak memenuhi meja kecil yang dipaksa menemani kursi kayu yang telah rapuh dimakan usia. Naila berdiri tertegun di ambang pintu.
“Nah, ini dia calon menantu kami,” seru Pak Amir bangga. Di sampingnya berdiri Zidan, pria bertubuh kekar dengan wajah mencibir yang hanya menatap Naila dari ujung kaki hingga ujung kepala, seolah menilai barang dagangan.
Naila menunduk. Tangannya menggenggam erat kertas hasil SNMPN yang mulai lecek.
“Nai, duduk sini,” panggil ayahnya, penuh semangat.
“Ada apa, Yah?” Naila bergumam. Tapi langkahnya ragu, apalagi saat melihat keempat istri Pak Amir duduk rapi bersama anak-anak mereka yang berderet.
“Jadi ini yang Papa bilang?” Zidan mendengus, lalu bersandar dengan angkuh. “Bajunya aja udah lusuh begitu. Wajahnya ... Hmmm... ya begitulah.”
“Zidan!” bentak Pak Amir.
“Biarin aja, Pak,” jawab ayah Naila cepat. “Walaupun begini, anak kami ini sangat pandai mengurus urusan rumah dan anak. Itu sudah cukup.”
“Berarti, lamaran kami diterima. Setelah Naila lulus, langsung kita gelar akad. Tak perlu menunggu lama-lama,” ujar Pak Amir mantap.
"Kalian tidak perlu memikirkan masalah biaya, semua akan kami tanggung," ucapnya dengan senyum yang tertutup oleh kumis tebal.
“Bagaimana, Nai?” tanya sang ayah, meski nadanya bukan pertanyaan, melainkan keputusan.
Malam harinya...
“Ayah, Ibu... tolonglah. Aku belum ingin menikah. Aku masih muda. Aku mau kuliah. Aku akan mengejar mimipi menjadi seorang jaksa seperti cita-citaku sejak dulu."
Sang ayah menatapnya dingin. “Cukup, Naila. Jangan membantah lagi. Kita ini hanya orang miskin. Bisa menyekolahkanmu sampai lulus SMA saja sudah harus bersyukur. Kamu pikir kuliah itu pakai daun?”
“Tapi, Yah! Aku lulus, Yah! Kemungkinan, aku bisa mendapat beasiswa! Bu Aisyah bilang akan bantuku untuk mendapatkannya!"
“Berhenti bermimpi, Naila!” bentaknya. “Kamu itu perempuan. Tempatmu di dapur, di rumah, mendampingi suami! Karena itu memang kodratmu terlahir sebagai wanita!"
Pertengkaran pecah. Tapi tak ada suara yang cukup keras untuk memecahkan tekad ayah dan ibu yang telah menjodohkan anak mereka atas nama ‘jaminan masa depan’. Di malam yang gelap itu, mimpi Naila terkubur perlahan.
“Baiklah...” suara Naila gemetar. “Aku akan menikah dengan Zidan... seperti keinginan Ayah dan Ibu.”
Beberapa hari kemudian.
“Naila, kenapa kamu belum daftar ulang juga?” tanya Bu Aisyah di ruang BK, suara beliau lembut tapi terdengar penuh penekanan. “Ini kesempatan emas, Nak. Sekolah kita jarang mengirim siswa ke kampus besar. Kenapa kamu menyerah begitu saja?”
Naila menunduk. “Saya tidak punya pilihan, Bu. Keluarga saya... mereka sudah memberikan rencana lain kepada saya.”
“Mereka ingin kamu menikah?”
Naila mengangguk, pelan. Air matanya menetes tanpa bisa dibendung.
Bu Aisyah menghela napas panjang. “Dengar, kamu masih punya waktu seminggu. Ibu akan bantu urus beasiswa. Kamu hanya perlu meyakinkan dirimu dan keluarga, bahwa kamu pantas untuk bermimpi.”
Hari itu, harapan kecil tumbuh kembali di hati Naila. Tapi saat perjalanan pulang sekolah, semua semangat itu kembali hancur. Dari kejauhan, ia melihat Zidan.
Di atas motor, satu tangannya mengusap paha gadis yang memeluknya mesra di bangku belakang seakan tidak ada orang selain mereka. Dua sejoli itu tertawa lepas tanpa beban.
Naila terpaku. Dunia seolah berhenti berputar. Dan sekali lagi, hatinya berbisik...
Benarkah ini jalan hidupku? Haruskah dia yang menjadi suamiku?
"Bukankah itu Zidan? Dia... bersama wanita lain?" batin Naila, matanya tak lepas dari pemandangan yang membuat dadanya terasa sesak.
Pikiran Naila langsung kembali ke ucapan Bu Aisyah tempo hari. Tanpa pikir panjang, ia berbalik arah dan masuk lagi ke gedung sekolah, langsung menuju ruang guru tempat Bu Aisyah berada.
Tiga bulan kemudian.
Hari pembagian kelulusan.
Langkah Naila berat menyusuri jalan pulang. Kertas kelulusan di tangannya seakan tak ada artinya. Rumahnya sudah tampak dari jauh, tapi suasananya… membuat perutnya bergejolak. Ramai. Tenda berdiri. Suara ibu-ibu cekikikan di dapur. Anak-anak kecil berlarian, dan aroma masakan tercium sampai ujung jalan.
Esok adalah hari pernikahannya—yang tidak pernah ia inginkan.
Selama beberapa bulan terakhir, ia telah diam-diam mempersiapkan segalanya. Ia tahu, langkahnya akan membuatnya dicap sebagai anak durhaka. Tapi baginya, impian tak bisa digadaikan demi restu yang membunuh masa depannya.
Naila berdiri sejenak. Menelan ludah. Menguatkan hati. Ia sudah tahu ini akan terjadi. Ia hanya perlu memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
“Naila, cepetan ganti bajumu, ya! Kakak mau memasangkan henna di tangan dan kaki kamu!” seru Tami, tetangga yang juga jago menggambar henna.
"Hmmmfff..."
Naila menarik napas panjang. Ia masih tak habis pikir, demi pernikahan ini, orang tuanya rela mengeluarkan banyak uang entah dari mana. Namun, untuk biaya kuliah yang ia dambakan, mereka selalu mengatakan, "Mana ada uang?"
Naila menatap rumah itu. Menyusuri detil-detil kecil dengan matanya—pintu tua, kursi reyot di teras, bunga kertas di pagar. Sudut-sudut penuh kenangan. Tapi juga tempat ia merasa tak pernah benar-benar bebas.
Ia masuk ke kamar dan mengganti seragamnya dengan cepat. Tak lupa mengenakan topi dan masker—bukan masker bedah biasa, tapi penutup wajah yang ia siapkan khusus sejak sebulan lalu.
“Nai?” suara ibunya membuat jantungnya nyaris meloncat.
"Naila? Kamu dengar ibu panggil?" suara sang ibu terdengar jelas.
Dengan refleks, ia lepas kembali topi dan masker itu, buru-buru menyembul dari balik pintu.
“Iya, Bu?”
“Kamu mau ke mana lagi?” tanya ibunya curiga.
“Besok kamu nikah, lho. Gak boleh kemana-mana lagi!”
“Enggak, Bu… Naila di kamar aja kok.”
“Lho, kenapa kerudungan? Ini kan di rumah?”
“Kan banyak yang bukan mahrom, Bu. Jadi, ya… Harus begini.”
Ibunya mengangguk, meski masih tampak heran.
“Ya udah, cepat keluar. Tami nungguin dari tadi.”
"Baik, Bu." Naila kembali masuk, dan menutup pintu. Ia segera mengganti kerudung yang lain, topi, dan masker. Ransel yang sudah ia siapkan berisi pakaian dan dokumen penting segera ia gendong.
“Bismillah…” bisiknya pelan. “Maaf, Bu, Yah… Ini mungkin jalan yang durhaka. Tapi hamba ingin hidup yang hamba pilih sendiri.”
Ia mengenakan kembali topi dan masker. Setelah itu, mengeluarkan ransel yang sudah ia isi: beberapa baju, dokumen penting, dan amplop pemberian Bu Aisyah.
"Bismillah... Ya Allah, maafkan aku. Semoga Engkau ridho."
Ia membuka jendela, memandang sekitar. Beberapa ibu-ibu lewat sambil membawa panci besar. Naila menunggu, menahan napas. Saat jalan mulai sepi, ia lompat dan lari sekencangnya—meninggalkan semuanya.
Beberapa orang menoleh.
“Itu siapa? Aneh amat, siang bolong pakai masker begitu?”
“Mungkin tukang dagang es krim baru!”
Mereka tertawa kecil, tak tahu bahwa ‘penyusup’ itu adalah mempelai yang hilang.
Sementara itu, ibunya kembali mengetuk kamar Naila.
"Naila? Kamu belum juga keluar?"
Perlahan ia membuka pintu. Kosong. Tak ada siapa pun.
"Oh... mungkin sudah bersama Tami," gumamnya, tak menyadari apa yang baru saja terjadi.
Sementara itu, Naila berhenti di depan rumah kecil dengan cat tembok biru pudar.
"Assalamualaikum, Bu... Bu...?"
Suara langkah tergopoh. Pintu dibuka, dan wajah Hangat Bu Aisyah muncul di baliknya.
"Walaikumsalam... Naila? Sudah siap?" tanya Bu Aisyah.
Naila mengangguk cepat. Wajahnya cemas.
"Apa kamu yakin? Orang tuamu pasti kebingungan."
Gadis itu mengangguk cepat. Wajahnya tertutup topi dan masker, tapi matanya… bicara banyak.
“Kamu Yakin? Namun semua ini akan mengubah hidupmu.”
“Ayo, Bu. Nanti mereka keburu mencari.”
Tanpa tanya lebih lanjut, Bu Aisyah mengangguk, mengambil kunci mobil, dan mereka pun meluncur ke terminal. Setelah membelikan tiket, ia menyerahkan amplop putih kepada Naila.
"Semoga ini bisa membantumu untuk sementara. Kalau beasiswamu sudah cair, kamu tak perlu khawatir lagi. Ingat, tugasmu cuma satu: belajar! Kamu harus bisa membuktikan bahwa kamu bisa. Buat lah mereka bangga memilikimu."
Naila menganggukan kepala memberi pelukan hangat menyertai ucapan terima kasih paling dalamnya. Naila menahan tangis.
"Terima kasih, Bu. Aku tak tahu bagaimana membalas semua kebaikan Ibu. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang lebih besar."
"Amin." Bu Aisyah mengangguk mengusap kepala yang tertutup kerudung itu beberapa kali.
Tak lama kemudian, bis yang akan membawanya menjemput mimpi pun melaju, membelah jalan lintas Sumatra menuju ibukota.
Selama perjalanan, Naila menyerap tiap detik pemandangan yang asing baginya: laut luas, Gunung Anak Krakatau di kejauhan, dan langit yang tampak berbeda. Ada cemas, takut, kalut, tapi juga bahagia—karena untuk pertama kalinya, ia berjalan mengikuti keinginan hatinya sendiri.
...****************...
Setelah perjalanan panjang, ia turun di sebuah terminal yang ramai tapi asing.
Perlahan ia menyusuri jalan. Di ujung sana, kubah masjid menyapa matanya. Ia mendekat. Mencuci muka, melaksanakan sholat. Minum air galon gratis. Duduk di teras, menghela napas.
Tas dibuka. Dokumen diperiksa. Amplop uang diselipkan kembali ke dalam tas.
“Bu Aisyah… aku izin ya, pakai sedikit buat makan.”
Ia mengambil dua lembar uang, lalu menyimpan amplop itu kembali. Setelah makan, ia membuka berkas-berkas penting dan mengeceknya satu per satu.
Tiba-tiba, sebuah tangan kecil mengambil kertas-kertas itu.
"Hah?" Naila menoleh.
Seorang balita perempuan berdiri di dekatnya, memegang salah satu berkas yang tergeletak di atas lantai.
"Halo, Sayang... Kamu sama siapa ke sini?" tanya Naila lembut.
Anak itu menunjuk ke dalam masjid.
“Oh, ibunya di dalam ya? Ayo, kakak anterin," ucap Naila, menggenggam tangan mungil itu dan mengajaknya masuk ke bagian wanita.
Namun, begitu sampai di pojokan tempat anak itu duduk, Naila sadar—ia lupa sesuatu.
Dengan jantung berdebar, ia berlari kembali ke tempat semula.
"Tas-kuuu!" pekiknya.
Matanya terbelalak saat melihat sosok pria menenteng tas ranselnya—satu-satunya benda yang menyimpan impian dan perjuangan selama bertahun-tahunnya.
Tanpa berpikir panjang, Naila menerjang ke depan. “Hei, itu tasku!” teriaknya, suaranya menggema di antara deru kendaraan yang lewat dan jemaah yang sedang melaksanakan kewajiban di dalam mesjid.
Pria itu berhenti sesaat, menoleh sesenggukan, dan menggenggam erat tas milik Naila. Tatapannya tiba-tiba berubah menakutkan, lalu ia mendorong Naila dengan sekuat tenaga—tindakan spontan yang membuat Naila terhuyung dan hampir tersungkur di atas ubin di teras mesjid itu.
Jantungnya berdetak terlalu cepat saat berkas-berkas penting—surat keterangan, formulir pendaftaran, dan fotokopi ijazah—melayang di udara, kemudian tergeletak berserakan.
Denyut sakit muncul di lututnya, tapi Naila tahu tak ada waktu untuk menjerit. Ia merunduk, merogoh remuk-rebutan kertas putih itu. Setiap lembar yang ia genggam adalah harapan yang tak boleh hilang.
Di saat mencoba menyelamatkan semua berkas penting tersebut dalam beberapa detik, pria perampok itu telah menghilang dalam semerbak hiruk pikuk terminal yang tiada henti diisi oleh masyarakat yang berlalu lalang.
Langkah Naila terhenti—tapi sebelum ia sempat mendongak, sebuah tangan mungil menarik ujung pakaiannya yang telah lusuh hingga hampir menyeret gadis kecil itu ke lantai.
“Adek nggak apa-apa?” Naila secepat kilat menangkap tubuh kecil itu. Gadis berkuncir dua itu duduk terguncang, matanya membulat penuh kaget dan air mata.
“Ma-ma... Ma-ma...” suara lirihnya memecah kepanikan Naila.
Sekian detik kemudian, teriakan lembut ayah sang bocah terdengar. “Rindu! Kamu di mana saja? Papa khawatir!”
Dari sisi lain dinding masjid, seorang pria tampak tengah menggendong bayi mungil, wajahnya cemas meski ia berusaha menahan kepanikan.
Naila menenangkan diri meski di dalam hatinya penuh oleh rasa kalut dan cemas. Ia menggandeng tangan si bocah.
“Jadi, nama kamu Rindu ya?” tanya Naila sambil tersenyum tipis. Ia masih berusaha menahan gejolak di dalam dadanya.
Gadis yang ditanya, terlihat ceria kala digandeng oleh Naila. "Papaaa," soraknya dengan senyuman dalam mata berbinar.
Ia menyerahkan Rindu langsung ke salah satu tangan ayahnya, lalu menjawab, “Wah, sekarang kamu sudah bersama papa. Jangan jauh-jauh main dari papanya ya.” Naila melambaikan tangan memberikan senyuman manis kepada gadis kecil itu.
Pria itu menatap Naila beberapa waktu tanpa berkedip. Setelah itu, matanya mengerjap dan ia menggeleng cepat. “Terima kasih, Mbak," ucapnya dengan suara bergetar seakan menahan sesuatu yang entah, apa.
Naila seakan tak mendengar ucapan tersebut telah berbalik langkah, menghindar dari tatapan aneh dari pria dan orang-orang asing tersebut—Rasa bercampur aduk kini sedang berkecamuk antara lega, bersalah, dan putus asa.
Di saat langkahnya belum terlalu jauh, dengan jelas Naila mendengar Rindu memanggilnya. “Pa-pa ... Ma-ma, Pa?” Suara polos itu hilang di antara hiruk pikuk suasana ramai sekitar.
Naila terus memutar akal, apa yang harus ia lakukan. "Ke mana aku harus mencari tas itu?” gumamnya dalam rasa lelah yang sungguh hebat.
—“krucuuuuk”—
Tiba-tiba perutnya menggerutu lantang seperti alarm kelaparan yang tak bisa ditawar. Dua lembar uang ratusan ribu ini masih utuh di kantong celananya. Teriknya matahari terus mendorong pikirannya yang telah panas karena kejadian tak terduga ini.
"Apakah uang ini cukup untuk perjalanan ke kampus?" Sejenak, Ia tertunduk, memejamkan mata. Dalam diam, ia berdialog kepada Yang Maha Kuasa.
“Ya Allah...
Ampuni hamba yang lemah ini.
Jika ini ujian-Mu mengharap aku tak mudah goyah,
beri lah hamba kekuatan untuk terus berjalan.
Meski tak tahu ke mana harus melangkahkan kaki,
ridhoi setiap niat dan usahaku, ya Rabb.”
Setelah menarik napas panjang, Naila bangkit. Tasnya mungkin telah hilang, tapi tekadnya tak boleh pudar.
“Bismillah...” gumamnya, lalu berjalan menuju jalan utama yang telah hilir mudik diisi oleh kendaraan kota yang padat merayap.
Busway pertama sudah menunggu beberapa puluh meter di depan. Ia berjalan cepat, boots kanvasnya terantuk batu kecil, tapi ia tak mengeluh. Setiap langkah adalah janji: “Aku harus sampai di kampus malam ini.”
Namun, eberapa detik kemudian, perutnya benar-benar meronta tak mampu lagi bila terus diberi jeda untuk diisi. Ia teringat akan rekomendasi Bu Aisyah yang mengatakan: “Ada makanan warteg dengan harga yang sangat terjangkau di dekat halte. Pemiliknya juga sangat ramah. Setiap kali sampai di ibu kota, Ibu pasti singgah ke sana."
Naila memutar kepala mencoba menerka tempat yang dimaksud sang guru. Dan benar, tak jauh dari tempatnya berdiri, ia menemukan sebuah warteg yang terlihat begitu ramai.
Tanpa berpikit panjang, ia masuk dan segera memesan sepiring nasi putih, ikan goreng, dan sayur bayam. Aroma sederhana itu mampu menenangkan hatinya yang masih goyah.
Saat suapan pertama masuk ke mulut, air mata tiba-tiba menetes. Ia segera menyeka pipinya dengan punggung tangan, tak ingin terlihat lemah di depan orang lain. Ia berusaha untuk mengurangi porsi makan dari seharusnya.
“Bu, apa boleh sisa nasiku dibungkus saja?”
Ibu penjual berpikir sejenak, dan melihat raut Naila yang terlihat bimbang dan lelah. Ia mencoba menerka sendiri apa yang baru saja dialami oleh gadis belia yang tentu sangat asing ini.
“Lebih baik nasinya dihabiskan saja. Bude lihat, kamu masih laper. Lagian, kalau dibungkus dalam keadaan seperti ini, nasinya akan basi. Jadi percuma dong?"
Naila sedikit gelagapan karena penjual nasi ini bisa menebak apa yang sedang terjadi padanya. "Jadi, ga bisa dibungkus ya, Bu?" tanyanya canggung dan malu.
"Habisin aja gih. Nanti Bude bungkus yang baru untukmu.”
Naila telah pasrah dengan pengeluarannya yang tak bisa ditekan. Ia kembali melanjutkan menghabisi isi piring tersebut. Sementara itu si pemilil warung tengah sibuk menyiapkan lauk dan sayur diatur rapi dalam kresek, terpisah kuahnya agar tidak bikin lembek.
Ketika Naila menyerahkan uang seratus ribu, ibu itu menolak. “Simpan saja, Dek. Lain kali kamu bayar.”
Hati Naila sesak. Ia teringat keuangan yang memang sangat tipis yang akan digunakan untuk membeli tiket busway, tiket kereta, hingga biaya makan di kemudian hari.
Ibu itu kemudian mengambil sehelai kaos lengan panjang—bekas seragam olah raga—dan menyerahkannya. “Pakai ini jika kamu butuh. Siapa tau bisa sedikit membuatmu lebih hangat.”
Air mata Naila benar-benar tumpah sekarang. “Terima kasih banyak, Bu... jazakallah khairan.” Ucapan itu terengah, ia tak sanggup berkata lebih panjang.
Lampu jalan kota kini mulai menyala satu per satu dan berkelip seakan menyambutnya. Ini menandakan, bahwa ia akan berperang melawan dinginnya malam. Ia pun memakai pakaian olah raga tadi, dan memang memberinya sedikit kehangatan.
Dari halte, ia naik busway menuju stasiun, lalu berganti kereta. Malam makin dalam saat akhirnya ia memijak gerbang kampus. Gedung-gedung tua bergaris bayangan, sementara masjid kampus berdiri terang di tengah pekarangan.
Dengan napas masih tersengal, Naila mengangkat menarik pintu mesjid, “Assalamualaikum.”
Suara lembut menjawab dari arah dalam mesjid, “Walaikumsalam.” Beberapa mahasiswa menoleh, lalu kembali khusyuk.
Di sudut masjid, ia menyelipkan map berkas ke meja sudut di balik rak mukena, memandang deretan kopiah dan Al-Qur’an yang rapi.
Tanpa baju ganti, ia kembali mengenakan kaos olahraga pemberian ibu warteg. Lalu ia ke toilet, mencuci wajah, dan merapikan rambut. Setelah itu, ia wudhu, salat Isya dengan khusuk—berharap setiap ayat dan doa menenangkan hatinya.
Selesai salat, ia membuka nasi bungkus. Betapa laparnya ia, hingga setiap suap terasa seperti oasis di padang gersang. Ia berdoa kecil di dalam hati, lalu memenuhi perutnya. Setelah kenyang, ia menata sarung masjid sebagai selimut. Lampu masjid meredup saat petugas azan telah tertidur sebagai mana mestinya.
Naila menutup mata, merasakan kelelahan teraliri damai. Map berkas di bawah punggungnya jadi bantal, dan desah napasnya menyatu dengan dengungan kipas angin. Namun, baru beberapa menit, suara tegas membangunkan:
“Siapa itu? Dilarang tidur di masjid ini!”
Sorot lampu senter menghunjam matanya. Jantungnya tercekat—aku belum mulai kuliah, belum bayar uang semester, belum tahu besok makan apa, dan... ini baru malam pertama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!