Selama aku hidup, tak pernah terlintas sedikit pun dalam pikiranku bahwa aku akan menikah karena dijodohkan.
Padahal, aku sudah punya pacar. Seseorang yang kupilih sendiri. Yang kutemukan setelah perjalanan panjang mencari seseorang yang bisa sefrekuensi denganku. Yang bisa diajak berbagi cerita tanpa harus merasa dihakimi. Yang nyambung diajak diskusi dari topik remeh sampai urusan hidup-mati. Yang membuatku merasa dimengerti, bukan hanya dilihat.
Kupikir, cinta seperti itu cukup untuk menjadi pondasi masa depan. Tapi ternyata...
.... takdir berpikir lain.
Aku tak pernah menyangka hidupku akan seperti alur cerita dalam novel -di mana seorang gadis harus menikahi pria asing, bukan karena cinta, tapi karena sebab yang tak bisa ia tolak.
Apakah ini karena Papaku punya banyak utang? Tidak.
Papaku seorang PNS. Tepatnya Kasi Pendidikan Madrasah di kantor Kementerian Agama. Penghasilannya cukup, bahkan lebih dari cukup untuk mencukupi kebutuhan pokok dan sesekali memenuhi keinginan tersier kami. Kami bukan keluarga kaya raya, tapi juga bukan keluarga yang perlu berpikir dua kali untuk sekadar makan enak atau beli buku baru.
Lalu kenapa?
Apakah karena ambisi? Harga diri? Atau karena Papa merasa ini bentuk "jalan keluar" yang terbaik?
Atau...
.... mungkinkah ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku? Sesuatu yang membuat mereka tiba-tiba berubah arah. Dari yang semula mendukungku menjadi terburu-buru menjodohkanku dengan pria yang bahkan tak kukenal wajahnya?
Aku ingin marah. Tapi pada siapa?
Pada takdir? Pada Papa? Pada laki-laki asing yang tiba-tiba muncul membawa restu dan keputusan keluarga?
Atau pada diriku sendiri... karena terlalu percaya bahwa cinta saja sudah cukup?
Dan lebih dari itu...
... aku takut.
Takut jika pernikahan ini bukan cuma tentang kompromi, tapi juga tentang kehilangan. Kehilangan kendali atas hidupku. Kehilangan Harry. Dan mungkin… kehilangan diriku sendiri.
Aku yakin, Papa menikahkanku bukan karena ingin mengikuti jejak Siti Nurbaya. Papa bukan orang yang kaku pada tradisi, apalagi percaya hal-hal kejawen seperti jodoh ditentukan leluhur atau mimpi bertemu arwah yang memberi petunjuk.
Tidak. Papa bukan tipe seperti itu.
Tapi ternyata, alasannya jauh lebih sederhana dan justru itu yang membuatku sulit menerima.
Usia.
Semata-mata karena usiaku sudah menginjak 23 tahun. Karena sebentar lagi aku akan berusia 24, dan bagi Papa, itu angka yang terlalu "tua" untuk seorang gadis yang belum menikah.
"Perempuan itu ada masanya," begitu katanya. "Makin lama kamu sendiri, makin banyak risiko," lanjutnya lagi.
Risiko apa? Kehilangan harga diri? Omongan tetangga? Tidak dapat suami mapan?
Lucu.
Karena aku tak pernah merasa kehilangan apa pun sampai mereka bilang aku harus merasa begitu. Kupikir Papa akan jadi tempatku pulang. Tempat aku bisa berdiskusi tentang hidup, tentang cinta, tentang masa depan. Tapi kenyataannya, aku merasa seperti angka yang sedang berpacu dengan waktu. Aku seperti grafik yang harus segera naik, sebelum dianggap gagal.
Padahal, bukankah menikah bukan soal cepat-cepat? Tapi tentang kesiapan dan keyakinan?
Tapi bagi Papa, aku hanya anak perempuan. Dan mungkin, di matanya, aku hanyalah satu langkah lagi menuju "terlambat."
Atau…
... mungkin Papa benar-benar khawatir.
Bukan hanya karena angka usia di KTP-ku yang terus bertambah, tapi karena sosok laki-laki yang bersamaku saat ini. Harry Rafardhan.
Papa bisa membaca karakter seseorang hanya dari satu-dua pertemuan, bahkan dari obrolan singkat. Beliau pernah bilang, “Mata laki-laki yang ragu lebih berbahaya daripada mulut laki-laki yang banyak janji.”
Dan sejak awal, Papa tak pernah benar-benar bisa mempercayai Harry.
Bagi Papa, Harry adalah laki-laki yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Seorang pegawai percetakan yang terlalu lama berdiri di tempat yang sama, tanpa target hidup yang jelas. Lima tahun bersama, tapi tak sekalipun datang ke rumah untuk menghadap langsung sama Papa.
“Kalau dia serius, dia berani ngobrol sama Papa,” kata Papa. “Kalau dia punya tujuan, dia tidak akan biarkan kamu menggantung harapan sepanjang itu.”
Aku tahu… aku tahu betul Harry bukan tipe yang spontan atau berani tampil di depan orang tua. Tapi bukan berarti dia tak mencintaiku, kan?
Tapi Papa punya sejuta spekulasi.
Baginya, cinta saja tidak cukup.
"Komitmen yang tidak diwujudkan itu hanya ilusi," ucapnya dengan suara berat di satu malam yang sunyi. "Papa nggak mau kamu jadi perempuan yang menunggu terlalu lama sampai akhirnya ditinggal."
Dan aku diam.
Untuk pertama kalinya, aku mulai bertanya-tanya: Bagaimana kalau Papa benar?
...____________________________...
Aira Humaira Hariatmaja, 23 tahun. Seorang guru TK di sekolah swasta di kotanya. Meski sudah memiliki kekasih, hari-harinya ia habiskan dengan mengajar anak-anak PAUD dan mengejar gelar magister lewat kuliah sore di sebuah universitas.
Ia dan Harry Rafardhan, 23 tahun, pernah menjalani empat tahun kuliah bersama. Aira di jurusan PAUD, Harry di jurusan komputer. Kini, setelah lulus, waktu mereka bersama semakin langka. Harry sibuk bekerja di sebuah percetakan kecil.
Meski hubungan mereka sudah cukup lama, mereka sepakat menjaga batas. Tak sering bertemu. Sama-sama sadar, sebagai seorang muslim, cinta juga butuh kendali.
Awalnya, semua terasa mudah. Bahkan terlalu mudah. Mama Shania (ibu Aira) pernah menjadi pendukung terbesar hubungan mereka. Ia begitu antusias setiap kali Aira bercerita tentang Harry. Senyum hangatnya kala itu masih tersimpan jelas dalam ingatan Aira.
Tapi waktu tak hanya memperdalam cinta. Ia juga membawa tanya yang tak selalu punya jawaban.
Perlahan, dukungan Mama Shania berubah menjadi kecemasan. Rasa percaya yang dulu penuh, mulai dipenuhi keraguan. Satu tahun ini, Harry belum sekalipun datang ke rumah. Setiap kali diajak bersilaturahmi, jawabannya selalu sama: belum siap, masih belum waktunya, atau sedang ada urusan kerja yang tak bisa ditinggal.
Alasan demi alasan membuat Mama Shania bertanya-tanya: Benarkah lelaki itu serius dengan putrinya? Atau selama ini hanya memberikan harapan semu?
Malam yang dingin itu, Aira berdiri lama di depan jendela kamarnya. Menatap jauh menembus kaca jendela yang berembun karena angin dingin.
"Ai, kamu harus segera menikah, Sayang. Usiamu sudah 23 tahun. Sampai kapan kamu mau pacaran sama laki-laki yang nggak kasih kepastian itu? Mama dan Papa khawatir. Kamu ini anak gadis, nggak elok kalau terus menunda pernikahan di usia yang sudah matang begini."
Sudah tiga puluh menit berlalu. Obrolan ringan antara ibu dan anak yang semula hanya soal pekerjaan kini berubah menjadi percakapan serius. Di dalam kamar kecil yang hangat, suara mereka mulai meninggi.
Putri cantik itu menyentuh punggung tangan Mamanya dengan lembut. "Ini hidup aku, Mama. Aku akan menikah, tapi sama pacar aku."
"Sampai kapan? Kamu sudah lima tahun pacaran sama Harry, tapi nggak ada tanda-tanda mau melangkah ke jenjang serius."
Ponsel Aira berdering, sebuah pesan WA muncul. "Cinta, bisakah hari ahad kita bertemu? Di taman biasa ya..." --pesan dari Harry.
"Mama, Minggu depan Harry mau silaturahmi ke rumah." Aira angkat bicara setelah selesai menyantap sarapan di pagi hari ini.
Hanya ada mereka berdua. Papa Aira -Hariatmaja- sudah berangkat kerja sambil mengantar Aila Adelia Hariatmaja sekolah di MTs Kota Surakarta.
Mama Shania yang sedang mencuci tangan di wastafel menoleh, lalu tersenyum sambil mengelap tangannya pada celemek. "Bagus dong, Sayang. Kalau kalian memang serius, Mama akan dukung."
"Tapi, Mama. Kenapa sih akhir-akhir ini jadi kelihatan pingin aku cepat-cepat menikah?"
Mama Shania menatap putrinya sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya. "Ini soal Papa kamu, Ai. Papa nggak mau lihat kamu kelamaan sendiri. Usiamu udah 23 tahun. Oktober nanti kamu 24. Bagi Papa, itu usia yang sudah matang untuk menikah. Terutama buat anak gadis."
"Tapi, aku nggak sendiri. Aku udah punya pacar, Mama. Kami saling cinta. Kami punya komitmen akan menikah ketika waktunya sudah tepat."
Sang ibu menarik tangannya pelan, lalu menggenggam jemari putrinya erat. Suaranya menurun, tapi nadanya tegas. "Mama pun nggak bisa diam aja, Ai. Kalau kamu terus nunggu Harry sampai dia mapan, bisa-bisa kamu menua duluan. Dia itu cuma pegawai percetakan, masa depannya masih terlalu samar."
"Aku rela nunggu. Aku percaya sama dia."
"Astaghfirullaahaladzim..." Mama menghela nafas, menahan emosi. "Mama benar-benar nggak ngerti jalan pikiran kamu. Kalau gini terus, bener kata Papa. Papa yang akan carikan jodoh buat kamu."
"Ma... maksud Mama apa?"
"Udah. Mama nggak mau dengar alasan kamu lagi. Setiap kali debat sama kamu, Mama selalu kalah karena kamu pandai bicara. Tapi sekarang Mama sudah cukup."
Aira menunduk sejenak, sedih merasa bersalah karena membuat Mamanya kecewa. Tapi, dia juga berhak punya pendapatnya sendiri.
"Mama, ini hidup aku. Aku nggak mau menikah hanya karena dikejar usia. Kalau aku nggak siap, aku bisa kehilangan arah di tengah jalan. Aku ingin membangun rumah tangga dengan hati yang utuh, bukan karena tekanan."
"Kalau begitu, Harry harus bisa meyakinkan Papa. Kalau nggak, Papa akan keukeh carikan jodoh buat kamu," ujar Mama akhirnya, datar.
"Apa?" Aira tercekat. "Kok tega banget? Ini pernikahan, bukan transaksi."
"Papa udah kenal seseorang. Seorang pengusaha muda. Ponakan dari rekan kerjanya di kantor Kementerian Agama. Papa bilang dia mapan, punya usaha sendiri, dan bisa bawa kamu ke hidup yang lebih sejahtera."
Jantung Aira seolah berhenti berdetak. "Jadi, karena dia mapan... Papa anggap dia lebih pantas dari Harry?" Aira bangkit berdiri, matanya mulai memerah. "Apa Mama dan Papa nggak percaya sama pilihan aku? Nggak cukup lima tahun aku mencintai dan memperjuangkan hubungan ini?"
"Ai..." suara Mama Shania mulai melembut, "bukan soal nggak percaya. Tapi Mama dan Papa cuma ingin kamu bahagia."
Aira menggeleng pelan. "Bahagia bukan cuma soal uang, Mama. Bahagia itu tentang rasa aman, saling percaya, dan tumbuh bersama. Harry memang belum mapan, tapi dia kerja keras. Dia jujur, dan dia nggak pernah menjanjikan langit, tapi dia selalu hadir di saat aku butuh."
Mama Shania tak bisa membalas. Tatapannya mulai goyah. Ia tahu, dalam banyak perdebatan, Aira sering menang dengan argumen yang tajam dan penuh keyakinan. Tapi menjadi seorang istri dan ibu membuatnya berada di tengah pusaran yang sulit. Ia ingin melindungi putrinya, namun di sisi lain, ada tanggung jawab untuk membela keputusan suaminya.
Aira menatap ibunya dalam-dalam, lalu berkata pelan, "Mama pernah percaya sama dia. Kenapa sekarang ragu hanya karena waktu belum memihak kami?"
"Sayang..." suara Mama Shania pelan. "Mama nggak mau kita berakhir saling menyakiti. Mama tahu kamu cerdas, bisa mikir panjang. Tapi hidup rumah tangga itu bukan cuma tentang cinta. Itu juga soal kesiapan, perjuangan, dan restu. Kalau kamu memang mantap dengan pilihanmu, segera bawa Harry ke rumah. Yakinkan Papa kamu. Jangan ditunda lagi."
Mama menarik napas dalam, seolah menahan sesuatu yang berat di dadanya. "Tapi kalau setelah ini hatimu mulai goyah, Mama ingin kamu berserah diri. Minta petunjuk dari Yang Maha Tahu. Mulailah sholat istikharah, Sayang. Biar Allah yang tunjukkan jalan."
Mata Aira mulai berkaca-kaca. Ada sesuatu yang dalam jauh sudut hatinya. Kadangkala, ia pun merasa ragu dengan Harry. Tapi Aira tak ingin mengkhianati cinta Harry, karena cowok itu sangat mencintainya.
Aira bersiap-siap untuk berangkat mengajar. Baru saja ia membuka pintu, deretan suara riang dan langkah kecil terdengar dari arah gerbang rumah. Ternyata, keluarga kakaknya, Kak Roha Hariatmaja, datang berkunjung. Ia datang bersama istrinya, Kak Nina Yunita dan putri kecil mereka yang berusia tiga tahun, Mayu Rohani Hariatmaja.
Biasanya, Aira akan menyambut keponakan kecilnya itu dengan antusias dan pelukan hangat. Namun kali ini, wajah Aira tampak murung, matanya kehilangan binar.
“Acam muaikum, onty Ai!” sapa Mayu ceria dengan logat cadelnya.
“Wa’alaikumussalaam wa rahmatullaahi wa barakaatuh,” jawab Aira pelan, nyaris tanpa ekspresi.
Mama Shania langsung menghampiri mereka dengan semangat penuh suka cita. “Mayuuu, cute-nya cucu Oma! Sini sama ngrandmama!”
Mayu pun berlari kecil ke pelukan neneknya.
Senyum Mama Shania melebar. Ia menoleh ke arah Aira yang hendak keluar rumah. Suaranya terdengar lembut namun sarat makna. “Nih lihat, Ai. Apa kamu nggak pengin punya keluarga kayak Kak Roha? Mama masih muda, masih kuat kok ngurusin cucu-cucu kecil. Mumpung Mama masih bisa bantuin kalian.”
Perkataan itu membuat dada Aira terasa sesak. Ia berusaha menahan napas panjang. Tentu, ini akan jadi sesi perbandingan lagi…
Dan benar saja.
Mama Shania melanjutkan, “Sempurnakanlah ibadahmu dengan menikah, Ai. Karena itu sunnah Rasul. Kamu akan makin bahagia kalo punya keluarga begini."
Kalimat itu terdengar seperti seruan yang dibalut dalil. Tapi bagi Aira, nadanya seperti tekanan.
Ia menunduk sejenak, memandangi sepatunya yang berdebu. Di dalam hatinya, amarah kecil mulai bergolak. Kenapa semuanya harus tentang menikah? Kenapa bahagia harus selalu diukur dari punya pasangan dan anak? Tapi ia tak menjawab. Belum saatnya bicara.
Ia melangkah pergi, meninggalkan rumah dengan langkah cepat. Tak disangka, Harry sudah menunggu di seberang jalan, tempat Aira biasa menunggu bus.
Aira terperangah. Perasaannya langsung berubah. Tadi ia merasa muram, sekarang hatinya berbunga-bunga. Saat Harry turun dari motor dan membuka helm, senyum Aira mengembang sempurna. Inilah takdirku, batinnya. Harry datang di saat yang paling aku butuhkan.
“Pagi, Ai,” sapa Harry lembut. “Aku antar ke TK, ya?”
Aira sempat tercengang. Ini bukan kebiasaan Harry. Tapi ia tak peduli. Ia mengangguk cepat, lalu naik ke boncengan sambil senyum-senyum sendiri. Namun di balik punggung yang ia peluk erat, hati Harry justru terasa sesak.
Ia menggenggam erat setang motornya, menahan guncangan dalam dadanya. Ada hal penting yang ingin ia lakukan bahkan sampaikan. Hal yang bisa mengubah segalanya. Atau bahkan...
... mengakhiri segalanya.
Harry Rafardhan, seumuran Aira.
Harry memiliki wajah yang tampan belia. Cenderung masih terlihat muda, belum menampilkan sisi maskulin yang tegas seperti laki-laki dewasa pada umumnya. Gayanya kasual tapi selalu rapi dan memperhatikan penampilan.
Ia dikenal sebagai lelaki rajin, dan sholih. Dengan sikap yang penuh perhatian. Namun, di balik senyum ramahnya, ada ketidaktegasan yang perlahan terungkap seiring waktu, membuat pesonanya memudar di hadapan laki-laki yang tahu pasti apa yang ia perjuangkan.
"Harry, aku senang kamu menjemputku. Ini hal yang nggak biasa. Tapi, aku benar-benar bahagia bisa ketemu sama kamu hari ini," ucap Aira, suaranya hangat seperti cahaya pagi yang baru saja menyentuh wajah bumi.
Harry hanya tersenyum tipis. Ia tidak menjawab. Udara pagi terasa segar, tapi dadanya sesak. Terlalu sesak.
Aira duduk menyamping di boncengan, membiarkan angin membelai wajahnya. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan hatinya menikmati ketenangan. Sampai akhirnya motor berhenti di tikungan dekat TK tempat Aira mengajar. Ia selalu berhenti sebelum gerbang.
"Makasih ya, Harry. Udah nganterin aku," kata Aira sambil turun dari motor.
Tapi belum sempat ia melangkah pergi, Harry meraih tangannya dengan lembut namun gugup. "Aira, bolehkah aku memelukmu?"
Aira terkejut. "Eh? Kenapa tiba-tiba?"
Tak menunggu jawaban, Harry menarik Aira langsung ke dalam dekapannya. Aira kaget, merasa tak sepantasnya dipeluk oleh lelaki yang belum menjadi suaminya itu. Seolah menahan gejolak rasa yang telah lama terpendam, cowok tampan itu berani mendekatkan ciumannya. Sontak Aira langsung menggeliat menolak.
"Harry, apa yang kamu lakuin?!"
Harry masih memfokuskan ciuman itu tapi Aira tetap menolak. Gadis itu mencengkeram erat jaket kekasihnya dan terpejam hebat ke dalam pelukannya. "Harry, jangan lakukan itu..."
"Ma-- maaf, Aira." Harry luruh.
Aira membeku. Jantungnya berdetak tak karuan. Tangannya sempat mendorong dada Harry, tapi akhirnya ia diam. Luluh setelah mendengar Harry berbisik.
"Ayo kita menikah, Aira" suara itu lirih tapi dalam, seakan keluar dari bagian terdalam jiwanya.
Dada Aira terasa hangat, senyum pun muncul tanpa sadar. Ia mengangguk. Namun sebelum ia bisa menyelami lebih dalam rasa bahagia itu, Harry berkata lagi.
"Aku benar-benar ingin menikahimu, Aira. Tapi..."
Aira mendongak, "Tapi?"
"Kalau suatu hari ada pria lain yang datang melamarmu, terimalah dia." Harry mempertegasnya dengan Hadits Nabi, "Kamu ingat hadits itu kan? Kalo ada pria sholeh yang melamarmu, maka terimalah lamaran itu."
Kata-kata itu menghantam jantung Aira. Seakan seseorang tiba-tiba memadamkan lilin harapannya. "Apa maksudmu bicara seperti itu? Kenapa kamu ngomong begitu?" Aira melepaskan pelukannya, wajahnya berubah gelisah.
"Aku belum selesai dengan diriku sendiri, Ai. Ada banyak hal yang harus aku bereskan. Hutang, pekerjaan yang belum stabil, masa lalu yang belum sepenuhnya aku tuntaskan. Semuanya belum cukup pantas untuk menyeretmu ke dalamnya."
Aira menatapnya, matanya bergetar. "Aku nggak peduli, Harry. Aku ingin bersamamu, walau harus menunggu."
Harry menggeleng perlahan. "Nggak, Ai. Kamu perempuan yang terlalu baik untuk disimpan dalam ketidakpastian. Aku mencintaimu, tapi aku juga harus jujur. Cinta... kadang nggak cukup untuk membangun rumah tangga."
Aira menggigit bibirnya, "Kalo begitu, lamarlah aku." Air matanya hampir saja tumpah. Ia ingin melanjutkan tentang perjodohan yang dirancang Papanya, tapi suaranya sudah tercekat di tenggorokan. Tak mampu melanjutkan karena khawatir air matanya semakin tumpah tak terkendali.
Harry mengusap kepala Aira pelan. "Kamu pantas mendapatkan seseorang yang bisa hadir penuh, bukan separuh seperti aku sekarang."
Cukup lama Aira memberikan jawaban, akhirnya dia berkata. "Harry, hari ahad kita jadi ketemu kan?" tanyanya.
"Um, iya..." Harry menggaruk pipinya.
“Kalau begitu, datanglah ke rumahku,” ucap Aira, sebelum ia berbalik dan Mulai melangkah pergi tanpa pamit.
"Tapi, Aira?"
Aira tak berhenti. Ia terus melangkah menjauh. Namun, satu meter sebelum sampai di gerbang TK tempatnya mengajar, ia menoleh dan memberikan senyum manisnya. “Aku yakin, kamu bakalan datang, kan?!” katanya sambil melambaikan tangan. Lalu ia berlari ringan, meninggalkan Harry yang berdiri mematung di tempat.
Hari-hari pun berlalu.
Aira mematikan ponselnya. Kalau Harry memang sungguh-sungguh, pikirnya, dia pasti akan datang langsung ke rumah. Ia ingin tahu seberapa besar tekad dan keberanian laki-laki itu untuk memperjuangkan hubungan mereka.
Namun, di hari yang dijanjikan...
...Harry tak juga datang.
Dari pagi hingga sore, Aira berusaha meyakinkan dirinya bahwa mungkin Harry terlambat, mungkin ada urusan mendesak. Tapi senja datang, dan malam mulai menggulung langit. Tetap tak ada tanda-tanda kehadiran Harry. Tidak juga sepucuk pesan atau telepon.
Dan akhirnya, saat malam menjelang dan rumah mulai tenang, suara deru mobil hitam Civic Type R berhenti di depan gerbang rumahnya. Aira mengintip dari celah tirai jendela kamarnya di lantai 2.
"Astaga, dia orang berduit rupanya. Masa Papa mandang cuma dari harta sih? Aku sampe nggak percaya," gumam Aira.
Ketukan terdengar dari pintu depan rumah. Seorang pria muda berdiri di teras bersama seorang lelaki paruh baya yang berwibawa. Wajah mereka asing. Namun senyum sopan dan pakaian rapi mereka menandakan bahwa mereka datang bukan tanpa maksud.
Mama Shania menyambut mereka dengan senyum hangat. Papa pun ikut menyilakan masuk dengan ramah. Aira hanya bisa menatap dari balik tembok ruang tengah, jantungnya berdegup lebih keras dari sebelumnya.
Tidak. Itu bukan Harry.
Aira memutar tubuhnya, masuk ke kamarnya. Menutup pintu perlahan. Mengunci. Di balik pintu, ia bergumam lirih, penuh luka. "Kamu jahat, Harry. Setelah semua yang kita lalui selama lima tahun... kamu malah menghilang begitu saja. Bahkan untuk datang dan mengucap sepatah kata pun kamu tak sanggup? Apa kamu benar-benar sepengecut itu?"
Air matanya akhirnya jatuh juga malam itu. Dan kali ini, tak ada pelukan yang menenangkan. Hanya sunyi. Dan kenyataan, bahwa Harry mungkin bukan laki-laki yang ditakdirkan menepati janjinya.
Mama datang ke kamar. Mengetuk pintu. Suaranya terdengar lembut, tapi ada nada harap di sana. "Ai sayang, ayo turun, Nak. Ada yang ingin bertemu denganmu. Dia pria tampan... dan Mama rasa dia hebat."
Aira mendengus, "Nggak mau!" serunya. "Mau setampan apa pun, sekaya apa pun, kalau bukan Harry, aku nggak mau, Mama!"
Mama menarik napas panjang, berusaha tetap sabar. "Oke, oke. Mama nggak mau berdebat sekarang. Tapi Mama cuma mau bilang, cinta itu bisa tumbuh, Ai. Kalau dia jodohmu, Mama yakin... kalian akan cocok pada waktunya."
Mata Aira memerah. “Kalau ternyata nggak cocok gimana? Ujung-ujungnya cerai juga, kan? Lebih baik tolak dari awal!”
"Dia pria baik, Ai. Sholih, sopan, dan penuh hormat. Mama dan Papa nggak asal pilih. Mama yakin... kamu akan berubah pikiran kalau sudah mengenalnya."
Aira menggeleng keras, matanya mulai basah lagi. “Mama dan Papa jahat...” suaranya lirih, penuh amarah yang bercampur luka. “Maaf, Mama. Aku nggak mau durhaka sama Mama dan Papa, tapi aku nggak bisa patuh gitu aja. Tolong, tinggalin Ai sendiri.”
Mama tak berkata apa-apa lagi. Ia melangkah turun. Aira menjatuhkan tubuhnya ke ranjang, membenamkan wajah di bantal, dan menangis tersedu-sedu.
“Kamu juga jahat, Harry...” gumamnya di sela isak.
Menyadari gadis itu menangisi kekasihnya yang baik berakhir jahat, Aira bangkit untuk menghapus air mata yang tak ada penyelesaiannya itu. Lalu, bergegas mengambil air wudhu. Dia akan melakukan shalat istikharah.
"Allaah... Pertegas pilihan aku ini. Siapa yang harus aku pilih? Harry atau pria yang bahkan aku tidak tahu namanya," doanya sebelum mengangkat takbir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!