NovelToon NovelToon

My Golden Husband

1. Pangeran Mikail

‘For You, Baby,’ bukankah itu terdengar aneh untuk nama sebuah restoran? Bahkan terdengar alay saat diucapkan. Sialnya, ini adalah tempat yang pertama kali Dodik tuju setelah enam belas tahun tak memijakkan kakinya di tanah pertiwi. Bima, pemilik restoran itu sangat tersanjung dengan kedatangan Dodik dalam pesta pembukaan restoran makanan berat kalorinya.

“Adikku tercinta …,” sambut Bima sembari membuka tangannya selebar mungkin.

Dodik begidik geli melihatnya. “Dasar Bucin,” sahutnya. Dari pada menerima pelukan itu, Dodik memilih duduk di kursi yang disediakan untuknya.

Bima turut duduk di kursi lain yang berhadapan dengan Dodik. “Apa Amerika juga mengajarimu kata itu?” tanya Bima.

“Aku ini cinta Indonesia, Kak. Bagaimana mungkin aku melupakan kekayaan di dalamnya?” Dodik menyanjung dirinya.

“Kupikir kata itu belum populer enam belas tahun lalu atau yang kamu maksudkan adalah kekayaan papamu?”

“Ayolah, Kak. Kita sedang membicarakan bucin. Jangan membinggungkan. Lagipula, kekayaan papaku tidak perlu dibicarakan.”

“Apa ini pamer?”

“Ayolah, Kak. Untuk apa aku pamer? Semua orang sudah tahu kekayaan papaku.”

Bima tidak bisa berkata-kata lagi. Dia menyahuti Dodik dengan tawa.

“Selamat ya, Kak, atas pembukaan restorannya. Meski tidak menyakinkan.” Dodik meletakkan sebuah kotak kecil panjang di atas meja.

“Kenapa kamu bilang begitu? Menyebalkan!” Bima tersinggung.

“Bisnismu ini yang paling aneh dari bisnis-bisnis lainnya. Bukannya menyediakan makanan sehat dan rendah kalori, kamu malah menyediakan makanan berat kalori,” sahut Dodik.

“Justru inilah istimewanya. Karena hanya di restoran ini para perempuan akan tahu seberapa besar cinta pasangan mereka. Pasangan yang akan menerima mereka apa adanya, termasuk lemak di tubuh mereka,” jelas Bima.

Dodik menggelengkan kepalanya. Bima benar-benar bucin: buayanya cinta.

Bima membuka kotak hadiah itu. Sebuah kunci mobil berada di dalamnya.

“Hanya sebuah mobil sport. Jangan anggap berlebihan.” Sebenarnya Dodik menyombongkan diri.

“Sudah kuduga, ikan kakap memang beda sama tengiri,” kata Bima.

“Apa itu pujian?” tanya Dodik.

“Itu niatku sebenarnya, Tuan. Karena tidak mungkin kamu benar-benar memberikanku hadiah kecil. Makanya aku mengundangmu,” jawab Bima.

“Itu terima kasihku, Kak. Kalau bukan karenamu, aku tidak mungkin bisa tinggal di Amerika dan menjauh dari kedua orang tua gilaku.” Kini Dodik berbicara serius.

Saat berusia lima tahun, Dodik baru tahu kematian ayahnya saat ibunya akan menikah dengan laki-laki lain. Meski dia menerima pernikahan itu, Dodik tidak nyaman tinggal bersama mereka. Dalam setahun dia pergi ke Amerika dengan bantuan Bima yang berhasil membujuk orang tuanya.

Preng! Suara itu mengalihkan perhatian Dodik dan Bima. Mereka berdua melihat seorang pelayan perempuan tengah menunduk berulang-ulang di depan kumpulan perempuan yang tengah memakinya.

“Dia lagi.” Bima menggeleng-gelengkan kepalanya kesal.

“Ada apa?” tanya Dodik penasaran.

“Aku membiarkannya bekerja di sini karena seseorang memintaku. Dia dulu bekerja di restoran orang tuaku. Lalu aku mengajarkannya untuk meminta maaf dengan baik kepada pelanggan dan dia malah terus meminta maaf. Maksudku, dia tidak berhenti melakukan kesalahan.” Bima merasa kesal.

Bima lekas bangun mendekati sang pusat perhatian. Dodik melihat Bima tengah menengahi pertengkaran di sana. Bukannya membaik, pelayan itu malah mendapat semburan air di bajunya.

Ah, sial! Dodik telah bangun. Dia tidak bisa hanya melihat. Jiwa kepahlawanannya telah bangkit. Dia bergegas mendekati mereka, lalu melepaskan jas putihnya dan mengenakannya kepada pelayan itu.

Perhatian para perempuan itu tidak tertarik lagi ke pelayan tadi. Mereka terperangah bersama-sama melihat Dodik di depannya. “Pa-pangeran Mi-mikail?”

.

.

.

Selalu like dan koment🤗

2. Jas Putih Pangeran

“Kamu Pangeran Mikail, kan?” tanya seorang perempuan.

“Bukannya kamu tinggal di Amerika?” tanya perempuan lainnya.

Dodik mengabaikan seluruh pertanyaan itu. Namun, dia tetap tersenyum. “Bisa berhenti?”

Seketika perempuan-perempuan itu menjerit kegirangan. “Benar! Kamu benar-benar Pangeran Mikail! Aku masih tidak percaya kamu benar-benar di Indonesia!”

Dodik melihat ke pelayan tadi. Pelayan itu terus menunduk. Dia pun memberikan isyarat kepada pelayan lainnya untuk membawa pelayan itu pergi. Kemudian Dodik berjalan keluar dari tempat itu. Lagipula tugasnya telah selesai.

“Tunggu, Dik,” panggil Bima.

“Apa?” sahut Dodik.

“Terima kasih. Jika bukan karenamu, restoranku akan hancur seketika.” Bima merasa malu.

“Kamu tahu kenapa aku disebut Pangeran Mikail?” tanya Dodik.

“Kenapa?” Bima tidak mengerti.

“Karena selain tampan dan kaya, aku ini berhati mulia.”

Bima tertawa pelan. Dodik tidak akan berhenti menyombongkan dirinya.

“Lalu bagaimana dengan jasmu? Itu tidak mungkin murah.” Bima merasa tidak enak hati.

“Ayolah, Kak. Jangan memalukanku dengan berkata seperti itu. Sebagai pemilik saham tertinggi Maha Dewi Group, jas seharga seratus sepuluh juta bukanlah apa-apa.” –Apalagi jika ayah tirinya meninggal, saham Dodik akan bertambah sampai lebih dari lima puluh persen.

“Dasar Pangeran Mikail. Bukannya berkuda putih, malah berjas putih,” kata Bima.

“Bagaimana seorang pangeran bisa tidak memiliki kuda putih?” sahut Dodik.

“Apa maksudmu?”

Tiba-tiba Dodik bersiul. Dalam lima detik, sebuah mobil mewah berwarna putih berhenti di dekat Dodik. Dodik pun mendekat dan menyandarkan sikunya di sana.

“Bagaimana? Apa kudaku sudah tampan?” Dodik melirik ke mobilnya.

Bima tidak bisa berkata-kata. Uang berhasil menciptakan apa pun yang tak pernah terbayangkan.

Setelah Dodik masuk ke dalam mobilnya, Bima pun berbalik untuk kembali ke restorannya. Tiba-tiba pelayan perempuan yang sempat Dodik tolong tadi datang dengan terburu-buru. “Tuan!” jeritnya.

Sayangnya mobil Dodik sudah melaju. Pelayan itu berhenti di samping Bima untuk menormalkan pernapasannya.

“Apa yang kamu lakukan? Kembali bekerja!” titah Bima.

“Tidak, Tuan. Ada hal lebih penting yang harus kulakukan,” tolak pelayan itu.

“Memangnya apa itu?”

“Mengejar mobil sang pangeran.” Pelayan itu menunjuk jalan yang menjadi bekas mobil Dodik berhenti. Kemudian langsung berlari lagi mengejar mobil itu.

Bima menggeleng-gelengkan kepalanya atas tingkah pelayannya itu. Seharusnya dia berusaha sekeras itu saat bekerja pada Bima.

Tidak bisa. Bima tidak bisa membiarkan pelayan itu berusaha lebih keras lagi. Bima sudah lelah. Dia akan memecat pelayan itu.

Untungnya mobil itu tidak melaju cepat. Pelayan itu berhasil menghentikannya dengan menghadang di depannya sembari melebarkan kedua tangan.

“Menyingkirlah! Kalau kamu sudah bosan dengan hidupmu, maka biarkan harimau yang memakanmu!” teriak sopir mobil itu.

Pelayan itu mengabaikan teriakan si sopir. Dia malah mengetuk jendela di samping tempat Dodik duduk. Tok tok tok.

“Tuan, biarkan aku bicara denganmu,” pinta pelayan itu.

Akhirnya Dodik menurunkan kaca jendelanya. Dia menyambut udara yang menabrak wajahnya dengan senyuman.

“Ada apa?” tanya Dodik.

“Aku minta maaf karena menarik perhatian di restoran tadi, aku minta maaf karena membuatmu merasa terganggu, dan aku minta maaf karena membuatmu terlibat dalam masalahku,” kata pelayan itu membombardir.

Pelayan itu membuat Dodik ingin tertawa. Dia benar-benar mengatakan maaf dengan baik.

“Hanya itu?” balas Dodik.

Pelayan itu menggelengkan kepalanya. Kemudian dia menyodorkan sebuah tas kertas kepada David. “Terima kasih atas bantuannya. Ini kukembalikan jasnya.”

“Tidak perlu.” Dodik menolaknya.

“Tapi, Tuan ….”

“Aku tidak pernah memakai pakaian yang pernah dipakai orang lain,” jelas Dodik.

“Ini pasti mahal, Tuan. Aku tidak bisa menggantinya.” Pelayan itu bersikukuh.

“Tidak perlu. Aku punya banyak di lemari,” tolak Dodik.

“Untuk pemberian, ini terlalu mahal, Tuan. Aku tidak bisa menerimanya, Tuan.” Pelayan itu masih bersikukuh.

“Begini saja ….” Dodik mengeluarkan sebuah kartu nama dengan kedua jarinya. “Datanglah ke rumahku dan bekerjalah di sana. Gaji pelayan di sana mulai tujuh sampai sepuluh juta per bulan. Aku akan memotong setengah dari gajimu. Jadi kamu harus bekerja selama tiga tahun.”

“Ti-tiga tahun?” Pelayan itu terperangah.

“Ada masalah?” tanya Dodik.

“Sebenarnya aku berencana menikah bulan depan, Tuan,” jelas pelayan itu.

“Kalau begitu tidak perlu. Kamu bisa ambil jas itu tanpa menggantinya.” Dodik mengalah.

“Tidak-tidak, Tuan. Aku akan menggantinya. Aku akan bekerja di sana selama tiga tahun seperti katamu,” kata pelayan itu menyerah.

“Baiklah.” Dodik menaikkan kaca jendela, tetapi langsung menurunkan sebelum tertutup. “Oh, ya. Tidak sembarang orang bisa bekerja di sana. Jadi bekerjalah dengan baik atau kamu tidak akan pernah bisa mengganti jasku,” katanya memperingatkan.

“Baik, Tuan.”

Pelayan itu menunduk memberikan hormat. Kemudian mobil Dodik melaju meningalkannya. Setelah membangunkan punggungnya, pelayan itu menarik sedikit jas yang mengisi tas kertas di tangannya. Dia tersenyum semringah. “Kamu memang seorang pangeran,” gumamnya.

***

.

.

.

Selalu like dan koment🤗

3. Tak Pernah Terbayangkan

Tiga tahun berlalu dengan cepatnya. Meski Citra mengawalinya dengan berat. Penundaan pernikahannya dengan Radi tentu mengejutkan keluarganya dan mengecewakan keluarga calon suaminya. Syukurnya mereka tidak terlalu mempermasalahkan itu dan memilih menunggu kepulangan Citra.

Setelah turun dari bus yang berhenti di depan pasar, Citra memilih pulang dengan menaiki truk mini yang biasanya diisi oleh sepuluh sampai lima belas penumpang agar dirinya bisa menyapa desa dengan baik. Sedangkan angin berlarian mengikutinya dan bersorak-sorak atas kepulangannya. Hawa dingin pegunungan memeluknya untuk mengusir gerah karena tekanan dalam bus. Hawa dingin tidak benar-benar memeluknya, karena sebelum hawa itu, jas putih lebih dulu memeluk tubuhnya.

“Apik tenan jaketmu. Pantesan, yang dari kota,” kata seorang nenek memuji jas putih itu.

“Ini namanya jas, Mbok, bukan jaket,” sahut Citra membenarkan.

“Jas atau jaket kan sama, dipakai biar enggak kedinginan, tho.” Nenek itu menolak pembenaran.

“Apa itu buat anak Pak RW? Pasti cocok kalau dipakai di pernikahan kalian,” kata seorang nenek lainnya.

Citra membalasnya dengan senyuman tipis. Untuk apa dia memberikan jas itu kepada laki-laki yang masih asing untuknya? Bahkan setelah menikah, laki-laki itu tidak akan membelikannya kalung emas seharga lima puluh juta.

Sesampainya di rumah, terlihat rumah Citra yang ramai. Kedatangannya telah ditunggu banyak orang. Bahkan keluarga calon suaminya juga berada di sana.

“Anakku, akhirnya kamu pulang dengan selamat,” kata Bu RT, ibunya bersyukur. Dia memeluk putrinya bergantian dengan Pak RT, suaminya.

Setelah melepaskan pelukan dari kedua orang tuanya, Citra berhadapan dengan Radi. Tidak ada satu kata pun yang terucap. Tiga tahun tak bertemu membiarkan kecanggungan mengisi hubungan keduanya. Radi ingin mengangkat tangannya untuk mengatakan, ‘hai’, tetapi dia malah menggoreskan senyum malu. Bu RW yang melihat itu langsung menengahi mereka untuk memecahkan kecanggungan itu. Bu RW membelai kedua pipi Citra dengan lembut. “Masih sama cantiknya. Enggak terasa tiga tahun udah berlalu. Jadi jangan sampai bikin kami kecewa.”

Radi menyenggol lengan ibunya. Siapapun tahu kalau itu bukan pujian, melainkan peringatan. Sedangkan Citra masih mempertahankan senyumannya. Lagipula sakit hatinya terhadap calon ibu mertuanya tidak bisa dibandingkan dengan persahabatan Pak RW dengan ayahnya yang menjadi seorang RT.

***

Tiga tahun berlalu dengan cepatnya. Akhirnya Dodik akan mengawali hari-hari beratnya. Usianya sudah 25 tahun. David, ayah tirinya menyuruhnya pulang untuk bergabung ke perusahaan. Dodik cinta kekayaan, tetapi tidak kepada David.

Usai pesta perayaan ulang tahun ke-25 tahunnya digelar, David dan Sofia, ibunya menyuruhnya untuk berkumpul di ruang kerja di rumah. David meletakkan sebuah amplop besar di atas meja. Dodik mengambilnya dengan keheranan. “Apa ini?” tanyanya sembari membuka amplop itu.

“Hasil tes DNA,” jawab David.

Setelah dibuka, benar, amplop itu berisi kertas hasil tes DNA. Dodik berjalan mundur ke sofa untuk menikmati bacaannya sembari menyilangkan kaki. Namun, dia telah menyelesaikan bacaannya sebelum duduk di atas sofa. Dodik yang baru menekuk kakinya, langsung menegakkannya. “Apa maksudnya ini?!” serunya terkejut.

“Seperti yang dijelaskan di sana.” David mengarahkan tangannya ke hasil tes DNA itu.

“Kalau aku adalah anak kandungmu?” Dodik menertawai surat itu. “Bagaimana mungkin, sedangkan papa yang bersamaku sejak kecil adalah Rico, bukan kamu.”

“Papa yang merawatmu sejak kecil memang Rico, tapi kamu adalah anakku!” tegas David.”

.

.

.

Selalu like dan koment🤗

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!