NovelToon NovelToon

MADU (Istri Kedua)

Bab 1.

Aroma alkohol terasa menusuk indra penciuman Kafisha, ketika gadis berusia sembilan belas tahun tersebut baru saja membuka mata. Sesaat kemudian pandangannya menangkap keberadaan selang infus yang menempel pada punggung tangannya. Gadis itu menghela napas menyadari ternyata ia sedang berada di rumah sakit, setelah beberapa saat yang lalu jatuh pingsan dan tak sadarkan diri.

Tap tap tap

Suara heels beradu di lantai berhasil mengalihkan atensi gadis itu. Kafisha memandang ke arah datangnya wanita dewasa yang masih terlihat muda dan cantik meski usianya telah genap empat puluh tahun.

"Apa kepalamu masih pusing, Fisha???." tanya wanita itu dengan wajah cemasnya.

"Masih, tapi nggak separah tadi, mbak."

"Syukurlah kalau begitu." Wanita yang akrab disapa mbak Irin oleh Fisha tersebut menghela napas lega mendengarnya. Sementara pria dewasa yang kini berdiri beberapa langkah di belakang sang istri, dengan kedua tangan berada dalam saku celananya hanya diam saja tanpa ekspresi.

Seketika gurat wajah Irin berubah berbinar dan itu mampu menciptakan kerutan halus di kening Kafisha. apa gerangan yang membuat wanita dewasa nan cantik itu sampai sebahagia itu, pertanyaan itulah yang kini ada dibenak Kafisha.

Irin menempati kursi disamping brankar pasien, membawa tangan Kafisha yang tidak terpasang selang infus ke dalam genggamannya.

"Selamat Fisha... selamat atas kehamilan kamu. sebentar lagi kamu akan segera menjadi seorang ibu."

Duar.

Tidak ada tanda-tanda akan adanya hujan, tapi Kafisha merasa tubuhnya seperti tersambar petir. Gadis itu terkejut bukan main.

"Ha_mil....?????." cicit Kafisha dengan suara terbata.

"Benar Fisha, saat ini kamu sedang mengandung anaknya mas Ardian." Irin memperjelas berita yang seharusnya menjadi berita paling bahagia bagi semua wanita yang telah berstatus sebagai seorang istri, tapi sebuah pengecualian bagi seorang Kafisha yang kini berstatus sebagai istri kedua dari seorang Ardian Baskoro. Kafisha justru merasa dunianya semakin hancur saat mendengar berita kehamilannya.

"Mas Ardian hanya melakukannya sekali, tidak mungkin bisa sampai membuatku hamil....." Batin Kafisha dengan pandangan kosong. menolak percaya jika dirinya sedang mengandung anak dari seorang Ardian Baskoro, pria beristri yang telah menjadikannya istri keduanya sejak setahun yang lalu, demi mewujudkan keinginan dari istri pertamanya, Irin.

Hingga setahun hari pernikahannya bersama Ardian Baskoro berlalu, namun Kafisha tak kunjung mendapatkan jawaban mengapa Irin sampai meminta sang suami untuk menikah lagi dengannya. Jika untuk mendapatkan keturunan, bukankah keduanya telah dikaruniai dua orang anak, seorang anak laki-laki berusia dua puluh tahun dan seorang anak perempuan berusia lima belas tahun yang kini telah duduk di bangku kelas tiga SMP.

"Fisha....Fisha...." seruan serta sentuhan pada pundaknya menyadarkan Kafisha dari lamunannya.

"Iy_Iya mbak." jawab Kafisha dengan suara tercekat.

Sejujurnya, Irin bisa menebak isi hati dari madunya itu. ia tahu Kafisha pasti masih merasa syok setelah mengetahui berita tentang kehamilannya, namun Irin berusaha bersikap biasa saja seolah apa yang telah terjadi memang sudah sewajarnya terjadi, mengingat Kafisha merupakan wanita bersuami.

"Tunggu sebentar ya, mbak ingin membeli susu khusus ibu hamil di minimarket depan." setelah pamit pada Kafisha, Irin beralih pada suaminya, lebih tepatnya suami mereka berdua, karena Kafisha pun adalah istri dari Ardian Baskoro.

"Mas, titip Fisha bentar ya." ucapnya pada sang suami.

"Pergilah....lagi pula dia bukan anak kecil yang masih membutuhkan pengasuh." jawab Ardian dengan tatapan tak terbaca menghunus pada istri keduanya, dan itu mampu membuat Kafisha menundukkan kepala dibuatnya, tak berani membalas tatapan pria yang kini juga berstatus sebagai suaminya, namun sikapnya saja yang tidak pernah menunjukkan dirinya sebagai seorang suami bagi Kafisha.

Irin hanya bisa menghela napas mendengar jawaban ketus suaminya. tidak ingin berdebat, Irin pun segera mengayunkan langkah dan berlalu meninggalkan ruangan tersebut.

"Jangan kau pikir setelah berhasil mengandung anakku, sikapku padamu akan berubah!!! Karena semua itu tidak akan pernah terjadi, sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa menerima kehadiranmu didalam hidupku." Intonasi Ardian terdengar pelan namun penuh penekanan disetiap kata-katanya.

Tak jauh berbeda dengan Ardian yang merasa tertekan dengan pernikahan mereka, Kafisha pun tak kalah tertekannya dengan pria itu. tapi entah mengapa, mendengar Ardian secara terang-terangan mengatakan hal itu dihadapannya membuat hati Kafisha terluka mendengarnya.

Dengan sisa keberanian yang ada, Kafisha menengadahkan pandangan menatap ke arah Ardian, lalu berkata. "Jika benar seperti itu, lalu kenapa bapak tidak ceraikan saja saya!!!."

Ardian berdecak lidah mendengarnya.

"CK,,,,Jika menceraikan mu tidak mengecewakan hati dari wanita yang aku cintai, tanpa kau minta pun aku pasti sudah menceraikan mu sejak setahun yang lalu."

Jujur saja, Ardian tidak menyangka istri mudanya itu mampu mengatakan kata-kata cerai kepadanya, hingga menyulut rasa kesal dihatinya. Bukankah seharusnya dirinya lah yang mengatakan kata-kata cerai bukannya justru gadis kecil dihadapannya itu, begitu pikir Ardian tak terima.

Daripada terus berdebat, Ardian memilih berlalu meninggalkan ruangan tersebut.

Kafisha menatap sendu pada punggung suaminya itu hingga menghilang dibalik benda persegi panjang tersebut. setelahnya, ia memilih merilekskan hati dan pikirannya dengan menghela oksigen sebanyak mungkin kemudian menghembus nya perlahan. Setidaknya dengan merilekskan hati dan pikirannya, Kafisha tidak sampai benar-benar kehilangan kewarasannya.

"Mas Ardian....kamu kok ada di sini, bukannya di dalam menemani Fisha." tanya Irin setelah kembali dari minimarket mendapati Ardian duduk di bangku depan ruang rawat Kafisha.

"Aku lelah, sayang.... sebaiknya kamu saja yang masuk ke dalam, menemani madu kesayangan kamu itu!!!." jawab Ardian dengan suara rendah namun penuh makna, seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku.

"Mau sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini pada Kafisha, mas???? Apa kamu tidak memikirkan nasib bayi yang ada di dalam kandungannya saat ini?? Biar bagaimanapun bayi itu milik kamu mas, dia darah daging kamu dan sudah sewajarnya kamu bersikap baik pada wanita yang sedang mengandung anak kamu, mas Ardian. terlebih wanita itu juga istri kamu, bukannya selingkuhan kamu, mas."

Ardian tersenyum miris mendengar semua perkataan istri pertamanya itu. "Dan, mau sampai kapan juga kamu akan terus berusaha membuatku menerima kehadiran gadis itu, Irin???? Apa kamu tidak takut jika suatu hari nanti aku benar-benar jatuh cinta padanya????." Ardian balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan dari istri pertamanya itu."Kau jangan lupa, gadis itu masih sangat muda dan wajahnya pun tak kalah cantik darimu. So, berhenti membuatku membuka hati untuknya, jika kau tidak ingin suatu hari nanti akan benar-benar kehilangan cintaku, Irin." peringat Ardian yang sudah mulai jengah dengan semua usaha istrinya demi mendekatkan dirinya dengan istri keduanya itu.

Setelahnya, Ardian pun berlalu pergi.

"Maafkan aku, mas...aku tahu kalian berdua pasti sama-sama tertekan dengan posisi kalian saat ini. tapi suatu hari nanti kamu pasti akan tahu alasan mengapa aku sampai rela berbagi suami dengan wanita lain. Dan bila hari itu tiba, aku berharap kau tetap mencintaiku." Irin menatap kepergian suaminya dengan mengusap jejak air mata di pipinya.

Selamat datang di karya baruku, sayang-sayangku.....

Cerita ini Thor rilis berdasarkan reel live, hanya Thor tambahkan sedikit alur berbeda di dalamnya, agar terkesan lebih reel and enak dinikmati. Btw terimakasih banyak untuk kalian semua yang sudah menjadi pembaca setia karya receh ku...semoga kalian semua selalu sehat serta selalu dalam perlindungan Tuhan Yang Maha Esa.

Bab 2.

Di sinilah Kafisha berada sekarang setelah dokter memperbolehkan dirinya pulang, di sebuah kediaman mewah berlantai tiga dengan struktur bangunan gaya klasik. khusus didesain oleh pemiliknya sendiri, Yakni Ardian Baskoro.

"Beristirahat lah.....Mbak mau menemui mas Ardian dulu, jika kamu memerlukan sesuatu katakan pada bibi!!!."

Kalimat itu yang didengar Kafisha setelah madunya itu mengantarkan dirinya beristirahat di kamarnya.

"Terima kasih banyak, mbak."

"Sama-sama, Fisha." jawab Irin dengan mengembangkan senyum. setelahnya, wanita itu pun berlalu meninggalkan kamar Kafisha.

Jujur, Kafisha tidak mengerti dengan jalan pikiran madunya itu. Bagaimana tidak, di saat hampir semua istri di dunia ini menentang keras yang namanya poligami, wanita itu justru melamar seorang gadis untuk menjadi istri kedua suaminya. Dan yang semakin membingungkannya, Irin menolak saran ibu panti untuk mencarikan gadis lain di saat ia menolak lamaran wanita itu dulu, lebih tepatnya Irin hanya menginginkan Kafisha yang akan menjadi istri kedua bagi suaminya.

Tidak ingin manambah beban dihati dan pikirannya, Kafisha memilih tak lagi memikirkan hal itu. Apapun alasan Irin memilih dirinya, tetap saja kini ia berada di posisi dan situasi yang tidak menguntungkan dirinya, menjadi yang kedua dan nyaris tak terlihat di mata Ardian.

Meskipun selama ini sikap Irin kepadanya terbilang sangat baik, tetap saja Kafisha merasa tidak nyaman menjadi orang ketiga di antara Ardian dan Irin, terlebih hingga detik ini sikap Ardian padanya masih tetap sama, dingin tak tersentuh. Jika bukan karena permintaan dari wanita yang dicintainya mungkin pria itu tidak akan pernah menyentuhnya, hingga membuat kini ada nyawa yang hidup dan tumbuh di rahimnya.

"Kamu baru pulang, nak???." tanya Irin ketika melihat putranya berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua, di mana kamarnya berada.

"Hem." hanya itu yang terucap dari mulut pemuda berusia dua puluh tahun tersebut dengan terus melanjutkan langkahnya tanpa berniat menoleh pada sang mama.

Irin hanya menghela napas atas sikap putranya.Ya, sejak mengetahui ayahnya menikah lagi sikap Irhan berubah. Pemuda tampan yang awalnya begitu hangat kepada keluarganya kini berubah dingin, Irhan bahkan sengaja menghindari komunikasi dengan sang ayah.

Malam harinya.

Semua anggota keluarga tengah berkumpul di meja makan guna makan malam bersama, termasuk Kafisha. sebenarnya selama satu tahun tinggal di rumah itu Kafisha selalu menghindari makan malam bersama, entah dengan alasan apa pun itu yang penting ia tidak berada di tengah-tengah perkumpulan keluarga. selain sikap dingin Ardian padanya, Kafisha juga sengaja menghindari pertemuannya dengan Irhan, pemuda yang dahulu begitu baik padanya kini berubah dingin. Tatapan hangat Irhan dahulu kini berubah dengan tatapan dingin bahkan terkesan sinis. Ya, Irhan merupakan teman baik Kafisha. pria itu sering berkunjung ke panti, sebelum berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan studinya dua tahun yang lalu. Kafisha bahagia memiliki teman sebaik Irhan karena pria itu tidak pernah memandang status sosial di antara mereka. Ia memperlakukan Kafisha dengan baik, bahkan sangat baik.

Sungguh, kala itu Kafisha sama sekali tidak menyangka jika Irhan adalah anak dari Irin, wanita yang melamar dirinya untuk sang suami. Setelah sebulan menjalani statusnya sebagai istri kedua Ardian, barulah Kafisha tahu jika ternyata teman baiknya itu adalah putra pertama dari Ardian dan Irin. Kafisha masih ingat betul bagaimana gurat kecewa bercampur marah yang tercetak jelas di wajah tampan Irhan ketika pria itu mengetahui ayahnya menikah lagi, dan hal itu terus berlanjut hingga detik ini. itulah mengapa Kafisha merasa rumah mewah tersebut terasa seperti neraka baginya. Rumah yang dipenuhi oleh orang-orang yang tidak menyukai kehadirannya, termasuk Citra Putri bungsu Ardian dan Irin. bagi gadis itu, Kafisha hanyalah perusak keharmonisan keluarganya, tanpa tahu jika sebenarnya Kafisha pun tersiksa dengan keberadaan serta posisinya di rumah mereka.

"Mama ingin menyampaikan sesuatu pada kalian."

"Irhan pingin ngomongin sesuatu."

Ibu dan anak tersebut berbicara di waktu yang hampir bersamaan, hingga membuat ibu dan anak tersebut menjadi pusat perhatian.

"Mama saja yang ngomong duluan!!!." Irhan mempersilahkan ibunya untuk berbicara lebih dulu.

"Memangnya apa yang ingin kamu sampaikan, sayang??." Ardian yang sejak tadi hanya diam saja, kini bertanya pada istri pertamanya dengan gurat penasaran menghiasi wajah tampannya. Ya, meskipun sudah berusia empat puluh tahun ketampanan yang dimiliki oleh ayah dua anak tersebut tak luntur sedikitpun, begitu pun dengan bentuk tubuhnya yang masih terlihat atletis. Bahkan ketika berjalan berdampingan dengan putra sulungnya, Mereka terlihat seperti kakak beradik.

Ardian, Irhan, Citra, serta Kafisha kompak memandang pada Irin, menunggu jawaban dari wanita itu.

"Saat ini kondisi kesehatan opa kalian sangat memperhatikan dan dokter pun sudah beberapa kali menyarankan Opa untuk melakukan pengobatan di Singapura." sejenak Irin menjedah kalimatnya, menatap pada sang suami yang juga tengah menatapnya penasaran. "Sebagai anak, mama ingin memastikan Opa kalian mendapatkan pengobatan terbaik, dan itu hanya bisa mama lakukan bila mama berada dekat dengan Opa kalian."

"Jadi maksudnya kamu berencana ikut ke Singapura, begitu???." Ardian bukan anak kecil yang tidak bisa menyimpulkan maksud dari perkataan istri pertamanya itu.

Irin mengangguk pelan dan itu membuat Ardian beranjak meninggalkan tempat duduknya, menyudahi makannya begitu saja. suasana di meja makan seketika berubah mencekam bagi Kafisha, aura dingin Ardian mampu menghilangkan rasa laparnya. Belum lagi harus menerima tatapan dingin Irhan kepadanya. Sungguh, jika bisa memilih, mungkin Kafisha lebih memilih mati daripada harus melanjutkan hidup dalam ketidaknyamanan seperti ini.

Kafisha hanya bisa memejamkan mata kala Irhan ikut melepas alat makannya hingga menimbulkan suara dentingan yang cukup nyaring, kemudian ikut berlalu kembali ke kamarnya. Sementara Irin, wanita itu sudah menyusul suaminya ke kamar.

"Mas ...." Irin berseru dengan nada selembut mungkin. "Kamu kan tahu, aku ini anak tunggal. Jika bukan aku yang menemani Daddy berobat ke Singapura lalu siapa lagi??? lagian aku tidak tega membiarkan mommy seorang yang merawat Daddy di sana."

Ardian menyugar rambutnya dengan kasar, terlihat jelas jika pria itu teramat Frustasi.

Jujur saja, bukannya Ardian tidak mengizinkan Irin berbakti pada Daddy nya akan tetapi yang menjadi permasalahannya, ia tak ingin berada satu rumah dengan istri keduanya itu tanpa kehadiran Irin.

"Mas.... bagaimana pun Kafisha juga istri kamu, tidak ada salahnya kalian tinggal bersama tanpa ada aku di sini." ujar Irin, seakan bisa membaca pikiran suaminya.

"Aku tidak ingin memaksa kamu untuk bersikap baik padanya jika memang kamu tidak menginginkannya, tapi tolong izinkan Fisha melakukan kewajibannya sebagai istri kamu selama aku tidak ada di sini, biarkan dia menyiapkan keperluan kamu, mas!!!."

Irin tahu betul, jika Ardian paling tidak suka jika keperluannya termasuk pakaian kerjanya di siapkan oleh ART, itulah mengapa wanita itu mengajukan permohonan demikian.

Ardian yang kini diselimuti kebimbangan, memilih memeluk tubuh istri pertamanya itu ketimbang berdebat.

"Aku sangat mencintaimu, sayang." ujar Ardian dengan mengeratkan pelukannya, seolah takut kehilangan wanitanya itu.

"Aku juga sangat mencintaimu, mas." balas Irin.

Setelah puas memeluk tubuh Irin, Ardian pun melerai pelukannya, menatap lembut manik mata indah milik istri pertamanya itu. "Pergilah....!!! Aku akan menunggumu di sini, sayang." ujarnya.

Bab 3.

"Memangnya apa yang ingin kamu sampaikan di meja makan tadi, sayang???." tanya Irin pada putranya. Ya, setelah berhasil meyakinkan sang suami serta izin dari pria dicintainya itu, Irin lanjut menemui Irhan di kamarnya.

"Jangan bilang kalau Kamu berniat meninggalkan rumah, Irhan???." sebelum Irhan menjawab Irin lebih dulu menebaknya ketika melihat putranya hendak memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper.

Irin menghentikan pergerakan Irhan, menatap intens wajah putranya. "Jawab mama, Irhan!!!." desaknya.

"Jarak antara apartemen Irhan dan perusahaan lebih dekat, dengan begitu mulai malam ini Irhan akan pindah ke apartemen." jawab pemuda itu. Tetapi, Irin yakin bukan itu alasan utama putranya sampai ingin meninggalkan rumah.

"Kamu sudah dewasa, mama percaya bahwa kamu bisa menjaga diri dengan baik, dan Mama tidak akan menentang keputusanmu, nak." Irin memilih menghargai keputusan putranya ketimbang harus berdebat dengan Irhan sebelum keberangkatannya ke Singapura besok.

Merasa tidak ada yang perlu dibahas lagi, Irin pun berlalu. Namun sebelum benar-benar berlalu, wanita itu kembali menoleh pada sang putra. "Maaf jika keputusan mama meminta papa menikah lagi telah mengecewakan kalian semua." setelahnya, Irin pun berlalu meninggalkan kamar putranya.

Setelah kepergian ibunya, Irhan menjatuhkan bobotnya di tepi tempat tidur, mengusap wajahnya dengan kasar. "Kalau pun harus meminta papa untuk menikah lagi, kenapa harus dengan Kafisha, mah, yang usianya bahkan lebih muda dari Irhan." Irhan menghela napas kecewa.

"Tok...tok...tok....boleh mbak masuk, Fisha???." suara dari balik pintu mengalihkan atensi Kafsha dari kegiatannya merapikan tempat tidurnya.

"Silahkan, mbak!!!."

Ceklek

Pintu terbuka, memperlihatkan wajah cantik Irin yang kini tengah mengembangkan senyum pada Kafisha. "Lagi ngapain??? Mbak ganggu, nggak???." tanya Irin.

Kafisha menggelengkan kepala. "Nggak ganggu kok, mbak."

Irin ikut duduk di tepi tempat tidur, bersebelahan dengan madunya itu. "Seperti yang mbak bilang tadi Fisha, mbak akan segera berangkat ke Singapura."

Irin mengusap lembut punggung Fisha ketika melihat raut wajah madunya itu berubah sendu.

"Mbak titip mas Ardian ya...!!!."

"Tapi, mbak.." potong Kafisha.

"Mbak percaya kamu pasti bisa. Sebenarnya mas Ardian itu orangnya baik dan juga penyayang, hanya saja mungkin beliau belum terbiasa dengan situasi yang ada. dengan begitu mbak minta sama kamu, berusaha lah bersikap layaknya seorang istri untuk mas Ardian!!! Penuhi kebutuhan mas Ardian karena kamu juga istrinya, termasuk_." Irin menjedah kalimatnya kala menyaksikan Kafisha menggelengkan kepala dengan cepat. Sepertinya wanita berusia sembilan belas tahun tersebut paham dengan maksud ucapannya.

"Mbak percaya, kamu pasti bisa Fisha." tanpa menunggu jawaban Kafisha, Irin pun segera berlalu meninggalkan madunya itu dengan wajah bingungnya. Tentu saja Kafisha bingung, bingung bagaimana cara menyiapkan semua kebutuhan Ardian sementara melihatnya saja Ardian sepertinya enggan.

*

"Sungguh, mommy tidak mengerti dengan jalan pikiran kamu, Irin. Tidak di masa lalu tidak di masa sekarang, kamu selalu saja membenarkan tindakan bodoh yang sudah kamu lakukan. Bisa-bisanya kamu meminta Ardian menikah lagi. dan lebih parahnya lagi, kamu pun ikut bahagia atas kehamilan wanita itu. Benar-benar gila." kesal mommy, tak habis pikir dengan jalan pikiran Putri semata wayangnya itu. Jika ditanya darimana mommy mengetahui tentang kehamilan madu putrinya tersebut, tentu saja dari mulut keponakannya yang berprofesi sebagai dokter kandungan di rumah sakit tempat Kafisha di rawat kemarin.

Perkataan sang mommy mampu membuat Irin menghela napas berat mendengarnya.

"Please Mom, Irin sedang tidak ingin membahas ini semua. Irin ingin kita fokus saja untuk kesembuhan Daddy." balas Irin dengan nada rendah.

"Terserah kamu saja, mommy pusing memikirkan semua tindakan gila kamu itu." mommy beranjak dari Sofa, hendak menemui suaminya di kamar.

Setelah kepergian mommy, Irin menghela napas panjang, kemudian menyandarkan bahunya pada sandaran sofa ruang tengah kediaman orang tuanya. Ya, sejak setengah jam yang lalu Irin telah tiba di kediaman orang tuannya, sebab besok pagi mereka akan segera bertolak meninggalkan tanah air.

"Masa lalu......" Cicit Irin seraya memejamkan matanya. setiap kali mendengar kata masa lalu selalu saja mampu membuat da_danya terasa sesak, dan pikirannya pun melayang jauh.

*

Keesokan paginya, Irin dan kedua orang tuanya telah bertolak menuju bandara dengan diantarkan oleh Ardian, yang pagi tadi menyambangi kediaman mertuanya.

"Aku berangkat ya mas. titip anak-anak dan juga..." Irin tak melanjutkan kalimatnya saat menyadari perubahan dari raut wajah suaminya.

"Bukankah sudah berulang kali aku katakan, gadis itu bukan anak kecil lagi yang masih membutuhkan penjagaan Irin, terlebih dariku." cetus Ardian dengan wajah kesalnya hingga membuat Irin mau tak mau berhenti membahas tentang Kafisha.

Terlihat jelas jika Ardian begitu berat melepas kepergian istri pertamanya itu, terbukti dari tatapannya yang kembali terlihat sendu. namun begitu, Ardian hanya bisa pasrah ketika rombongan istrinya mulai memasuki terminal keberangkatan. pria itu terus memandangi punggung sang istri hingga tak lagi terlihat oleh pandangannya. "Aku sangat mencintaimu Irin. aku akan menunggumu kembali, sayang." batinnya.

Usai menyaksikan pesawat yang ditumpangi oleh istri dan mertuanya meninggalkan bandara internasional Soekarno-Hatta, barulah Ardian meninggalkan tempat itu. kembali ke rumah untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya menjadi pilihan Ardian selanjutnya. setahun belakangan ini memang terasa sangat berat bagi seorang Ardian. Menjalani situasi yang bertolak belakang dengan hatinya, memiliki istri kedua atas permintaan Irin sendiri, begitu menyiksa baginya.

Seharian dihabiskan Ardian di kamar, bahkan untuk makan siang dan malamnya pun, pria itu meminta bibi mengantarkannya ke kamar. suatu hal yang hampir tidak pernah dilakukan Ardian sebelumnya, kecuali jika dirinya sedang sakit.

Keesokan paginya.

Kafisha membuka pintu kamarnya saat mendengar suara ketukan dari arah luar.

"Maaf jika bibi mengganggu waktu istirahat Non Fisha." kata bibi tak enak hati.

"Enggak kok, bi. Memangnya ada apa, bi???."

"Bibi hanya ingin menyampaikan pesan Ibu, beliau meminta Non Fisha untuk menyiapkan pakaian kerja bapak selama Ibu nggak ada." Ternyata Irin juga berpesan pada ART agar mengingatkan Fisha.

Kafisha masih diam saja.

"Non....Non Fisha...." suara serta sentuhan di bahunya sekaligus mengembalikan kesadaran Kafisha.

"Ba_baik bi." jawab Kafisha terbata, seperti tak yakin dengan jawabannya sendiri, apakah ia memiliki keberanian melakukannya atau tidak.

Sesaat setelah kepergian Bibi, mau tak mau Kafisha pun memberanikan diri menuju kamar utama, kamar yang dihuni oleh Ardian dan Irin tentunya.

Sesampainya di depan kamar Ardian, Kafisha tak langsung masuk, ia diam sejenak, menghela napas dalam guna mempersiapkan diri sebelum menghadapi sikap sinis Ardian.

Dret.

Kafisha mengetuk telah mengetuk pintu beberapa kali, namun tak kunjung mendapat sahutan. hingga pada akhirnya ia memutuskan memutar handle pintu hingga terbuka setengahnya, menyembulkan kepala ke dalam guna memastikan keberadaan pemilik kamar. Kafisha Seperti mendapat keberuntungan ketika tidak mendapati keberadaan Ardian di dalam sana.

"Mumpung pak Ardian nggak ada di kamarnya, sebaiknya aku bergerak cepat." batin Kafisha.

Baru saja hendak membuka lemari pakaian, Suara pintu kamar mandi sontak mengalihkan atensi Kafisha ke sumber suara.

Deg

Kafisha sontak menundukkan pandangannya ketika melihat Ardian keluar kamar mandi hanya dengan mengenakan sehelai handuk yang dililitkan pada pinggangnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!