NovelToon NovelToon

Figuran Dalam Dunia Fiksi

Jelita Pramono

Di pojok kelas yang paling dekat dengan jendela, duduk seorang gadis dengan rambut hitam bergelombang, wajahnya berseri meski tak mengenakan riasan sedikit pun.

Namanya Jelita Pramono. Ia duduk dengan nyaman, satu tangan menggenggam novel, dan satu lagi memegang roti cokelat favoritnya. Mulutnya sibuk mengunyah, sementara matanya berbinar mengikuti kisah dalam buku berjudul ‘Cinta Untuk Laura’.

Gadis itu tampak tenggelam dalam dunia cerita, hingga suara gaduh dari pintu kelas mengusik ketenangannya.

“Yaaaah! Baca novel lagiii,” seru Gladis sambil berjalan masuk, suaranya lantang dan penuh protes.

Di belakangnya menyusul Prilly dan Fuji.

Jelita hanya menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil. “Baru lima menit duduk, GLad.”

Gladis mendecak pelan. “Lima menit versi kamu tuh udah cukup buat terbang ke dunia lain.”

Prilly tertawa sambil menarik kursi di samping Jelita. Fuji pun ikut duduk di sisi lainnya.

“Judulnya apa kali ini?” tanya Prilly sambil melirik sampul buku yang terbuka di tangan Jelita.

“Cinta Untuk Laura,” jawab Jelita dengan semangat. “Seru banget, sumpah. Ceritanya tentang anak SMA bernama Laura yang dibully sama Meyriska, tunangannya Verrel, cowok yang Laura suka.”

Gladis mengangkat alis. “Tunggu, tunggu. Tunangannya si cowok malah nge-bully cewek yang disuka cowok itu?”

“Iya! Tapi Verrel tuh suka marah ke Meyriska karena Meyriska terus-terusan nyakitin Laura.”

Fuji ikut menyimak. “Terus si Verrel tahu perasaannya sendiri enggak? Maksudnya, sadar dia suka Laura?”

“Awalnya enggak. Tapi karena Meyriska makin keterlaluan, dia jadi makin dekat sama Laura. Kayak insting pelindungnya muncul terus gitu,” jelas Jelita dengan semangat.

Prilly mengangguk-angguk. “Klasik, tapi menarik. Si Laura ini kayak kamu ya, diem-diem tajam.”

“Diem-diem makan roti cokelat, maksud lo,” sahut Gladis sambil mencubit pipi Jelita.

Jelita hanya tertawa dan menepis tangan Gladis. “Eh jangan ganggu aku. Ini lagi bab penting. Verrel baru aja bentak Meyriska.”

“Ohhh! Bacain, bacain!” pinta Fuji antusias.

Jelita pun membuka halaman sebelumnya dan mulai membacakan dengan gaya ala narator drama:

“Kenapa kamu selalu kasar sama Laura, Mey?” suara Verrel terdengar tajam.

Meyriska menatap Verrel dengan mata memerah, seolah tak percaya akan dimarahi.

“Kamu belain dia lagi?! Dia itu cuma anak biasa, enggak punya apa-apa! Aku ini tunangan kamu, Rel”

“Dia punya hati, Mey. Tidak seperti kamu,” ucap Verrel dingin.

Meyriska terdiam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada teriakan.

Sementara di belakang Verrel, Laura tidak bisa menahan air mata.

Gladis berdecak kagum. “Wow, si Verrel ini fix cowok idaman. Tegas tapi lembut.”

“Kayaknya Jelita udah baper duluan,” goda Prilly sambil menatap sahabatnya yang kini senyum-senyum sendiri.

“Baperin fiksi gapapa. Yang penting enggak baperin mantan,” kata Jelita, membuat semua tertawa.

Fuji menyandarkan dagunya ke meja. “Coba ya, ada cowok kayak Verrel di dunia nyata. Yang tahu mana yang benar, yang berani ngomong meski lawannya tunangannya sendiri.”

“Eh tapi serius deh,” kata Jelita, menutup bukunya perlahan, “aku tuh suka ngebayangin kalau bisa masuk ke dunia cerita gitu. Pasti seru ya? Bisa ngubah alur, bisa bikin si Laura bahagia tanpa digangguin lagi.”

Prilly menatap Jelita sambil nyengir. “Tapi kamu yakin mau jadi Laura? Disiksa mulu loh awalnya.”

Jelita menggeleng cepat. “Nggak juga. Aku nggak pengin jadi tokoh utama. Cuma pengin, masuk dan lihat dunia mereka dari dekat. Kayak, hidup di cerita itu.”

“Hmmm... kayak figuran yang bisa lihat semua rahasia tokoh utama ya?” Fuji menimpali.

Gladis tiba-tiba meraih tangan Jelita. “Kalau kamu beneran bisa masuk dunia novel, jangan lupa kita ya. Tolong sisipin nama kita jadi karakter juga. Gladis yang cantik, Prilly yang pinter, Fuji yang...”

“Fuji yang apa?” Fuji menatap curiga.

“Yang selalu lapar,” jawab Gladis cepat sambil tertawa lepas, menepuk-nepuk meja seolah puas dengan jawabannya.

“Astaga, Glad! Aku tuh bukaN selalu lapar, tapi peka sama jam makan!” sanggah Fuji dengan nada tinggi, tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan senyum geli.

Prilly tertawa sambil menutup mulut. “Peka sama jam makan tuh kode halus dari rakus ya?”

“Hei!” Fuji mengangkat botol minumnya dan pura-pura ingin menyemprotkannya ke Prilly. “Mau basah nih mulut nyinyir kalian!”

Mereka semua tertawa bersama, menikmati momen santai yang penuh kehangatan.

Suara bel panjang menggelegar di seluruh penjuru sekolah.

“Wah, bel masuk!” seru Prilly, buru-buru merapikan bukunya.

“Cepet, sebelum Bu Ratna masuk. Kalau telat, kita bisa dapat kuliah tujuh menit,” tambah Gladis sambil berdiri.

Mereka bertiga langsung bergerak gesit menuju bangku masing-masing. Jelita menyimpan bukunya dalam laci meja, lalu menarik napas panjang.

Tak berselang lama, Bu Ratna masuk ke dalam kelas, dan pelajaran pun dimulai.

Beberapa jam pun berlalu. Suara bel istirahat akhirnya berbunyi, memecah suasana kelas yang mulai menguap dalam kebosanan. Guru terakhir keluar dengan cepat, seolah ingin kabur dari tatapan murid-murid yang sudah tak sabar ingin bebas.

“Yesss! Akhirnya istirahat juga!” seru Gladis, meregangkan tangan tinggi-tinggi sambil menguap lebar.

“Aku laper banget sumpah,” keluh Fuji sambil memegangi perutnya dramatis. “Kayaknya perutku udah nyanyi lagu dangdut dari tadi.”

“Fuji dan makanan emang sahabatan sejati,” cibir Prilly sambil berdiri.

Jelita ikut bangkit dari duduknya, mengambil kotak makan dari dalam tas. “Aku bawa sandwich, kalian mau?”

“Kalau ada cokelatnya, aku mau,” sahut Fuji cepat.

“Tenang, semua makanan Jelita pasti ada cokelatnya,” kata Gladis sambil menyeringai. “Dia tuh bisa hidup dengan cokelat doang.”

Jelita tertawa kecil. “Itu bukan mitos sih.”

Mereka berjalan beriringan menuju kantin sekolah, menghindari kerumUnan kelas lain yang juga tumpah ke luar. Udara siang itu agak gerah, tapi tawa mereka membuat semuanya terasa lebih ringan.

“Aku heran deh,” kata Prilly tiba-tiba, membuka topik baru, “kenapa cowok-cowok di sekolah ini makin hari makin sok cool, ya? Padahal biasa aja.”

“Ngomongin siapa?” tanya Gladis cepat, nada suaranya sudah penuh gosip.

“Sst, jangan sebut nama,” Prilly tertawa. “Tapi ada lah, anak kelas sebelah. Sok misterius, padahal pas ngomong nyengir mulu.”

Fuji mengangguk-angguk setuju. “Iya tuh. Tapi jujur ya, cowok terkeren tuh masih... kakaknya Jelita sih.”

Gladis langsung menyahut, “Kak Jordi? Ih, sumpah iya! Gantengnya tuh beda level.”

Jelita langsung tertawa sambil mengunyah rotinya. “Eh, jangan gitu dong. Kalian lebay.”

“Tapi beneran, Lit,” sahut Prilly. “Kakakmu tuh kayak karakter webtoon. Tinggi, putih, rambutnya rapi, terus kalem gitu. Kayak pangeran.”

Fuji menyikut Gladis pelan. “Coba deh kalau dia bukan kakaknya Jelita, pasti udah jadi bahan rebutan anak cewek satu sekolah.”

“Kayaknya walaupun dia kakaknya Jelita juga tetep banyak yang suka deh,” goda Gladis, membuat Jelita memutar bola mata.

“Ih serem. Jangan-jangan kalian temenan sama aku cuma karena kakakku ya?” ujar Jelita pura-pura kesal.

“Tentu tidak!” seru mereka serempak, lalu tertawa bersama.

Mereka pun sampai di kantin dan langsung mencari bangku kosong. Obrolan berlanjut, penuh tawa, candaan, dan sedikit naksir-naksiran.

Jordi Si Usil

Jam pulang sekolah akhirnya tiba. Suara bel panjang yang dinanti-nanti berdentang nyaring, disambut riuh siswa-siswi yang langsung berhamburan keluar kelas. Jelita berjalan santai menuju gerbang sekolah, ditemani ketiga sahabatnya.

“Lit, kamu pulang sama siapa?” tanya Gladis sambil mengikat rambutnya yang sempat berantakan.

“Biasa, dijemput Kak Jordi,” jawab Jelita sambil memainkan resleting tasnya.

“Ahhh!! ingin ikut,” sahut Prilly, mata berbinar penuh harap.

Tanpa basa-basi, kepala Prilly langsung diketuk pelan oleh Fuji. “Kamu kan bawa kendaraan, ogeb.”

Prilly meringis, mengusap kepalanya. “Iya sih, tapi Kak Jordi gitu loh. Siapa yang nggak mau nebeng, siapa tahu bisa sekalian cuci mata.”

Gladis tertawa geli. “Kamu tuh niat banget cuci mata. Emangnya Kak Jordi mobil mewah?”

“Bukan soal mobilnya, tapi kegantengannya, guys! MasyaAllah banget!” Prilly menangkupkan tangan di dada, seolah sedang berdoa.

Jelita menggeleng pelan. “Dasar kalian, padahal kakakku itu nyebelin banget lho kalau di rumah.”

“Justru itu! Cowok yang nyebelin di rumah biasanya yang paling charming di luar,” celetuk Fuji, membuat semuanya tertawa.

Sesampainya di gerbang, terlihat sebuah mobil hitam berhenti perlahan. Jordi, dengan kemeja putih dan kacamata hitam, turun sebentar membuka pintu samping.

“Duh, lihat deh, kayak bodyguard Korea,” bisik Prilly sambil berusaha menjaga ekspresinya tetap kalem.

“Udah sana, Jel. Nanti Kakakmu bosan nunggu,” ucap Gladis sambil menyikut pelan lengan Jelita.

Jelita menoleh pada mereka dan melambaikan tangan. “See you besok!”

“Salamin Kak Jordi yaaa!” seru Fuji dan Prilly bersamaan, disambut tawa dari Gladis.

Jelita hanya menggeleng lagi sambil tertawa kecil, lalu masuk ke dalam mobil dan menutup pintu.

Jelita yang baru saja duduk dan menutup pintu mobil langsung merasa hawa aneh. Tatapan tajam dari kursi pengemudi membuatnya menoleh perlahan. Benar saja, Jordi sedang menatapnya lekat-lekat lewat kaca spion.

“Eh... ada apa?” tanya Jelita sambil meneguk ludah, sedikit waspada.

Suara Jordi terdengar dingin tapi jelas. “Salamnya mana, salimnya mana?”

“Oh,” gumam Jelita pelan.

Dengan ekspresi malas-malasan, ia pun bersandar ke arah Jordi, mencium punggung tangan kakaknya sekilas.

“Gitu doang?” Jordi melirik dari balik kacamatanya.

“Ya ampun, Kak! Aku tiap hari begini lho. Kayak mau ngelamar kerja aja tiap pulang sekolah,” keluh Jelita sambil memasang muka kesal.

“Justru karena tiap hari, harus makin niat. Itu namanya konsistensi,” balas Jordi santai, mulai menyalakan mesin mobil.

Jelita menghela napas. “Iya, iya! konsistensi. Tapi boleh nggak Kak Jordi jangan pasang tatapan kayak preman terminal tiap aku masuk mobil?”

Jordi tertawa pelan. “Nggak bisa. Emang muka aku begini dari sananya.”

Mobil pun melaju perlahan meninggalkan sekolah. Di dalam, suasana sedikit lebih santai. Jelita mulai membuka obrolan kecil sambil menggoda kakaknya yang katanya ‘kalem’ tapi kenyataannya super nyebelin kalau di rumah.

Sesampainya di rumah, mobil berhenti perlahan di garasi. Tanpa menunggu Jordi mematikan mesin sepenuhnya, Jelita sudah membuka pintu dan melompat turun sambil membawa tasnya.

“Asaaalamualaikuuum, Ma... Mamaaaa!” teriak Jelita lantang sambil masuk ke dalam rumah.

Terdengar suara langkah cepat dari arah dapur. “Astaga, Jelita... waalaikumsalam,” sahut sang Mama sambil mengusap tangan ke celemek yang ia kenakan.

“Kagetin Mama aja,” lanjutnya sambil menepuk pelan lengan anak gadisnya yang penuh semangat itu.

“Hehe, biar Mama tetap muda. Harus sering-sering kaget, katanya bagus buat jantung,” jawab Jelita dengan wajah ceria.

Jordi yang baru masuk dari belakang hanya geleng-geleng kepala melihat adiknya.

“Ma, Jelita nggak mau salim tadi di mobil. Malah ngeluh tatapan aku kayak preman,” adu Jordi dengan nada sok serius.

“Eh, kok ngadu sih!” protes Jelita cepat.

Mamanya terkekeh, “Kalian ini nggak pernah akur ya. Tapi kalau satu sakit, satunya yang nangis duluan.”

Jelita dan Jordi saling melirik, sama-sama berpura-pura tak peduli, tapi senyum kecil di wajah mereka tak bisa disembunyikan.

Jelita berbalik setelah mencium pipi mamanya. “Aku ke kamar dulu ya, Ma! Mau rebahan sebentar.”

“Iya, tapi jangan lupa turun makan siang. Mama masak ayam kecap favoritmu,” pesan sang Mama sambil tersenyum hangat.

“Oke sip, noted!” Jelita menjawab sambil mengacungkan jempol.

Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara Jordi dari belakang.

“Eh, mandi dulu sana. Bau kecut abis sekolah,” sindir Jordi sambil melepas jaketnya dan meletakkan di gantungan dekat pintu.

Jelita sontak berbalik dengan wajah tak terima. “Excuse me?! Ini wangi body mist rasa cokelat, tahu!”

Jordi menaikkan alis. “Wangi cokelat kadaluarsa kali.”

“Duh, Kak! Bukan aku yang bau, itu bau perjuangan pulang sekolah!” bantah Jelita sambil melotot gemas.

Mama mereka tertawa mendengar adu mulut kakak beradik itu. “Udah-udah, kalian itu tiap hari kayak acara debat TV.”

Jelita mendengus sambil naik ke tangga. “Aku mandi nih, biar Kak Jordi nggak protes lagi. Tiap hari protes mulu, perasaan.”

“Jangan lupa pakai sabun beneran ya, jangan air doang!” teriak Jordi dari bawah.

Jelita balas teriak, “Dasar abang nyebelin!”

Jordi yang masih berdiri di ruang tengah tak kuasa menahan tawanya saat mendengar teriakan kesal Jelita dari lantai atas. Suara langkah kaki adiknya yang menghentak-hentak di tangga membuatnya makin geli.

“Dasar bocil gampang tersulut,” gumamnya sambil terkekeh.

Namun gelak tawanya langsung dihentikan oleh suara mamanya yang menatap dengan pandangan penuh arti.

“Jordi... kamu itu kenapa sih tiap hari kerjanya godain adikmu terus?” tegur Mama dengan nada lembut tapi jelas mengandung peringatan.

Jordi langsung cengengesan, “Biar dia nggak terlalu manja, Ma. Lagi pula, lucu lihat mukanya kalo lagi kesel.”

“Ih, kamu tuh ya,” Mama menggeleng pelan tapi ikut tersenyum. “Kalau suatu hari dia nggak ada, baru kamu tahu rasanya nyesel godain terus.”

Jordi terdiam sejenak. Senyum di wajahnya memudar tipis, tergantikan dengan sorot mata yang mendadak serius. Namun ia buru-buru menepis pikiran itu.

“Ah, Jelita mah kuat, Ma. Dia bahkan bisa marahin aku kayak singa,” balas Jordi sambil melanjutkan langkahnya ke arah dapur.

Di atas sana, Jelita sedang membuka lemari bajunya, bersiap mandi sambil terus menggerutu soal kakaknya.

Tak berselang lama setelah suara gemericik air dari kamar mandi berhenti, terdengar ketukan di pintu kamar Jelita.

Tok tok tok!

“Lit! Udah mandi belum? Ayo turun, waktunya makan siang!” terdengar suara Jordi dari balik pintu.

Jelita yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk, mengangkat alis dengan malas. “Iyaaa, Kak! Baru juga selesai... sabar napa, nggak bakal kabur tuh ayam kecap!”

“Justru karena itu ayam kecap, makanya cepetan! Bisa-bisa aku sikat semua!” ancam Jordi dengan nada menggoda.

Jelita mengerucutkan bibirnya kesal, lalu buru-buru mengganti bajunya. “Dasar predator ayam kecap...!”

Sambil bersungut-sungut, ia mengenakan kaus dan celana pendek santainya, lalu bergegas keluar kamar.

“Kalau sampai paha ayamnya habis, aku mogok ngomong seharian!” teriaknya menuruni tangga dengan cepat.

Dari ruang makan, Jordi hanya tertawa puas. “Mau aku bungkusin ke kulkas juga, Lit?”

“Berani ya, Kak?!”

Mama mereka yang sudah duduk di meja makan hanya bisa geleng-geleng sambil tersenyum geli. “Kalian berdua ini... kalau nggak ribut sehari kayaknya nggak afdol.”

Jelita baru saja menarik kursi dan duduk di meja makan saat kepalanya menoleh ke sekeliling.

“Eh, Ma, Papa mana?” tanyanya sambil menuang air minum ke gelasnya.

Mama yang sedang membagi lauk hanya menjawab santai, “Belum datang, mungkin masih dijalan atau...”

Namun belum sempat Mama menyelesaikan kalimatnya, suara khas pintu depan terbuka terdengar. Diikuti suara sepatu dan suara berat yang sangat familiar bagi Jelita.

“Ada apa cari Papa, princess?” seru suara itu dari arah pintu masuk.

Jelita refleks menoleh dan tersenyum lebar. “Paaa!” serunya gembira.

Papa Jelita, mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut, muncul di ambang pintu ruang makan dengan senyum lebar. “Papa baru nyampe langsung ditanyain. Kangen banget ya?”

“Enggak juga,” sahut Jelita pura-pura cuek. “Cuma nanya doang, kok.”

“Tuh kan, cewek ini gengsi mulu,” celetuk Jordi sambil mencomot kerupuk.

Papa tertawa dan mengacak rambut Jordi sambil berjalan ke arah kursinya. “Kamu ini udah gede masih suka usilin adikmu.”

“Selamanya,” jawab Jordi dengan bangga.

Mereka pun mulai makan bersama, penuh kehangatan dan canda tawa khas keluarga.

Kecelakaan

Setelah makan siang yang hangat dan penuh canda tawa, keluarga kecil itu pindah ke ruang keluarga. Mama duduk sambil memijat kakinya pelan, Jelita rebahan di sofa sambil memeluk bantal, dan Jordi sibuk main game di HP-nya.

Sementara itu, si Mochi, kucing kesayangan keluarga yang bulunya putih seperti salju, duduk manis di atas karpet, menatap layar ponsel mainan yang biasa dimainkan Jelita. Seolah-olah dia juga sibuk seperti manusia.

“Lit, itu si Mochi ngapain sih? Gaya banget kayak lagi kerja,” celetuk Jordi.

Jelita tertawa kecil, “Dia lagi chat-an di grup WA, Kak.”

Jordi ikut tertawa, “Grup apaan coba?”

Jelita menjawab dengan nada main-main, “Namanya ‘Meow Talk Squad’, isinya para kucing komplek. Mereka ngobrolin gosip, makanan enak, dan cara ngusir anjing tetangga.”

“Hahaha, Mochi ketuanya ya?” sahut papa yang sedang mengenakan jasnya kembali.

“Tentu dong. Mochi kan paling nyentrik,” kata Jelita sambil mengelus kepala si kucing.

Papa tersenyum, lalu berdiri sambil mengecek jam tangannya. “Oke, Papa pamit kerja lagi ya, sayang. Ada klien nunggu di kantor.”

“Loh, baru juga duduk,” keluh mama.

“Namanya juga cari nafkah,” sahut Papa sambil mengecup kening mama. “Jelita, Jordi, jaga mama ya.”

“Siap, Pa!” jawab mereka bersamaan.

Tak lama kemudian, suara pintu depan kembali terdengar, menandai kepergian sang kepala keluarga.

Jelita masih duduk di sofa ruang keluarga, ponselnya di tangan sambil sesekali tertawa kecil. Sang mama melirik heran dari arah kursi seberang.

“Kamu ketawa-ketawa sendiri, Lit. Lagi ngapain sih?” tanya mama sambil melipat selimut kecil di pangkuannya.

“Chat-an di grup, Ma. Seperti biasa sahabat Jelita,” jawab Jelita santai.

Jordi yang duduk di lantai sambil bersandar ke sofa, langsung menoleh. “Grup apaan namanya?”

Jelita nyengir, “Four Sambat Tapi Canda.”

Jordi mengangkat alis. “Apaan tuh nama grup? Nyeleneh banget.”

Jelita cuma cengengesan, lalu kembali membaca isi obrolan di grupnya.

...Four Sambat Tapi Canda...

📥 Gladis Iyuuuh

Aku sumpah ya, baru juga masuk kelas udah disuruh maju ngerjain soal. Belum move on dari nasi uduk tadi pagi 😔

📥 Prilly Ganjen

Aku lebih parah, baru duduk lima menit, disuruh ambil tugas ke ruang guru. Padahal belum sempet pakai lip tint 😭

📥 Fuji Tukang Makan

Kalian menderita, aku sih lapar 🤤

^^^Me 📤^^^

^^^Fuji, kamu laper terus. Hidupmu gak jauh-jauh dari perut 🤭^^^

📥 Fuji Tukang Makan

Biarin, dari pada aku makan kalian semua 😎

📥 Gladis Iyuuuh

Yu berani makan si Jelita. Belum juga lu makan dia, Yu duluan yang ditendang Jelita ke ruang angkasa 🤣

📥 Prilly Ganjen

Aku gak mau ikutan loh 🫣

^^^Me 📤^^^

^^^Hemph🗿^^^

Jelita cekikikan lagi. Jordi melirik ke arahnya.

“Udah ah, ketawa-ketawa mulu. Nanti malam ketindihan loh,” godanya.

“Halah, Kak Jordi sirik karena gak punya grup lucu,” balas Jelita sambil menjulurkan lidah.

Mama hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah dua anaknya yang seperti tak pernah akur, tapi justru itulah yang membuat rumah selalu ramai.

“Udah-udah, jangan ribut terus. Ini masih jam santai, bukan jam debat,” ujar mama menengahi.

Jordi menoleh ke arah Jelita yang masih duduk santai di sofa sambil memainkan ponsel.

"Lit, keluar yuk. Jalan bentar, shopping. Aku pengin beli sepatu baru," ajaknya sambil berdiri dan merenggangkan badannya.

Jelita langsung menoleh, matanya berbinar. "Ayooook!" serunya antusias, langsung berdiri juga.

Mama yang duduk sambil membaca majalah, ikut menyimak percakapan mereka. "Lho, kalian mau ke mana?"

"Mau shopping, Ma," jawab Jordi.

"Mama ikut enggak?" tanya Jelita sambil menghampiri mama dan duduk di sampingnya.

Mama menggeleng pelan, tersenyum. "Nggak ah, Mama di rumah aja. Kalian aja yang jalan-jalan. Sekalian ngadem keluar."

"Oke deh, nanti pulangnya kami beliin terang bulan kacang coklat kesukaan mama, ya," goda Jelita sambil mencium pipi mama.

Jordi sudah berdiri di depan pintu, menggoyang-goyangkan kunci mobil di tangannya. “Ayo cepetan, sebelum mall-nya tutup.”

Jelita langsung melesat ke kamarnya untuk mengambil tas, lalu kembali turun dengan cepat. Mereka pun berangkat, meninggalkan rumah.

Sesampainya di mall, Jordi langsung melangkah cepat menuju toko sepatu favoritnya di lantai dua. Jelita mengikutinya dengan langkah ringan, matanya celingukan melihat suasana mall yang cukup ramai sore itu.

“Tuh kan, masih ada diskon,” ujar Jordi senang, langsung masuk ke toko sambil melihat deretan sepatu pria.

Jelita ikut masuk, tapi pandangannya langsung tertarik pada rak sepatu wanita di sisi seberang. “Aku cari punyaku sendiri ya, Kak,” ucapnya tanpa menunggu jawaban.

“Yaudah, jangan lama-lama milihnya,” sahut Jordi sambil mulai mencoba beberapa model sneakers.

Jelita tertawa pelan, lalu menuju rak sepatu wanita. Matanya tertumbuk pada sepasang sepatu flat cokelat dengan pita kecil di depan.

“Lucu banget ini,” gumamnya sambil mengambil satu pasang dan mencobanya.

Seorang pegawai mendekat, “Mau dibantu, Kak?”

“Hm, boleh. Ini ada size 38-nya nggak ya?” tanya Jelita sopan.

“Saya cek dulu ya, Kak,” jawab pegawai itu sambil tersenyum ramah.

Di sisi lain, Jordi sedang berdiri di depan cermin besar sambil melihat sepatunya dari berbagai sudut.

“Lit, cepet dong liatin, ini keren nggak?” serunya dari kejauhan.

Jelita melongok dari balik rak, lalu mengacungkan jempol. “Keren, Kak! Tapi coba lari dulu deh, biar tahu kalau dipakai kabur bisa cepat apa nggak!”

“Dasar bocah,” balas Jordi, tertawa sambil geleng-geleng kepala.

Suasana mereka begitu hangat dan menyenangkan. Seperti dua sahabat yang tak pernah kehabisan bahan bercanda, meski kenyataannya mereka kakak-adik.

Langit mulai menggelap ketika mobil yang dikendarai Jordi dan Jelita melaju di jalan pulang. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menerangi perjalanan mereka yang sunyi setelah seharian berjalan-jalan dan belanja.

Jelita duduk di kursi penumpang depan, tertawa kecil sambil membuka kotak sepatu barunya.

“Kak, sepatu ini lucu banget kan? Nggak nyangka ada yang diskon segede itu,” ujarnya sambil melirik Jordi.

Jordi tersenyum, satu tangan di kemudi, satunya lagi memegang botol minum. “Iya, kamu yang paling jago nyari barang diskon. Untung aku bawa kamu.”

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara klakson panjang dan keras. Mata Jordi langsung terfokus ke spion tengah.

“Eh, mobil belakang itu...” gumamnya panik.

BRAAAAKK!!

Suara dentuman keras memecah keheningan. Mobil mereka terpental ke depan, tubuh Jelita terlempar menghantam dasbor dengan keras. Kepalanya terbentur sudut dasbor, dan darah langsung mengalir deras dari dahinya. Tubuhnya terkulai lemas, sabuk pengaman tak cukup kuat menahan benturan.

Jordi juga terhempas ke depan, kepalanya membentur setir mobil. Meski pening dan nyeri luar biasa menusuk pelipisnya, ia masih sadar, terengah-engah sambil berusaha menoleh ke sisi kiri.

“Jelita...” bisiknya pelan.

Saat dilihatnya tubuh adiknya yang bersimbah darah, matanya membelalak. “Je... Jelita!!”

Tangannya gemetar saat mencoba menyentuh bahu adiknya, tubuh Jelita lunglai, tak merespons. Darah mengalir melewati pelipis dan membasahi leher dan baju yang ia kenakan. Wajah ceria yang tadi tertawa bersamanya, kini terpejam.

“JELITAAA!!” teriak Jordi, suaranya pecah penuh ketakutan dan kepanikan.

“Bangun dong, Lit, Bangun!! Jangan tidur!!” tangisnya pecah, air matanya jatuh deras, campur aduk dengan darah yang menodai tangan dan bajunya.

Ia memeluk tubuh adiknya yang mulai dingin, meski rasa sakit di kepalanya makin menjadi. Tapi hatinya jauh lebih sakit melihat adiknya tak sadarkan diri di pelukannya.

Orang-orang mulai berkerumun. Sirene ambulans mulai terdengar samar dari kejauhan. Tapi bagi Jordi, dunia terasa seperti runtuh. Satu-satunya adik yang ia jaga sepenuh hati, kini tergeletak tak berdaya di pelukannya.

“Jangan tinggalin Kakak, Lit... Kakak mohon...” bisiknya lirih, masih memeluk tubuh adiknya erat.

Tolong di vote karya terbaru author guys.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!