“Pagi ini pak Hasta harus menginterview beberapa orang yang sudah mendaftar di perusahaan kita pak” seorang pria berjas hitam sambil mencatat sesuatu di buku kecil yang ia pegang. Berbicara pada pria yang duduk membelakanginya.
Pria yang membelakangi itu tampak menghela nafas dengan panjang sebelum berbalik, ia langsung memutar kursinya dan berdiri dari duduknya saat ini. Membenarkan dasi miliknya dan juga jasnya.
“Setelah interview ini ada lagi yang harus saya lakukan?’ tanya pria yang bernama Hasta tersebut.
“Sehabis melakukan interview pak Hasta harus menemui Pak Hendra” Hendra adalah ayah dari Hasta Direktur utama perusahan mereka saat ini.
“Oke” ucap Hasta dan berjalan keluar melewati sekertaris pribadinya tersebut. Pria berjas hitam itu langsung mengikuti Hasta yang keluar dari ruangannya.
“Ada berapa orang yang saya interview Robi?’ tanya Hasta pada pria yang bernama Robi tersebut.
“Sekitar delapan orang pak” jawab Robi melihat catatan di buku kecil yang ia pegang.
Hasta berjalan tegap menatap lurus kedepan menuju ruangan dimana dia akan menginterview orang-orang yang melamar ke perusahaannya.
Delapan kandidat yang akan ia interview, dari ribuan orang terpilihlah delapan dan nanti akan di saring lagi menjadi empat orang. Perusahaannya hanya membutuhkan empat orang saja tidak lebih”
Kini Hasta sudah memasuki ruangan dimana dia akan menginterview, dia berjalan sambil melihat sekilas pada delapan orang yang duduk berderet di depan tiga orang pegawainya yang akan menemani dirinya megintervew.
Langkah hasta terhenti saat melihat seorang yang tidak asing baginya, tatapan tajam dengan mata sedikit berkedut ia tunjukkan. Seketika wajahnya berubah mengeras tangannya terkepal di kedua sisinya.
“Pak Hasta selamat datang” sapa ketiga orang pegawai menyapa Hasta yang masih fokus melihat salah satu perempuan yang duduk di bagian peserta interviewnya saat ini.
Hasta tak menanggapi, dia duduk begitu saja dan tatapannya masih fokus menatap kepada perempuan yang menunduk tersebut. Tatapan Hasta begitu tajam, seperti penuh kebencian, dia mencengkram kuat pulpen di tangannya.
Interview di mulai, delapan orang itu menjawab dengan cukup baik tapi sayang perusahaan hanya akan memilih empat orang saja di antara delapan orang itu.
Zahra perempuan yang menunduk tadi tampak senang, dia mengaca di depan cermin kamar mandi di toilet perusahaan tersebut.
“Ayah bunda, pasti ini doa kalian aku bisa menjawab tanpa gugup. Doain semoga aku keterima ya” Zahra bicara sendiri seolah tengah bicara pada kedua orang tuanya. Sejujurnya dia ingin menelpon kedua orang tuanya saat ini tapi sayang ponselnya ketinggalan di rumah.
“Ayo Zahra semangat, demi bunda sama ayah kamu. Kamu pasti keterima” Zahra menyemangati dirinya sendiri sambil menatap kearah cermin.
Setelah itu Zahra keluar dari dalam toilet, dia berjalan dengan wajah riang penuh senyum. Zahra memang orang yang periang gadis dua puluh empat tahun itu orang yang humble dan murah senyum.
Tanpa sengaja dia menabrak seseorang yang berjalan berlawanan darinya, entah tubuhnya yang ringan atau orang di depannya yang berbadan besi sehingga membuatnya terjatuh dengan pantat menyentuh lantai.
“Arkhh” rintihnya kesakitan sambil memegangi bagian belakangnya.
Orang yang dia tabrak hanya menatap datar padanya tanpa niat membantu, Zahra yang tadinya ingin meneriaki orang tersebut langsung diam saat ia sadar yang ia tabrak adalah calon bosnya nanti.
Robi sekertaris pribadi Hasta membantu Zahra berdiri,
“Anda baik-baik saja nona? Kita minta maaf” ucap Robi saat sudah membantu Zahra.
“Ah saya tidak apa-apa kok pak” jawab Zahra sambil tersenyum.
“Robi ayo pergi” Hasta tak menanggapi, dia mengajak Robi untuk pergi. Pria itu melewati Zahra begitu saja.
Zahra melihat kepergian dua orang itu,
“Pak Hasta kenapa ya? Kenapa keliatan nggak suka banget sama aku” gumam Zahra sambil melihat dua pria itu yang kian menjauh.
“ah mungkin cuman perasaanku aja” ucap Zahra kemudian dan langsung kembali berjalan keruangan dimana mereka di suruh menunggu hasil pengumuman.
……………………..
“Aku malas bertemu papa ya begini, dan apalagi ini kenapa mama juga ada disini” keluh Hasta terlihat jengah dengan kedua orang tuanya yang duduk di depannya saat ini. Hasta sendiri saat ini ada di ruangan sang papa.
“Mama kesini karena mau bantuin papa kamu, ini sudah tahun kempat kamu janji sama mama” ucap Kharisma pada putranya, ia menagih janji putranya tersebut.
Hasta terdiam, dia mengingat kejadian empat tahun lalu dimana saat kakaknya tiada.
“Aku sudah nepatin janji sama papa mama, aku sudah membuat keluarga mereka hancur” jawab hasta menatap kedua orang tuanya.
“mama sama papa nggak pernah minta hal itu, kita sudah ikhlas kakak kamu tiada. Bukan janji itu yang kita maksud” ucap hendra.
“lalu?”
“janji untuk membahagiakan mama dan papa seperti yang kakakmu ingin lakukan”
“hah..maksudnya?’
“Kapan kamu menikah? Mama sama papa ingin melihat kamu menikah. Itu hal yang membuat kita bahagia”
“Konyol” Hasta berdecih.
“kita serius Hasta, umur kamu sudah mau kepala tiga kapan kau akan menikah memberi kita cucu. Papa dan mama ingin seperti teman kami yang lain”
“perkataan yang konyol, suruh saja Hana yang menikah dan memberikan kalian cucu” tukas hasta. Hana adalah adik perempuan Hasta. Dia empat bersaudara, ia memiliki kakak laki-laki, satu adik perempuan dan satu adik laki-laki. Tapi sayang kakaknya sudah tiada, sehingga membuat dirinya menjadi anak pertama di keluarganya saat ini.
“hana memang akan menikah tapi dia menunggumu baru dia akan menikah, kau tidak kasihan dengan adik perempuanmu”
“Drama macam apa lagi ini, kalau ingin menikah, menikah saja”
“jangan bilang apa yang hana bilang selama ini benar kalau kau menyukai perempuan yan Hardin cintai” tebak Hendra.
Deg..
Hasta terdiam, mulutnya terkatup wajahnya berubah dingin.
“Omongan dia tidak usah di dengar”
“kalau memang betul, berarti secara tidak langsung kamu juga ikut terlibat dalam kematian kakakmu” pungkas Hendra menatap anaknya mencari jawaban.
Hasta jelas terkejut, ia tak menyangka Papanya akan berkata begitu. Empat tahun sudah ia merasa bersalah dengan kakaknya dan kejadian itu di ungkit kembali saat ini.
Empat tahun lalau, dia membuat kesalahan yang cukup besar di keluarganya. Kesalahan yang begitu ia sesali saat ini
“Papa..” Kharisma menegur suaminya, dia memperhatikan Hasta yang tampak terpukul dengan ucapan papanya barusan.
“oke, kalau itu keinginan kalian. Kalian ingin aku menikah dan memberikan cucu kan. Aku berikan, tapi tunggu beberapa waktu..kalian tahu sendiri syarat pernikahanku cukup rumit” Hasta berdiri dari duduknya sambil membenarkan jasnya.
Kharisma juga ikut berdiri dari duduknya, Ia mendekati anaknya..
“hasta jangan di ambil hati ucapan papamu ya” ucap Kharisma.
“Aku pergi” hasta melepas tangan mamanya yang ada di pundaknya, ia langsung pergi dari hadapan kedua orang tuanya saat ini.
Kharisma langsung memarahi suaminya,
“kamu apa-apaan sih pa ngomong begitu sama Hasta”
“Papa akui papa salah, tapi dengan cara itu dia mau menikah. Papa melakukan itu juga demi kebaikan dia, kalau dia tetap berlarut dalam masa lalu dan menyesali atas apa yang terjadi di masa lalu kehidupannya bakal hampa” jelas Hendra.
“tapi menurut papa Hasta sudah melupakan perempuan itu atau belum?” tanya Kharisma khawatir.
“Papa kurang tahu, mungkin masih”
“Kenapa takdir di keluarga kita begini ya pa, Hardin dan Hasta menyukai perempuan yang sama dan parahnya perempuan itu juga memacari Hasta di waktu yang bersamaan.” Kharisma sedih mengingat masa lalu.
“Sudah ma,” hendra berdiri menenangkan sang istri.
……………………..
Zahra menangis di halte, untung saja halte tempat ia menunggu bus tengah sepi tidak ada orang disitu.
“Yaallah, aku pengen banget buat kedua orang tuaku bahagia tapi apa ini” ucapnya sambil menatap kelangit. Dia benar frustasi karena keyakinannya runtuh di saat dia tidak lolos dalam interview tersebut padahal ia sudah yakin karena hanya dirinya yang menjawab dengan baik saat interview teman-temannya terlihat gugup sedangkan dirinya tidak.
“Hiks, Hiks..harus kemana lagi aku cari kerja” ucapnya sambil terisak, ia sesekali mengusap air matanya yang terus menetes.
Zahra sudah melamar pekerjaan dimana-mana tapi tidak ada satupun yang lolos. Sedangkan kebutuhan rumah tangganya semakin banyak orang tuanya begitu butuh uang darinya untuk memperluas usaha mereka agar seperti dulu. Dulu usaha mereka begitu Berjaya toko dimana-mana sekarang hanya ada satu toko baju itupun cukup sepi.
Ditengah Zahra yang dirundung kesedihan, ponsel di dalam tas perempuan itu berdering membuat Zahra segera menghapus air matanya dan mengambil ponsel miliknya tersebut. Ternyata itu dari ayahnya, Zahra langsung mengangkat panggilan tersebut.
“Zahra bagaimana intervewnya, kamu keterima kan?” tanya sang ayah.
“Nggak yah” jawab Zahra lirih.
“ya udah nggak pa-pa, kamu nggak usah sedih ya..peluang rezeki masih begitu banyak nak. Tuhan pasti ngasih banyak rezeki pada kita kedepannya”
“maaf ya yah,” Zahra terlihat sedih, dia merasa tak berguna.
“iya nggak pa-pa,”
“Ayah nelpon kenapa?’
“Sebenarnya ayah pengen pinjem duit kamu kalau kamu keterima kerja, kakak kamu lagi butuh duit soalnya Ara”
“bang Bagas butuh buat apa sih yah. Baru sebulan lalu dia ayah kasih pinjem kenapa minta lagi sekarang”
“kakak kamu mau bagusin rumahnya nak”
“jangan di kasih, biar dia cari sendiri. Sudah punya istri bagusin rumah masih mintta orang tuanya” ucap Zahra tak terima jika sang ayah memberikan bantuan pada kakaknya.
“Aku tutup dulu” Zahra sudah tidak mau berbicara banyak, kalau berbicara dengan ayahnya dan menyangkut kakaknya membuat ia kesal saja. Bagaimana tidak kesal di keluarga mereka yang hidupnya enak hanya kakak laki-lakinya yang seorang pegawai negeri tapi masih saja kurang dan menggangu keluarganya lagi.
Zahra menaruh ponselnya kembali di dalam tas, ia mengusap wajahnya kasar. Matanya sudah bengkak karena menangis tadi, dia sedikit menutupi wajahnya karena angkot sudah datang dan halte itu mulai ramai oleh orang-orang yang naik kedalam angkot.
Ternyata tidak jauh dari situ hasta memperhatikan Zahra dengan tatapan dingin, dia menatap tak suka pada perempuan yang tengah naik kedalam angkot.
“Saya pastikan hidup mu dan keluargamu akan terus menderita” gumam hasta sambil mencengkram setir mobilnya.
***
Hari-hari berganti, hampir semingguan Zahra terus mencari perkerjaan tapi tak satupun ia diterima bekerja, sudah habis biaya untuk transport membuatnya begitu terasa sulit ekonominya karena tak mendapat hasil yang sesuai.
“Ara sarapan dulu?’ seru bundanya yang mengejar Zahra kedepan.
“Nggak bun, aku beli makan aja di luar” jawab Zahra.
“Zahra tunggu, bunda bawain bekal aja” bundanya kembali masuk kedalam mengambilkan bekal untuk putrinya. Zahra sendiri menuruti perkataan bundanya ia menunggu bekalnya saat ini. Dia ingat kalau uangnya di dompet menipis.
“Ini nanti dimakan ya pas mau intervie atau pas di jalan” Bundanya menyerahkan kotak bekal padanya.
“Iya bun makasih, aku berangkat dulu ya” Zahra pamit pada bundanya. Dia langsung pergi menuju jalan raya untuk menunggu angkot.
“Semangat sayang” seru bundanya member semangat pada putrinya.
“Tentu bunda, doain ya” Zahra berjalan sambil menatap bundanya.
Seperti biasa Zahra menunggu angkot di halte yang tidak jauh dari rumahnya, tapi cukup lama dia menunggu tak ada ngkot yang lewat membuatnya semakin gelisah karena jam terus beputar saat ini.
“Ah pesen ojek online aja” putusnya, ia langsung memesan ojek online lewat ponselnya saat ini. Dia sudah cukup lama menunggu, ia takut akan terlambat saat interview nanti.
Tak lama kemudian sebuah ojek memanggil Zahra di seberang jalan, ternyata Ojek itu dari arah berlawanan.
“Iya mas, saya Zahra..bentar saya kesitu” ucap Zahra yang mulai berdiri dari duduknya saat ini. Dia langsung berjalan menghampiri ojek online tersebut tanpa terduga dari arah kanannya ada sebuah motor yang melaju cukup kecang.
“Mbak awas ada motor” teriak tukang ojek itu.
Zahra terdiam di tempatnya tubuhnya seketika terasa kaku sulit untuk ia gerakan. Dalam bayangannya bagaimana jika dirinya tertabrak nanti, ia hanya psrah memejamkan matanya.
Brukkk
Suara keras begitu terdengar, Zahra terjatuh saat ini tapi bukan karena tertabrak melainkan karena dia jatuh ke pinggir jalan bersama dengan seorang pria yang telah menyelamatkannya barusan.
Pria itu merintih kesakitan, membuat Zahra membuka matanya dan dia baru sadar kalau ia tidak tertabrak. Pemotor dan tukang ojek yang Zahra pesan menghampiri beberapa orang yanga da disitu juga berjalan mendekat untuk membantu.
“Pak Hasta” Zahra kaget saat melihat Hasta yang merintih kesakitan sambil memegangi lengannya. Terlihat lengan pria itu berdarah gara-gara menolong Zahra barusan.
“pak hasta, pak hasta kenapa ada disini” tanya Zahra merasa tak yakin kalau di depannya adalah Hasta pria yang pernah ia lihat. Meskipun hanya bertemu satu kali, tapi Zahra masih ingat siapa orang di depannya.
“Kau hanya banyak tanya atau mau menolong saya” tukas Hasta sambil mencoba berdiri. Dia berdiri sambil memegangi lengan kanannya yang terasa sakit.
Buru-buru Zahra membantu pria itu berdiri, beberapa orang menyuruh Zahra membawa Hasta kepinggir. Tapi hasta tidak mau dia, akan pergi ke mobilnya yang tidak jauh dari situ.
Zahra merasa tidak tega karena Hasta pergi setelah menolongnya, perempuan tersebut memutuskan untuk membantu hasta menuju mobilnya.
“bapak beneran tidak mau kerumah sakit?’ tanya Zahra khawatir.
“Tidak, sudah sana pergi” Hasta malah mengusir Zahra.
“lalu bapak gimana? Biar saya antar ya pak” ucap Zahra menawarkan.
“Tidak usah” hasta menjawab dengan ketus.
Hasta akan menyalakan mobilnya tapi dia kesusahan dan tangannya juga measih mengeluarkan darah.
Zahra yang melihat itu semakin tak tega, dan rasa bersalah menyelimuti dirinya. Dia buru-buru mengambil sesuatu di dalam tasnya saat ini. Hasta hanya diam memperhatikannya. Ternyata gunting yang Zahra ambil, Hasta yang melihat itu jelas terkejut kenapa juga perempuan didepannya membawa gunting di dalam tas. Tapi hasta tak berbicara apa-apa, dia hanya diam melihatnya saja.
Mata Hasta melebar saat Zahra menggunting lengan kemeja putih yang perempuan itu gunakan.
“Apa yang kau lakukan hah, kau gila..jangan bilang kau ingin menjebak saya” Hasta sudah berpikir negative.
Zahra menggunting setengah lengannya, dia lalu mengambil bekas guntingan kemejanya tersebut dan membuatnya panjang. Kemudian dia melilitkan ke tangan Hasta yang terluka.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Hasta saat Zahra memegang lengannya.
“Bapak sementara saya kasih ini dulu agar darahnya tidak mengalir pak, kita kerumah sakit” ucap Zahra pada hasta.
“Saya bilang tida..”
“maaf pak saya tidak bisa melihat orang terluka apalagi orang yang sudah menolong saya. Bapak bisa geser ke kursi samping biar saya yang menyetir”
“Kau bisa menyetir?”
“Bisa pak” jawab Zahra yakin, dia memang bisa menyetir dulu dia sempat belajar saat kuliah di Jogja.
Dengan berat hati Hasta bergeser dari duduknya berpindah ke kursi samping pengemudi. Sedangkan Zahra duduk di kursi pengemudi saat ini, dia menyalakan mesin mobil Hasta. Hasta hanya diam memperhatikan.
…………………
Hasta duduk di dalam mobilnya, saat ini dia sudah dalam perjalanan pulang dengan di antar oleh Robi. Pria itu tadi ia telpon dan mejemputnya di rumah sakit setelah ia di obati, sedangkan Zahra perempuan itu sudah pamit pergi lebih dulu dengan terburu-buru.
“hasta bukannya di depan itu perempuan yang membawamu kerumah sakit tadi?” tanya robi yang tengah menyetir. Dia kalau di luar perusahaan memanggil Hasta dengan sebutan nama saja.
Hasta langsung melihat kedepan dimana Robi memandang, benar itu Zahra yang tengah berjalan di trotor sambil menunduk.
“beri tumpangan dia atau tidak?’ tanya Robi.
“tidak usah”
“Kenapa aku lihat-lihat perempuan itu mirip Zera” ucap Robi.
“Dia kakaknya”
“Apa” Robi langsung mengerem mendadak dan melihat kebelakang.
“kau bisa menyetir tidak?” hasta yang hampir terjeduk kursi mobil menatap kesal Robi.
“Serius dia kakak Zera?”
“Hmm”
“jangan bilang alasanmu menolak dia di perusahaan karena dia kakaknya Zera?” tebak Robi.
“kau akan terus bicara atau aku pecat” pungkas hasta.
“Sorry,” Robi kembali melajukan mobilnya, dia tak berani bicara lagi
“ngomong-ngomong kapan kamu akan kembali ke Jogja?” tanya Robi sambil menyetir mobil.
“beberapa hari lagi” jawab Hasta
“oh”
…………………
Zahra di bawa ke kantor polisi, ia di tuding sebagai salah satu perempuan tidak benar karena mendatangi sebuah tempat yang asing baginya. Ia yakin dirinya di jebak, karena mereka bilang tempat itu perusahaan ternyata bukan. Dia sudah curiga sebelumnya karena hanya beberapa pegawai disitu dan perusahaannya pun hanya satu tingkat. Sangking dirinya butuh duit, dia menghilangkan kecurigaannya tersebut.
“pak tolong bebaskan saya, saya benar-benar tidak tahu kalau tempat itu tempatt prostitusi” Zahra memohon saat di introgasi. Dia benar-benar tidak tahu, karena dia baru saja masuk dan diterima bekerja dan belum tahu semuanya.
“jangan munafik mbak, tidak mungkin anda tidak tahu”
“bener pak saya tidak tahu, saya mohon bebaskan saya”
“Mbaknya bakal dibebskan kalau ada penjamin, telpon keluarga mbak dan suruh kemari”
Jelas Zahra tidak mau, bagaimana bisa ia menelpon kedua orang tuanya. Mereka pasti syok kalau mendengar dirinya di tangkap polisi saat ini. Kedua orang tuanya tadi sudah senang saat menerima telpon darinya kalau ia diterima bekerja.
“ya sudah kalau tidak menghubungi orang yang akan menjamin mbak, sekarang mbak kami tahan” polisi itu mulai berdiri dari duduknya dan menyuruh Zahra berdiri. Dia menyuruh Zahra berjalan kearah sel.
“pak saya mohon, saya benar-benar tidak bersalah saya tidak tahu apa-apa” Zahra memohon pada polisi itu, polisi tersebut terlihat masih muda. Mungkin di atas Zahra beberapa tahun. Polisi lain hanya melihatnya saja, dan ada yang menyuruh Zahra tetap tenang. Zahra bahkan sampai berlutut memohon.
“bebaskan dia, saya yang akan menjadi penjaminnya” tiba-tiba saja Hasta muncul dan berjalan menghampiri keduanya. Dia menyuruh Zahra untuk berdiri.
“Pak hasta’ lagi-lagi Zahra di buat terkejut dengan kemunculan Hasta. Hasta sendiri diam, sambil berjalan mendekat.
“Lepaskan dia, saya yang menjadi dia penjaminnya Tio” ucap hasta pada polisi di depannya.
“Tapi Samudera, dia tertangkap ba…” ucap polisi bernama Tio tersebut.
“Lepaskan saja, bukannya kau bilang harus ada penjamin” ucap Hasta.
“Baiklah, karena permintaanmu aku lepaskan” ucap Tio terpaksa. Dia memanggil hasta dengan Samudera karena nama panjang hasta yaitu Samudera Hasta Alvendra. Teman-teman terdekat saja yang memanggilnya Samudera dan nama dinas yang digunakan hasta yaitu Samudera. Hasta adalah seorang Perwira perpangkat letnan satu dan berdinas di Jogja. Pria itu saat ini berada di Jakarta karena harus membantu Papanya mengurus perusahaan, Hasta memang sering membantu sang papa saat dia cuti..dia memiliki dua profesi yaitu CEO dan juga Prajurit abdinegara. Kegiatan aktifnya tentu saja sebagai seorang abdinegara.
Seharusnya CEO dipegang kakaknya tapi karena kakaknya sudah tiada dia terpaksa menggantikan itu. Sehingga membuatnya memiliki dua profesi seperti saat ini.
Saat Zahra sudah berdiri Toni dan hasta saling tatap, entah apa arti tatapan itu yang tahu hanya mereka berdua.
“Ayo” ucap hasta mengajak Zahra keluar dari kantor polisi.
Zahra menghapus air matanya, dia mengikuti langkah Hasta yang mengajaknya keluar. Lagi-lagi dia di tolong oleh pria itu, entah ada kepentingan apa Hasta di kantor polisi sehingga bisa menolongnya sekarang, batin Zahra sambil menatap punggung tegap Hasta yang berjalan di depannya.
“terimakasih pak hasta” ucap Zahra saat sudah berada di luar kantor polisi.
Hasta menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Zahra dengan wajah dingin.
“Kau pikir aku melakukannya dengan gratis” ucap Hasta
“Ma..maksudnya?”
“Ada bayaran yang harus kau lakukan”
“maksudnya apa pak, saya tidak mengerti” Zahra mulai takut.
Dia seketika mundur saat hasta mendekat padanya dengan tatapan dinginnya.
“kau butuh uang kan sekarang?’ tanya Hasta pada Zahra.
Zahra diam, menatap bingun hasta yang begitu dekat dengannya.
“Aku bisa membantumu, tapi kau harus menjadi istriku”
“Apa..” kaget Zahra, dia melebarkan matanya setelah mendengar ucapan Hasta barusan. Sungguh dia tak mengerti apa maksud pria di depannya.
***
“Saya bisa membantumu, tapi kau harus menjadi istriku”
“Apa..” kaget Zahra, dia melebarkan matanya setelah mendengar ucapan Hasta barusan.
“Ba..bapak jangan bercanda” ucap Zahra terbata.
“Saya tidak bercanda, itu syarat yang saya berikan kalau tidak silahkan masuk lagi kedalm penjara” ucap Hasta.
“Tapi pak, saya tidak bisa masuk penjara lagi. Saya tidak mau membuat orang tua saya Khawatr lagi pula ini semua bukan salah saya. Saya dijebak pak”
“Kenapa kau jelaskan, bukan urusan saya kau dijebak atau tidak. Bagaimana, masuk penjara atau jadi istri bohongan saya”
“Saya nggak mau?”
“Oke jika itu pilihan kamu, saya bakal masuk lagi kedalam dan bilang kalau kau perempuan yang bekerja di tempat tersebut dan saya tidak mengenalmu” tukas Hasta sambil menatap Zahra dengan tatapan menakut-nakuti. Perempuan itu semakin gelisah karena ancaman Hasta terlihat sungguhan.
“Pikirkan tawaran saya, kau butuh pekerjaan dan uang kan. Kau masuk kedalam atau kau menjadi istri bayaranku. Saya akan membayarmu”
“A..apa, bapak menyurh isaya menjadi istri bayaran”
“kau pikir aku mau menjadikanmu istri sungguhan” sinis Hasta.
“Saya menolak pak, istri sungguhan ataupun istri bayaran saya tidak mau pak”
“Oke jika itu keputusanmu” ucap hasta mantap berjalan masuk kembali ke kantor polisi.
Zahra tampak Dilema, dia harrus mengambil keputusan apa. Kalau dia menerima apa tujuan Hasta menjadikan dirinya istri bayaran, kalau dia menerimanya sama saja ia menjual tubuhnya kan. Batin Zahra bergemuruh, dia di ambang kebingungan..Langkah hasta semakin dekat dengan pintu masuk kantor polisi.
“Tnggu pak” ucap Zahra setelah memejamkan matanya untuk memikirkan semuanya.
“Baik pak saya terima, tapi tolong tetap jadi penanggung jawab saya. Saya tidak mau masuk penjara pak” hasta yang tadinya melangkah, sebelum berbalik menatap Zahra ia tersenyum miring. Rencananya berhasil menjebak perempuan itu.
“Oke, silahkan pergi besok saya kabari kita akan bertemu dimana untuk membahas ini”
“Saya ingin bertanya dulu pada pak Hasta kenapa bapak ingin saya menjadikan saya istri bayaran, kenapa tidak mencari orang lain saja pak”
“karena kau perempuan yang butuh uang, dan saya juga tidak ada waktu mencari perempuan lain”
Hasta berjalan mendekati Zahra, dia terdiam sedikit takut.
“kalau sampai kau mengingkari ucapanmu ini, saya jamin hidupmu akan susah” ancam Hasta tepat di telinga Zahra.
Seketika Zahra langsung mundur kebelakang, dia menatap Hasta dengan tangan gemetar. Entah mengapa tangannya gemetar sendiri saat ini. Ucapan pria itu membuatnya merinding.
“Ta..tapi kenapa bapak..”
“Tidak usah banyak bicara, silahkan pergi saya ada urusan” ucap hasta memotong ucapan Zahra. Dia menyuruh Zahra pergi sebelum dia pergi lebih dulu. Zahra menatap kepergian hasta yang menuju mobil pria itu.
“Apa yang kau lakukan Zahra, kau menjual dirimu karena uang” Zahra menangis terisak di tempat sambil menutupi wajahnya. Kakinya lemas membuat terduduk.
Tanpa Zahra sadari, dari arah pintu kantor polisi ada Tio teman Hasta tadi seorang kepala satreskrim.
“Samudera, Samudera..sebenarnya apa yang akan kau lakukan sampai membuat sandiwara seperti ini. Kenapa kau menjebak perempuan tak bersalah itu” ucap Tio di dalam hati, dia berdiri di pintu dengan tangannya masuk kedalam saku celana menatap perempuan yang tidak ia kenal menangis di depan kantor polisi yang disebabkan sahabatnya.
……………………
Hasta duduk di balkon kamarnya, dia tampak berbicara dengan seseorang melalui sambungan telpon wajahnya terlihat sangat serius.
“Saya nggak mau tahu, pokoknya surat-surat harus jadi beberapa hari ini sebelum saya ke Jogja” tukas hasta.
“Tapi Danki (Komandan KOmpi), itu susah di urus. Banyak persyaratan yang harus Danki lakukan” ucap seseorang di seberang sana.
“Saya tahu, datanya sudah saya kirim kan semua. Kau tinggal menyerahkannya ke bagian pengajuan. Nanti Khalif saya telpon untuk menyetujui berkas-berkas saya” ucap Hasta memaksa.
“Tapi kenapa bang buru-buru banget, ngebet banget buat nikah. Kemarin saja bang Samudera di jodohin sama anak Jendral nggak mau sekarang tiba-tiba ngebet nikah. Bilangnya tidak ada pacar” ucap seseorang di sebrang sana mempertanyakan alasan Hasta/Samudera yang begitu terburu-buru untuk menikah.
“Tidak usah banyak tanya, tinggal urus semua apa yang saya suruh. Kalau kau kesulitan ajak Mahendra sama cahyo” tukas Hasta.
“Siap bang”
“Saya tunggu kabar baik dari kamu Fajar” ucap Hasta.
“Siap bang, oh iya bang kalau surat-suratnya sudah jadi bang Samudera ngajak calon kesini kan untuk nikah kantor. Calon istri bang Samudera harus di wawancara dulu dan melakukan tes di Batalyon” jelas Fajar.
“Iya, makanya apa yang saya perintahkan itu segera di urus nanti saya kesitu dengan calon istri saya”
“Maaf bang, saya mau tanya lagi?’
“Apa?”
“Ini bang Samudera buru-buru nikah nggak karena MBA kan?” tanya Fajar hati-hati.
“Apa itu MBA” Hasta mengerutkan dahinya, ia tak tahu apa yang dimaksud fajar.
“Mariage By Accident, calon istri bang Samudera nggak hamil duluan kan?”
“Gila kamu, saya saja tidak sudi menyentuhnya”
“Tidak sudi? Maksudnya bang. Abang serius tidak sudi menyentuhnya bahkan pas sudah sah nanti”
“Saya salah bicara, kamu kenapa banyak tanya sekali. Mau saya berikan hukuman saat saya sudah di Jogja” ucap Hasta mengancam.
“maaf siap salah, ya sudah kalau begitu saya sudahi bang” ucap Fajar di seberang sana.
“jangan lupa cepat di urus” ucap Hasta sebelum panggilan di tutup.
“Siap bang” jawab Fajar dan panggilan langsung berakhir.
Hasta menaruh ponselnya di meja sebelahnya setelah panggilan tersebut berakhir.
Dia menatap kedepan, selanjutnya ia berdiri dari duduknya mendekati pembatas pagar. Tangannya mencengkram pinggiran pagar trails tersebut.
“perempuan itu sudah menghancurkanmu, aku pastikan akan menghancurkan kakaknya agar dia bisa merasakan betapa sakitnya yang kita rasakan” hasta terlihat emosi mencengkram besi itu.
“Aku minta maaf soal dulu Bang hardin, andai saja aaku bisa membunuhnya pasti akan aku lakukan. Tapi akan ku pastikan dia menderita melihat kakaknya menderita di tanganku” ucap Hasta penuh dendam.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!