NovelToon NovelToon

Ratu Dan Pria Tak Terlihat

Bab 1 - All Eyes On Her

Seorang gadis cantik turun dari mobil sesampainya di pekarangan sekolah. Ia pegang erat ransel pink lembut yang ia sandang di belakang tubuhnya, lantas tersenyum menatap gedung tinggi tempatnya menuntut ilmu itu. Rambut panjang yang digerai itu diberi jepitan berbentuk hati. Tak lupa bibir ranumnya ia polesi liptint merah muda. Perfect. Pantas saja ia mendapat gelar sebagai The Queen of Khatulistiwa's School karena kecantikannya.

Ratu. Itu namanya. Sesuai dengan predikatnya sebagai most wanted sekolah ini. Dia kaya raya, pintar, aktif pula dalam beberapa kegiatan ekstrakulikuler. Siapa yang tidak mengenalnya? Bahkan sampai anak culun di sekolah ini pun tahu dengan dirinya saking seringnya ia tampil di acara-acara sekolah.

Melangkah penuh semangat, Ratu pun pamit pada sang supir, lantas melintasi paving block itu sambil melempar sapaan pada siapa saja yang ia temui.

"Hai, Ratu!"

"Aduh, geulis pisan. Jadi pacar abdi aja gimana atuh, neng?"

"Sumpah, Maknya Ratu makan apa sih pas hamil dia? Kenapa Ratu bisa secakep itu?!"

Ratu tersenyum penuh percaya diri mendengar pujian demi pujian yang terlontar padanya. Merupakan makanan sehari-hari bagi Ratu dipuja-puja semua orang. Sebagai bentuk terima kasihnya, ia kibaskan rambutnya ke belakang leher hingga membuat mereka semua bersorak takjub seperti memandangi selebriti. Ah, rasanya Ratu melayang-layang di awan mendengar pujian demi pujian itu.

All eyes on her. Always....

"Sayang, tunggu!"

Langkah Ratu terhenti mendengar suara lelaki dari arah belakang. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu suara siapa itu. Aldo. Ketua tim basket sekolah yang seminggu ini dekat dengannya. Tolong digaris bawahi. Dekat. Bukan berarti Aldo itu pacarnya sehingga lelaki itu berhak memanggilnya dengan sebutan 'sayang'.

Melirik ke samping, dapat Ratu lihat Aldo menyejajarkan langkah dengannya. Lelaki yang sehari-hari ke sekolah mengendarai motor besar itu mencoba memegangi tangannya.

"Apa, sih, Al? Jangan pegang-pegang. Ini area sekolah!" Ratu memberi peringatan.

Aldo mendecak jengkel. "Kamu kenapa, sih, jutek banget sama aku? Kita udah pacaran. Jadi aku berhak—"

"Wait, wait. Sejak kapan kita pacaran?!" sela Ratu dengan nada sedikit tinggi.

"Seminggu ini kita dekat, kan? Aku juga kemarin ajak kamu nongkrong sama temen aku. Aku kenalin kamu ke mereka. Aku ajak juga kamu call sama Mami aku. Apa namanya kalau itu bukan pacar? Dan ... aku kan juga udah nembak kamu waktu itu. Masa kamu lupa?"

Ratu mendengus sebal. Ia pandangi Aldo dengan netra jengkel. "Al, aku udah tekanin berapa kali? Aku nggak mau pacaran sama kamu. Kita dekat as friend. Nggak ada jawaban sama sekali dari aku kalau aku setuju jadi pacar kamu!"

Mendengar hal itu membuat Aldo menggeram. Rahang lelaki itu mengetat seolah tidak terima dengan jawaban Ratu.

"Nggak bisa seenaknya gitu, dong. Aku udah putusin Nindi biar bisa deket sama kamu. Sekarang kamu bilang kita nggak pacaran? Jangan bercanda, Ra! Aku—"

"Salah kamu yang enggak setia sama pasangan kamu. Makanya, jangan gampang melek lihat cewek cantik," kata Ratu mencebik.

Tanpa memedulikan ekspresi Aldo yang tengah melotot, Ratu berlalu dari hadapan cowok itu. Ia abaikan teriakan-teriakan Aldo yang tidak terima dengan keputusannya. Ratu hanya geleng-geleng kepala. Aldo adalah cowok ke sekian yang menuntut status darinya, padahal dari awal ia sudah bilang jika ia 'tidak mau menjalin hubungan' dengan mereka semua.

Terdengar kejam memang. Tapi itulah Ratu. Dia adalah ... pemain handal. Ia gampang membuat lelaki jatuh pada pesonanya, dan gampang pula mematahkan hati mereka. Gadis itu bak kupu-kupu yang hinggap ke sana kemari. Tidak betah di satu tempat. Tak peduli dengan perasaan cowok yang ia hinggapi. Ratu hanya memikirkan kesenangannya sendiri. Masa bodoh dengan perasaan orang-orang.

Begitu sampai di dekat tangga, langkah Ratu berbelok kala melihat hasil pengumuman peserta olimpiade yang baru keluar pagi ini. Maka Ratu berubah haluan. Ketimbang masuk kelas, ia berminat melihat daftar nama-nama peserta yang ia yakini ada namanya di sana.

"Permisi!" kata Ratu seraya menyelip di kerumunan.

"Cie, selamat ya, Ra. Kayak biasa. Kamu pasti kepilih jadi calon peserta."

Belum jadi ia melihat namanya di kertas itu, para siswa sudah mengucapkan selamat saja padanya.

Untuk memastikan, Ratu cek kebenarannya. Ternyata memang iya. Nama Ratu ada di urutan pertama, bersanding dengan 3 nama lainnya.

Ratu Anggrianto

Sasa Selvia

Heri Hutomo

Dan yang terakhir sedikit membuat Ratu kebingungan. Nama yang pernah ia dengar, namun tak ia ketahui siapa orangnya sama sekali. Nama yang ditulis sebagai peserta cadangan—

Syailendra Gunawan.

"Beb! Yeay, kita lulus! Kita bakal satu tim lagi!"

Lengkingan seorang perempuan membuat telinga Ratu berdenging. Pemilik nama Sasa itu akhirnya mencogokkan muka. Ia datang bersama Heri—peserta ketiga yang namanya diumumkan di kertas itu.

Heri dan Sasa. Dua nama itu sudah akrab di kuping Ratu. Mereka adalah temannya. Mula-mula ia berteman dengan Sasa, dan sejak Sasa pacaran dengan Heri, Heri menjadi teman Ratu pula. Mereka bertiga beda kelas, tapi masih bersebelahan. Sasa dan Ratu di kelas MIPA 1, sementara Heri ada di kelas MIPA 3. Dari dulu Ratu memang terkenal pintar dan pantas diikutsertakan olimpiade untuk mewakili sekolah. Begitu juga dengan Sasa dan Heri. Dua sejoli itu sama-sama pintar. Bahkan mereka bertiga saling rebutan predikat juara umum sekolah dari tiap semester.

Tapi ... siapa si Syailendra ini? Orangnya sama sekali belum pernah Ratu lihat. Padahal hampir seluruh muka anak-anak sekolah ini Ratu kenali.

"Tunggu. Kalian kenal sama Syailendra?" tanya Ratu pada Sasa dan Heri.

Sasa menggeleng, sementara Heri mengangguk—namun ragu.

"Gue tau sih. Dia anak MIPA 4. Anaknya pinter matematika sama kimia. Kan waktu itu Pak Edi nggak masuk. Jadi si Syailendra-Syailedra itu ngantar bahan tugas ke kelas kami. Udah, gitu doang. Dia dipercayai sama Pak Edi karena dia memang pinter matematika. Itu yang gue tahu. Selebihnya enggak."

Ratu melongo mendengar penjelasan Heri tersebut. Setahu Ratu, Pak Edi adalah guru killer yang jarang memercayakan urusan modul, bahan tugas dan sebagainya pada orang lain. Suatu hal mengejutkan bagi Ratu mengetahui Pak Edi punya asisten pribadi. Seorang siswa pula. Sama sepertinya.

"Jadi dia anak MIPA 4?" ulang Ratu, meyakinkan.

Heri mengangguk. "Ya gitu. Udah, ah. Kantin yuk? Gue belum sarapan. Yang ada kalau kelamaan keburu bel bunyi. Laper, euy." Lelaki separuh gaul separuh Nyunda itu mengusap-usap perutnya.

Sasa mengangguk setuju. Ia gandeng tangan pacarnya itu dan berjalan menuju kantin meninggalkan Ratu di belakang mereka. Ya ... memang begitulah akhlak dua remaja itu. Sejak Sasa pacaran dengan Heri, Ratu selalu menjadi langganan obat nyamuk jika sedang bersama mereka.

"Syailendra ...?" Ratu menggumam, masih penasaran dengan sosok misterius di balik nama indah itu.

Bab 2 - Lelaki Misterius

Bel pulang sekolah berbunyi. Ratu, Sasa dan Heri berkumpul di ruang latihan olimpiade untuk membahas soal bersama. Ratu sangat antusias datang ke pertemuan kali ini karena ingin melihat wajah Syailendra yang namanya dimasukkan ke peserta cadangan itu. Sejak mendengar penjelasan Heri, rasa penasaran Ratu menjadi-jadi.

Syailendra. Rasanya Ratu pernah mendengar nama itu ketika diumukan di lapangan sebagai juara kelas waktu kelas sepuluh. Tapi ia tidak pernah melihat wajah lelaki itu. Ratu merasa baru keluar dari goa karena tidak tahu apa-apa.

"Ayang, nanti kita bareng-bareng terus, ya? Pokoknya Ayang harus terus sama aku."

Suara meringik Sasa yang duduk di seberang mejanya itu membuat telinga Ratu bising. Dua temannya itu memang terkenal bucin. Alangkah malang nasib Ratu karena satu tim dengan orang pacaran. Habis sudah dirinya menjadi tim hore.

"Iya, Ayang. Aa' akan tetap sama Ayang. Kita belajar bareng, terus jalan deh habis belajar untuk ngerefresh pikiran." Heri menjawab.

"Ayang baik banget, sih. Pengertian sama aku...."

"Iya, dong. Ayangnya siapa dulu?"

"Ayangnya Acha!" jerit Sasa riang.

Kesal, Ratu menggeplak meja. "Duh, bisa diem nggak sih? Kalian bikin telinga aku sakit!"

"Halah, bilang aja lo iri hati ngelihat kami so sweet begini. Makanya, cari pacar tuh bener-bener. Jangan dideketin aja. Dipacarin juga dong sekalian," sahut Heri. mencebikkan lidah.

"Bener tuh, Ra. Kamu kayaknya harus open minded deh. Percuma dekat sana-sini tapi hasilnya zonk. Ujung-ujungnya ngintilin orang pacaran mulu," ledek Sasa.

"Nyenyenye. Berisik!" gerutu Ratu yang membuat dua orang itu tertawa puas.

Bersamaan dengan itu terdengar suara ketukan heels memasuki ruangan. Ratu, Sasa dan Heri menoleh bersamaan. Itu adalah Bu Susan—guru kimia mereka. Dan di belakangnya terdapat seorang lelaki dengan tubuh tinggi dan wajah yang bisa dikategorikan tampan. Lelaki itu membawa modul di tangannya.

"Maaf karena ibu lama datangnya, ya. Tadi ada rapat sebentar." Bu Susan menduduki kursi di depan ruangan itu—tepat di sebelah papan tulis. Sementara lelaki yang baru datang tersebut menduduki kursi sebelah Ratu.

Ratu menatap lelaki itu lekat-lekat. Anak mana ini? Kenapa tampan sekali? Bahkan kalau boleh diadu, cowok ini lebih tampan dibanding Aldo yang mengejar-ngejarnya tadi. Tapi kenapa ia baru melihat anak ini sekarang?

"Kalian udah baca-baca materi yang ibu kirim di grup wa tadi kan?"

"Udah, Bu...," jawab mereka serentak.

Ratu memerhatikan gerak-gerik lelaki tersebut. Ketimbang ikut menjawab pertanyaan Bu Susan, cowok itu malah sibuk membaca modul. Benar-benar aneh.

"Sebelum masuk ke materi untuk persiapan olimpiade, ibu mau nanya dulu. Kalian semua udah saling kenal, kan?"

"Udah, tapi sama yang ini belum." Ratu antusias menjawab.

Lelaki itu menoleh ke arahnya. Detik itulah mereka bertemu pandang untuk pertama kalinya. Ternyata wajah lelaki itu jika dilihat dari dekat memang sangat tampan. Hidungnya mancung, alisnya tebal, kulit yang tidak terlalu putih, tapi tidak terlalu cokelat. Pas kontras warnanya dengan warna kulit laki-laki pada umumnya.

"Endra, kamu kenalkan diri sama temen-temen ya? Mereka ini satu tim sama kamu. Walau di sini kamu hanya peserta cadangan, tetap kamu harus menjaga kekompakan sama mereka," suruh Bu Susan.

Ratu, Sasa dan Heri menantikan respon Syailendra. Cowok itu mengangguk tanpa suara. Benar-benar irit bicara.

"Aku Syailendra. Panggil saja Endra."

Singkat, padat jelas. Tanpa embel-embel apa pun, lelaki itu kembali menatap modul di tangannya dan bersikap abai seolah tidak ingin tahu nama teman-temannya yang lain. Hal itu membuat Heri mendecak-decakkan lidah jengkel.

"Wuih, songong amat. Nggak pengen kenalan sama kami, kah?" Heri berseru.

"Udah, biarin aja," tegur Sasa.

"Tap—"

"Ya sudah, ya sudah. Kita nggak punya banyak waktu untuk bergurau. Nanti saja di luar ajang kenal-kenalannya. Sekarang, bisa kita masuk ke materi?" tanya Bu Susan.

"Bisa, Bu." Semuanya serentak menjawab. Suara Syailendra yang paling kecil di antara mereka.

Dan setelah itu mulailah proses pembahasan soal sekaligus penyampaian tata tertib perlombaan. Untuk sampai ke tahap olimpiade, mereka ada beberapa kali sesi latihan yang mengharuskan mereka berkumpul di tempat ini.

Selama Bu Susan menjelaskan, tatapan Ratu tidak beralih dari Syailendra. Anak itu fokus pada soal-soal yang ada di buku dan mengerjakannya dengan sangat cermat. Ratu mengintip. Ia takjub dengan kepintaran seorang Syailendra meski mereka baru pertama kali bertemu hari ini.

"Halo," sapa Ratu.

Syailendra tersentak mendapati Ratu yang menggeser posisi duduk ke arahnya. Sama seperti anak-anak ambis pada umumnya yang enggan memberi contekan pada orang lain, Syailendra menjauhkan buku soal itu dari jangkauan Ratu. Lelaki itu menutup tulisannya dengan tangan tanpa menoleh ke arah Ratu.

"Hei, aku sama sekali nggak pengen nyontek. Aku juga bisa kok kerjain soal-soal itu. Aku cuma pengen kenal sama kamu."

"Tadi udah, kan?" Dingin, datar dan tenang. Menyebalkan memang. Apa Syailendra ini introvert atau alergi bergaul dengan manusia lain? Kenapa kaku sekali?!

"Ya maksud aku bukan kenal secara formal gitu. Tapi ... kita ini kan satu tim. Harus kompak, dong. Kamu nggak dengar kata Bu Susan?" Ratu masih mencoba mengajak lelaki itu bicara.

"Aku hanya peserta cadangan. Tanpa kehadiranku pun lomba tetap berlangsung."

"Hei, Syai. Ak—"

"Endra. Namaku Endra!" Syailendra mengeja.

Ratu malah terkekeh. "Lucu tauk dipanggil Syai-Syai. Biar beda aja."

Syailendra diam, tidak menyahut. Kesabaran Ratu hampir terkikis menghadapi manusia satu itu.

"Aku serius pengen kenal sama kamu. Kita semua teman. Jadi—"

"Aku sibuk. Tolong jangan mengganggu."

Ratu menganga mendengar hal itu. Seumur hidupnya bergaul dengan berbagai macam manusia, tidak pernah ia temui manusia dengan karakter dingin seperti ini. Ratu merasa pesonanya diabaikan. Padahal semua orang berlomba-lomba di luar sana ingin dekat dengannya. Namun lelaki ini malah mengabaikannya. Ada rasa jengkel tersendiri di hati Ratu.

"Ra, bagi jawaban nomor dua!"

Sasa menyenggol kaki Ratu dari seberang meja. Ternyata hal itu tidak luput dari pengamatan Syailendra. Meski sibuk mengerjakan soal. Ekor matanya melirik pergerakan antara Sasa dan Ratu sejak tadi. Karena suara mereka membuat konsentrasinya buyar.

"Jangan dibiasakan menyontek. Kerjakan dulu soalnya, nanti baru dibahas sama-sama." Syailendra bersuara, membuat ketiga orang itu menoleh dengan ekspresi kaget. Terutama Heri.

"Widih, ternyata lo bisa ngomong juga, ya? Enggak bisu ternyata." Heri meledek.

"Kamu udah siap, Ndra?" timpal Sasa, bersikap sok akrab.

"Hampir," sahut Syailendra.

Sekali lagi Ratu dibuat ternganga. Takjub dirinya dengan kehebatan lelaki misterius itu. Tapi kenapa Syailendra diletakkan pada posisi peserta cadangan? Padahal Ratu akui, Syailendra sangat pintar. Bahkan kepintaran lelaki itu melebihi dirinya. Harusnya Syailendra menjadi peserta utama. Dan harusnya ... lelaki itu menjadi salah satu most wanted sekolah karena ketampanan dan kejeniusannya.

Ah ... ternyata MIPA 4 memiliki harta karun tersembunyi ....

***

"Syai! Yuhu. Tungguin!"

Ratu terengah-engah mengejar cowok bernama Syailendra yang kini sampai di depan gerbang. Jalan lelaki itu sangat cepat. Ratu kewalahan mengejarnya. Belum selesai pertemuan tadi, Syailendra sudah pulang duluan tanpa berbasa-basi. Hal itu membuat Ratu kerepotan menyusul cowok itu karena meninggalkan modulnya di meja.

Syailendra menoleh ke balik bahu. Alisnya menukik, terlihat bingung kenapa Ratu mengejar-ngejarnya. Rasa penasarannya itu baru terjawab setelah Ratu mengulurkan modul ke tangannya.

"Punyamu! Lain kali jangan asal pulang gitu aja. Ketinggalan, kan, barang-barang kamu," ujar Ratu ngos-ngosan.

Lelaki itu baru teringat jika modulnya tertinggal di atas meja. Itu semua karena ia keluar dari ruangan secara terburu-buru saat mereka mengambil gambar untuk dikirimkan ke Kepala Sekolah.

"Terima kasih," sahut Syailendra, yang kemudian memutar badan dan melanjutkan langkah menuju jalan raya--

"Udah, gitu doang?" decak Ratu tak habis pikir. "Nggak ada imbalan, nih, karena udah ngembaliin buku kamu?"

Syailendra berhenti melangkah. Ia menoleh dengan tampang datarnya. "Kamu mau apa?"

Ratu terkikik. Ia dekati cowok itu, lantas berkata, "setidaknya traktir aku makan gitu." Lalu mengedipkan mata.

Syailendra menghela napas, lantas mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku celananya. Ia letakkan satu lembar uang warna biru di tangan Ratu.

"Ambil aja. Cari makan sendiri."

Ratu ternganga menatap rupiah di tangannya. Hei! Seorang Ratu Anggrianto memiliki banyak uang saku. Dia tidak butuh diberi uang. Yang Ratu butuhkan itu adalah lelaki itu mau ia dekati. Masa tidak peka juga, sih?

Belum sempat Ratu menjawab, Syailendra melanjutkan langkahnya menuju halte bis depan sekolah. Ratu mengerjapkan mata. Ia baru tahu anak sekeren Syailendra ternyata ke sekolah menggunakan bis alih-alih naik kendaraan seperti anak-anak lainnya.

Entah apa yang ada di pikiran Ratu hingga gadis itu nekat membuntuti Syailendra. Begitu bis sampai di depan halte, Ratu ikut-ikutan naik bis tersebut karena Syailendra sudah masuk duluan.

Percayalah ... ini kali pertama seorang Ratu—anak orang terpandang—mau capek-capek naik bis hanya demi sebuah perkenalan dengan lelaki misterius ....

Bab 3 - Berteman

"Permisi, numpang lew—awh!"

Belum jadi Ratu mendapatkan tempat duduk, bis tersebut sudah melaju meninggalkan halte. Akibatnya, Ratu nyaris tersungkur saat mencoba menyelinap di antara penumpang lainnya yang tengah berdiri dan berpegangan pada gantungan tangan.

Ratu mendadak kosong. Seumur hidupnya, baru pertama kali ia naik transportasi umum. Selama ini Ratu hidup dengan penuh kemewahan. Ia diantar jemput oleh supir pribadi setiap hari. Atau, gebetan-gebetannya yang mengantar jemputnya. Ratu itu bak putri raja. Ia dilayani, dicintai dan dimanjakan oleh siapa pun yang menyukainya. Baru kali ini Ratu begitu effort mendekati seorang cowok. Padahal cowok itu baru saja dikenalnya beberapa jam lalu.

"Cantik banget, Neng? Sini berdiri dekat Aa'," ujar salah seorang penumpang laki-laki yang sudah berumur.

Ratu gamang. Tidak ada tempat duduk yang kosong di sana. Ratu hampir jatuh karena bus itu melaju kencang tanpa memikirkan kenyamanan penumpangnya.

"Atuh ... sini makanya. Pegangan aja ke tangan Aa'," goda lelaki itu sekali lagi.

Semua orang tertawa melihatnya. Seolah biasa bagi mereka melihat seseorang merayu perempuan cantik di dalam bis ini. Hal yang biasa bagi orang-orang itu, namun membuat Ratu merasa risih dan sedikit menyesal naik bis ini.

Di tengah kebingungannya itu, tiba-tiba Ratu merasa tangannya ditarik oleh seseorang. Ternyata orang itu Syailendra.

"Jangan ganggu teman saya," tegas Syailendra menatap para pria itu tajam.

"Oalah, temannya. Bilang dong..."

Mengabaikan celetuk-celetukan mereka, lelaki itu membawa Ratu ke bagian belakang bis. Ia tuntut tangan perempuan itu untuk berpegangan pada gantungan. Sementara ia berdiri di belakang Ratu, menutupi tubuh gadis itu dengan badannya. Perbuatannya itu membuat Ratu tersenyum, merasa dilindungi oleh lelaki ini.

"Kamu kenapa ngikutin aku?" tanya Syailendra. Suaranya terdengar dingin dan tenang.

Ratu menoleh, menemukan mata elang Syailendra yang menatapnya cukup intens.

"Pengen berteman," jawab Ratu santai.

"Stress," celetuk Syailendra, membuat mata Ratu membelalak mendengarnya.

"Apa kamu bilang? Stress?"

"Ya iya. Orang waras mana yang mengikuti orang lain sampai ke dalam bis hanya untuk berteman? Kamu sudah di luar batas."

"Hal biasa 'kan? Kecuali aku ngikutin kamu ke kamar mandi baru luar biasa. Nggak apa-apa kamu protes," Ratu cemberut.

"Untuk perempuan yang nggak pernah naik bis seperti kamu aku rasa ini bukan hal biasa."

"Lho, kamu tau aku nggak pernah naik bis?!"

"Bisa ditebak dari cara kamu berdiri dan hampir terjatuh karena berdesakan tadi. Kamu nggak biasa."

Ratu cengengesan. "Keren kan? Demi apa coba aku begini. Kapan lagi seorang most wanted naik bis?"

Syailendra mengembuskan napas singkat. Ia pandangi gadis itu dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Selama ini ia jarang bergaul dan terlihat tidak mau tahu terhadap lingkungan sekelilingnya. Begitu jam pelajaran habis, dirinya langsung pulang ke rumah. Oleh karenanya bagi Syailendra, wajah gadis ini asing. Ia tidak mengenal siapa Ratu dan kepopularannya di sekolah ini.

"Aku mau tagih janji kamu. Ayo traktir aku!"

"Sudah aku kasih uang, kamu malah menolak."

"No! Bukan uang. Aku mau kamu traktir. Trak-tir!" Ratu memperjelas omongannya.

"Nggak bisa. Itu hanya buang-buang waktuku."

"Ya udah, aku ikutin aja kamu ke rumah. Kayaknya seru kali ya kalau kita belajar bareng di rumah kamu?" tantang Ratu.

Mendengar hal itu membuat Syailendra panik. "Kenapa kamu malah membuntutiku sampai ke rumah? Apa kamu nggak ada kerjaan lain selain merusuh sejak tadi?!"

Ratu menggeleng. "Enggak ada. Kebetulan free."

"Astaga. Kamu!" Kepala Syailendra pusing meladeni gadis satu ini. Dirinya yang kaku, tidak pernah bergaul dengan perempuan, akhirnya kewalahan sendiri didekati oleh perempuan hyperaktif seperti anak ini.

"Makanya, ayo traktir aku. Pilihannya dua. Traktir aku, atau kita ke rumah kamu buat belajar bareng! Kamu harus balas kebaikan aku yang udah selamatin modul kamu," paksa Ratu.

"Ya sudah, ya sudah. Ayo kita cari tempat makan."

Karena tidak mau diusik sampai ke rumahnya, maka Syailendra terpaksa menyetujui ajakan perempuan itu. Ia menyetop bus di halte tempat pemberhentian terdekat.

Ratu mengintili Syailendra seperti anak ayam yang mengintili induknya. Wajahnya sangat riang. terlebih saat melihat wajah Syailendra yang kelihatan terpaksa. Harusnya Ratu tersinggung karena cowok ini tidak tulus mentraktirnya. Tapi entah kenapa Ratu merasa bahagia, serasa berhasil melakukan misi tersulit dalam hidupnya.

"Syai, tunggu!"

Jalan Syailendra sangat cepat. Ratu jadi keteteran mengejarnya setelah turun dari bis dan membayar ongkos.

Tidak muluk-muluk, Syailendra langsung masuk ke bakso yang ada di dekat halte. Tidak ada kata-kata manis serupa; kamu mau makan apa? Kita makan di mana? Dan kata-kata sejenisnya sebagai basa-basi. Lelaki itu blak-blakan. Ia yang membayar, jadi semua harus ikut aturannya.

"Makan bakso?"

"Kenapa? Malu makan di warung pinggir jalan?"

"Bukan gitu. Kalau di sini, kita bakal susah belajar barengnya. Aku kan pengen sekalian belajar bareng sama kamu."

"Sudah aku bilang, jangan membuang waktuku." Syailendra sedikit menuntut.

"Ini bukan masalah membuang waktu. Tapi—hei!"

Belum selesai Ratu bicara, Syailendra melenggang ke meja paling pojok dan duduk di sana. Terpaksa Ratu mengikutinya dan mengambil tempat duduk di sebelah lelaki itu. Sembari menduduki bangku, Ratu amati wajah datar yang sangat pelit senyum tersebut. Syailendra sangat dingin seperti kulkas tujuh pintu. Tidak seperti lelaki kebanyakan yang ketika di depannya berlomba-lomba cari perhatian.

"Baksonya dua mangkok yang, Kang. Es teh dua!" sorak Syailendra pada si akang tukang bakso.

"Kamu sering makan di sini?" tanya Ratu.

"Ya."

"Kalau gitu pasti enak, dong, baksonya? Aku percaya selera kamu."

"Dicoba aja nanti."

Dan setelahnya, sembari menunggu pesanan datang, Syailendra mengecek kembali jawaban soal yang tadi ia coret-coret di modul.

Melihat hal itu membuat Ratu makin tertarik menggali informasi tentang lelaki itu lebih jauh. Terutama tentang kepintaran Syailendra di bidang akademis. Anak itu pintar. Sangat pintar malah. Tapi kenapa hanya dijadikan peserta cadangan?

Syailendra ini ibarat harta karun tersembunyi di SMA Cakrawala. Jika dibilang culun, lelaki itu bahkan masih terlihat keren seperti anak remaja pada umumnya. Dia tidak terlalu taat pada aturan sekolah yang mana mengharuskan baju di masukkan ke dalam celana. Sumpah, cowok ini aneh dan misterius. Ratu bahkan sulit menebak kepribadiannya.

"Omong-omong, tadi kenapa kamu kabur pas ada sesi foto bareng? Padahal foto itu kan mau dipajang di mading sekolah dan dimasukin ke koran kota." Ratu membuka pembicaraan, membuat Syailendra yang tengah menyibak modul itu menghentikan kegiatannya sejenak.

"Buat apa foto? Aku hanya peserta cadangan," jawabnya singkat.

Ratu jadi geli sendiri melihat cowok itu sibuk dengan bukunya. Maka, ia ambil buku di tangan Syailendra, lalu ia sembunyikan di belakang punggung.

"Bukuku!"

"Aku lagi ngomong sama kamu. Harusnya kamu tuh natap aku. Bukan malah asyik sama buku. Aku kesel tau!"

"Kamu nggak lihat aku lagi apa?"

"Tapi ada orang lain di sekitar kamu. Jangan dibiasain begitu. Bergaul, Syai, bergaul!"

Syailendra mendecak sebal. Sesaat pandangan mereka bertemu di titik yang sama. Mata tajam bak elang milik Syailendra bertatapan dengan manik coklat milik Ratu. Syailendra jadi kaku sendiri karena ditatap selekat itu. Dari jarak yang dekat pula.

"Aku bilangin, ya. Kamu tuh pintar. Aku aja kalah cepat dari kamu ngerjain soal-soal. Makanya aku kaget pas kamu diumumin jadi peserta cadangan. Kamu pantasnya jadi peserta utama," sekali lagi, Ratu mengingatkan.

Syailendra tidak menjawab. Ia ambil kembali bukunya dari tangan Ratu, lalu menyimpannya ke dalam tas. Wajah lelaki itu terlihat tanpa ekspresi.

"Aku serius. Kamu sepintar itu, Syai," ulang Ratu.

"Biasa saja."

"Enggak. Kamu tuh luar biasa. Enggak biasa aja!"

"Buktinya aku hanya jadikan peserta cadangan. Sudahlah. Jangan membahas ini lagi!"

Bersamaan dengan itu bakso pesanan mereka datang. Pada akhirnya mereka berdua fokus menghabiskan makanan. Beda dengan Syailendra yang tampak biasa saja karena sudah sering makan di sini, Ratu malah heboh sendiri karena baru tahu ada bakso seenak ini. Biasanya Ratu makan bakso di restoran atau di gerai bakso terkenal. Tidak bakso pinggir jalan yang harganya murah seperti ini. Semangkoknya dua belas ribu saja. Tapi rasanya lebih enak dari pada bakso di restoran yang harganya mencapai lima puluh ribu.

"Kayaknya kamu harus sering-sering ajakin aku makan di sini!" seru Ratu.

Syailendra menahan suapannya. "Sering?"

"Ya. Karena ke depannya, aku bakal deketin kamu terus. Khususnya selama lomba ini berlangsung."

Syailendra baru saja akan memprotes, namun Ratu lebih dulu memotongnya. "Jangan protes. Aku peserta utama. Peserta cadangan harus nurut. Demi kelangsungan pertandingan," kata Ratu sambil mengedip genit.

Syailendra mendecak, namun meski begitu tidak lagi terdengar protes dari mulutnya.

"Pulang naik taksi aja. Atau minta jemput sama orang rumah kamu."

Ucapan itu membuat Ratu menoleh. Mereka sudah selesai makan bakso, dan saat ini sudah berada di luar warung bakso tersebut.

"Kenapa begitu?"

"Kalau kamu ngerasa enggak aman, jangan pernah naik bis lagi." Syailendra berujar, yang mana tanpa ia sadari membuat Ratu menahan senyum. Hal sederhana, namun bagi Ratu entah kenapa sangat berarti. Meski tidak bilang, Ratu bisa merasakan lelaki ini sedang menjaganya.

"Telfon orang rumah kamu. Atau pesan taksi untuk pulang. Biar aku tunggu sampai ada yang datang jemput kamu."

Alih-alih mematuhi ucapan Syailendra, Ratu malah terdorong memegang tangan lelaki itu. Hal tersebut membuat Syailendra menatap ke bawah, tepatnya ke arah tangan mereka berdua yang saling bersentuhan. Hangat, lembut dan basah karena keringat.

"Aku belum mau pulang," kata Ratu, membuat Syailendra mengerutkan dahi. "Kamu ... harus temenin aku ke toko buku. Ya, ya, ya?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!