...****************...
20 Tahun Yang Lalu.
"Jangan! Tolong jangan bunuh anakku!" teriakan menggema di seluruh rumah yang sudah berantakan itu. Gadis kecil di sudut ruangan hanya bisa meringkuk ketakutan dan menahan tangis. Ia tak boleh menangis.
"Kalian harus menanggung akibatnya, brengsek!"
Seorang pria sedikit tua-Ayah sang anak berlutut di hadapan pria yang memegang pistol itu begitu pula dengan ibunya.
"Maafkan kami, kami tidak akan membongkar apapun lagi. Kami minta maaf..." lirih mereka ketakutan.
"Tidak. Kalian merusak reputasiku. Siapapun yang merusak apa yang aku bangun, harus menggantinya dengan nyawa."
Gadis kecil itu—Aresya Halyna semakin gemetar. Gadis berusia 5 tahun itu menyaksikan pertengkaran hebat di rumahnya sendiri.
Tangan kecilnya menutupi mulut, menahan isakan kecilnya. Tapi air matanya tumpah juga, mengalir diam-diam membasahi pipi gembulnya.
Lantai rumah yang biasa rapi dan bersih kini penuh pecahan kaca, kursi terbalik, dan noda darah dari luka di kepala ayahnya yang sudah dipukul sebelumnya.
"Aku mohon... anak-anakku masih kecil... jangan bunuh dia..." sang ibu berseru, memeluk lengan suaminya dengan tubuh gemetar.
Namun pria tua itu tak bergeming. Matanya dingin, tak berperasaan. Ia mengarahkan pistol ke kepala sang ayah.
DOR!
Aresya menjerit dalam hati. Tubuh ayahnya langsung terhempas ke lantai, darah membasahi ubin di hadapannya. Sang ibu menangis histeris, namun tak sempat bergerak ketika suara kedua dan ketiga terdengar.
DOR!
DOR!
Sunyi.
Aresya melotot dan membeku. Dunia seperti berhenti berputar. Hanya detak jantungnya yang berdetak keras di telinga. Mayat kedua orangtuanya tergeletak tak bernyawa, hanya beberapa meter darinya. Dan.. Mayat kakak perempuan di sampingnya yang mencoba melindunginya.
Tapi ia tak berani berteriak. Tidak boleh. Ia harus tetap diam, seperti yang sering ayah katakan jika sesuatu yang buruk terjadi.
Langkah kaki bergema di dalam rumah. Berat. Perlahan. Menyusuri sisa kekacauan.
Dan saat itu, dari balik bayangan di balik tubuh pria pembunuh... muncul seorang anak laki-laki. Usianya mungkin dua belas tahun. Ia berdiri tegak, tak mengatakan apa pun.
Wajahnya datar, nyaris tanpa emosi. Matanya yang gelap menatap lurus ke arah Aresya yang meringkuk di sudut ruangan di balik vas bunga.
Mereka saling menatap.
Tak ada kata. Tak ada suara. Tapi untuk sesaat... dunia berhenti, hanya ada mereka berdua. Anak lelaki itu melangkah pelan ke samping pria bersenjata, lalu membisikkan sesuatu di telinganya.
Si pria menoleh, matanya menyipit menatap sudut ruangan tempat Aresya bersembunyi.
"Bawa dia." katanya dingin.
Langkah kaki lainnya terdengar, seseorang menuju ke arah gadis kecil itu. Tapi tiba-tiba—
“Biarkan. Dia tak akan ingat apa-apa.”
Itu suara anak lelaki itu. Tenang, tegas.
Pria bersenjata terdiam sejenak, lalu mengangguk.
“Kalau dia muncul di masa depan... urus dia.”
Anak lelaki itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Aresya sekali lagi. Lama. Dalam. Lalu membalikkan tubuh dan pergi bersama pria pembunuh itu, meninggalkan rumah penuh mayat dan darah di belakang mereka.
Aresya masih di sana. Tubuh kecilnya menggigil hebat. Dunia di sekitarnya runtuh, tapi satu-satunya yang tertanam kuat di dalam ingatannya…
Adalah tatapan mata anak lelaki itu.
Setelah langkah-langkah pria bersenjata dan anak lelaki itu menghilang, keheningan menyelimuti rumah yang telah hancur. Aresya, dengan tubuh mungilnya yang masih dipenuhi ketakutan, perlahan mendekati mayat yang tergeletak satu-persatu. Tangisannya pecah tanpa henti, mengguncang tubuhnya yang kerapuh.
"Papa!" teriaknya lirih namun penuh harap, meski suaranya tersedak oleh kesedihan. Di tengah kekacauan, di antara puing dan darah yang menguning, tampak sosok ayahnya. Tubuhnya terbaring, lemah namun masih bernafas, seolah berjuang mempertahankan kehidupan di ambang kematian.
Dengan sisa-sisa tenaga yang tersisa, ayahnya meraih tangan kecil Aresya. Wajahnya yang memucat, masih menyisakan secercah senyum, berbicara dengan tatapan yang tak mampu mengungkapkan segala derita. Dalam keheningan yang mencekam itu, ayahnya mengeluarkan secarik kertas terlipat—ditulis dengan tangan gemetar, ternoda oleh darah dan air mata.
"Jaga... kertas ini, Aresya..." bisiknya lemah, namun penuh makna, seolah ingin menyampaikan rahasia yang akan menentukan takdirnya. Pada kertas itu tertulis satu nama yang asing namun membawa beban berat:
Alexander Camaro.
Mata Aresya membesar, menatap kertas itu seolah mengharap jawaban, namun suara ayahnya semakin memudar di tengah tangisan dan desahan kesakitan. Ruangan yang penuh derita pun seakan ikut menangis bersama, malam itu menjadi saksi bisu atas kepedihan yang mendalam, terpatri pada setiap air mata yang jatuh dan setiap getaran kecil tubuh gadis kecil itu.
...****************...
20 tahun kemudian...
Langit sore menggantung lembut di atas kota, menciptakan semburat jingga keemasan di antara deretan gedung tinggi yang berdiri megah. Sebuah kafe bergaya industrial-modern dipenuhi suara tawa ringan, denting cangkir, dan aroma kopi yang menguar hangat. Di salah satu sudut dekat jendela, duduklah tiga wanita muda, tertawa ringan di tengah obrolan santai mereka.
“Gila, cowok itu bilang dia jomblo, tapi tiba-tiba muncul cewek lain di story-nya. Aku langsung kayak, ‘serius, bro?’” ujar Nadya sambil mengaduk es kopi susunya, mata berbinar penuh drama.
“Haha! Makanya jangan percaya cowok yang terlalu aktif upload selfie,” sahut Vina, menggoda.
Di tengah mereka, duduk seorang wanita dengan aura yang sedikit berbeda. Rambut hitam panjang terurai rapi, raut wajahnya cantik namun menyimpan kesan tegas. Tangannya yang ramping memegang cangkir kopi hitam panas, sesekali diangkat ke bibirnya dengan gerakan tenang. Namanya Aresya—usia 25 tahun, dengan sorot mata yang menyimpan banyak cerita.
“Eh, Aresya, kamu kok diem aja? Biasanya kamu yang paling semangat nyindir cowok-cowok red flag,” celetuk Vina sambil menyikut pelan bahunya.
Aresya tersenyum tipis. “Aku dengerin aja dulu. Kalian lagi banyak cerita lucu, aku nggak mau ganggu vibe-nya.”
“Eh, jangan gitu dong,” kata Nadya sambil memonyongkan bibir. “Kamu lagi mikirin kerjaan ya?”
Aresya menggeleng pelan, lalu memandangi gelasnya yang nyaris kosong.
“Nggak juga… cuma, kadang aku suka mikir... hidup kita sekarang tenang ya. Tapi kalian pernah nggak sih ngerasa kayak... masa lalu itu cuma nunggu waktu buat datang lagi?”
Dua temannya saling pandang sebentar, lalu tertawa pelan.
“Duh, dalem banget. Kayak quotes Twitter,” canda Vina.
Tawa kembali pecah di meja itu, namun Aresya tetap menatap kosong ke luar jendela, ke arah langit yang mulai meredup. Dalam kepalanya, nama itu masih terngiang jelas, seolah tak pernah pergi selama dua dekade.
Alexander Camaro.
Senyumnya mengendur perlahan. Dunia mungkin sudah berubah. Tapi Aresya tahu, waktunya akan tiba. Dan ketika itu terjadi, semua jawaban yang selama ini ia cari akan datang, bersamaan dengan bahaya yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.
Di sakunya, kertas tua itu masih tersimpan rapi. Lipatan-lipatannya mulai rapuh, tapi maknanya tetap utuh. Aresya menyesap sisa kopinya—pahit, hangat, dan familiar—sama seperti ingatannya.
.
.
.
Next 👉🏻
...****************...
Malam menggantung tenang di langit kota. Lampu jalanan menebar cahaya kekuningan yang lembut, menemani langkah Aresya Halyna menyusuri trotoar menuju apartemennya. Angin malam menggoda ujung rambut hitam panjangnya, membuatnya terkesan seperti sosok dari novel misteri yang keluar dari halaman kisahnya sendiri.
Sesampainya di kamar, ia membuka pintu dengan pelan, seolah tak ingin mengganggu keheningan yang menyambutnya. Ruangan itu tak terlalu besar, tapi nyaman. Dinding dipenuhi rak buku dan tanaman kecil di sudut meja kerja yang menghadap jendela kota. Ia menggantungkan jaketnya, melepas sepatu, dan langsung menuju laptopnya yang tertutup di atas meja kayu bergaya minimalis.
Dengan gerakan pelan, ia membuka tutup laptop, dan layar menyala perlahan, menampilkan wallpaper hitam dengan kutipan:
"The scars you cannot see are the hardest to heal."
(Bekas luka yang tak dapat kamu lihat adalah yang paling sulit di sembuhkan)
— AsymRo
Nama pena yang misterius itu terpampang di sudut atas dokumen terakhir yang belum sempat ia lanjutkan. Aresya menarik napas, lalu mulai mengetik, jemarinya menari ringan di atas keyboard. Kalimat demi kalimat mengalir seolah sudah menunggu dikeluarkan.
"Dia kembali. Dengan tatapan yang tak berubah sejak hari terakhir mereka bertemu.
Namun kali ini, tidak ada pelukan. Hanya ancaman sunyi yang menggantung di antara keduanya."
Aresya berhenti sejenak, menatap layar dengan sorot mata kosong. Kata-kata itu bukan hanya fiksi. Ia tahu, cepat atau lambat, apa yang ia tulis akan menjadi nyata.
Dan dunia tempat ia sembunyikan kisahnya bukan sekadar dunia maya—itu adalah peringatan. Sebuah sandi untuk mereka yang tahu caranya membaca.
Tak ada satu pun dari ribuan pembacanya yang tahu siapa AsymRo sebenarnya. Tak ada wajah, tak ada biodata, hanya cerita yang mencekam dan misterius, penuh teka-teki yang seolah nyata.
Ia melanjutkan ketikan:
“Kamu pikir aku melupakanmu, tapi aku selalu ada. Menjagamu dari kejauhan.
Dan sekarang, waktunya tiba. Kau harus memilih: percaya pada yang tak kasat mata, atau hilang dalam kenyataan yang salah.”
Aresya berhenti, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Ia memejamkan mata. Sekilas, suara-suara samar di masa lalu menggema di telinganya.
Lalu Aresya membuka matanya perlahan dan beralih pada komputernya yang lain.
Ia bersandar dan rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai, menambah kesan lugu dan kalem yang menipu.
Di layar komputernya, jendela hitam terminal penuh dengan kode-kode yang asing bagi orang awam. Aresya tak sekadar menulis kisah fiksi—ia sedang membongkar lapisan-lapisan rahasia perusahaan bernama Camaro Corp, sebuah entitas yang sejak dulu diam-diam ia pantau.
"Firewall lemah," gumamnya pelan, menyeringai kecil. "Tidak sebanding dengan ego mereka."
Dalam beberapa menit, ia berhasil menyusup ke server email internal perusahaan. Tab-tab baru bermunculan, menampilkan berbagai informasi—dokumen, percakapan pribadi, laporan keluarga. Matanya tajam menelusuri semuanya. Ia tidak mencari uang. Tidak juga ingin membocorkan data ke publik.
Yang ia incar… adalah kebenaran.
Subject: Penetapan Pernikahan Arion Camaro
Isi--: Sesuai keputusan keluarga besar, Arion akan dijodohkan dengan putri keluarga Harrel minggu depan. Tidak ada pilihan lain. Ini demi bisnis, bukan cinta. Harap segera beri kabar.
Aresya menyipitkan mata, lalu menyender ke belakang sambil menatap layar. Ia tersenyum kecil.
"Akhirnya, langkahmu bisa kuprediksi juga, Camaro."
Tangannya kembali sibuk mengotak-atik folder tersembunyi. Ia tahu Arion—anak semata wayang dari keluarga Camaro, pria yang sejak lama diam-diam ia awasi—adalah kunci untuk membuka masa lalu kelam yang membuat keluarganya hancur. Dan kini… Arion dalam posisi tertekan.
Saat ia membuka tab lain berisi pesan-pesan pribadi, matanya terhenti pada satu thread.
Pengirim: Daria Camaro (Ibu)
Pesan kepada kerabat:
Mohon doa untuk saya. Kanker ini makin parah, saya tidak tahu bisa bertahan sampai kapan. Saya hanya ingin melihat Arion bahagia sebelum saya pergi.
Senyum Aresya memudar sejenak. Wajahnya tetap datar, namun pandangannya jadi gelap. Ia tidak punya belas kasih, tapi kalimat itu mengusik sisi manusiawinya—meski sedikit.
“Jadi begitu, ya…” bisiknya.
Tangannya menggeser trackpad, menutup jendela pesan itu. Tapi tidak dengan jendela utama berisi data Arion dan jadwalnya. Ia membuka catatan kecil berjudul "Rencana Tahap II".
Dan mengetik: Target lemah secara emosional. Akan dimanfaatkan. Waktu eksekusi: 7 hari sebelum pernikahan.
Kontak langsung belum disarankan. Lanjutkan observasi.
Ia menatap layar kosong di sebelah jendela kode—tempat biasa ia menulis cerita. Tapi malam ini, ia tidak sedang menulis fiksi.
Kisah ini nyata.
Dan ia, AsymRo, bukan lagi sekadar penulis anonim.
Ia pemburu dalam kegelapan.
...****************...
Langit pagi menyimpan kabut lembut yang menggantung, seolah tahu bahwa hari ini bukan tentang cahaya, melainkan bayang-bayang. Aresya melangkah tenang, membiarkan langkahnya menyatu dengan desir angin kota yang belum sepenuhnya terjaga.
Gaun sebetis berwarna lembut membingkai tubuhnya, memberi kesan lugu yang nyaris menyilaukan. Rambut hitam panjangnya diikat setengah, membingkai wajah manis yang tak memberi isyarat apa-apa—hanya kelembutan yang tak bertepi.
Ia memasuki rumah sakit seperti seseorang yang datang membawa harapan. Tapi sesungguhnya, ia datang membawa rencana.
Dan semesta, entah mengapa, selalu seakan memberi jalan baginya.
Seolah, semua ini memang harus terjadi.
Di ruang tunggu yang sunyi, ia melihat dua pria duduk bersisian di kursi seberang. Satu berpakaian necis dengan tablet di pangkuan, yang lain mengenakan jaket sopir, mata awas mengamati setiap yang lalu. Tapi perhatian Aresya tidak untuk mereka.
Ia menoleh pelan ke arah pintu ruang periksa. Di balik sana, seorang wanita paruh baya sedang diperiksa.
Daria Camaro.
Wanita itu sedang sakit—dan semesta, seperti biasa, seolah memberi Aresya panggung yang sempurna.
Aresya duduk di kursi tunggu, mengambil posisi beberapa bangku dari para penjaga itu. Ia menunduk sejenak, seolah khusyuk dengan pikirannya sendiri, lalu menatap sekeliling seakan tak sengaja, membiarkan sorot matanya tampak hampa dan sendu.
Beberapa menit kemudian, pintu ruang periksa terbuka.
Daria keluar perlahan. Tubuhnya tampak letih, wajahnya pucat.
Ia berjalan pelan, lalu duduk di bangku dekat jendela, menghadap cahaya matahari pagi yang muram.
Aresya melihat itu sebagai isyarat.
Ia bangkit, lalu perlahan menghampiri dan duduk di sebelah wanita itu. Gerakannya penuh kelembutan, seperti tak ingin mengganggu, hanya ingin berbagi ruang dengan seseorang yang sedang sama-sama sendiri.
“Pagi, Bu,” bisiknya lembut, nyaris seperti desir angin. “Tak apa duduk di sini, kan?”
Daria mengangguk tanpa menoleh. Bahunya sedikit turun, napasnya berat.
“Saya juga habis cek,” lanjut Aresya, menebar ilusi. “Kadang… rumah sakit terasa seperti tempat yang penuh harap, ya? Meski seringnya menyakitkan.”
Daria menoleh perlahan. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya masih hangat. “Kamu sakit?”
Aresya tersenyum samar. “Tak seberapa. Mungkin hati saya yang terlalu sering sesak.”
Dan kalimat itu cukup untuk membangun simpati.
Cukup untuk membuat Daria menunduk, terdiam… lalu membuka sedikit celah.
Aresya memandang lurus ke depan, pura-pura menguatkan diri.
“Kalau Ibu ingin bercerita, saya siap mendengar. Kadang bicara pada orang asing itu… melegakan.”
Seketika, Daria menghela napas panjang.
“Usia memang menakutkan. Tubuh tak lagi sama… dan penyakit datang tanpa diundang.”
Aresya mengangguk pelan. “Tapi Ibu masih tampak kuat. Masih bisa melawan, saya yakin.”
Daria menoleh, tersenyum kecil. Lalu, dalam sekejap, Aresya membuka tangannya.
“Boleh saya peluk?”
Daria, dengan ragu-ragu, mengangguk.
Dan Aresya merangkulnya—erat, sehangat mungkin.
Tapi dadanya tetap hampa.
Karena pelukan itu bukan dari hati.
Melainkan dari dendam yang menyamar menjadi kasih.
.
.
.
Next 👉🏻
...****************...
Pelukan itu terlepas perlahan. Seperti embun yang menguap dari kelopak daun—nyaris tak terasa, tapi meninggalkan bekas.
Daria mengusap ujung matanya yang basah. Entah oleh apa, mungkin kelelahan… atau pelukan asing dari seorang gadis manis yang muncul tiba-tiba di tengah sunyinya pagi.
Ada sesuatu yang menyentuh, meski samar. Seperti kenangan yang baru saja bangkit.
“Kamu siapa, nak?” suara Daria lirih. “Namamu siapa?”
Aresya tersenyum. Kali ini lebih lembut dari biasanya—senyum yang dirancang untuk menciptakan kesan mendalam.
“Aresya,” jawabnya pelan. “Aresya Halyna.”
Daria mengangguk. “Boleh Ibu minta nomor ponselmu? Siapa tahu… suatu saat Ibu ingin bicara lagi.”
Aresya mengangguk seolah ragu, lalu menyebutkan angka demi angka. Ia menuliskannya di secarik kertas kecil yang ia ambil dari dompet, lengkap dengan nama samar yang biasa ia gunakan—bukan yang terdaftar resmi. Hanya nama yang cukup dipercaya untuk menyimpan cerita.
Daria menerima kertas itu seolah sedang menggenggam harapan baru.
“Terima kasih ya, Aresya… entah kenapa, kamu terasa seperti anak sendiri.”
Aresya hanya mengangguk. Tersenyum, menunduk, lalu pamit sopan. Ia melangkah menjauh, tak menoleh sekali pun.
...****************...
Langit sore berganti jingga saat Aresya membuka pintu apartemen kecilnya. Ia menanggalkan sepatunya, menyalakan lampu ruang tengah, dan membuka laptop yang tergeletak di meja kerja mungilnya.
Jari-jarinya menari di atas keyboard. Lembut, cepat, seolah kata-kata sudah tertanam di ujung jemarinya.
12 April
Target: Daria Camaro
Status: kontak pertama berhasil
Lokasi: Rumah Sakit Medika Raya
Pendekatan berlangsung tanpa hambatan. Pelukan diterima. Nomor ponsel diminta oleh target—indikasi awal keterikatan emosional mulai terbentuk. Tidak ada kecurigaan.
Catatan tambahan: wajahnya tampak lebih tua dari terakhir kulihat di foto. Sakitnya nyata. Ajudan dan supir setia. Posisinya masih dijaga.
Namun, untuk saat ini, langkah pertama telah berhasil.
"Terkadang yang tampak lembut justru yang paling mematikan."
Aresya menekan tombol save, lalu menutup laptopnya.
Ia merebahkan diri di sofa, menatap langit-langit.
Wajahnya kembali datar. Tak ada senyum, tak ada ragu.
Hanya tatapan kosong dari seseorang yang sedang menyiapkan badai.
...****************...
Suara sendok bertemu piring terdengar lebih nyaring daripada biasanya. Seolah ruangan itu sedang bernapas dalam kesunyian yang janggal.
Meja makan besar keluarga Camaro—megah, mewah, tapi dingin. Seperti rumah itu sendiri: berisi, tapi kosong.
Daria duduk di sisi kanan, tubuhnya sedikit membungkuk.
Alexander di ujung meja, tegap dan angkuh, pandangan tajamnya menelusuri wajah anak lelakinya, Arion Camaro—yang duduk dengan punggung lurus, tangan bersilang, rahang mengeras.
Tak ada suara selain dentingan alat makan. Hening. Menyesakkan. Dan menyebalkan.
“Ayah sudah siapkan calon istrimu,” ujar Alexander tiba-tiba. Suaranya datar, tak terbantah. “Putri kolega Ayah dari sektor energi. Anak baik. Terhormat. Keluarganya jelas.”
Arion meletakkan garpunya perlahan.
Tatapannya tak marah, hanya lelah. Seperti seseorang yang sudah sering mendengar kalimat yang sama untuk kesekian kali.
“Aku tidak tertarik.”
Jawaban itu menggantung di udara. Tak ada yang bicara.
Sampai Daria akhirnya bersuara—seolah tak tahan dengan ketegangan di meja makan.
“Tadi…” katanya lirih, “Mama bertemu seorang gadis. Sopan, lembut, baik hati. Ibu merasa nyaman sekali… mungkin Arion bisa coba kenalan dengan dia dulu?”
Arion menoleh pelan ke arah ibunya. Tatapan datar. Tak marah, tapi jelas menolak.
“Tidak, Ma.”
Daria tersenyum tipis, memaksa lembut. “Cobalah dulu… siapa tahu cocok…”
Alexander menyela, suaranya lebih keras dari sebelumnya. “Siapa dia? Latar belakang keluarganya bagaimana?”
Daria terdiam sejenak.. Matanya mengerjap. Bibirnya terbuka, lalu menutup kembali.
“Mama… belum tahu,” katanya akhirnya, pelan. “Kami hanya sempat bicara sebentar…”
Alexander menghela napas. Berat dan tajam.
“Jangan asal ajak anak orang kalau kita tak tahu dari mana asalnya. Kita bukan keluarga biasa, Daria.”
Diam lagi. Daria menunduk.
Arion melirik ke arah mamanya sekilas—ada sesuatu di sana, bukan simpati, tapi rasa tak enak yang samar.
Suara jam dinding terdengar makin nyaring. Seperti waktu yang mendadak melambatkan. Membuat tiap detik jadi beban.
Arion berdiri.
“Kalau makan malam sudah selesai, aku pamit.”
Ia pergi tanpa menoleh, langkahnya mantap. Meninggalkan dua orang tua di meja yang kembali sunyi.
Dan Daria, yang diam-diam menggenggam erat kertas kecil dari Aresya—nama yang entah kenapa, makin hari makin terasa akrab di hatinya.
...****************...
Ponsel Aresya bergetar pelan di atas meja kayu tua yang mulai mengelupas.
Ia sedang duduk di pojok ruang tamu mungilnya, lampu temaram membuat bayangan panjang di dinding.
Nama tak dikenal. Tapi dia tahu siapa itu.
Dengan satu ketukan lembut, ia mengangkat.
“Halo?”
Suara di seberang terdengar ragu tapi hangat.
“Ini… Daria Camaro. Masih ingat saya?”
Aresya menatap langit-langit sejenak, sebelum membiarkan suaranya keluar pelan, lembut, dan bersahabat.
“Ah, tentu. Ibu Daria… saya senang Ibu menghubungi saya.”
“Maaf kalau mengganggu. Saya cuma… merasa ingin bertemu lagi. Boleh, Aresya? Mungkin besok? Saya bisa jemput kalau perlu.”
Aresya terdiam. Bibirnya perlahan melengkung membentuk senyum—samar dan miring.
Senyum penuh strategi. Lebih cepat dari dugaanku.
Rencananya belum sampai di titik ini, tapi semesta memang suka berpihak pada yang sabar dan cerdik.
Dan Daria—manusia polos berbalut kelas dan nama besar itu—baru saja masuk lebih dalam ke jaring yang ia rajut.
“Tentu, Bu. Saya sangat senang bisa bertemu Ibu lagi,” ucap Aresya lembut, penuh ketulusan palsu.
Mereka mengatur tempat dan waktu. Setelah panggilan berakhir, Aresya menatap ponsel itu lama.
Lalu ia mengambil buku catatannya—halaman yang berjudul “CAMARO.”
Tulisannya rapi, bersusun rencana dan analisa. Di pojok kanan atas, ada nama Arion Camaro, dilingkari tinta merah.
Ia menambahkan satu kalimat baru di bawahnya:
"Daria, celah yang terlalu mudah."
...****************...
Restoran itu mewah.
Langit-langitnya tinggi, lampu kristal menggantung anggun, menciptakan pantulan cahaya di dinding marmer putih. Musik piano mengalun lembut di latar, sementara aroma masakan kelas dunia menggoda penciuman.
Aresya duduk di salah satu meja dekat jendela besar, mengenakan gaun selutut berwarna dusty pink yang sederhana namun elegan.
Rambut hitamnya dibiarkan tergerai, sedikit ikal di bagian ujung, dan riasannya sangat tipis—cukup untuk menonjolkan kecantikannya yang lembut.
Ia tersenyum saat melihat Daria datang, disambut pelayan yang langsung membukakan kursi.
"Maaf menunggu, Aresya," ucap Daria hangat, duduk di hadapannya.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya justru senang Ibu mau meluangkan waktu," jawabnya lembut, suara yang tenang dan bersahabat.
Mereka mulai memesan makanan ringan dan minuman. Setelah beberapa basa-basi, Daria akhirnya membuka topik utama.
“Kalau boleh tahu… kamu kerja apa sekarang, Aresya?”
Aresya tersenyum pelan. Ia menundukkan kepala sedikit, pura-pura malu, lalu menjawab.
“Saya… penulis, Bu. Menulis cerita-cerita pendek, kadang novel. Tapi saya hanya publikasikan online, dengan nama pena.”
“Wah, luar biasa… saya suka wanita muda yang berkarya,” Daria tersenyum tulus. “Kalau latar belakang keluarga? Orangtua kamu?”
Hening sesaat.
Tatapan Aresya berubah pelan. Ia menunduk sedikit, dan senyum di bibirnya perlahan memudar.
Tiba-tiba kesedihan menggantung di matanya—sangat meyakinkan.
“Saya… tidak terlalu nyaman cerita soal itu, Bu… tapi…”
Daria langsung menyentuh tangan Aresya, lembut. “Maafkan saya. Kalau tak nyaman, tidak usah dijawab.”
Aresya menggeleng pelan.
“Tak apa. Ibu tidak salah. Saya hanya… terkadang masih berat mengenangnya.”
Daria diam, memberi ruang.
“Saya… kehilangan kedua orangtua saya dalam kecelakaan mobil. Waktu itu usia saya sepuluh tahun. Tidak ada kerabat yang bisa ambil alih, jadi saya dibesarkan di panti asuhan,” ucapnya lirih, tatapannya menerawang jauh, seakan menarik kepedihan lama yang sebenarnya tidak pernah ada.
“Oh, Aresya…” bisik Daria, terenyuh.
Aresya tersenyum samar. “Tapi saya baik-baik saja, Bu. Saya beruntung bisa sekolah dan menulis. Banyak orang baik di luar sana yang membantu saya dulu.”
Daria menatap Aresya dalam-dalam, dan entah kenapa… hatinya benar-benar luluh.
Ada sesuatu dari gadis ini—kesederhanaan, kelembutan, dan luka yang dipendam diam-diam—yang membuatnya merasa terhubung.
"Kalau begitu... kamu juga orang yang kuat."
Aresya hanya tersenyum… namun dalam hatinya, ia menulis ulang semua naskah rencana.
Langkah Daria terlalu empatik. Terlalu terbuka.
Dan itu… membuat segalanya semakin mudah.
Tawa kecil di antara mereka sempat menghiasi suasana meja makan.
Namun tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar mendekat dari arah belakang. Daria menoleh, wajahnya langsung berseri.
“Ah… akhirnya datang juga,” gumamnya.
Aresya ikut menoleh perlahan.
Seorang pria tinggi dengan setelan semi-formal menghampiri mereka.
Wajahnya tampan, rahangnya tegas, dan sorot matanya dingin—sangat dingin.
Namun justru dari tatapan itu, Aresya tahu… ini dia.
.
.
.
Next 👉🏻
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!