Hujan rintik-rintik menyambut kedatangan Galuh di kota Bandung sore itu. Langit kelabu seakan mencerminkan perasaannya campur aduk antara gugup, bingung, dan sedikit antusias. Galuh menatap layar ponselnya sekali lagi, memastikan alamat kos yang diberikan oleh pihak kampus. Ia baru saja diterima sebagai mahasiswa baru di Fakultas Sastra, dan menurut admin, ia akan menempati kos yang katanya “sudah disiapkan khusus untuk mahasiswa baru dari luar kota”.
Galuh menarik napas panjang. Ransel besar menggantung di punggungnya, sementara koper besar ia seret menyusuri trotoar sempit menuju sebuah gang kecil. Tak lama, ia berhenti di depan sebuah bangunan dua lantai sederhana tapi bersih. Sebuah plang kecil bertuliskan “KOS CENDANA – Putri & Putra” terpampang samar di sisi gerbang.
“Putri & Putra?” gumamnya pelan. Alisnya mengernyit. Ia pikir kampus akan menempatkannya di kos khusus putra. Tapi, mungkin mereka memang kehabisan kamar.
Galuh menghela napas, lalu menekan bel.
Butuh beberapa saat hingga akhirnya pintu terbuka. Seorang perempuan muncul, mengenakan hoodie abu-abu dan celana training. Rambut hitamnya diikat asal, wajahnya terlihat lelah dan… tidak terlalu ramah.
Galuh langsung menunduk sedikit, sopan. “Permisi, saya Galuh. Mahasiswa baru. Katanya saya tinggal di sini…”
Perempuan itu menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk kecil. “Masuk aja. Sandalnya taruh di rak. Kamar kamu di atas, paling pojok. Sebelah kamar saya.”
Galuh sedikit terkejut. “E-eh… Kakak juga tinggal di sini?”
“Ya. Saya Saras.”
Galuh mengangguk cepat. “Oh. Makasih ya, Kak Saras…”
Saras hanya diam, lalu berjalan kembali ke dalam tanpa menunggu Galuh masuk.
---
Di lantai dua, Galuh membuka pintu kamarnya dengan kunci yang digantung di pegangan pintu. Ruangannya cukup nyaman tidak besar, tapi bersih dan terang. Ada kasur single, meja belajar, dan lemari pakaian mungil. Jendela kecil di sisi kanan kamar memperlihatkan pemandangan atap rumah tetangga.
Setelah membereskan sebagian barang-barangnya, Galuh duduk di atas kasur, menatap langit-langit dengan pikiran melayang. Hari pertama pindah ke Bandung, dan sudah harus tinggal serumah dengan perempuan yang bahkan tidak dikenalnya. Apalagi, Saras bukan tipe perempuan yang mudah diajak bicara. Tatapannya dingin, ekspresinya datar.
Galuh mengingat kembali saat pertama menatap wajah Saras. Ada semacam aura misterius dalam dirinya. Bukan tipe yang genit atau terlalu sopan—tapi justru karena sikap acuhnya, Saras jadi terasa sulit dijangkau.
“Semoga nggak ribet tinggal serumah kayak gini…” gumamnya pelan, setengah mengeluh.
---
Malamnya, Galuh turun ke dapur untuk membuat teh hangat. Dapur kos cukup lengkap, dengan kompor gas, rice cooker, dan dispenser. Saat sedang menuang air panas ke dalam gelas, terdengar suara langkah dari arah tangga.
Saras muncul, mengenakan kaus longgar dan celana pendek. Ia melirik sekilas ke arah Galuh, lalu berjalan menuju kulkas.
“Bikin teh ya?” tanyanya datar.
Galuh sedikit kaget. “Iya, Kak. Mau juga?”
Saras menggeleng. “Nggak. Cuma ambil air mineral.”
Galuh mengangguk sambil menatapnya diam-diam. Wajah Saras tanpa riasan terlihat lebih polos, tapi tetap saja... ada sesuatu yang membuat Galuh merasa harus menjaga jarak.
“Kak Saras semester berapa?” tanya Galuh pelan.
“Enam,” jawab Saras sambil menutup kulkas.
“Saya baru masuk Sastra. Kakak juga Sastra?”
Saras menoleh. Tatapannya sejenak menajam. “Iya. Kenapa?”
“Wah, berarti kita satu jurusan,” kata Galuh sambil tersenyum. “Kalau gitu, bisa sekalian nanya-nanya nanti.”
Saras tidak menjawab. Ia hanya mengangguk tipis, lalu berbalik menuju tangga.
Galuh mengangkat gelas tehnya, lalu duduk di kursi dapur. Ia menghembuskan napas panjang.
“Dingin banget, ya…” bisiknya sambil menyeruput teh.
---
Keesokan paginya adalah hari pertama orientasi kampus. Galuh bangun lebih awal, bersiap dengan seragam putih-hitam yang diwajibkan panitia. Ia mengecek ulang semua dokumen di dalam map, lalu merapikan rambutnya di depan cermin.
Saat hendak keluar kamar, ia mendengar suara langkah cepat dari lorong. Pintu kamar Saras terbuka, dan gadis itu sudah siap dengan tas selempang kecil dan jaket hitam.
“Kak Saras mau ke kampus?” tanya Galuh, berusaha terdengar santai.
Saras mengangguk tanpa berkata apa-apa.
“Kita… bareng aja gimana? Saya juga belum tahu jalan,” kata Galuh, sedikit ragu.
Saras memandangnya beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, “Ya udah. Tapi jangan cerewet.”
Galuh menahan senyum. “Siap, Kak.”
---
Mereka naik motor matic milik Saras. Galuh duduk di belakang, agak kikuk, berusaha tidak menyentuh bahu Saras terlalu dekat. Perjalanan dari kos ke kampus hanya sekitar 15 menit, tapi bagi Galuh, itu terasa lebih lama karena ia terus memikirkan satu hal—bagaimana bisa dia tinggal satu atap dengan perempuan seperti Saras?
Di kampus, suasana ramai. Mahasiswa baru berkumpul di lapangan, dibagi berdasarkan jurusan. Galuh melambai ke Saras sebelum berpisah menuju kelompoknya.
Selama orientasi, Galuh tak bisa fokus sepenuhnya. Ia mencoba mendengarkan penjelasan panitia, tapi pikirannya terus melayang ke sosok Saras. Ada terlalu banyak pertanyaan dalam kepalanya.
Kenapa Saras tinggal di kos campur? Kenapa ia begitu tertutup? Dan… kenapa Galuh merasa ingin tahu lebih banyak tentangnya?
---
Saat sore tiba, Galuh kembali ke kos dengan tubuh lelah. Ia merebahkan diri di kasur tanpa melepas jaket. Baru hari pertama, tapi sudah terasa padat. Namun yang membuatnya lebih lelah bukan kegiatan kampus—melainkan pikirannya sendiri.
Ia mendengar suara pintu terbuka dari sebelah. Langkah ringan berjalan di lorong, lalu suara ketukan pelan di pintu kamarnya.
Tok… tok…
Galuh segera bangkit dan membuka pintu. Saras berdiri di depan, membawa segelas teh dalam cangkir putih.
“Minum dulu. Biar nggak drop,” katanya singkat.
Galuh melongo sejenak. “Eh… makasih banyak, Kak.”
Saras tidak berkata apa-apa lagi, langsung berjalan kembali ke kamarnya.
Galuh menatap cangkir di tangannya, lalu tersenyum keciL.
“Kayaknya dia nggak sedingin itu, kok…”
--
Galuh menatap cangkir teh yang masih hangat di atas meja belajarnya. Aroma melati dari teh celup yang digunakan Saras terasa menenangkan, mengusir sedikit rasa penat yang menumpuk sejak pagi. Ia menyesap pelan, membiarkan kehangatannya menyusup hingga ke dalam dada.
Malam itu hening. Hanya suara kipas angin di pojok kamar yang menemani Galuh berpikir.
“Dia nggak sejutek yang kelihatan, ya…” gumamnya lirih.
Ia baru tinggal satu malam di kos ini, tapi hatinya sudah mulai terusik. Bukan oleh tempat baru, atau kota baru melainkan oleh seseorang yang berada hanya beberapa langkah dari kamarnya. Saras.
Ada sesuatu dalam sikap Saras yang membuat Galuh ingin tahu lebih banyak. Dingin, iya. Tidak ramah? Mungkin. Tapi juga… perhatian, meskipun caranya tidak biasa.
Galuh menoleh ke dinding tipis yang memisahkan kamarnya dengan kamar Saras. Ia bisa mendengar samar-samar suara musik instrumental klasik jenis musik yang tak pernah ia bayangkan akan diputar oleh perempuan seusia Saras.
“Aneh… tapi bikin penasaran,” gumamnya sambil tersenyum tipis.
---
Keesokan paginya, suasana kos cukup sepi. Sebagian penghuni kos berangkat lebih awal karena jadwal kuliah atau kegiatan organisasi. Galuh bangun lebih lambat, matanya masih berat setelah begadang membaca materi orientasi.
Ia turun ke dapur, berniat membuat sarapan sederhana. Saat membuka kulkas, ia melihat ada sekotak nasi goreng dalam wadah plastik bening dengan secarik kertas kecil tertempel di atasnya:
“Untuk Galuh. Jangan lupa sarapan. S”
S.
Saras?
Galuh menahan senyum, lalu mengambil wadah itu. Ia memanaskannya sebentar di microwave, lalu duduk di meja makan kecil dekat jendela. Rasa nasi gorengnya cukup enak. Tidak terlalu pedas, tapi ada sedikit rasa manis khas masakan rumah.
“Tumben…” bisik Galuh. “Dia baik banget.”
Setelah selesai sarapan, Galuh memutuskan untuk mencuci piring sendiri. Ia tidak ingin jadi beban di kos, apalagi tinggal serumah dengan cewek. Perlu menjaga sikap.
Sebelum naik ke atas, ia melihat Saras duduk sendirian di ruang tamu kecil, mengenakan jaket hitam dan celana jeans. Earphone menempel di telinganya, matanya menatap layar laptop dengan ekspresi serius.
Galuh sempat ragu untuk menyapa, tapi akhirnya memberanikan diri.
“Kak Saras…”
Saras menoleh sekilas, melepas sebelah earphone-nya. “Hm?”
“Eh, tadi… makasih ya. Sarapannya,” kata Galuh kikuk.
Saras mengangguk pelan. “Iya, kebetulan masak banyak. Lagian kamu pasti nggak sempat beli.”
Galuh menggaruk tengkuknya. “Iya sih… hehe. Tapi tetep makasih. Nggak nyangka Kak Saras perhatian juga.”
Saras mengangkat alis. “Perhatian? Bukan. Cuma… manusiawi aja.”
Galuh terkekeh pelan. “Ya udah. Tapi saya senang, kok. Saya kira Kak Saras dingin banget.”
Saras tidak menjawab. Ia hanya kembali memasang earphone-nya dan menatap layar laptop lagi. Tapi dari sudut mata Galuh, ia bisa melihat sekilas senyum tipis di wajah perempuan itu.
---
Hari-hari berikutnya berjalan cukup cepat. Orientasi kampus mulai terasa membosankan, penuh dengan tugas-tugas yang dibuat-buat dan panitia yang sok galak. Tapi bagi Galuh, semua itu masih bisa ditoleransi asal ia punya tempat pulang yang nyaman.
Kos Cendana mulai terasa seperti rumah kedua. Ia mulai mengenal beberapa penghuni kos lainnya, meski tidak sedekat itu. Interaksinya masih paling banyak dengan Saras, meskipun perempuan itu tetap menjaga jarak.
Mereka kadang berangkat ke kampus bersama, kadang tidak. Saras tak pernah memaksa Galuh bercerita, tapi ia selalu ada saat Galuh butuh bantuan baik soal kampus, tugas, atau sekadar saran.
Hingga suatu malam, ketika listrik tiba-tiba padam.
Gelap gulita menyelimuti seluruh bangunan kos. Galuh yang sedang mengetik tugas di laptop langsung panik. Ia membuka pintu kamar, mencoba mencari sumber cahaya.
“Kak Saras?” panggilnya pelan.
“Di sini,” suara itu terdengar dari lorong. Galuh mendekat dan melihat Saras sedang menyalakan lilin kecil dari dapur.
“Mati lampu, ya?”
“Ya,” jawab Saras, mengangkat lilin dan memberikannya pada Galuh. “Pakai ini dulu. Nanti aku cek MCB-nya di bawah.”
“Wah, Kak Saras ngerti listrik juga?”
Saras hanya mengangguk singkat. “Sedikit. Dulu sering bantu ayah.”
Galuh mengangguk, lalu mengikuti Saras ke lantai bawah. Di ruang kecil dekat tangga, Saras membuka kotak MCB dengan hati-hati. Galuh memegang lilin untuk menerangi.
“Mungkin overload. Banyak yang pakai pemanas air atau charger sekaligus,” gumam Saras sambil memeriksa saklar satu per satu.
Galuh mengangguk, memperhatikan gerakan Saras yang cekatan. Ia tidak pernah menyangka perempuan seperti Saras bisa begitu mandiri dan… tangguh.
Tak lama, listrik kembali menyala. Lampu menyilaukan mata mereka sejenak.
“Beres,” ujar Saras singkat.
Galuh mengangkat dua jempol. “Keren, Kak.”
Saras menoleh. “Jangan terlalu kagum. Aku nggak sehebat itu.”
“Tapi serius, saya jadi makin salut,” ujar Galuh jujur.
Saras tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya, ia menatap Galuh agak lama. Tatapannya tidak setajam biasanya ada sesuatu yang berbeda di dalamnya. Mungkin… pengakuan bahwa dia sedikit membuka pintu bagi orang lain.
---
Malam itu, Galuh tak bisa tidur. Bukan karena tugas, bukan karena suara bising tapi karena hatinya mulai gelisah. Rasa nyaman yang muncul setiap kali bicara dengan Saras bukan lagi sekadar kagum. Ada sesuatu yang lebih hangat, lebih dalam… dan lebih rumit.
Ia mencoba mengabaikannya. Tapi makin diabaikan, makin terasa.
Dan Galuh tahu, ia sedang memasuki wilayah berbahaya: jatuh hati pada seorang senior yang tinggal satu atap dengannya.
Galuh tahu betul apa yang sedang ia rasakan. Setiap malam menjelang, bayangan Saras kian nyata menari di pikirannya. Tatapan dingin Saras yang dulu membuatnya tak nyaman, kini malah jadi hal yang ia cari-cari. Senyum tipis yang jarang muncul, kini seperti hadiah langka yang selalu dinanti.
"Ini bukan cuma kagum," bisiknya suatu malam, sambil menatap langit-langit kamar yang bergambar stiker glow in the dark sisa penghuni sebelumnya. "Ini… lebih dari itu."
Namun ia juga sadar, rasa itu tidak boleh tumbuh terlalu liar. Bukan hanya karena Saras adalah senior yang lebih dewasa dan jauh lebih berpengalaman, tapi karena mereka hidup di bawah atap yang sama.
Apa jadinya kalau perasaannya membuat suasana jadi canggung? Bagaimana jika Saras tahu dan malah menjauh? Galuh menelan ludah setiap kali pikiran itu muncul.
---
Hari itu, kampus cukup ramai. Ada kegiatan bazar organisasi di lapangan tengah, dan Galuh sedang mencoba berbaur dengan teman-teman barunya. Ia bergabung ke dalam komunitas film kampus karena tertarik dengan editing video, sesuatu yang dulu ia pelajari otodidak.
“Galuh, kamu ikut tim dokumentasi aja, ya,” ujar Dimas, salah satu ketua divisi. “Kita butuh orang yang bisa handle kamera dan narasi juga.”
Galuh mengangguk, senang akhirnya bisa aktif dan punya kegiatan. Tapi pikirannya masih terus melayang ke kos. Lebih tepatnya… ke Saras.
Ia jadi sering membandingkan semua perempuan yang ia temui dengan Saras. Dan anehnya, tidak ada yang sebanding. Saras terlalu berbeda. Terlalu… istimewa.
---
Sore itu, saat Galuh pulang ke kos dengan langkah lunglai karena tugas kampus, ia mendapati pintu depan sedikit terbuka. Begitu masuk, ia mendengar suara dari arah dapur.
“Galuh, kamu bawa laptop ke bawah, deh. Aku butuh bantuan,” suara Saras terdengar jelas.
Galuh mengernyit bingung tapi mengikuti permintaan itu. Ia turun membawa laptop dan menemukan Saras duduk di meja makan, dikelilingi tumpukan kertas dan buku catatan.
“Ini tugas kelompok. Tapi kelompokku pada kabur semua. Bisa bantu cari referensi jurnal nggak?” tanya Saras tanpa basa-basi.
Galuh mengangguk cepat. “Bisa, Kak. Topiknya apa?”
“Ketahanan mental mahasiswa di tengah tekanan akademik,” jawab Saras sambil menyodorkan catatan.
Galuh duduk di seberangnya, membuka laptop, dan mulai mencari referensi. Ia tersenyum kecil bukan karena tugasnya menyenangkan, tapi karena akhirnya punya alasan untuk duduk lebih lama dengan Saras.
Saras sesekali memperhatikan Galuh bekerja. Entah kenapa, ia merasa nyaman berada di dekat pemuda itu. Tak terlalu banyak bicara, tapi juga tidak membuatnya merasa canggung.
Dan mungkin, dalam diam yang hening itu, keduanya mulai merasakan hal yang sama: kenyamanan yang tumbuh perlahan, tanpa mereka sadari.
---
Dua minggu berlalu, dan hubungan mereka mulai sedikit berubah. Saras sudah tak segan menyapa lebih dulu. Ia mulai membuka sedikit cerita tentang masa kecilnya, tentang kampus, bahkan tentang ayahnya yang dulu seorang teknisi listrik di kota kecil.
Galuh, yang biasanya cerewet di depan teman-teman kampus, justru jadi lebih pendiam saat berbicara dengan Saras. Bukan karena takut, tapi karena ingin memperhatikan setiap kata dan ekspresi perempuan itu.
Hingga suatu malam, sebuah insiden kecil mengubah segalanya.
Saat itu hujan turun deras. Petir menyambar beberapa kali. Galuh yang sedang rebahan di kamar mendengar suara benda jatuh dari dapur. Ia segera bangkit dan turun.
Di sana, Saras terduduk di lantai. Gelas pecah berserakan, dan ia memegangi tangannya yang berdarah.
“Kak Saras!” seru Galuh panik, langsung menghampiri.
Saras mencoba bangkit, tapi tubuhnya sedikit gemetar.
“Gelasnya licin… aku nggak sengaja,” ucapnya lirih.
Galuh segera mengambil tisu dan menekan luka di tangan Saras. “Tunggu, aku ambil kotak P3K dulu!”
Dengan cepat, ia berlari ke lemari kecil dekat tangga dan mengambil kotak putih itu. Ia kembali ke dapur, membersihkan luka Saras dengan hati-hati.
“Kamu harus hati-hati, Kak,” ucap Galuh pelan, menatap wajah Saras yang pucat.
Saras terdiam. Tatapan matanya kosong, seolah pikirannya sedang melayang jauh.
“Kamu kenapa?” tanya Galuh lagi, khawatir.
Saras menghela napas panjang. “Aku benci suara petir.”
Galuh mengernyit. “Takut?”
Saras menggeleng. “Bukan takut. Tapi… suara petir mengingatkanku pada malam terakhir sebelum ayah meninggal.”
Galuh terdiam.
Saras melanjutkan, “Waktu itu aku sedang bertengkar dengannya. Tentang kuliah, tentang pilihan hidupku. Aku bilang aku ingin kuliah di kota besar, dan dia marah karena menganggap aku lari dari tanggung jawab.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Saras.
“Keesokan harinya, dia kecelakaan. Dan malamnya… hujan deras. Petir menyambar pohon depan rumah kami.”
Galuh tidak tahu harus berkata apa. Tapi ia tahu satu hal: ia ingin Saras tahu bahwa ia tidak sendirian.
Perlahan, ia menggenggam tangan Saras yang bebas dari luka.
“Kamu udah cukup kuat, Kak. Dan aku di sini… kalau kamu butuh seseorang buat dengerin.”
Saras menatap Galuh. Untuk pertama kalinya, ia tak mencoba menyembunyikan lukanya. Tak mencoba menutupi kesedihan. Di balik dinding dingin yang selama ini ia bangun, ia mulai membiarkan Galuh masuk, sedikit demi sedikit.
---
Malam itu, mereka duduk di ruang tengah sambil meminum teh hangat. Hujan masih turun, tapi tak lagi terasa mengerikan.
Galuh menatap wajah Saras dalam-dalam. “Boleh aku jujur, Kak?”
Saras menoleh. “Apa?”
“Aku suka cara kamu tahan banting. Tapi aku juga suka saat kamu berani kelihatan rapuh.”
Saras tertawa pelan. “Itu kalimat gombal, ya?”
Galuh ikut tertawa. “Nggak. Itu jujur.”
Saras tak menjawab. Tapi malam itu, ia tidak lagi memakai earphone saat tidur. Ia hanya duduk di sofa sampai Galuh benar-benar masuk ke kamarnya.
Dan sebelum Galuh menutup pintu, ia mendengar Saras berkata,
“Terima kasih, Galuh.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!