NovelToon NovelToon

Pertemuan Dua Hati Yang Terluka

BAB 1

"Aku minta maaf El, pernikahan kita harus batal!" tiba-tiba Rian datang ke meja Elena yang kebetulan sudah tak ada teman-temannya karena semua sedang istirahat makan siang.

Elena terdiam sejenak, tapi kemudian tertawa dipaksa.

"Bercanda kamu gak lucu! Udah ah, kita makan siang yuk!" ajaknya sambil berdiri dari duduknya.

"El, aku tidak bercanda. Mamaku memaksa aku untuk menikahi Nadia."

Bagai tersambar petir di siang bolong, Elena terhenyak diam, mulutnya ternganga tak bisa berkata apa-apa. Dia menatap calon suaminya tak percaya.

"Ba-bagaimana bisa? Na-nadia sepupu aku? Apa kalian.."

"Nadia hamil dan itu perbuatanku!"

Lebih dari tersambar petir, kali ini jantung Elena seakan ada yang mencabut paksa dan itu sangat menyakitkan! Kalau sudah begitu, apa yang bisa seorang wanita lakukan? Cuma menangis meratapi kepedihan hidupnya?

Tidak!

Tidak begitu dengan Elena. Walau hatinya sakit seperti ditusuk-tusuk dan disayat-sayat, tapi dia tidak mau hancur sendirian. Rian tidak boleh dibiarkan lolos begitu saja!

"Panggil Nadia ke sini!" perintahnya dengan suara yang mampu membekukan aliran darah Rian.

"Untuk apa El, anggap saja hanya aku yang salah! Nadia sedang mengandung, aku tak mau terjadi apa-apa pada anakku!" Rian sangat ketakutan. Dia tahu Elena bisa bersikap barbar jika ada orang yang membuat masalah dengannya.

"Ya udah, berarti kamu sendiri yang harus bertanggung jawab. Sekarang juga, kamu balikin semua uang yang sudah aku keluarkan untuk biaya pernikahan kita! Semuanya tanpa kurang sepeserpun!"

Wajah Rian langsung pucat mendengarnya. Jangankan untuk mengganti uang Elena, untuk biaya pernikahannya saja, dia tidak tahu harus mencari kemana. Karena semua uangnya pun sudah dipakai untuk biaya pernikahannya dengan Elena.

"Justru aku i-ingin meminta kebaikan hati kamu agar mau merelakan semua persiapan pernikahan kita dialihkan untuk pernikahanku dengan Nadia. Percayalah, setelah Nadia melahirkan, aku akan menceraikannya dan kita akan menikah, lalu hidup bahagia selamanya." Ujar Rian dengan kalimat yang begitu lancar, seolah sedang merayu anak kecil dengan mengiming-imingi permen.

"Benarkah?" Elena tersenyum dengan mata berbinar. Tapi sekejap kemudian, aura mistis di wajahnya terlihat sangat menyeramkan bagi Rian.

"Kamu pikir aku sudi menerima lagi, laki-laki bajingan seperti kamu? Aku malah bersyukur, Tuhan menunjukkan sifat brengsek kamu di saat-saat terakhir. Aku juga berterimakasih pada Tuhan, karena sudah melindungi aku agar tidak terperosok ke kandang ular! sekarang jangan buang waktu lagi, ayo cepat kembalikan semua uangku!" desak Elena sambil menadahkan tangan dan menaik turunkan jemarinya.

"El please, aku mohon kamu mau berbaik hati. Lagian Nadia itu kan sepupu kamu dan kamu juga tinggal di rumahnya. Ya hitung-hitung kamu membalas kebaikan orang tua Nadia yang sudah menampung kamu. Kalau bukan karena kebaikan mereka, bisa-bisa kamu hidup di jalanan."

Elena benar-benar tak percaya, kalau laki-laki yang sedang berbicara ini adalah laki-laki yang dulu sangat dicintainya. Laki-laki yang dulu dia kira akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Sebagai pelindungnya disaat dia terpuruk sendirian.

Tapi semua itu bullshit!

"Lantas perselingkuhan kalian pun dianggap wajar? Sebagai penebus karena aku menumpang tinggal di rumah mereka? Bagus, pemikiran macam apa itu? Dasar bodoh! Aku gak mau tau, pokoknya kembalikan uangku! Kalau tidak, kalian tanggung sendiri akibatnya. Aku akan viral kan dan kalian akan dapat sanksi sosial!"

"No El, please, jangan lakukan itu!"

Rian memohon-mohon dengan menyatukan kedua telapak tangan di dadanya. Wajahnya memelas minta ditabok Elena. Tentu saja gadis itu tak merasa iba sedikitpun. Yang ada dia teramat ilfeel melihatnya.

Tanpa menggubris rengekan Rian, gadis cantik itupun pergi begitu saja setelah kembali menekankan tuntutannya.

***

Seorang pria tampan bertubuh tinggi tegap, keluar dari mobilnya. Dia melangkah dengan penuh percaya diri, menuju gedung apartemen yang dibelinya beberapa bulan lalu, untuk ditempati kekasihnya.

Alvaro Valentino Aryantha, seorang CEO perusahaan Multinasional ternama, yang memiliki ketampanan di atas rata-rata. Dengan postur tubuh ideal yang mampu membuat setiap kaum hawa meleleh saat melihatnya. Dia memiliki kekasih bernama Cassandra Brianna, seorang model yang beranjak terkenal. Cantik mempesona dengan segala keindahan ragawi yang dimilikinya, mampu membuat Alvaro jatuh hati dan berniat melamarnya hari ini.

Ya, Alvaro dan Cassandra memang sudah merencanakan pernikahan impian yang akan digelar secara mewah dan besar-besaran. Mengingat relasi Alvaro bukan dari kalangan biasa.

Tanpa memberitahu kekasihnya, Alvaro yang baru kembali dari perjalanan bisnisnya ke beberapa negara Eropa selama 3 minggu, langsung mendatangi apartemen kekasihnya saking kangen pada wanita itu. Dia juga tidak meminta Calvin, orang kepercayaannya, menjemput dia di bandara.

Langkah sepasang kaki panjang itu sudah sampai di depan pintu apartemen kekasihnya. Jemari panjangnya dengan lincah menekan beberapa angka sebagai password untuk membuka pintu. Dan blakkk.. pintu pun terbuka. Alvaro segera memasuki unit yang terbilang mewah itu.

Suasana terlihat sepi. Alvaro sempat duduk di sofa menunggu Cassandra yang mungkin sebentar lagi datang. Tapi keningnya berkerut saat melihat onggokkan pakaian yang tercecer hingga ke pintu kamar. Kebetulan kamar Cassandra ada di lantai bawah. Hati Alvaro mulai merasa tidak enak. Dia mengikuti ceceran pakaian itu dan berhenti di depan pintu kamar Cassandra. Alvaro ingin mengetukkan tangannya di pintu, tapi...

"Argh beb, please lebih cepat ahh"

Suara desahan itu, terdengar sangat menjijikkan di telinga Alvaro.

Brakkk

Pintu kamar itu ditendang sekuat tenaga hingga terbuka lebar dan mengagetkan sepasang laki-laki dan perempuan yang tengah bergumul di atas ranjang. Seketika desahan kenikmatan yang keluar dari bibir mereka, menghilang. Sementara itu, Alvaro terus melangkah dengan gagah menuju dua orang yang masih dalam keadaan menyatu. Mereka belum sempat saling melepaskan tautan kelamin, karena saking kagetnya.

Aura laki-laki itu terlihat dingin dan angker.

"Sa-sayang?" mata Cassandra melotot kaget, seperti ingin melompat dari porosnya. Mulut wanita cantik yang terlihat acak-acakan itu, menganga lebar, seperti moncong buaya yang tengah menganga, menanti lalat masuk untuk dilahapnya.

"Detik ini juga, kamu dan saya tidak punya hubungan apa-apa lagi! Najis saya menyentuh kulitmu yang kotor itu, walau cuma seujung kuku!" telunjuknya mengarah pada sang wanita yang masih melotot syok.

"Dan kau," telunjuknya beralih pada laki-laki pasangan mesum Cassandra. "Aku pecat secara tidak hormat! Dan aku pastikan tak akan ada perusahaan yang mau menerimamu bekerja!"

Bugh, satu tendangan menghantam pinggang Calvin, orang kepercayaannya di kantor. Hingga lelaki itu terjungkal dan jatuh dari atas ranjang. Bibirnya meringis merasakan kesakitan yang luar biasa saat penyatuannya dengan wanita bossnya, terlepas secara paksa.

"Ma-maafkan saya boss, saya khilaf!" lelaki itu bersujud di kaki Alvaro dalam keadaan telanj*ng. Dia tidak malu saat bokongnya yang hitam terekspos dan pasti akan membuat jijik setiap orang yang melihat. Tapi entah kenapa Cassandra yang cantik dan seksi, bisa tergoda pada laki-laki tidak tahu diri itu.

Bukannya merasa iba, malah tanpa ampun kaki Alvaro kembali melayang dan menendang kening lelaki itu hingga kepalanya membentur dinding. Setelah itu, tanpa menggubris tangisan dan teriakan histeris Cassandra, Alvaro langsung keluar dari unit apartemen itu.

***

Hujan deras mengguyur kota Jakarta. Di dalam mobil mewahnya, Alvaro, berkali-kali mengusap kaca mobil, pandangannya menerawang ke luar. Hujan ini mengingatkannya pada hari di mana hatinya hancur berantakan, diguyur segala emosi yang menyesaki dadanya. Ia menarik napas dalam, berusaha mengusir bayang-bayang kejadian yang menguras emosinya itu.

Tiba-tiba, sebuah motor matic menerobos lampu merah, hampir menabrak mobilnya. Alvaro mengerem mendadak, jantungnya terasa mau copot. Ia melihat seseorang duduk di atas motornya dengan mengenakan jas hujan dan full face helm, terlihat basah kuyup. Lalu orang itu berjalan ke depan mobil Alvaro dan membuka helm serta menggebrak kap mobil itu, sambil sibuk mengusap air hujan dari wajahnya dengan ekspresi yang terlihat kesal.

"Hei! Kau tidak lihat lampu merah?!" Alvaro membentak, suaranya dingin dan tajam, khas seorang CEO yang terbiasa memerintah.

Elena mendongak, matanya bertemu dengan tatapan tajam Alvaro. Ia tak gentar.

"Lampu merah? Aku buru-buru, Tuan! Hujannya sangat deras. Tidak bisakah kau mengalah sedikit pada pengendara sepeda motor yang basah kuyup ini? Lagipula, kau yang nyetirnya pelan sekali, seperti siput!" balasnya dengan nada ketus. Ia kemudian berlalu, meninggalkan Alvaro yang tercengang. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Alvaro merasa ada yang menantang otoritasnya. Dan itu menarik perhatiannya. Hujan deras seakan tak mampu memadamkan api yang baru saja menyala di antara mereka.

"Kamu itu bodoh atau bagaimana? Sudah tahu lampu merah, seharusnya kamu berhenti. Aku tidak peduli kamu basah kuyup! Kalau terjadi apa-apa pada mobilku, apa kamu sanggup ganti rugi?" Alvaro berteriak dari dalam mobilnya yang dibuka sedikit agar suaranya terdengar oleh Elena.

"Ganti rugi? Dasar orang kaya pelit! Dengar tuan, uangmu yang berharga itu tak akan bisa kamu bawa mati!" Elena begitu kesal. Dia cepat-cepat memakai kembali helmnya dan naik lagi ke atas motornya. Telinganya sangat pengang mendengar bunyi klakson dari setiap kendaraan yang perjalanannya merasa terganggu oleh insiden tersebut.

Elena melayangkan tatapan membunuh pada Alvaro sebelum dia melajukan kembali motornya. Sementara laki-laki itu hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah konyol gadis aneh yang baru pertama kali ditemuinya.

BAB 2

Elena pulang ke rumah dan sudah dinanti oleh om dan tantenya. Dengan masih dalam keadaan basah kuyup, Elena disuruh duduk di hadapan mereka di ruang keluarga.

"Maaf om, tante, tapi aku kedinginan. Boleh aku mandi dulu supaya tidak masuk angin?" Tanya Elena masih bersikap sopan. Adam dan Mira saling bertatapan, kemudian Adam mengangguk.

"Ya sudah, tapi cepat ya sebentar lagi akan ada tamu istimewa ke rumah ini." Kata Mira tegas dan tanpa senyum. Sejak tadi raut wajah paman dan bibinya itu memang terlihat tegang.

Elena pun tak jadi duduk, dia langsung menuju kamarnya. Sementara sepasang mata Nadia yang tengah berdiri di ambang pintu kamarnya, menatap tidak suka pada adik sepupunya itu.

Beberapa belas menit kemudian Elena sudah berada di dapur membuat teh hangat untuk dirinya, lalu kembali ke ruang tamu dimana om dan tantenya sedang menunggu.

"Duduk El!"kata Adam sambil menunjuk sofa di hadapannya. Tanpa membantah Elena duduk. Dia sudah bisa menebak, apa yang ingin dibicarakan oleh kedua orang di hadapannya ini.

"Nadia, sini!" Adam berteriak memanggil putri semata wayangnya. Belum sedetik dipanggil, gadis itu sudah datang dan duduk diantara ayah dan ibunya. Dia memang dari tadi berdiri di belakang pintu.

"Serius banget om, tante, memangnya ada apa?" tanya Elena santai sambil memainkan ponselnya.

"Iya, ada yang ingin tante bicarakan sama kamu. Kamu pasti sudah tahu permasalahannya dari Rian kan? Oke, atas nama Nadia, tante minta maaf. Tante tidak pernah mengetahui hubungan mereka, tahu-tahu sudah seperti ini." Kata Mira kakak dari almarhum Evan Isaac Marvin, ayah Elena.

"Kenapa harus tante yang minta maaf? Teh Nadia kan udah dewasa tan, dia bisa meminta maaf langsung menggunakan mulutnya sendiri." Sindir Elena. Nadia nampak mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih, menahan geram pada sang adik sepupu. Elena melirik Nadia dengan ekor matanya dan tersenyum sinis.

"Nadia, ayo minta maaf!" tegur ayahnya. Nadia langsung menatap penuh kebencian pada Elena.

"Sudah om, aku gak perlu maaf dari dia. Aku Cuma ingin tahu, apa yang akan om dan tante bicarakan sama aku."

"Baiklah," Adam terlihat menghela napas.

"Kamu pasti sudah tahu dari Rian kalau Nadia dan dia akan menikah karena..."

"Karena teh Nadia hamil dan kalian minta aku untuk mengikhlaskan Rian menikahinya? Tenang saja om, aku juga sudah jijik sama laki-laki itu. Ambil aja teh! Tapi jangan harap aku akan merelakan semua uang yang sudah aku keluarkan untuk biaya pernikahanku, jadi dialihkan untuk pernikahan teh Nadia dan Rian. Aku tak akan ikhlas. Itu tidak adil buatku! Aku mengumpulkan uang itu sedikit demi sedikit dari hasil keringatku sendiri!" sambar Elena sebelum sang paman menyelesaikan ucapannya. Tentu saja Nadia kesal mendengarnya.

"Uang tidak seberapa juga, lo permasalahkan. Coba ingat-ingat, dari umur berapa lo tinggal di rumah ini? Siapa yang ngasih lo tempat tinggal dan makan, sejak bokap lo meninggal?" kecam Nadia dengan wajah emosi. Matanya melotot seperti ingin melompat.

"Ya udah, kalau memang tidak seberapa, ganti dong! Lagian gue tidur dan makan di rumah ini juga nggak gratis. Gue tahu diri kok, setiap bulan selalu kasih uang ke tante."

"Halah, dasar perhitungan. Lo tuh dari kecil tinggal di sini dan yang biayain hidup lo itu, bokap gue! Ngerti lo?"

"Sssttt, sudah sudah! Elena, kalau kamu memang tidak ikhlas, om yang akan ganti uang kamu!" Adam berdiri dari duduknya. Dia masuk ke dalam kamarnya dan mengambil uang yang di simpan di dalam lemari pakaiannya. Setelah kembali ke ruang tamu, dia setengah melemparkan segepok uang itu ke atas meja.

"Itu om ada uang 10 juta, memang tidak cukup untuk mengganti semua uang yang sudah kamu keluarkan. Tapi om akan mencicil sisanya. Tapi perlu kamu ketahui, setelah menikah, Nadia dan dan nak Rian akan tinggal di sini."

Elena mengerutkan keningnya. Bukankah saat akan menikahi dia, Rian sudah merencanakan untuk mengontrak rumah? Tapi kenapa saat menikahi Nadia dia malah ingin tinggal bersama mertua?

"Kenapa, lo keberatan kalau gue sama Rian tinggal di sini? Ini kan rumah gue. Kalau lo merasa keberatan, lo tinggal keluar aja dari rumah ini!"

Bukannya merasa tersinggung, Elena malah tertawa renyah, seraya matanya menatap sinis pada Nadia.

"Kalau gue sih fine aja tinggal di sini. Gak perduli ada Rian atau tidak. Mungkin teh Nadia aja yang pikirannya berlebihan. Memang kalau mendapatkan sesuatu dengan cara tidak benar, seseorang akan merasa takut cepat kehilangan lagi."

"Maksud lo apa?" Nadia langsung naik pitam mendengar ucapan Elena. "Asal lo tahu, gue dan Rian udah lama berhubungan, sejak 1 tahun lalu. Itu tandanya apa? Dia udah gak ada perasaan sama lo!"

"Bukan, tapi namanya kucing garong dikasih ikan, pasti disantap dong!"

"Elena!"

Mira yang dari tadi diam saja, mengeluarkan bentakkan pada keponakannya.

"Kamu jangan kurang ajar sama kakakmu!"

Mendengar ibunya membentak Elena, Nadia merasa puas karena merasa mendapat dukungan. Elena pun diam tanda hormat pada sang tante.

"Tante tidak ingin ada ribut-ribut, sebentar lagi akan ada tamu, yaitu keluarganya nak Rian. Kali ini mereka datang bukan untuk menemui kamu, Elena, tapi untuk melamar Nadia. Tante harap kamu bisa nerima ini dan tidak membuat onar!" Mira mengultimatum dengan sikap tegasnya. Tapi Elena seakan tak memperdulikan hal itu.

"Permisi om, tante, saya akan berdiam diri di kamar dan tak akan keluar sampai mereka pulang."

"Itu lebih baik!" sambar Nadia, merasa sangat puas. Kali ini dia merasa berada di atas angin dan berhasil membalaskan dendamnya yang selama ini selalu ditempatkan di bawah Elena oleh teman-teman mereka.

Elena tak menggubris ucapan Nadia dia langsung berdiri dan tidak lupa mengambil uang yang diberikan oleh omnya, meski masih kurang banyak.

***

Sekuat-kuatnya seorang perempuan, tentu saja tak akan luput dari air mata. Meski hatinya menolak menangisi apa yang sudah terjadi dan mengikhlaskan laki-laki yang tidak pantas dia tangisi itu, tetap saja rasa marah dan sakit hati tak bisa dipungkiri, sudah menguras emosinya.

Apalagi saat samar-samar telinganya mendengar suara tawa, seolah mengejek dirinya. Elena tak ingin terpuruk, tapi tetap saja hatinya merasa sakit. Apalagi dulu ibunya Rian dengan sinis pernah bertanya tentang keberadaan ibunya Elena. Seolah ingin menegaskan kalau dia tidak memiliki keturunan yang jelas dari pihak ibunya. Dan Elena memang tak bisa menjawab apa-ара. Karena sejak kecil dia tidak pernah mengenal ibunya. Menurut ayahnya, sang ibu dipaksa pulang kembali ke Jerman, negara asalnya, oleh kedua orangtuanya yang tak menyetujui pernikahan mereka. Semenjak itulah mereka lost contact.

"Ya sudah, kita harus mempercepat pernikahan ini mba, mas, sebelum kandungan Nadia semakin membesar."

Terdengar suara tantenya yang nyaring dan ceria. Memang sudah sejak lama dia mendambakan menantu, karena mengingat usia Nadia yang hampir mencapai angka 30 tahun. Tapi sayang, Nadia memberikan ibu dan ayahnya menantu dengan cara yang salah.

"Asal ada biayanya, besok lusa pun mereka sudah bisa menikah kok."

Itu jawaban Arum, ibunya Rian yang matrealistis. Elena tersenyum sinis. Tapi lanjutan pembicaraan mereka membuat hatinya geram.

"Masalah uang tidak perlu khawatir, Elena sudah merelakan uang yang sudah masuk untuk pernikahannya dengan nak Rian, dipakai untuk pernikahan kedua anak-anak kita. Yah, mau tidak mau dia tidak boleh menolak, karena selama ini, diapun kan numpang hidup pada kami." Jawab Adam yang sama sekali tak disangka Elena akan memberi jawaban seperti itu.

Hati Elena serasa diremas sekuat tenaga. Padahal setelah kepergian sang ayah untuk selama-lamanya, Elena yang saat itu masih kelas 2 SMA, banting tulang sendiri untuk membiayai hidup dan sekolahnya. Tak pernah sekalipun dia meminta uang pada paman dan bibinya, kalau bukan mereka sendiri yang memberi. Itupun sangat jarang.

"Baiklah kalau begitu, pembicaraan ini sudah menemui titik temu, jadi kami permisi dulu."

Akhirnya Elena bisa bernapas lega.

Obrolan yang membuat hatinya sakit sudah berakhir. Kini dia tinggal memikirkan, kemana dia akan membawa dirinya pergi dari rumah ini.

***

Seorang wanita cantik dan elegan melenggang memasuki sebuah butik ternama yang biasa menjadi langganan para artis, model dan para ibu-ibu pejabat. Semua pegawai sudah mengenal wanita cantik itu sebagai calon menantu boss mereka. Tak heran jika mereka begitu menaruh hormat meski sebagian menilai kalau kecantikan dan sikap ramah wanita itu hanya palsu belaka.

Dia hanya menganggukkan kepala saat beberapa karyawan di butik itu menyapanya. Langkahnya terus terayun menuju sebuah ruangan yang pintunya tertutup. Tangan berjemari lentik itu terulur untuk mengetuk pintu, lalu membukanya tanpa menunggu jawaban dari dalam.

"Hallo tante Neysa, apa kabar?" Sapanya pada seorang wanita yang parasnya tak kalah cantik dan tak kalah anggun dari wanita itu, meski usianya sudah tidak muda lagi. Wanita yang sedang serius menggerak-gerakkan pensilnya di atas sebuah kertas, membentuk sketsa pakaian, mendongakkan kepala, bibirnya langsung tersenyum sumringah.

"Cassandra?" Wanita itu berdiri dan menyambut pelukan Cassandra.

"Kabar tante baik. Kamu sendiri apa kabar sayang? Semenjak Alvaro ke luar negeri, kamu juga jarang sekali main ke sini? Sibuk modeling ya?"

Cassandra tersenyum sambil mengangguk. "Iya tante." Jawabnya berbohong. Padahal dia sedang mendapat cuti dari agensinya. Dan memanfaatkan waktu cuti itu untuk terus memadu kasih dengan Calvin, orang kepercayaan Alvaro di kantor.

“Ternyata tante Neysa belum tahu permasalahan aku dengan Alvaro. Ini bagus, aku jadi bisa memanfaatkan situasi ini.” batinnya sambil tetap mengulas senyum.

"Tante, mommy sama daddy aku akan pulang minggu depan, boleh tidak kalau pernikahan aku dan Alvaro dipercepat? Soalnya keberadaan mereka di Indonesia tak akan lama. Cuma beberapa bulan aja. Habis itu mereka akan kembali ke..."

"Mom, aku ingin membatalkan pernikahan!"

Keduanya menengok ke asal suara dan wajah Cassandra pun berubah pucat.

BAB 3

"Al, apa maksud kamu? Bagaimana bisa kamu membatalkan apa yang sudah kalian rencanakan dengan matang?"

Neysa menatap serius putranya, lalu berbalik menatap Cassandra. Tapi tak ada yang buka suara, hanya terdengar dengusan dari hidung Alvaro. Sementara Cassandra gemetar ketakutan. Takut Alvaro membocorkan semua tingkah bejatnya di hadapan Neysa.

"Ada apa ini, cepat bilang sama mom!" Neysa setengah memekik, karena kesal tak ada yang mau bicara.

"Tuh, tanyakan saja sama dia! Hey perempuan, cepat kamu pulang ke apartemen ada kejutan menunggumu!" Tak ada kelembutan apalagi keramahan yang ditunjukkan Alvaro pada kekasihnya. Ops, maksudnya mantan! Ini membuat Neysa semakin bingung.

"Al?" Cassandra memelas. Tapi Alvaro tetap bergeming. Lalu menghampiri ibunya dan mengecup pelipisnya.

"Aku harap mom tidak dekat-dekat dengan dia lagi! Takut tertu-"

"Alvaro, kamu keterlaluan! Kalau batal nikah ya batal saja, jangan dibumbui ini itu! Jangan bikin fitnah!" sambar Cassandra dan tangisnya langsung meledak. Dia masih mencoba mengelak, meski sudah tertangkap basah. Membuat Alvaro tertawa terbahak-bahak melihat wanita itu playing victim.

"Al, apa yang dikatakan Sandra benar. Meski mama tidak tahu masalahnya, tetap saja sikap kamu itu sangat tidak baik, seperti anak kecil saja." Tegur ibunya sambil memeluk Cassandra yang tangisnya semakin kencang, membuat Alvaro semakin muak.

"Mom, aku pergi dulu. Nanti ke sini lagi kalau perempuan itu sudah pergi."

Lelaki tampan penuh pesona itu keluar dari ruangan ibunya. Sementara Cassandra masih menangis dalam pelukan Neysa.

"Sebenarnya ini ada apa, Sandra? Padahal tante sudah senang loh kamu bakal jadi mantu tante. Tante juga senang akhirnya akan berkenalan dengan orang tua kamu."

"Maafkan aku tante, aku tidak bisa mempertahankan hubungan kami. Mungkin ada gadis lain yang lebih segala-galanya dari aku. Padahal jujur, aku sangat mencintai Alvaro. Aku juga tidak menyangka Alvaro mampu mengkhianati aku, huhuhu.."

Neysa semakin mempererat pelukannya.

Dia sangat kasihan pada Cassandra yang selama ini dikenalnya sebagai gadis yang baik, sopan dan selalu penuh perhatian padanya.

"Tante, aku pulang dulu. Aku ingin menemui perempuan yang sudah merebut Alvaro dariku. Aku Cuma ingin tahu, kenapa dia tega menghancurkan hubungan orang lain."

"Oh, ya sudah, tapi kamu harus berhati-hati ya! Takutnya orang itu berbuat nekat."

Cassandra hanya mengangguk. Lalu kembali memeluk Neysa. Setelah itu dia keluar dengan kacamata hitam menutupi matanya yang sembab.

***

Tiba di apartemennya, Cassandra sangat kaget saat melihat koper-koper berjejer di depan unitnya. Dia mengenali koper-koper itu adalah miliknya. Tapi kenapa berada di luar? Cepat-cepat wanita itu membuka pintu dengan menekan beberapa angka password. Tapi percobaan pertama ternyata error. Dia mencoba lagi, masih error. Begitu juga saat percobaan ke 3, 4 dan seterusnya, tetap error. Cassandra sangat kesal dan putus asa.

"Sialan, kenapa pintu ini tidak bisa dibuka?"

Cassandra langsung menelepon pengurus apartemen. Dan alangkah terkejutnya ia saat mendapat jawaban diluar dugaan.

"Maaf bu, unit anda sudah dijual oleh bapak Alvaro Valerio Aryantha." Kata suara pengurus apartemen itu dengan tegas.

"Tidak mungkin mbak, coba tolong dicek lagi!" Cassandra langsung meradang, ketika pengurus itu tetap mengeluarkan jawaban yang sama.

"Kurang ajar kamu Alvaro! Bagaimana bisa kamu tega sama aku?!" teriaknya kesal. Dia sampai lupa mengeluarkan umpatan dengan suara yang keras. Untung saja tetangga unitnya tak ada yang keluar.

Akhirnya mau tak mau Cassandra menarik koper-kopernya dan memasukkan ke dalam lift untuk dibawa ke basement dimana mobil pemberian Kenzie diparkir.

Tiba di basement, lagi-lagi dia dikagetkan dengan mobilnya yang menghilang juga. Tadi saat ke butiknya Neysa, dia sengaja tidak mengendarai mobil itu karena berharap bisa bertemu Alvaro, lalu meminta maaf dan pulangnya bisa nebeng dengan alasan tak bawa mobil. Tapi dia tak menyangka kalau Alvaro yang dulu cinta mati sama dia, sekarang berbalik 180 derajat.

Dia sangat menyesal, kenapa percintaannya dengan Calvin sampai kepergok sama lelaki itu. Padahal selama ini dia bisa menutup rapat hubungan gelapnya dengan lelaki manapun. Dan saat bermain dengan Calvin, hanya sebagai pelampiasan saja. Karena Alvaro tak pernah mau diajak making love. Dia bilang hanya akan menyentuhnya jika mereka sudah menikah.

"Dasar laki-laki bodoh, dikasih yang enak-enak malah menolak. Terus sekarang aku bagaimana? Harus ke mana?"

Cassandra hampir menangis memikirkan harus pergi ke mana? Jalan satu-satunya dia menelepon asistennya. Tapi ternyata Niall asistennya, tengah berlibur karena Cassandra yang mengambil cuti.

"Suruh siapa lo liburan?!" teriak Cassandra murka pada ponselnya. Kalau saja dia masih kekasih Alvaro, tentu saja ponsel itu sudah dibantingnya, karena akan dengan mudah mendapatkan gantinya.

"Sekarang gue harus gimana? Harus ke mana? Masa harus pulang ke gubuk reyot orang tuaku? Sangat menyedihkan menjadi orang miskin tapi pura-pura kaya! Terpaksa harus nguras tabungan gue untuk sewa apartemen sederhana. Duit gue udah ludes dipake foya-foya sama si Calvin. Ah iya, gue telpon aja si Calvin, dia harus tanggung jawab dengan semua yang terjadi sama gue!"

Cassandra cepat-cepat mendial nomor Calvin. Harus beberapa kali nada sambung, baru teleponnya dijawab.

"Ya Sandra ada apa?" Tanya lelaki itu dengan suara serak seperti habis bangun tidur.

"Lo jam segini masih molor? Dasar pemalas!" Semprot Cassandra yang masih dikuasai emosi.

"Cepat ke apartemen gue sekarang, gue ada di basement!"

"Mau apa? Nggak ah, nanti gue dicincang sama si Alvaro. Mana pusaka gue masih linu lagi." Tolak Calvin.

"Alvaro gak ada. Dia gak bakalan ke sini lagi. Cepat lo bawa mobil ke sini dan bantuin gue bawa barang-barang."

"Barang-barang apaan sih?"

"Udah jangan banyak bacot, cepetan ke sini, kalau nggak lo gak bakalan dapat jatah lagi dari gue."

"Tapi gue gak punya mobil."

"Ya pake mobil rental kek. Pake otak lo!"

"Tapi lo yang bayar sewanya, gue gak punya duit, gue dipecat secara tidak hormat jadi gak dapet pesangon."

Cassandra mengetatkan rahangnya.

Emosinya benar-benar sudah berada di level tertinggi.

"Sialan, awas ya, lo gak boleh temuin gue lagi!"

"Dih siapa juga yang nemuin lo? Lo sendiri kan yang ngerayu-rayu gue minta dipuasin. Dasar jal*ng! Harusnya lo yang tanggung jawab. Gara-gara lo yang kegatelan, gue jadi dipecat dan gak bisa kerja di mana-mana lagi."

Setelah balik menyemprot Cassandra, Calvin memutuskan sambungan telepon sepihak.

"Argh brengsek, sialan semua!!!"

Cassandra hanya bisa mengumpat dan merana sendiri. Sekarang dia tak tahu lagi harus minta bantuan pada siapa? Ini benar-benar nikmat sesaat, celaka kemudian. Kini Cassandra hanya bisa terduduk lesu di atas kopernya sambil menangis meratapi nasibnya yang sial.

***

Elena sudah mengepak baju-bajunya ke dalam koper. Tadi pagi tantenya memanggil dia dan memintanya untuk meninggalkan rumah ini, karena tidak akan baik jika Nadia dan Rian sudah menikah dan tinggal di sini, tapi masih ada Elena di rumah ini.

"Tante minta maaf, tapi kamu sudah dewasa, tante tak akan terlalu khawatir melepas kamu." Kata Mira. Sebenarnya dalam hati wanita itu ada rasa tidak tega. Tapi mau bagaimana lagi, Gita lebih penting baginya karena dia putrinya. Dan dia khawatir, rumahtangga anaknya akan berantakan jika Elena masih satu rumah dengan mereka. Kecuali nanti jika Nadia dan Rian sudah pindah ke rumah sendiri.

"Beres, gue tinggal pesan taksi online, terus ke kontrakan Kiara, numpang di tempat dia untuk sementara sampai gue dapet kostan."

Untung saja Kiara menerima Elena dengan tangan terbuka saat gadis itu menyampaikan maksudnya kemarin. Kiara adalah teman SMA Elena dulu. Tapi sampai sekarang mereka masih bersahabat meski kuliah di tempat yang berbeda. Kini Kiara bekerja di sebuah perusahaan Multinasional, sebagai sekretaris CEO. Sementara Elena bekerja di perusahaan Industri, sebagai sekretaris CEO juga.

Elena keluar dari kamarnya sambil menarik dua koper yang penuh dengan baju-baju dan barang-barang pribadi lainnya. Dia menemui om dan tantenya untuk berpamitan. Kebetulan mereka ada di ruang tengah. Tapi sialnya di situ ada Rian dan Nadia juga. Dan pandangan kakak sepupunya itu yang bikin Elena muak. Nadia terlihat menatap Elena dengan tatapan mengejek dan merasa menjadi pemenang awards dari ajang bergengsi.

"Cuih, makan tuh laki penjahat kelamin. Untung saja gue bisa menjaga diri selama pacaran sama dia. Jadi dengan kejadian ini pun gue gak begitu dirugikan. Cuma rugi duit doang yang udah gue keluarin buat biaya nikah yang batal. Tapi lihat aja, gue gak akan diam aja sebelum duit gue balik." Batin Elena dan tersenyum sinis dalam hati.

"Tante, om, aku pamit dan terimakasih atas kebaikan kalian yang sudah menampung aku."

"Iya El, tante dan om minta maaf untuk semua yang sudah terjadi. Anggap saja kamu dan nak Rian tidak berjodoh." Ucap sang tante. Elena hanya terkekeh.

"Nggak apa-apa tante, aku malah bersyukur, aku terhindar dari petaka di masa depan." Ujarnya enteng seperti tak ada beban, dengan ekor matanya melirik ke arah Rian yang tengah menunduk.

Setelah itu Elena mencium tangan keduanya. Lalu tanpa banyak bicara dia keluar dari rumah itu. Dia tak sedikitpun menoleh pada Rian maupun Nadia, hanya saja Rian terlihat iba saat Elena kerepotan membawa barang-barangnya. Dalam hatinya dia sangat ingin membantu Elena, tapi di sisinya ada Nadia, pasti wanita itu akan ngamuk kalau dia melakukan itu.

"El!" Nadia tiba-tiba memanggilnya. Elena menghentikan langkahnya, lalu berbalik.

"Ntar lo gak usah datan pas nikahan gue dan Rian, takutnya pesta gue malah jadi berantakan." Kata Nadia setengah mengejek. Lagi-lagi Elena terkekeh.

"Kenapa? Lo malu ya, takut ketahuan nikahnya gak modal, malah pake duit gue?"

"Anj- mbppp!" Mulut Nadia langsung dibekap tangan Rian saat ingin mengeluarkan kata-kata binatang.

"Sudah Elena, kamu cepat pergi!" pinta tantenya. Terkadang kepalanya seakan mau pecah saat Elena dan Nadia sudah bertengkar. Tak ada seorangpun yang mau mengalah.

Tanpa disuruh dua kali, Elena pun segera pergi meninggalkan Nadia yang murka dikatain seperti itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!