Hujan menetes malas di luar jendela, mengetuk pelan balkon kamar yang belum lama ditempati Aylin dan Akay. Tirai tipis menari diterpa angin laut, membawa masuk aroma garam dan dingin yang menusuk kulit.
Aylin berdiri di sana, membiarkan embun mengaburkan pandangannya ke kota yang belum sepenuhnya tidur. Jaket tipisnya setengah terbuka, tapi ia tak menggigil—bukan karena udara yang hangat, melainkan karena pikirannya terlalu riuh untuk merasakan dingin.
Di tangannya, sebuah liontin kecil tergenggam erat. Glow in the dark—bercahaya samar dalam remang. Warisan satu-satunya dari kakek yang tak sempat ia kenal dekat, tapi jejaknya selalu terasa… seolah waktu hanya menunda pertemuan, bukan memutuskan ikatan.
Ibu jarinya perlahan mengusap permukaan liontin itu. Tua. Bergores. Tapi bersih. Seperti sesuatu yang terus dijaga… meski tak selalu dipahami.
"Apa kau benar-benar meninggalkan sesuatu untukku, Kek?" batinnya lirih. "Atau cuma nama dan kutukan yang harus kutanggung seumur hidup?"
Ingatan Aylin kembali pada beberapa hari lalu saat ia pulang ke rumah neneknya sebelum pesta pernikahannya.
“Masih sama... bau kayu tua, debu, dan lilin lavender kesukaan Nenek.”
Langkah Aylin menyusuri lorong rumah tua bergaya joglo itu. Setiap derit lantai seperti menyapa dengan kenangan. Rumah ini memang sudah lama ia tinggalkan sejak nenek Ros meninggal. Hanya beberapa pelayan yang merawatnya. Tapi entah kenapa malam ini, beberapa hari sebelum pesta pernikahannya dengan Akay, dia merasa harus datang. Sendirian.
“Harusnya aku bilang ke Akay… tapi dia pasti bakal nyuruh pengawal lagi,” gumamnya pelan.
Dia berhenti di depan pintu kamar neneknya. Tangannya sempat ragu sebelum mendorongnya pelan. Hembusan udara dingin menyambutnya. Tidak ada yang berubah. Rapi, bersih, seakan nenek Ros baru pergi kemarin.
“Kenapa aku malah ke sini?” tanyanya sendiri sambil menyapu pandangan ke sekeliling. Lalu matanya jatuh pada satu titik.
Lukisan tua.
Bingkainya masih sama. Tapi... mata Aylin tertuju pada boneka Semar kecil di bawah lukisan itu. Boneka aneh yang selalu dibersihkan Nenek tiap pagi. Terutama bagian jempolnya.
“Biar dia tetap ngasih restu,” Aylin menirukan nada neneknya sambil tersenyum kecil. “Aneh banget sih, Nek.”
Aylin mendekat. Iseng, dia menempelkan jempolnya ke jempol boneka.
KLIK!
“Apa tuh?” Dia melompat kaget.
Lukisan bergeser. Sebuah celah di dinding terbuka perlahan. Brankas. Tapi… lebih mengejutkan lagi, brankas itu langsung terbuka. Seolah… memang sedang menunggunya.
“Gila... ini kayak film banget.”
Dengan napas tak stabil, Aylin mengintip ke dalam. Hanya ada satu liontin glow in the dark dan selembar catatan lusuh. Ia mengambil keduanya. Tangannya sedikit gemetar saat membuka catatan itu.
"Hanya liontin ini dan darah cucuku yang bisa membuka rahasia yang terpendam—rahasia yang akan mengguncang dunia gelap dan terang."
“Cucuku…? Maksudnya… aku?”
"Aku adalah cucu satu-satunya dari pihak kakek. Nenek selalu bilang begitu."
Aylin mundur setapak. Kepalanya mulai penuh. Dongeng masa kecil menyerbu seperti ombak.
"Aylin, dengarkan nenek. Kakekmu adalah orang yang mengubah jalannya dunia... dia tidak hanya dikenal di dunia terang. Tapi juga di dunia yang gelap, dunia yang tidak pernah kamu tahu..."
Neneknya bercerita tentang kakek yang katanya bisa mengendalikan dunia gelap dan terang. Pria pemberani yang memimpin bayangan dan cahaya. Semua cerita itu… selalu dikira fiksi. Cuma bumbu pengantar tidur.
“Jangan bilang... semua itu nyata, Nek?”
“Jika ini benar... berarti semua yang nenek ceritakan, mungkin adalah kenyataan.”
Pikirannya berputar liar. Nenek Ros tak pernah benar-benar melarangnya ikut balapan liar. Bahkan kadang kasih uang tambahan kalau menang.
Dan pelatihan itu…
Pria-pria tua yang diam-diam melatihnya bela diri, menembak, mengoperasikan senjata…
“Aku tak bisa membiarkanmu terjebak dalam dunia itu. Tapi jika itu yang kamu pilih, aku akan pastikan kamu bisa bertahan di dunia yang berbahaya itu.”
Begitu kata neneknya waktu itu, tanpa rasa takut.
“Aku kira cuma biar bisa jaga diri. Tapi... ternyata...”
Aylin memandang liontin di tangannya. Dunia yang ia kenal selama ini... terasa seperti bohong.
“Kalau semua ini benar… aku siapa?”
Brummm!
Suara mobil terdengar dari luar. Akay. Aylin belum bergerak. Matanya masih terpaku pada liontin di tangannya.
Untuk pertama kalinya… Aylin merasa takut.
Bukan karena balapan, bukan karena kejaran polisi. Tapi karena rahasia besar yang baru saja ia buka—dan mungkin akan mengubah segalanya.
Kembali pada saat ini
Pintu balkon bergeser. Tanpa suara. Tapi Aylin tahu dia datang.
"Belum tidur?" tanya Akay pelan. Suaranya berat, dalam, tapi tidak memaksa.
Aylin tak menoleh. "Kalau aku bilang, aku belum siap jadi istrimu… kamu akan mundur?"
Butuh waktu beberapa detik sebelum Akay menjawab, "Terlambat. Aku sudah jadi suamimu. Mundur bukan pilihan."
Hening.
Aylin menghela napas. "Aku keras kepala. Susah diatur. Dan aku benci lelaki pengkhianat."
"Lucu," Akay mendekat. "Kamu sudah menikahi satu."
"Karena nenekku maksa," gumamnya, menahan getir, mengingat neneknya yang telah berpulang. "Dia menikahkan aku dengan orang yang tak aku kenal sama sekali. Pria bermulut pedas dan otoriter yang menyebalkan."
Akay menyunggingkan senyuman penuh arti. Ia memeluk Aylin dari belakang dan berbisik, "Oh, ya? Tapi sekarang mulutku tidak pedas lagi, tapi cuma sama kamu." Akay mengecup leher Aylin lembut, hangat, tapi membawa getaran hasrat.
Aylin merasa bulu kuduknya meremang. Tapi berusaha bersikap biasa saja. "Kalau kamu cuma kasihan, aku minta jangan pura-pura cinta. Aku tahan hidup sendirian, tapi aku nggak tahan ditinggalin," suara Aylin pecah. "Ayahku ninggalin ibuku demi wanita lain. Dia nggak pernah peduli aku hidup atau mati."
Akay menatapnya lama, lalu bicara pelan.
"Kalau kamu takut aku akan kayak ayahmu, kamu salah orang."
Aylin memalingkan wajah, menahan sisa luka yang menggenang di matanya.
"Ay, aku tahu kamu liar. Pemberontak. Ganas. Tapi kamu juga jujur. Kuat. Dan... istimewa."
"Kata siapa?"
"Kata aku." Senyumnya nyaris tak terlihat. "Dan aku nggak akan pergi."
Aylin tersenyum masam. "Aku sudah membawamu dalam bahaya saat balapan kemarin. Aku tak ingin kau terseret lagi dalam bahaya karena aku."
Akay memutar tubuh Aylin hingga mereka saling berhadapan. "Hidup ini nggak selalu mulus dan lurus. Bahkan jalan tol pun nggak bisa tetap lurus. Meski kau menjauhkan aku karena takut aku terseret bahanya karenamu, aku akan tetap kembali ke sisimu. Aku tak akan meninggalkan kamu seperti ayahmu. Percayalah, aku akan tetap disampingmu... apapun yang terjadi. Hidup dan mati."
Aylin terdiam. Ia menatap Akay dalam seolah mencari kebohongan di sana. Tapi ia tak menemukannya. Hanya ada cinta dan ketulusan di sana.
Dalam hati ia bergumam, "Apa aku harus menceritakan tentang liontin ini pada Akay?"
Akay menarik Aylin ke dalam pelukannya seolah tak tahan lagi melihat jarak di antara mereka. Tanpa peringatan, ia mengangkat dagu Aylin, menatap dalam mata yang selalu membuatnya gila.
“Kamu bikin aku kehilangan kendali,” desisnya.
Belum sempat Aylin berkata apa-apa, bibir Akay sudah membungkamnya. Bukan sekadar ciuman, tapi ledakan—seperti sumbu yang akhirnya terbakar setelah terlalu lama dibiarkan kering.
Tangan mereka saling mencengkeram, menarik satu sama lain lebih dekat, lebih dalam. Tidak ada ruang tersisa, hanya desir napas dan suara rintih kecil yang lepas dari sela keintiman.
Ciuman itu bukan karena nafsu. Tapi karena butuh. Butuh diyakinkan, butuh dimiliki, butuh dipercaya.
Dan di balik sentuhan bibir itu, ada janji yang tak terucap: Aku di sini, untuk kamu.
Dan saat Aylin memejamkan mata, ia tahu… ia sudah jatuh terlalu dalam. Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya, ia tak ingin diselamatkan.
Mereka bukan lagi dua orang asing yang disatukan perjanjian. Di detik itu, mereka adalah dua jiwa yang saling mencari—dan akhirnya menemukan.
Kilat menyambar di kejauhan, namun tak bisa mengalihkan perhatian dua insan yang saling menyecap keindahan dalam hubungan intens mereka.
Di dalam kamar, ponsel Akay bergetar. Sebuah pesan masuk—tanpa nama.
“Liontin glow in the dark adalah kuncinya. Jangan biarkan mereka tahu lebih dulu.”
...🔸🔸🔸...
..."Bukan perjanjian yang menyatukan, tapi kerinduan yang tak pernah bisa dijelaskan."...
..."Saat dua jiwa saling mencari, pintu neraka pun akan dilewati."...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Aylin memeluk lututnya di atas ranjang, membiarkan keheningan malam menelan semua suara, kecuali detak jantungnya sendiri. Pikirannya melayang ke liontin yang ia temukan di brankas tersembunyi di kamar neneknya.
"Kenapa brankas itu bisa terbuka pakai sidik jariku?" pikir Aylin.
"Apa itu berarti kakek memang sudah merencanakan semuanya dari awal?"
Liontin itu berbentuk bintang. Di dalamnya, sebuah bola kaca kecil berkilau dengan efek glow in the dark—seperti galaksi mini yang perlahan berputar, menyimpan semesta dalam senyap.
Dengan hati-hati, Aylin membuka laci nakas yang terkunci. Ia menarik keluar sepotong kain bludru, dan membukanya perlahan. Liontin itu kini kembali berada dalam genggamannya—dingin, seolah menyerap semua kehangatan dari tangannya.
"Apa aku harus kasih tahu Akay?" bisiknya pelan.
Namun ingatannya datang seperti hantaman—Akay yang berdiri di antara bahaya dan dirinya, menahan luka demi membuatnya selamat. Luka itu memang tak merenggut nyawa Akay, tapi cukup untuk mengoyak tenangnya.
"Gimana bisa aku seret dia lagi ke dalam semua ini? Lelaki yang aku cintai, yang bahkan tanpa ragu berdiri di antara aku dan bahaya, meski dia nggak tahu apa-apa..."
Aylin menatap liontin itu lama. Jari-jarinya mengusap permukaannya yang halus, hampir ragu untuk melepaskannya.
"Aku tahu dia bisa bantu. Akay selalu tahu harus apa, selalu ada saat aku butuh, bahkan saat aku sendiri nggak yakin."
"Tapi justru itu yang bikin semuanya makin berat."
"Kalau semua ini beneran soal dunia terang dan gelap... aku nggak bisa egois. Nggak bisa narik dia ke dalam bahaya yang belum tentu bisa kami keluarin bareng," gumamnya, suaranya pelan, seperti tercekat oleh rasa bersalah yang tumbuh makin tajam.
Ia menutup liontin itu dalam kotak kecil, lalu menguncinya kembali di dalam laci. Tapi hatinya tetap tak tenang. Ada sesuatu yang terasa salah. Seperti bahaya sedang mendekat—dan waktu mereka nyaris habis.
Matanya kembali melirik ke arah laci. Tangannya menggenggam kunci kecil dengan erat, jemarinya gemetar.
"Aku nggak bisa terus kayak gini," desisnya pelan, tapi penuh tekad.
"Cepat atau lambat, liontin ini pasti akan menarik perhatian mereka… atau mungkin, mereka sudah mulai mencarinya sekarang. Kalau mereka datang ke sini…”
Ia bangkit berdiri. Napasnya mulai teratur, meski hatinya tetap waspada. Pandangannya menajam, tidak lagi sekadar cemas—tapi penuh perhitungan.
“Kalau aku bisa bikin duplikatnya... setidaknya bisa bikin mereka salah langkah. Itu bisa ngasih aku waktu—waktu buat bersiap, bukan cuma bersembunyi.”
Wajahnya menegang, tapi matanya menyala dengan tekad. Ia tahu persis tempat neneknya dulu memesan perhiasan. Bengkel kecil, terpencil, dan hanya dikenal oleh sedikit orang.
"Mungkin... dia masih ada di sana."
Dengan cepat, Aylin mengambil liontin itu dari dalam laci dan memasukkannya ke dalam saku jaket.
Namun langkahnya terhenti ketika sudah berada di depan pintu apartemen.
Tiba-tiba, firasatnya menegang. Ada yang mengganggu pikirannya—seperti helai benang yang tersangkut di sudut memori.
"Kalau liontin ini menyimpan rahasia besar… dan seseorang melihatnya…"
"Bukankah itu berarti jejakku bisa mulai ditelusuri dari sekarang?"
Ia menatap liontin kecil di telapak tangannya. Cahaya redup dari galaksi di dalamnya terasa begitu memikat—dan berbahaya.
"Barang sekecil ini… bisa saja mengundang bencana."
"Aku nggak bisa pergi dengan wajah asli," gumamnya.
Tanpa pikir panjang, Aylin membuka kembali pintu apartemennya dan melangkah cepat ke dalam. Langkahnya tergesa, nyaris terantuk kaki meja. Ia merunduk ke bawah tempat tidur dan menarik keluar koper besar yang sudah berdebu.
"Koper ini… terakhir kupakai waktu Halloween tahun lalu. Aku tak pernah menyangka akan menggunakannya untuk alasan seputus asa ini."
Ia mengangkat tutup koper dan menghela napas pendek.
"Bukan untuk pesta. Bukan untuk cosplay. Tapi untuk bertahan hidup."
Tangannya bergerak cepat. Foundation tebal ditepuk-tepuk ke wajah, menutupi kulit pucatnya. Kontur gelap ditarik tajam di sepanjang tulang pipi dan sisi hidung.
"Sedikit lebih mancung. Lebih tajam. Lebih asing."
Ia menempelkan tompel palsu di bawah mata kanan.
"Terlalu mencolok? Tidak. Justru itu yang kubutuhkan. Sesuatu yang orang ingat… tapi bukan wajahku yang sebenarnya."
Kacamata bundar menyusul, lensa anti-refleksi membuat matanya nyaris tak terlihat. Lalu silicon kecil ia selipkan di sisi pinggul dan dadanya.
"Hanya sedikit perubahan siluet, cukup untuk mengaburkan bayangan tubuhku yang dikenali."
Ia menatap cermin. Wajah asing menatap balik ke arahnya.
"Bukan Aylin. Dan itu bagus. Itu yang kuinginkan."
Dengan cepat, ia menyambar hoodie besar, menariknya menutupi tubuh. Rambut panjangnya ia kepang cepat, lalu disembunyikan di balik wig pendek berwarna cokelat kusam.
"Tak ada yang akan mencari gadis berambut pendek dan tompel besar, bukan?"
Sebelum melangkah keluar, Aylin membuka kantong dalam hoodie dan memasukkan liontin bintangnya ke dalam. Ia memeluknya sejenak, erat.
"Aku tak bisa kehilangan ini. Apa pun yang terjadi…"
Ia menarik napas panjang. Satu tarikan, dua tarikan. Baru ia melangkah keluar dari apartemen, menyatu dalam keramaian kota—bukan sebagai Aylin, tapi sebagai seseorang yang tak akan diingat siapa pun.
"Kalau benar liontin ini adalah kunci… maka hari ini, perburuan sudah dimulai."
***
Toko itu terlihat sepi dari luar—hampir seperti bangunan tua yang ditelan waktu.
“Masih buka nggak, sih tempat kayak gini?” Aylin membatin, matanya menatap plang kayu yang nyaris pudar di atas pintu. Tulisan "Kurosawa & Sons" masih terbaca samar, meski catnya mengelupas.
Ia menarik napas, lalu mendorong pintu kaca yang berderit pelan. Aroma logam, kayu tua, dan sesuatu yang tak bisa ia kenali langsung menyergap hidungnya.
“Kayak masuk ke bengkel waktu—semua di sini terasa berhenti.”
Di balik meja kerja yang penuh alat ukir dan kaca pembesar, seorang pria tua dengan rambut putih dan mata sipit jernih menoleh perlahan. Tangannya berhenti bergerak, dan tatapannya tertuju padanya… tidak asing, tapi bukan karena mereka pernah bertemu.
“Dia… menatapku seperti dia tahu sesuatu. Atau… seseorang?”
"Ada yang bisa aku bantu, Nona?"
Aylin mengeluarkan liontin bintang dari saku hoodienya dan membukanya pelan di atas kain bludru kecil. Galaksi kecil di dalamnya berpendar lembut, memantulkan cahaya redup lampu meja kerja.
Pria tua itu menajamkan pandangannya. Tangan yang tadinya stabil kini sedikit gemetar. Ia mendekat, menunduk, lalu menarik kacamatanya ke ujung hidung.
"Astaga..." gumamnya lirih. "Ini..."
Aylin memerhatikannya dengan penuh tanya. "Anda mengenal liontin ini?"
Pria itu mengangguk pelan. "Ini... buatan ayahku. Aku masih kecil waktu beliau menyelesaikan benda ini. Hanya ada satu... satu-satunya. Kami menyebutnya Stellarium. Dan aku tak pernah melihatnya lagi sejak—"
Ia menghentikan ucapannya, napasnya sedikit tercekat. Aylin tetap diam, membiarkan pria tua itu mencerna perasaannya sendiri.
"Saya ingin membuat duplikatnya," ujar Aylin akhirnya. "Bisa?"
Pria tua itu duduk perlahan, mengangguk pelan meski matanya masih terpaku pada liontin itu.
"Aku tidak bisa menjanjikan duplikat sempurna... tapi aku punya buku catatan ayahku. Semua pola ukiran, formula resin bercahaya... bahkan teknik pendinginan logam yang ia pakai untuk membuat efek seperti ini."
Aylin menarik napas lega, walau hatinya tetap gelisah. “Kalau begitu… bisakah Anda membuatnya sebanyak mungkin? Sebanyak yang Anda bisa.”
Pria tua itu menatap Aylin dalam-dalam, seolah ingin bertanya lebih dari sekadar alasan. Tapi ia tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk lagi, kali ini dengan penuh tekad.
"Akan butuh waktu. Beberapa hari, mungkin lebih. Tapi aku akan coba... demi karya ayahku, dan demi sesuatu yang terasa jauh lebih besar dari sekadar perhiasan."
Aylin menatap liontin itu sekali lagi sebelum menyerahkannya sepenuhnya.
"Jaga baik-baik. Dan… jangan beri tahu siapa pun kalau Anda sedang membuat duplikatnya."
“Sudah tentu tidak,” jawab si pria dengan senyum tipis. “Beberapa rahasia memang lebih aman jika disimpan dalam logam dan cahaya.”
Aylin keluar dari toko dengan napas berat, namun langkahnya mantap. Di baliknya, kilau kecil di meja kerja mulai direkam kembali oleh masa lalu.
Dan di depan Aylin—masa depan yang belum tahu apakah ia sedang mengejar kebenaran... atau memancing bahaya yang jauh lebih besar.
***
Di sebuah ruangan temaram, layar laptop memantulkan cahaya pucat ke wajah seorang pria tua.
Ia menatap foto Aylin dalam diam. Jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja, seolah sedang menghitung waktu.
"Dia... benar-benar mirip," gumamnya.
Lalu suaranya merendah, penuh beban.
"Apa dia memiliki kunci itu?"
Seseorang di balik bayangan menjawab pelan, hampir tak terdengar.
"Hanya dia satu-satunya keturunan Wardhana."
...🔸🔸🔸...
...Kadang, menyembunyikan kebenaran… adalah satu-satunya cara melindungi orang yang paling kau cintai....
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Kamar Aylin – Siang Hari
Aylin membuka koper hitam dari kolong ranjang. Ia menatap isinya sejenak—semua perlengkapan penyamaran tertata rapi, seolah menunggu dipakai lagi.
“Aku harus melakukan penyamaran ini lagi.”
Ia mengeluarkan wig cokelat kusam, tompel silikon, prostetik untuk tubuh, dan sepasang kacamata bundar.
Tangannya menyentuh dan menggeser layar ponselnya, hingga berhenti pada satu foto.
Ia menatapnya sejenak.
“Penyamaran pertama ke bengkel tua itu... aku harus menyamar seperti ini lagi.”
Ia duduk di depan cermin. Kontur wajah lebih dulu, lalu tompel, prostetik tubuh, dan wig. Terakhir, kacamata bundar.
“Tak boleh ada yang berubah. Bahkan letak tompelnya.”
Setelah semuanya terpasang, ia menatap pantulan di cermin.
“Kau masih hidup, rupanya.”
“Dan hari ini... kau harus mengambil barang yang sudah kau pesan.”
Ia kembali menatap foto di ponselnya, lalu menengok ke cermin, memastikan wajah di layar dan pantulan dirinya identik.
“Tak ada ruang untuk kesalahan.”
Kurosawa & Sons — Bengkel Perhiasan
Suara derit terdengar saat Aylin mendorong pintu kaca tua yang berat.
Pria tua itu muncul dari balik tirai, masih mengenakan celemek lusuh, kaca pembesar menggantung di lehernya.
“Kau datang lebih cepat dari jadwal.”
“Saya tidak bisa meninggalkannya lebih lama di luar,” balas Aylin cepat, menunduk sedikit. “Sudah selesai?”
Tanpa menjawab, pria tua itu memberi isyarat agar Aylin mengikutinya ke ruang belakang bengkel. Ruangan itu hangat, beraroma khas logam terbakar dan minyak mesin.
Di atas meja kayu tua, sebuah kotak hitam terbuka. Di dalamnya, delapan liontin bintang dengan bola kaca glow in the dark di tengahnya berpendar lembut seperti galaksi mini—nyaris tak bisa dibedakan mana yang asli, mana yang salinan.
“Delapan duplikat,” ucapnya perlahan. “Yang asli kupisahkan.”
Ia membuka kain bludru di tangannya dan memperlihatkan liontin asli sebelum menyerahkannya pada Aylin.
Aylin menerimanya dengan hati-hati dan segera menyimpannya. Lalu, dari dalam ransel, ia mengeluarkan pouch hitam dan mulai memindahkan liontin-liontin duplikat satu per satu ke dalamnya.
“Delapan cukup,” gumamnya. “Kalau ada yang mengejar, mereka akan bingung sendiri. Mana yang asli, mana umpan.”
Pria tua itu menatapnya lekat. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, dan akhirnya terucap.
“Kau tahu... liontin itu bukan cuma indah. Ia menyimpan sesuatu.”
Aylin berhenti.
“Apa maksud Anda?”
“Dalam catatan ayahku, liontin itu berisi peta. Tapi bukan peta biasa. Peta yang hanya bisa dilihat... dengan cara tertentu.”
Aylin terkejut dan spontan mendekat. “Anda tahu caranya?”
Pria itu menggeleng pelan. “Aku sudah mencoba air, air hujan... bahkan embun pagi. Tak ada yang bereaksi. Tapi aku yakin, sangat yakin, peta itu ada. Ayahku bilang, liontin ini dibuat untuk seseorang yang pernah menyelamatkan nyawanya. Seseorang yang sangat spesial.”
Aylin menegang. “Dan Anda pikir... aku salah satu keturunannya?”
Tatapan pria itu menusuk, dalam dan penuh keyakinan. “Sinar liontin itu berpendar lebih terang saat berada di tanganmu. Ayahku bilang, reaksi itu hanya muncul pada pria itu... atau darah dagingnya.”
Ia diam sejenak, sebelum menambahkan dengan suara lebih rendah, nyaris seperti rahasia.
“Tapi jika liontin itu terkena darah yang salah... bukan darah keturunan sejatinya, maka ia akan membakar dirinya sendiri. Itu adalah bentuk pertahanan terakhirnya.”
Aylin tak menjawab. Tapi matanya menatap tempatnya menyimpan liontin itu seolah menatap rahasia yang terlalu lama terkunci.
“Dunia luar hanya tahu bahwa peta itu akan terlihat jika diteteskan darah. Tapi tak ada yang tahu, darah itu harus berasal dari pemiliknya… atau keturunannya. Aku sendiri baru mengetahuinya setelah membaca catatan ayahku lebih dalam.”
Ia menarik napas pelan sebelum melanjutkan. “Karena itu, aku membuat duplikatnya—lengkap dengan peta palsu. Entah akan berguna atau tidak, tapi jika seseorang mengejar liontin itu karena petanya, mereka akan kebingungan. Mereka harus menebak-nebak mana yang asli, mana yang hanya umpan.”
“Aku melakukan semua ini karena pemilik liontin itu pernah menyelamatkan nyawa ayahku. Itu bukan jasa kecil. Dan aku percaya, kau… adalah bagian dari darah orang itu.”
Diam sejenak.
“Aku tidak tahu isi peta aslinya. Tapi ayahku percaya, jika saatnya tiba, keturunannya akan tahu cara membacanya.”
Pria tua itu mendengus pelan, seolah menahan sebuah rahasia besar.
“Ayahku bekerja sama dengan seorang ilmuwan terkenal pada masanya untuk menciptakan peta dalam liontin itu. Mereka menggabungkan seni dan teknologi untuk menyembunyikan sesuatu yang sangat berharga. Namun, ayahku tidak menulis apapun tentang bagaimana cara melihat peta itu.”
Aylin mengerutkan kening, merasa ada yang tidak beres. “Lalu, bagaimana saya bisa melihatnya?”
Pria tua itu menatap Aylin dengan serius, matanya yang sudah keriput seolah mengandung berjuta cerita.
“Sayangnya, ilmuwan itu sudah meninggal sebelum ayahku bisa membocorkan rahasia itu. Yang aku tahu, dia meninggalkan beberapa catatan atau petunjuk tentang cara membuka peta, tapi aku belum menemukannya. Kamu... kamu keturunan orang yang dulu memiliki liontin ini, jadi aku yakin ada sesuatu yang bisa mengungkap rahasia itu. Mungkin catatan atau clue yang ilmuwan itu tinggalkan. Mungkin juga reaksi liontin itu hanya bisa terlihat olehmu.”
Aylin merasakan ketegangan dalam dada, ada sesuatu yang besar yang sedang menunggu di balik semua ini. “Jadi, saya harus mencari catatan atau petunjuk itu?”
Pria tua itu mengangguk, tatapannya penuh harap. “Mungkin... hanya itu jalan satu-satunya. Aku percaya kamu bisa menemukan apa yang hilang, jika kamu tahu ke mana harus mencari.”
Aylin mengunci pouch hitam, lalu menatap pria tua itu untuk terakhir kali.
“Terima kasih banyak. Saya akan transfer sisanya malam ini. Jaga diri Anda. Jangan terima siapa pun selain keluarga dekat Anda.”
Pria itu mengangguk pelan. “Aku tahu. Dunia ini tak seaman dulu.”
Aylin mengangguk tipis, lalu pergi, meninggalkan ruangan itu hanya dengan suara detak jam dinding dan cahaya lembut dari liontin yang terus berpendar—seperti bintang yang menyimpan rahasia semesta.
***
Malam telah menelan langit. Hanya cahaya temaram dari lampu meja yang menyisakan kehidupan di kamar. Aylin duduk diam di ranjang, membiarkan detak jarum jam dan deru lembut angin dari luar jendela menjadi satu-satunya yang menemaninya.
Pikirannya kembali pada perkataan pria tua pemilik bengkel perhiasan:
"Dengan air, dengan embun, dengan air hujan—semuanya tak bisa memunculkan peta di liontin itu. Bahkan darah yang salah bisa membakarnya."
Aylin menarik napas pelan.
"Apa itu artinya hanya darah keturunan sejati yang bisa membuat peta itu terlihat?"
Ia membuka pouch hitam dengan hati-hati, seperti seorang arkeolog yang hendak membangkitkan rahasia zaman kuno. Liontin itu tergeletak di telapak tangannya—hangat dan berpendar lembut, seolah mengenal siapa yang memegangnya.
Aylin menatapnya lama.
"Kalau memang ini benar... kalau aku benar keturunannya... kenapa rasanya seperti mimpi yang terlalu jauh?"
Tangannya gemetar sedikit. Ia menatap jari telunjuknya, lalu membuka laci meja dan mengambil peniti kecil dari dalam dompet P3K. Ia menghela napas panjang.
"Kalau aku salah, aku bisa membakarnya. Tapi kalau aku benar... maka ini awalnya."
Tusukan kecil. Nyeri singkat. Setetes darah muncul, merah dan hangat di ujung jarinya. Ia menahannya di atas liontin.
Detik itu juga, cahaya liontin membesar. Pendar putih kebiruan menari di permukaannya, seperti nyala api yang tidak membakar.
Aylin menahan napas.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!