Bandara Soekarno—Hatta
Lelaki berperawakan tinggi, dengan ukiran wajah sempurna. Hidung mancung, alis tebal, iris mata berwarna biru, bulu mata yang cukup panjang, serta bibir yang tidak tebal namun tidak terlalu tipis, seolah bibir itu sengaja diciptakan begitu pas dan membuat paras semakin terlihat sempurna.
Sambil menggeret koper, langkahnya santai namun tegap menuju pintu keluar bandara. Ia tidak sendirian, ada wanita berkepala tiga berjalan beriringan dengannya.
"Kate," panggilnya kepada wanita berambut pirang yang berada disampingnya.
"What's wrong my boy?"
Ia memutar bola matanya malas mendengar balasan Katherine.
"Nothing." Balasnya tanpa ekspresi, kemudian Ia mendengus, tidak menyangka jika Jakarta akan sepanas ini. Sungguh di luar dugaannya.
Ia dan Kate masuk ke dalam mobil layanan antar jemput bandara. Membiarkan para asisten mengurusi barang bawaan mereka.
"Martin," panggil Kate setelah memposisikan dirinya senyaman mungkin di dalam mobil.
"Hmm?" Sahutnya malas.
"Martinez," panggil Kate ulang.
Sang pemilik nama menoleh ke samping, menatap wanita itu tajam. "Just tell me what you're gonna say!"
Perintahnya tak ingin berbasa-basi lebih lanjut.
"Tomorrow's your first day of school," ujar Kate memberi tahu.
Hanya helaan napas sebagai jawaban yang di berikan kepada Kate. Penerbangan selama dua puluh lima jam dengan satu kali transit di Dubai membuat badannya terasa pegal-pegal. Meskipun menggunakan kelas bisnis, tetap saja, kasur adalah tempat ternyaman yang pernah ada.
Satu jam telah berlalu, kondisi jalanan ibu kota hari ini ramai lancar. Kerongkongannya terasa kering, pendingin udara di mobil saja tidak cukup menyejukkan dirinya.
"Can we stop at the supermarket? I feel thirsty," pintanya.
"Yes." Jawab sopir tersebut patuh. Tidak sampai lima menit, sang sopir memberhentikan mobil di depan supermarket.
Membiarkan Kate tertidur pulas di dalam mobil, Ia pergi keluar dari mobil dan masuk ke dalam supermarket. Tujuan utamanya ialah membeli minuman dingin. Jika Jakarta memang sepanas ini setiap hari, sepertinya ini akan menjadi musim panas terpanjang dalam hidupnya. Setidaknya Ia harus tahan selama tiga tahun dengan cuaca panas seperti ini.
"I want to go back to Manhattan," gumamnya pasrah setelah mengambil minuman soda dari kulkas dengan jumlah yang cukup banyak.
Setelah mengambilnya, Ia bergegas menuju kasir untuk melakukan pembayaran. Sepertinya semesta tidak membiarkannya melepas dahaga begitu cepat, Ia harus menahan malu saat seorang gadis tidak sengaja menginjak tali sepatunya yang tidak terikat.
Meskipun tidak terjatuh, lututnya hampir saja menyentuh lantai kalau saja gadis yang barusan menginjak tali sepatunya tidak menahan dirinya agar tidak terjatuh.
"Maaf mas! Gak sengaja! Sumpah! Suer!"
Gadis itu begitu heboh, saking kencangnya, mereka berdua menjadi pusat perhatian di supermarket tersebut.
Sadar jika menjadi perhatian, lelaki itu segera menjauhkan dirinya dari gadis tersebut.
Hanya decakan yang menjadi respon permintaan maaf si gadis yang masih menggunakan seragam sekolah bername tag 'Sheril Patricia Eudora'.
Sheril hanya melongo melihat kepergian lelaki tersebut tanpa mengatakan apa-apa. Tapi setidaknya bisakah lelaki itu mengatakan 'tidak apa-apa' atau hal semacamnya?
Dari semua hal yang di bencinya, Sheril sangat membenci orang jutek. Sheril menghentak-hentakkan kakinya kesal, tatapan tajamnya tak lepas mengawasi lelaki berperawakan tinggi khas bule yang sedang membayar minuman soda kaleng.
"IH JUTEK BANGET SIH! GUE SUMPAHIN LO BAKAL KESEMSEM SAMA PESONA GUE! GUE SUMPAHIN LO BAKAL JATUH CINTA SAMA GUE! GUE SUMPAHIN—hmpft!"
Rayhan, segera menutup mulut Sheril sekencang mungkin. Sungguh kejadian yang memalukan temannya sedang berteriak seperti orang gila di tempat umum seperti ini. Sebenarnya Rayhan ingin langsung kabur dan pura-pura tidak mengenal Sheril, tapi Ia masih mempunyai rasa simpati untuk menyelamatkan harga diri Sheril.
"Berisik gila! Ayo cabut! Belum pernah ngerasain nama lo di coret dari Kartu Keluarga ya?" Bisiknya tajam.
Sheril tetap mengomel tidak jelas, namun suaranya tertahan karena Rayhan begitu kencang menutup mulutnya.
Mereka berdua tidak tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya. Lukisan takdir tentang pertemuan mereka mulai tergores, tidak ada yang tahu apakah goresan tersebut akan menciptakan hasil yang indah atau sebaliknya.
Ada dinding pembatas tak kasat mata diantara mereka yang tak akan bisa di lewati batas oleh keduanya. Satu hal pasti, mereka berdua menikmati setiap detik yang ada.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Apakah semesta akan mendukung mereka berdua untuk bersatu?
Atau sebaliknya? Semesta akan menghancurkan kedua perasaan dengan segala skenario yang akan mereka jalani.
LIST YANG HARUS DI BAWA :
• Susu ngantuk
• Oli
• Santan sapi murni
• Teletubbies mencari keringat
• Usus merdeka
• Dewi Sri Berjemur
• Batu banda Belanda
• Buah upacara
"*****, banyak amat sih bawaannya." Sheril mengeluh membaca kertas kecil yang sedang di pegangnya saat ini. Padahal ia baru membaca 8 dari 15 barang yang harus di bawa saat hari pertama Masa Orientasi Siswa.
"Mamskii," panggil Sheril manja sambil menyusuli Dewi--ibunya yang sedang bersantai sambil menonton televisi.
Sheril adalah tipikal anak yang sangat sayang dan dekat dengan ibunya, toh ia juga menyandang status sebagai anak tunggal di keluarganya.
"Hari pertama MOS aku bolos aja kali ya, ribet banget lagian barang bawaannya!" Rengek Sheril, tangannya terulur memberikan secarik kertas tersebut kepada sang ibu.
Dewi membaca setiap kata dengan saksama. Menurutnya, barang bawaan MOS yang ada di dalam daftar ini sangat mudah di temukan. Tidak ada yang perlu di repotkan, tapi ya emang dasarnya Sheril yang terkadang suka mengeluh duluan tanpa selesai mengerjakannya.
Suatu kebiasaan yang buruk, jangan di ikuti ya kawan-kawan.
"Ribet dari Hongkong. Gampang begini barang bawaannya inimah. Samperin Rayhan gih, ajak dia cari barang buat di bawa MOS bareng biar kamu gak bego-bego amat." Dewi memberikan saran kepada sang anak.
Mendengar kalimat 'biar kamu gak bego-bego amat' membuat Sheril mengercutkan bibirnya. Tapi saran ibunya memang sangat benar, lagipula supaya Sheril tidak keteteran sendiri.
Rayhan, adalah sahabatnya, ia dan Rayhan sudah saling mengenal sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak, rumah mereka pun hanya di pisahkan oleh dua rumah saja membuatnya mereka sering berangkat atau pulang sekolah bersama ataupun melakukan hal lainnya.
"Ya udah, aku ke rumah Rey aja deh, biar gampang." Ujar Sheril kemudian berdiri di depan ibunya dan melakukan high five khas mereka layaknya anak remaja yang sedang bersahabatan.
"Assalamualaikum!"
🌞🌞🌞
Hingga hari yang paling tidak di tunggu-tunggu oleh Sheril akhirnya tiba, hari pertama masuk sekolah di SMA Harapan Bangsa.
Jujur, Sheril sangat tidak suka mengikuti kegiatan Masa Orientasi Siswa seperti ini. Akan menjadi lebih menyebalkan jika ia mendapatkan perintah-perintah aneh dari kakak-kakak OSIS.
Sheril yang berjalan tepat di belakang Rayhan, menarik seragam putih itu sedikit, membuat lelaki itu menoleh bingung sebab mereka belum masuk ke dalam area sekolah.
"Balik aja yu, gue gak minat banget, sumpah, ikut acara beginian," rengek Sheril.
Rayhan terkekeh geli melihat tingkah laku Sheril. "Ya elah lo, kayak bocah kemaren sore tau gak? Timbang MOS tiga hari doang susah amat,"
"Ih lo mah," Sheril merengek, lagi.
Rayhan menarik tangan Sheril, lebih tepatnya ia menyeretnya. "Gak usah banyak bacot, cepetan, tar kena hukuman lagi."
Sheril mendengus, tapi kakinya tetap mengikuti kemana langkah Rayhan membawanya. Cowok itu tinggi, kulitnya berwarna sawo matang, suka memakai kacamata saat sedang belajar atau mengendarai kendaraan dan kadang bertingkah laku gemulai.
Sudah terhitung bebeerapa kali Sheril memberi hadiah ulang tahun Rayhan sebuah boneka. Momentum yang langka.
"Sheril!"
Yang merasa di panggil menghentikan langkah, menarik tangannya yang di pegang oleh Rayhan.
Dari ujung sana, Gara berlari kecil menghampiri Sheril.
"We need to talk," ujar Gara to the point.
Gadis itu menoleh kepada Rayhan, "duluan gih, tar gue susul,"
Rayhan melirik Sheril dan Gara secara bergantian, merasa tahu diri, Rayhan mengangguk lalu pergi meninggalkan mereka.
Sheril tersenyum miring, melipat kedua tangannya menatap Gara. "Tumben banget lo manggil gue, ada gerangan apa?" Tanyanya sok formal.
"Lo tau Adena masuk SMA Harapan Bangsa?"
Sheril mengangguk, ia kenal dengan Adena namun tidak terlalu dekat dengannya. Sheril, Adena, Gara, Andre dan Rayhan berasal dari satu SMP yang sama.
"Gue bisa minta tolong sama lo?" Tanya Gara setengah ragu, pasalnya ia juga tidak dekat dengan Sheril.
"Seorang Gara minta tolong? Gak salah lo?" Tanya balik Sheril dengan nada merendahkan.
Tapi melihat sorot mata Gara yang sangat serius membuat hati Sheril tergerak untuk menolong Gara, apapun yang bisa dilakukan untuk membantu cowok itu.
Sebelum Gara menjawab, Sheril segera berkata, "Okuurrt! Jadi, apa yang bisa gue bantu?"
Gara mengernyit, tidak mengerti apa maksud kata 'okuurrrt' yang Sheril katakan.
Seakan Sheril mengerti apa yang tengah di benak Gara, Sheril segera menjelaskan. "Okurt itu slang atau bahasa gaulnya Amerika. Artinya setuju tapi kayak setengah hati gitu loh, semacam pasrah lah."
Gara mengangguk mengerti mendengar penjelasan Sheril. Gadis itu memang pintar, tak jarang juga ia menduduki peringkat lima keatas dalam rangking ujian seangkatan. Tapi tingkahnya kadang absurd, seperti orang pintar yang menjelma menjadi orang bodoh. Jadi, ia tidak pernah di cap sombong sama sekali.
"Oke, back to topic. Gue minta tolong sama lo buat jadi temen deket Adena, jagain dia. Adena ngalamin amnesia, jadi sekarang gue gak bisa sedekat dulu lagi sama dia. Bisa tolong jagain dia?" Pinta Gara dengan nada tegas.
Sheril bergumam, berpura-pura sedang berpikir. "Imbalannya? Lo tau kan kalau di dunia ini gak ada yang gratis termasuk cinta,"
"Imbalannya, anything you want. Lo mau hp baru, atau lo butuh bantuan gue dalam hal lain, apapun itu lo bisa minta ke gue kecuali cinta. Gue tau lo gak bego, jadi gue harap kita bisa ngelakuin simbiosis mutualisme." Jelas Gara secara rinci.
Tidak banyak yang tahu jika Gara anak dari pejabat, sekaligus pemilik tambang, pemilik stasiun televisi, dan investor ternama itu. Bahkan Wijaya-ayah Gara meminta sekolah agar tidak mengumbar kehidupan pribadi Gara di sekolah.
"Hp? Serasa lo udah sekaya Kylie Jenner aja," Sheril tertawa ringan, gadis itu tidak mengetahui kehidupan personal Gara.
"Segitu cintanya kah lo sama Adena? Hmm, she is a lucky girl. Gue emang bersedia jadi teman dekat Adena dan gue gak ngerasa keberatan sama sekali, jadi gue gak mau di cap sebagai teman yang ada maunya doang..
Gue tulus mau berteman dekat sama dia, kita anggap aja ini suatu kebetulan karena lo minta hak itu sama gue, jadi gue rasa lo bisa percayain Adena ke gue. Tenang aja, gue gak bakal minta yang aneh-aneh sama lo. Tapi seandainya ada sesuatu genting gue bisa minta bantuan lo kan anytime?"
Sheril memang terkenal ramah dan begitu friendly dengan siapapun. Meskipun Sheril terkadang bawelnya tidak ketulungan, ia adalah gadis yang pintar dan bisa di andalkan. Membuat banyak orang begitu enjoy bertemanan dengannya.
"Yes, anytime. Thank's Sher."
🌞🌞🌞
Upacara pembukaan berlangsung selama empat puluh lima menit, tapi sungguh, bagi Sheril ini berlangsung sangat lama. Bahkan tadi Sheril lihat sudah ada dua orang siswi yang jatuh pingsan. Ayolah, di saat seperti ini Sheril ingin sekali pingsan.
'apa gue pura-pura sakit aja ya?'
Meskipun ia pura-pura sakit tapi wajahnya tetap segar, tidak akan bisa membohongi tim PMR. Sheril menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Aish, pingsan kek elah gue, emak gue ngidam apaan sih ampe anaknya masih seger buger begini meski udah berdiri lama di bawah matahari,"
Matahari pagi begitu terik, seakan semesta semakin mendukung membuat Sheril tersiksa. Ia merasa haus, kepanasan, bete dan bosan. Sial!
Saat barisan peserta upacara di bubarkan, Sheril segera berlari ke pinggir lapangan tepat di bawah pohon. Sheril duduk bersandar di bangku yang terbuat dari bata dan semen, lalu meluruskan kedua kakinya, tidak peduli jika seragamnya akan kotor karena Sheril duduk di lapangan.
Seorang lelaki datang dan duduk di bangku yang sedang Sheril sandari. Lelaki itu menenggak air mineral yang menjadi terlihat berkali-kali lipat menyegarkan di mata Sheril. Salahnya juga tidak pergi ke tempat dimana tasnya di simpan.
Sudah tak tahan karena godaan air mineral tersebut, setelah cowok itu meminumnya, Sheril langsung merebut botol itu secepat kilat lalu menenggaknya hingga tandas. Masa bodoh jika botol bekas mulut lelaki itu, yang penting sekarang adalah meredakan rasa hausnya. Toh nanti juga pasti lelaki ini akan menjadi temannya selama tiga tahun kedepan.
Lelaki itu melongo melihat kelakuan Sheril yang kurang ajar seperti itu.
Setelah merasa sudah tidak haus bahkan sampai Sheril bersendawa kecil, akhirnya ia mendongakkan kepala dan menatap siapa cowok yang telah ia rebut minumannya.
Mulutnya sudah menganga, hendak mengatakan maaf dan berterima kasih. Tapi ucapan itu malah tertahan di ujung lidahnya, Sheril terpaku dengan sosok yang ada di hadapannya saat ini.
Lelaki berdarah Amerika, tidak ada darah Asia sedikitpun. Ia begitu tampan, persis seperti cowok-cowok bule yang Sheril follow akun sosial medianya.
Sheril segera menampar dirinya sendiri, berusaha mengembalikan fokus dan tujuan awalnya. Lelaki itu masih menatapi Sheril dengan tatapan mengintimidasi.
"Sorry tadi gue rebut minuman Lo gitu aja, dan makasih juga ya minumannya, nanti gue gantiin deh. Sekali lagi sorry ya?" Sheril menyengir kikuk, mengerjapkan mata.
Lelaki itu berdiri, lalu melengos pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah katapun.
Kini gantian, Sheril yang melongo melihat kelakuan lelaki tersebut.
"What the hell? ganteng-ganteng bisu."
Sheril tidak tahu apa yang terjadi dengan lelaki yang air minumnya ia rebut tadi pagi, sebab sampai jam pulang sekolahpun Sheril tidak menemukan batang hidungnya.
"Au ah, Ayu makan ceker, I don't care! Berarti cowok tadi nolak rejeki tuh padahal niat gue udah baik mau nraktir dia," Sheril mendengus.
Ia mengambil tas sekolahnya lalu pergi ke area gerbang sekolah. Hari kedua Masa Orientasi Siswa akan diadakan tes kejuruan-an. Sheril sudah di berikan wejengan oleh temannya yang baru lulus SMA satu tahun yang lalu, dan ia merasa tidak perlu belajar untuk tes besok. Sebelum berusaha, Sheril sudah menyerahkan semuanya kepada sang pencipta.
"Sher, nonton yuk! Ada film bagus di bioskop,"
Sheril sedikit terkejut dengan kehadiran Rayhan yang tiba-tiba di sampingnya, padahal sejak jam istirahat Sheril tidak bertemu dengan Rayhan.
Sheril menghentikan langkah kakinya membuat Rayhan juga ikut berhenti. Tangan kanan Sheril terangkat, ujung jarinya menyatu membentuk angka nol.
Kemudian, Sheril mengacungkan kelingking, jari manis di susul dengan jari tengah secara berurutan sambil berkata. "Strawberry mangga tomat, Sorry gak minat." Sheril melambaikan tangannya di akhir kalimat.
Rayhan berdecih sinis di tolak oleh Sheril sedangkan Sheril malah tertawa sendiri melihat reaksi Rayhan.
"Lo kan tau gue kurang suka ke bioskop, mending gue streaming aja, bisa sambil rebahan." Sheril menepuk-nepuk dadanya bangga lalu melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti.
"Kan ada bioskop yang kursinya khusus," Rayhan memberi alasan lain.
"Mehong!" Ketus Sheril, jalannya semakin cepat.
Rayhan mengikuti irama Sheril, berusaha menyamakan langkah kaki mereka.
Lagi, tanpa intrupsi Sheril menghentikan langkah kakinya membuat Rayhan terkejut sekaligus kesal.
Rayhan menoyor kepala Sheril untuk melampiaskan perasaan kesalnya. "Anjing, kalau mau berhenti bilang-bilang napa!"
"Bodo amat! Lo balik sendiri sono, gue ada urusan lagian juga gue udah pesen ojol," usir Sheril secara terang-terangan.
Rayhan memutar bola matanya malas. "Halah, kucing. Biasa gue yang di jadiin ojek dadakan lo juga. Gak usah sok sibuk, rakyat jomlo yang hobinya rebahanmah diem aja,"
Sheril memukul bibir Rayhan. "Berisik lo jelek! Gue duluan ya, lo hati-hati baliknya," tanpa menunggu jawaban Rayhan, Sheril segera pergi keluar area sekolah.
"Sableng emang tu orang kelamaan jomlo." Gumam Rayhan menatap kepergian Sheril.
🌞🌞🌞
Setelah berganti pakaian di toilet kafe, Sheril segera mencari spot tempat duduk kesukaannya.
Tapi senyumannya luntur seketika saat melihat spot kesukaannya telah di tempati oleh seorang lelaki yang sedang nampak sibuk memainkan laptop, bahkan kedua telinga lelaki itu di tutupi oleh earphone.
Hari ini adalah jadwalnya untuk pergi kemari, mati-matian Sheril yang tidak konsisten mengikuti jadwalnya agar berubah menjadi Sheril yang konsisten. Sheril tidak akan membiarkan seorangpun merusak jadwal yang telah ia duduk dari jauh-jauh hari!
Kesal, sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman yang akan ia santap, Sheril kembali mendatangi sang kasir. Hanya beberapa pelayan yang hapal dengan jadwal kedatangan Sheril ke kafe ini, bahkan mereka juga hapal dimana spot kesukaan Sheril.
"Mbak, maaf, spot favorite saya udah di tempatinya berapa lama ya sama mas-mas itu?" Sheril memang merasa kesal, tapi ia berusaha merendahkan suaranya ketika berbicara.
Sang kasir menatap tempat yang di maksud oleh Sheril, "mas-mas bule itu?"
"Bule?"
Sang kasir yang bername tag 'Diana' itu mengangguk. "Iya bule, kayaknya udah dua jam dia duduk di situ," jelasnya sambil melihat jam dinding imut yang menempel di dinding kafe.
"Kalau gue minta cowok itu pindah tempat gak pa-pa kali ya? Thank's mbak Di." Sheril kembali ke tempat kesukaannya yang sudah di ambil alih oleh orang asing.
Meskipun Sheril terkadang merasa kesal dengan konflik perselingkuhan orang tuanya, tapi untuk soal kafe ini cukup menguntungkan bagi Sheril. Kafe ini milik selingkuhan ibunya, Sheril memang tidak menyukai pria itu tapi Sheril menyukai kafenya.
Bukan hanya ibunya, ayahnya pun mempunyai selingkuhan. Ah, Sheril sekarang sudah tidak peduli lagi soal orang ketiga atau bahkan orang keempat.
Anton, itulah nama pria pemilik kafe ini. Sheril hanya meminta spot kesukaannya untuk tidak di tempati oleh orang lain saat ia berkunjung ke kafe ini di hari-hari tertentu.
Sheril meletakkan nampan makanannya di atas meja lelaki muda yang masih asik dengan laptopnya. Sheril belum duduk, namun ia sudah melayangkan tatapan mengancam sejak tadi.
Diana benar, lelaki di hadapannya saat ini bukan berdarah Asia.
"실례합니다 (sillyehabnida), excuseer mij, excusez-moi, perdóneme, excuse me, permisi mas!" Sheril menekankan di setiap katanya.
Kurang buat apa coba Sheril mengusir lelaki bule di hadapannya saat ini? Bahasa Korea, Belanda, Jerman, Prancis, Spanyol, Inggris sampai bahasa Indonesia telah ia gunakan.
Lelaki itu mendongakkan kepala, menatap wajah Sheril datar, sampai Sheril tidak bisa membaca emosi lelaki bule di hadapannya saat ini.
"Maaf mas bule abal-abal yang terhormat. Mas bisa pindah tempat? Ini tempat saya sejak tahun kemarin," Sheril berkacak pinggang.
"Di sini tidak ada nama kamu, saya pikir ini bukan tempat kamu," jawab bule itu secara formal, kuping Sheril merasa aneh saat mendengar kalimat formal Indonesia dengan aksen barat yang begitu kental.
Tapi Sheril rasa wajah bule itu nampak tidak asing. Ah, masa bodoh, itu urusan nanti!
"Itu aturan tidak tertulis," balas Sheril dengan tatapan menantang.
Bule itu berdiri, langsung membuat Sheril nampak kecil di hadapannya. Tinggi Sheril hanya 160 centimeter dan kira-kira bule itu tingginya mencapai 180 centimeter.
Sheril meneguk ludahnya dalam-dalam. Astaga, ia menjadi gugup sendiri.
Bule itu mendekatkan wajahnya ke depan wajah Sheril, hingga tersisa jarak sejengkal diantara mereka, pengunjung lain yang melihat kejadian itu sudah pasti mendukung mereka untuk melakukan adegan ciuman sekarang juga melihat posisi intim mereka.
"Just shut up and go away!" Bisik bule itu, memperlihatkan ketegasannya di balik kalimat.
Cuek, bule itu kembali duduk dan memainkan laptopnya seolah tidak terjadi apa-apa.
Sheril mendengus, tidak, tidak boleh! Ia harus duduk di sini bagaimanapun caranya, hari ini Sheril sedang tidak ingin mengalah.
Merasa sudah terlalu banyak mengucapkan kata permisi tadi, Sheril langsung duduk di hadapan cowok bule itu dan mengeluarkan laptopnya.
Lelaki bule itu menatap Sheril heran, tidak mengerti apa yang ada di benak gadis itu.
"What the hell are you doing?"
Sheril mengedikkan bahunya tak acuh. "I just do as I want," balasnya santai.
Berdecak kesal namun detik selanjutnya ia tidak lagi mempedulikan kehadiran Sheril di hadapannya saat ini.
Sejak duduk di sini, Sheril masih asik menyantap dessert yang tadi ia pesan seraya menatap pemandangan indah yang langka di hadapannya saat ini. Otak Sheril masih berpikir, mengingat-ingat siapa sosok di hadapannya, membiarkan laptopnya yang sudah menyala belum terisi satu kalimatpun.
"Oh!" Sheril berseru sendiri saat berhasil mengingat siapa cowok di hadapannya saat ini.
"Lo! Cowok yang gue rebut tadi pagi minumannya iya kan?!" Secara refleks Sheril mengacungkan garpu yang sedang ia pegang tertuju kepada bule tersebut.
Mendengar Sheril terkejut, bule itu kembali mendongkak, matanya menyipit mengingat siapa gadis di hadapannya saat ini.
"A freak girl?" Tanyanya memastikan, Sheril menganga mendengar julukan baru yang di tujukan kepadanya.
Berusaha bersikap profesional, Sheril meletakkan kembali garpu ke atas piring kemudian menangkupkan kedua tangannya secara sopan kepada lelaki bule itu.
"Kǒ tód ká, 죄송합니다 (joesonghabnida), Lo siento, Sorry, Maaf atas kejadian tadi pagi di sekolah. Thank's buat minumannya, sebagai gantinya gue bakal traktir lo hari ini,"
Lelaki bule itu mengerjap lalu menggelengkan kepala. "No problem."
Sheril menutup laptopnya, setelah melihat sosok tampan bak artis-artis yang suka ia follow di akun sosial media lebih menarik ketimbang separagraf huruf-huruf di Microsoft word nya.
Kedua sikut Sheril bertumpu di atas meja, matanya tidak bisa lepas dari sosok di hadapannya ini.
"Kita'kan satu sekolah, satu angkatan, sama-sama murid baru, jadi nama lo siapa?" Tanya Sheril kepo, ia mulai penasaran dengan subjek indah di depannya.
Tidak mendapatkan jawaban, Sheril menoel punggung tangan lelaki itu. "Hey? I'm asking you. What's your name?"
Lelaki bule itu menghela napas, tampak tak berniat menghadapi kebawelan seorang Sheril.
Tidak berminat bicara, lelaki itu memutar balikkan laptop yang sedang ia gunakan. Ia menunjukkan profil singkat mengenai dirinya.
"Martinez Arion Williams," Sheril menggunakan aksen Amerika saat membaca nama tersebut di layar.
"Yang mana nama panggilan lo? Martinez atau Arion?"
"What do you think?" Tanyanya meminta pendapat.
"Kalau nama Arion (dibaca; Ariyen) di Indonesia agak ribet sih ngomongnya," komentar Sheril.
Arion mengangkat kedua alisnya, menunggu Sheril lanjut berbicara.
Sheril menjentikkan jarinya. "Arion , follow me, Ar—Ri—Yon. Orang-orang bisa manggil lo itu atau singkatnya panggil 'Yon' atau 'Ar' aja udah simple. Do you understand what I'm saying?"
"Ar—Ri—Yon. You're absolutely right. Thank you and have a good day!" Pamit Arion, segera ia membawa barang-barangnya dan pergi dari kafe. Memberikan tempat kepada Sheril sebagai ucapan terima kasihnya.
Tatapan Sheril tak lepas dari subjek yang mampu memikat hatinya walau baru dua kali bertemu dan satu kali berbicara. Sheril terus menatap kepergian Arion sampai lelaki itu menghilang di balik pilar teras kafe.
Sheril tidak sadar bahwa sejak hari ini, Arion adalah orbitnya. Dunia Sheril seakan hanya tertuju kepada Arion.
Dan bagi Arion, Sheril adalah salah satu dari sekian banyak bintang yang mengelilinginya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!