Dengan langkah gontai, Amira menyeret kakinya menuju balroom tempat Sang Suami akan melangsungkan pernikahan.
Amira sebenarnya tidak sanggup jika harus menyaksikan pernikahan kedua Sang Suami, tapi Ibu Mertuanya memaksa Amira supaya hadir dalam acara tersebut.
"Aku harus sadar diri karena aku hanyalah perempuan tidak sempurna yang tidak bisa memberikan keturunan untuk Mas Dirga," gumam Amira dengan menitikkan air mata.
Dirga bergegas menghampiri Amira pada saat melihat kedatangan Istri tercintanya tersebut.
"Sayang, kenapa kamu memaksakan diri datang ke sini?" tanya Dirga dengan menggenggam kedua tangan Amira.
Belum juga Amira menjawab pertanyaan Dirga, Ibu Mertuanya langsung angkat suara untuk menjawab pertanyaan Sang putra.
"Dirga, sudah seharusnya Amira datang menyaksikan pernikahanmu. Jangan sampai orang lain mengira jika dia tidak rela dimadu, padahal semua itu gara-gara dia yang tidak kunjung hamil juga," ujar Bu Meri dengan ketus serta menatap tidak suka terhadap Amira.
Dari dulu Bu Meri memang tidak suka terhadap sosok Amira, apalagi Amira berasal dari keluarga sederhana.
"Tapi Ma, sebagai sesama perempuan seharusnya Mama mengerti bagaimana perasaan Amira. Dia pasti tidak akan sanggup apabila melihat Dirga bersanding dengan perempuan lain."
"Dirga, kenapa sejak menikah dengan Amira, kamu selalu saja melawan perintah Mama? Kamu harus ingat Dirga, jika Surga itu berada di bawah telapak kaki Ibu," ujar Bu Meri dengan penuh penekanan.
"Tapi Mama juga jangan lupa, jika do'a seorang Ibu tidak akan bisa menembus langit apabila Dirga sampai menyakiti hati Istri Dirga sendiri. Jika bukan karena Mama yang terus mengancam serta memaksa Dirga menikah lagi, Dirga juga tidak akan pernah bersedia melakukan poligami."
"Dirga, Istri kamu itu mandul, jadi Amira harus sadar diri jika dia tidak bisa memberikan keturunan. Mama malu setiap Teman-teman Mama bertanya kapan Mama akan menimang Cucu, padahal kalian berdua sudah menikah selama lima tahun," ujar Bu Meri.
Amira mencoba menenangkan Dirga supaya tidak terbawa emosi, apalagi para tamu undangan sudah mulai berdatangan, begitu juga dengan calon Istri kedua Dirga beserta keluarganya.
"Sudah Mas, tidak enak kalau sampai terdengar orang lain, apalagi Regina beserta keluarganya sudah datang," bisik Amira dengan mengelus lembut bahu Dirga.
"Tapi sayang_" ucapan Dirga terhenti ketika melihat Amira menggelengkan kepalanya.
Wajah Bu Meri seketika berubah pada saat melihat Calon Menantu beserta Besannya datang. Bahkan Bu Meri langsung memasang senyuman serta menyambut ramah keluarga Regina.
"Calon Menantu Mama cantik sekali sih. Dirga sangat beruntung bisa mendapatkan perempuan cantik dan berpendidikan tinggi seperti kamu sayang, apalagi kamu berasal dari keluarga kaya dan terpandang," ucap Bu Meri dengan memeluk tubuh Regina.
"Terimakasih banyak pujiannya Ma. Mama juga terlihat cantik," ucap Regina dengan tersipu malu.
Hati Amira semakin berdenyut sakit saat melihat sikap yang ditunjukan oleh Bu Meri kepada Regina, karena sikap Ibu Mertuanya tersebut berbanding terbalik terhadap dirinya, bahkan selama lima tahun menikah dengan Dirga, Amira diperlakukan layaknya seorang Pembantu oleh keluarga Dirga.
"Dirga, sebaiknya sekarang kamu dan Regina segera duduk di depan Penghulu," ujar Bu Meri dengan menarik paksa tangan Dirga sehingga membuat pegangan Dirga dan Amira terlepas.
Amira hanya bisa menatap nanar kepergian Dirga. Tubuhnya seketika terasa lemas ketika melihat Sang Suami duduk berdampingan dengan perempuan lain.
Amira, kamu pasti bisa melewati semua ini, ucap Amira dalam hati dengan menitikkan air mata.
Tidak ingin terlihat menyedihkan di tengah keramaian, Amira memutuskan duduk di antara para tamu undangan yang hadir.
Amira berusaha menampilkan senyum palsu untuk menutupi luka hati yang tengah ia rasakan.
Banyak tatapan iba melihat Amira, apalagi ada beberapa di antara tamu undangan yang mengetahui jika Amira adalah Istri pertama Dirga.
Dunia Amira rasanya runtuh pada saat mendengar Dirga mengucap nama perempuan lain saat ijab kabul pernikahan.
Tubuh Amira bergetar hebat, hatinya terasa hancur berkeping-keping ketika mendengar para Saksi mengesahkan pernikahan kedua Dirga, tapi dia masih mencoba membendung air matanya yang sudah hampir terjatuh.
"Saya terima nikah dan kawinnya Regina Putri Binti Bapak Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi?"
"Sah, sah."
Akhirnya air mata Amira tidak dapat ia bendung lagi pada saat melihat Dirga mencium kening Regina yang sudah resmi menjadi Istri keduanya.
Jantung Amira terasa sangat sakit seperti tertusuk ribuan duri, tapi pada saat Dirga melihat ke arah dirinya, Amira bergegas mengelap air mata kemudian menampilkan senyuman kepada Sang Suami.
"Selamat Mas," gumam Amira sehingga membuat Dirga tidak tega dan ingin sekali mendekap erat tubuh Istri pertamanya yang terlihat begitu rapuh.
Maafkan aku Amira, maaf, batin Dirga.
Pada saat para tamu undangan mengucapkan selamat kepada kedua mempelai, terdengar teriakan seseorang sehingga membuat semuanya terkejut dan melihat ke arah sumber suara.
"Hentikan pernikahan ini !!" teriak Pak Adnan yang tidak lain adalah Ayah kandung Amira.
Pak Adnan datang ke pernikahan Dirga dan Regina sehingga membuat Amira begitu terkejut, padahal sebelumnya Amira sengaja tidak memberitahu orang tuanya tersebut karena dia yakin jika Pak Adnan pasti akan kecewa dan sedih.
"Ayah" ucap Amira dengan lirih.
"Nak, kenapa Amira tidak memberitahu Ayah kalau Dirga menikah lagi?" tanya Pak Adnan dengan memeluk tubuh Putri semata wayangnya tersebut.
"Maaf Yah, Amira tidak mau membuat Ayah merasa sedih dan kecewa."
Pak Adnan tidak rela ketika melihat kesedihan yang tersirat pada wajah Amira, beliau yang begitu emosi bergegas menghampiri Dirga.
Tanpa basa basi, Pak Adnan langsung menampar keras pipi Menantunya tersebut.
Plak
Tamparan keras mendarat pada pipi Dirga sehingga membuat semua orang terkejut, terlebih lagi Bu Meri yang tidak terima putra kesayangannya ditampar di depan mata kepalanya sendiri.
"Berani sekali Anda menampar putra kesayangan saya !!" teriak Bu Meri.
"Lelaki seperti Anak Anda pantas mendapatkan lebih dari sebuah tamparan," ucap Pak Adnan dengan lantang.
"Maafin Dirga Yah," ucap Dirga dengan menundukan kepalanya.
"Dirga, Ayah sangat kecewa sama kamu. Apa kamu lupa dengan janji yang telah kamu ucapkan pada lima tahun yang lalu?" tanya Pak Adnan dengan mata berkaca-kaca karena menahan tangis.
Dirga tidak berani melihat wajah Pak Adnan. Dia terus menundukkan kepalanya, apalagi Dirga merasa bersalah karena telah mengingkari janji yang pernah dia ucapkan.
"Dirga, dulu saat kamu memohon kepada Ayah untuk menikahi Amira, kamu pernah berjanji tidak akan pernah melukai hatinya," ucap Pak Adnan dengan menahan sesak dalam dadanya.
"Kenapa sekarang kamu tega sekali melukai hati putri kesayangan Ayah? Apa karena kami orang miskin sehingga kalian bisa berbuat seenaknya terhadap kami?" lanjut Pak Adnan.
"Maaf Yah, Dirga tidak bermaksud menyakiti hati Amira," ucap Dirga dengan lirih.
"Tapi pada kenyataannya kamu sudah menorehkan luka pada hati Amira. Apa kamu tau jika luka hati lebih sakit dari pada luka fisik?" teriak Pak Adnan.
*
*
Bersambung
Bu Meri kembali angkat suara, apalagi dia tidak rela melihat Dirga terpojok oleh perkataan Pak Adnan.
"Wajar saja jika Dirga menikah lagi. Dirga juga menginginkan keturunan. Seharusnya Anda sadar jika Amira tidak bisa memberi Dirga keturunan."
"Bu Meri, Anda juga seorang perempuan. Bagaimana jika Anda berada pada posisi Amira? Apa Anda akan ikhlas berbagi Suami?" tanya Pak Adnan sehingga membuat Bu Meri diam tidak berkutik.
Amira yang masih diam mematung karena begitu terkejut dengan kejadian di depan matanya, baru tersadar ketika mendengar teriakan Bu Meri.
"Amira, sekarang juga kamu bawa pergi Ayah kamu dari sini? Berani sekali kalian mempermalukan keluarga kami."
Amira bergegas menghampiri Pak Adnan ke atas pelaminan, apalagi saat ini semua orang yang berada di sana terdengar membicarakan Dirga dan keluarganya.
"Yah, sebaiknya sekarang kita pergi dari sini," ucap Amira dengan lembut.
"Tidak Nak. Ayah ingin mencari keadilan untuk kamu. Ayah tidak rela mereka menginjak-injak harga diri kita," ucap Pak Adnan dengan mata berkaca-kaca.
"Sudah Yah, Amira tidak apa-apa. Amira ikhlas berbagi Suami, karena Amira sadar diri jika Amira adalah perempuan tidak sempurna," ucap Amira dengan menggenggam tangan Pak Adnan.
Bu Meri tersenyum puas mendengar perkataan Amira.
"Anda dengar sendiri perkataan Amira. Amira saja tidak keberatan Dirga menikah lagi, kenapa Anda harus keberatan? Seharusnya Anda bahagia karena kelak Amira bisa mendapatkan Surga jika dia rela dimadu," ucap Bu Meri dengan entengnya.
Pak Adnan semakin tidak rela apabila Putri kesayangannya harus berbagi Suami dengan perempuan lain. Beliau terus berusaha menasehati Amira supaya tidak menerima pernikahan kedua Dirga.
"Jalan menuju Surga itu banyak, bukan hanya dari poligami. Amira tidak harus menyakiti diri sendiri, apalagi bukan Surga yang akan Amira dapat jika dia tidak ikhlas, tapi Neraka dunia yang harus ia jalani," tegas Pak Adnan.
Semuanya terdiam mendengar perkataan lelaki paruh baya tersebut, terutama para tamu perempuan yang turut merasakan bagaimana rasa sakit hati Amira.
"Nak, dalam syari'at seorang Lelaki memang boleh memiliki lebih dari satu Istri, tapi di Dunia ini tidak akan ada manusia yang bisa adil termasuk Dirga. Ayah juga yakin jika di Dunia ini tidak akan ada perempuan yang rela berbagi Suami termasuk kamu," sambung Pak Adnan.
"Jika Amira bisa mendapatkan Surga dengan cara berbagi Suami, Amira akan ikhlas melakukannya Yah," ucap Amira dengan memaksakan diri untuk tersenyum.
"Tidak Nak, Ayah tidak ikhlas. Apalagi ikhlas itu tidak semudah yang di ucapkan. Lebih baik sekarang juga kamu ikut Ayah pulang. Ayah lebih rela kamu bercerai dengan Dirga dari pada harus melihat kamu menderita karena berbagi Suami," ujar Pak Adnan.
"Astagfirullah Yah, Ayah tidak boleh berkata seperti itu," ucap Amira.
Bu Meri yang tidak ingin acara pernikahan Dirga dan Regina kacau karena kehadiran Pak Adnan, akhirnya kembali menyuruh Amira membawa pergi Ayahnya tersebut.
"Amira, sebaiknya sekarang juga kamu bawa pergi Ayah kamu dari sini. Apa kamu ingin membuat malu keluarga Cakra dinata?" bisik Bu Meri dengan mencengkram kuat bahu Amira.
"Yah, sebaiknya sekarang kita pergi dari sini," ucap Amira dengan meringis kesakitan.
Dirga masih diam mematung. Mulutnya seakan tidak dapat mengeluarkan satu patah kata pun ketika berhadapan dengan Pak Adnan.
"Dirga, jika Ayah sampai melihat Amira meneteskan air mata. Ayah tidak akan segan-segan membawa pergi Amira dari kehidupan kamu. Kamu jangan lupa jika Amira masih memiliki Ayah yang akan selalu menjadi perisainya," tegas Pak Adnan sebelum akhirnya ke luar dari tempat acara pernikahan Dirga dan Regina.
"Mas, aku antar Ayah dulu ya," ucap Amira yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh Dirga.
Sebelum pulang ke kampung halamannya, Pak Adnan mengajak Amira duduk di sebuah bangku Taman untuk berbicara.
"Nak, kenapa Amira bersedia dimadu? Apa semua itu keinginan Dirga? Atau Bu Meri yang memaksa kalian?" tanya Pak Adnan.
"Semua itu memang permintaan Mama, bahkan Mas Dirga sudah sering menolak permintaan Mama tersebut," jawab Amira.
Amira kembali teringat dengan kejadian pada saat Bu Meri memaksa Dirga untuk menikah lagi.
Bu Meri menginginkan calon penerus perusahaan besar milik keluarga Cakra dinata, apalagi Dirga merupakan Anak laki-laki satu-satunya.
Dirga adalah putra sulung dari tiga bersaudara, jadi Bu Meri selalu menekan Dirga supaya bisa secepatnya memiliki keturunan, apalagi menurut tradisi keluarga Cakra dinata, hanya Anak laki-laki dari putra sulung yang bisa menjadi penerus perusahaan keluarga.
"Dirga, sampai kapan kamu akan terus menunggu Amira hamil? Sekarang pernikahan kalian sudah berjalan selama lima tahun, tapi Amira masih tidak kunjung hamil juga. Bagaimana jika Amira mandul? Siapa yang akan menjadi penerus bisnis dalam keluarga kita?" ujar Bu Meri.
Amira hanya diam saat Mertuanya meminta Dirga menikah lagi. Dia tidak sanggup mengucapkan satu patah kata pun untuk menolak saran dari Mertuanya tersebut, tapi Amira yakin jika Dirga pasti akan menolak permintaan Bu Meri, apalagi selama ini Dirga begitu mencintai Amira.
"Dirga harus bagaimana lagi Ma? Segala usaha telah Dirga dan Amira lakukan, tapi mungkin kami masih belum dipercaya memiliki keturunan. Ma, Dirga sama sekali tidak masalah apabila Amira tidak memiliki Anak, karena Dirga akan selalu mencintai Amira."
Amira merasa tersentuh saat mendengar pembelaan yang selalu di ucapkan Suaminya, sedangkan Bu Meri semakin murka karena sejak mengenal Amira, Dirga selalu saja membantah bahkan tidak segan melawan perintahnya.
"Terus saja kamu bela Istri kamu yang mandul itu. Kamu mungkin tidak keberatan, tapi Mama keberatan. Dirga, kamu tau sendiri bagaimana tradisi keluarga kita. Hanya Anak laki-laki dari Putra sulung yang bisa menjadi pewaris perusahaan, karena perusahaan akan hancur jika dikelola oleh orang lain selain Anak laki-laki dari keturunan kamu," ujar Bu Meri.
Dirga menghela napas panjang mendengar perkataan Ibunya tersebut, apalagi keluarga Cakra dinata sangat mempercayai tradisi turun temurun yang diwariskan oleh keluarga dari mendiang Ayah kandung Dirga.
"Kenapa Mama masih saja percaya dengan takhayul seperti itu? Sekarang sudah jaman modern, perempuan juga bisa bersaing dengan laki-laki. Jadi Sinta dan Vania bisa membantu Dirga mengelola perusahaan."
"Tidak, Mama tidak akan pernah membiarkan kedua Adik kamu bekerja. Mereka perempuan, kodrat seorang perempuan itu diam di rumah untuk merawat Anak serta mengurus Suami."
"Lalu apa gunanya Sinta dan Vania mengenyam pendidikan sampai Perguruan tinggi jika ilmu yang mereka dapat tidak boleh digunakan?" tanya Dirga.
"Dirga, pokoknya Mama tidak mau tau. kamu harus menikah lagi supaya memiliki keturunan. Dari dulu Mama sudah sabar karena pernikahan kalian belum lima tahun, tapi sekarang sudah terbukti jika kalian tidak kunjung memiliki Anak juga. Jadi, menurut hukum Agama, bukankah sah saja apabila kamu melakukan poligami?" ucap Bu Meri dengan entengnya tanpa memikirkan perasaan Amira yang masih berada di sana.
"Mama jangan bicara seperti itu, kasihan Kak Amira, Ma," ucap Vania, yaitu Adik bungsu Dirga.
"Vania, kamu itu masih kecil, jadi jangan pernah ikut campur urusan orang dewasa," ujar Sinta yang memang tidak suka terhadap Amira.
"Ma, setidaknya Mama pikirkan perasaan Amira, apalagi Amira ada di sini. Mama juga seorang perempuan, bahkan Mama memiliki dua Anak perempuan juga. Bagaimana jika Mama, Sinta, atau Vania berada pada posisi Amira?" tanya Dirga.
*
*
Bersambung
Bu Meri terus mendesak Dirga supaya menikah lagi, bahkan Bu Meri sudah sering mengancam Dirga akan mengakhiri hidupnya apabila Dirga tidak menuruti keinginannya tersebut.
"Pokoknya Mama tidak peduli. Lebih baik Mama berbicara langsung di depan Amira dari pada berbicara di belakang. Bagaimana pun juga Amira harus sadar diri kalau dia hanyalah seorang perempuan mandul," ucap Bu Meri dengan nada tinggi.
"Cukup Ma, apa pun yang terjadi, Dirga tidak akan pernah menikah lagi."
"Dirga, sepertinya kamu benar-benar ingin melihat Mama Mati?" teriak Bu Meri dengan mengeluarkan air mata buaya nya.
Dirga menghela napas panjang mendengar ancaman yang entah sudah berapa ratus kali ke luar dari mulut Ibu kandungnya tersebut, kemudian dia menggenggam tangan Bu Meri yang saat ini tengah duduk di sebelah nya.
"Ma, Dirga mohon jangan berbicara seperti itu. Dirga akan melakukan apa pun yang Mama minta, kecuali menikah lagi, karena Dirga sudah berjanji tidak akan pernah menyakiti hati Amira."
"Dirga, Mama harap kamu tidak menolak lagi, karena kali ini calon yang Mama pilih sangat berbeda dengan yang dulu-dulu. Mama yakin kamu pasti akan suka."
Rasanya tenggorokan Amira tercekat. Seketika selera makan Amira hilang karena dia harus menahan sesak dalam dadanya saat mendengar perkataan Sang Ibu mertua.
Dirga menoleh ke arah Amira, tapi sesaat kemudian perkataan Dirga membuat Amira bagai tersambar petir di siang bolong.
"Baik Ma. Dirga setuju untuk menikah lagi, tapi Dirga memiliki syarat."
Amira yang mendengar pernyataan Dirga sampai terperangah tidak percaya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, Dirga memutuskan sepihak sehingga rasa kecewa menghantam hati Amira.
"Apa syaratnya? Mama pasti akan setuju," tanya Bu Meri dengan tersenyum simpul.
"Dirga harap setelah Dirga menikah lagi, tidak akan ada yang membahas tentang masalah Anak lagi di depan Amira. Dirga tidak mau Amira terus menjadi bahan olok-olokan kalian, karena sampai kapan pun Amira akan tetap menjadi Istri Dirga."
Bu Meri pura-pura setuju dengan permintaan Dirga, padahal Bu Meri akan terus membuat Amira menderita sampai Menantunya tersebut menyerah dengan pernikahannya.
"Baiklah, kami setuju dengan syarat kamu," ujar Bu Meri dengan tersenyum penuh kemenangan.
"Memangnya selama ini siapa yang suka mengolok-olok Amira? Kita hanya berbicara kenyataan saja kok," ucap Sinta.
"Sinta, memangnya selama ini kamu pikir Kakak tidak tau apa yang sudah kalian perbuat terhadap Amira di belakang Kakak? Kamu juga harus memanggil Amira dengan sebutan Kakak, karena dia adalah Kakak ipar kamu," tegas Dirga.
"Siapa juga yang ingin memiliki Kakak ipar seperti dia? Selain benalu di rumah ini, ternyata dia juga tukang ngadu. Dasar perempuan bermuka dua," sindir Sinta.
Brak
Dirga yang tersulut emosi menggebrak meja mendengar perkataan Adiknya tersebut.
"Cukup Sinta, kamu sudah benar-benar keterlaluan. Jangan pernah menyebut Amira sebagai benalu, karena dia adalah Istri Kakak, jadi sudah menjadi kewajiban Kakak menafkahi Amira. Selama ini Amira juga tidak pernah mengadu apa pun kepada Kakak tentang perbuatan kalian, tapi Kakak mendengar serta melihat dengan mata kepala Kakak sendiri perlakuan kalian yang sudah semena-mena terhadap Amira."
Amira hanya diam mendengar perdebatan yang terjadi di antara Dirga dan Sinta, padahal biasanya Amira selalu berusaha menenangkan Suaminya tersebut.
"Sayang, kamu baik-baik saja kan?" tanya Dirga dengan menangkup kedua pipi Amira yang terlihat melamun.
Amira terus memikirkan tentang Suaminya yang akan menikah lagi. Dia teringat dengan janji-janji yang dulu pernah di ucapkan oleh Dirga, tapi ternyata semua janji itu hanyalah janji palsu.
"Sayang, tolong kamu jangan salah paham dulu. Aku melakukan semua ini demi kamu supaya Ibu dan saudaraku tidak menghina kamu lagi," bujuk Dirga, namun sayangnya semua itu tidak dapat menenangkan gemuruh dalam hati Amira.
Flash back off
Amira tersadar dari lamunannya ketika kembali mendengar suara Pak Adnan.
"Nak, apa kamu yakin tidak ingin ikut pulang dengan Ayah?"
"Maaf Yah, Amira tidak bisa ikut Ayah pulang. Sekarang Amira adalah seorang Istri, jadi Amira tidak bisa meninggalkan rumah tanpa ijin Suami."
"Nak, apa kamu sudah benar-benar yakin dengan keputusan mu?" tanya Pak Adnan lagi.
"Kita tidak akan pernah tau apabila kita tidak mencobanya. Amira selalu ingat perkataan Ayah, jika sesuatu yang terjadi dalam hidup kita adalah takdir. Mungkin semua ini memang sudah takdir hidup Amira. Meski pun berat, tapi Amira harus ikhlas menerimanya," jawab Amira dengan menengadahkan kepalanya supaya air mata yang tengah ia bendung tidak berjatuhan.
Pak Adnan menghela napas panjang. Beliau pada akhirnya hanya bisa pasrah menghargai keputusan Amira.
"Takdir bisa kita rubah, dan ikhlas tidak semudah yang di ucapkan, tapi sepertinya cinta kamu kepada Dirga sudah membuat kamu buta."
"Maaf Yah, Amira tidak bermaksud menyakiti hati Ayah," ucap Amira yang merasa bersalah karena telah membuat Pak Adnan sedih.
Pak Adnan memeluk erat tubuh Amira. Beliau masih tidak rela apabila harus melihat Amira berbagi Suami.
"Nak, hanya kamu yang Ayah miliki di Dunia ini. Ayah tidak akan pernah rela melihat kamu hidup menderita, dan Ayah tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti putri kesayangan Ayah termasuk Dirga."
Pak Adnan membesarkan Amira seorang diri karena Ibu kandung Amira meninggal dunia pada saat melahirkan Amira.
Pak Adnan juga sangat mencintai mendiang Istrinya sehingga Pak Adnan memutuskan untuk tidak menikah lagi.
"Nak, Ayah tau Amira adalah perempuan yang kuat, tapi Amira tidak perlu pura-pura tersenyum karena Ayah tau jika saat ini hati Amira pasti sangat terluka. Jika kamu ingin menangis, menangislah, karena kamu masih memiliki bahu Ayah untuk bersandar," ucap Pak Adnan dengan mengelus lembut kepala Amira.
Akhirnya pertahanan Amira runtuh ketika mendengar perkataan Pak Adnan. Amira yang sudah tidak kuasa menahan air mata, pada akhirnya menangis dalam pelukan Ayah kandungnya tersebut.
"Nak, jika suatu saat nanti kamu sudah tidak sanggup lagi menjalani semuanya. Kamu harus ingat jika kamu masih memiliki Ayah, karena Ayah akan selalu ada untuk kamu," ucap Pak Adnan dengan mencium kening Amira.
"Terimakasih banyak atas semuanya Yah. Amira sangat beruntung karena memiliki Ayah terbaik dan terhebat di Dunia ini."
......................
Setelah mengantar Amira pulang ke kediaman Cakra dinata, Pak Adnan memutuskan untuk langsung pulang ke Bandung, apalagi di kediaman Cakra dinata sudah terlihat Bu Meri sehingga membuat Pak Adnan malas apabila bertemu dengan Besannya tersebut.
"Dari mana saja kamu Amira? Kenapa jam segini kamu baru pulang? Kamu itu perempuan bersuami, tidak sepantasnya kamu keluyuran sampai sore seperti ini, apalagi kamu sampai lupa mengerjakan pekerjaan rumah," teriak Bu Meri.
Amira menghela napas panjang mendengar perkataan Bu Meri. Dia ingin sekali membalas perkataan Ibu mertuanya tersebut, tapi bagaimanapun juga Bu Meri adalah Mertua yang harus Amira hormati.
"Maaf Ma, tadi Amira membantu Ayah membeli kebutuhan di perkebunan dulu. Kalau begitu Amira masuk duluan."
Pada saat Amira hendak melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah, Bu Meri langsung menarik tangan Amira, kemudian mendorong tubuh Menantunya tersebut hingga tersungkur di atas lantai.
"Amira, berani sekali kamu mengabaikan perkataan ku. Dengar baik-baik Amira, aku akan terus membuat hidup kamu tersiksa seperti di dalam Neraka, dan aku tidak akan pernah berhenti sampai kamu pergi dari kehidupan Anak ku, karena kamu hanyalah perempuan mandul pembawa sial."
*
*
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!