NovelToon NovelToon

PEMBANGKANG SURGAWI

Bab 1—Tragedi

Sore itu, daun-daun pohon ginkgo yang keemasan berguguran diiringi dengan angin tertiup pelan. Tiga remaja yang mengenakan seragam sekolah, tengah berjalan beriringan di trotoar pusat kota Beijing.

"Bagaimana kalau suatu hari nanti aku memenangkan nobel?" ucap seorang pemuda, sambil melihat ke arah dua remaja lain yang berjalan di sebelahnya.

Pemuda itu berwajah tampan, alis tebal, bermata sipit dan hidung mancung. Ia bernama Chen Lian, wajahnya yang rupawan dan tinggi 187 centimeter, membuat pejalan lain gagal fokus saat melihatnya. Alih-alih menjadi model atau idol, Chen Lian memilih fokus dengan penelitian tentang teori quantum.

Di sebelahnya, seorang gadis terkekeh, “Aku akan memberikan hadiah yang bahkan tidak bisa kau bayangkan." Gadis itu berambut hitam, panjang teurai, berwajah kecil dan cantik. Tubuhnya tinggi mencapai 175 centimeter dan atletis. Ia bernama Lu Rei, seorang atlit Kung Fu internasional.

Lalu, pemuda lainnya yang berada di sisi kiri Lu Rei, menyahut, “Apakah aku bisa mendapatkan hadiah juga? Aku baru memenangkan Liga CBA loh!" Pemuda itu berwajah teduh, alis tipis dan mata sipit. Ia bernama Fu Heng, seorang pemain basket tersohor yang bahkan memenangkan beberapa kali liga CBA.

Chen Lian menatap dingin ke arah Fu Heng, lalu segera menyela, "Apa? Kau berkata seolah bisa menandingi penghargaan nobelku dengan piala CBA?"

Fu Heng berdecak, "Kau bahkan belum mendapatkan nobel itu, tapi berkata seolah-olah sudah memilikinya."

Mereka berdua berhadapan satu sama lain, membusungkan dada dan emosinya memuncak. Di tengah keramaian itu mereka berdua hendak mendaratkan tinju satu sama lain dan orang-orang disekitar memandangi dengan heran. Lu Rei yang merasa malu, segera berjalan dengan cepat.

Chen Lian dan Fu Heng yang menyadari jika Lu Rei tidak disamping mereka, langsung pergi begitu saja menyusul sahabatnya itu.

Walaupun Lu Rei berjalan sangat cepat, namun, Chen Lian dan Fu Heng mampu menyusulnya.

"Kalian ini jangan seperti anak kecil, bisa gak?" tegur Lu Rei.

"Maaf,” cetus Chen Lian dan Fu Heng bersamaan. Mereka berdua saling pandang dan menunjukkan ekspresi kekesalan.

Lu Rei mendengus, "Baiklah, okay. Hadiahnya dibagi dua saja."

Chen Lian dan Fu Heng kembali tersenyum bahagia, merasa tidak ada kasih sayang yang tidak adil dari Lu Rei.

Di tengah jalanan yang ramai, lampu merah akan segera menguning beberapa detik lagi. Sementara, seorang ibu muda yang tengah hamil besar, mendorong kereta bayi dan membawa banyak tas belanja yang berisi buah-buahan dan sayur.

Tas belanja itu robek, dan isinya berhamburan di tengah zebra cross. Orang-orang disekitar bersikap acuh tak acuh, tak seorang pun yang menolong wanita hamil itu.

Lampu hijau menyala dan para mobil mengklakson hebat.

TIN. TIN. TIN.

Lu Rei yang melihatnya, segera berlari ke tengah zebra cross untuk membantu memungut isi belanjaan. Diikuti oleh Chen Lian dan Fu Heng yang membantunya.

"Biar saya dan teman-teman yang mengambil, anda pergilah ke trotoar dan jaga kereta dorong itu,” pinta Lu Rei dengan lembut.

Lu Rei menatap Fu Heng, lalu berkata, "Fu Heng, bantu ibu itu menyeberang jalan dengan selamat."

Fu Heng pun membantu Ibu muda yang tengah hamil untuk menyeberang ke sisi jalan sambil menodorong kereta bayi.

Fu Heng kembali ke tengah jalan untuk membantu kedua temannya. Setelah beberapa menit, mereka pun selesai memungut dan memberikan belanjaan itu pada perempuan hamil tadi.

"Terima kasih banyak. Kalian sungguh baik sekali," ucap ibu muda itu dengan penuh syukur.

Lu Rei membalas dengan senyuman, "Sebenarnya, kami bukanlah baik. Hanya saja, kami memanusiakan manusia."

Ibu muda itu mengambil sesuatu dari tas, lalu menyodorkan tiga buah jeruk segar, "Ini untuk kalian."

Tanpa ragu-ragu ataupun penolakan, Lu Rei segera menerima jeruk itu. "Terima kasih banyak."

Ibu muda itupun tersenyum sekali lagi dan segera berjalan pergi.

Chen Lian dan Fu Heng menatap salah satu jeruk di tangan Lu Rei. Jeruk itu berwarna paling mencolok dan paling besar. Dalam satu tarikan napas, tangan kedua pemuda itu berebut jeruk.

"Ini milikku! Aku sudah melihatnya sejak tadi." Pekik Chen Lian, sembari terus mencengkeram sisi jeruk itu.

Sementara Fu Heng yang tak mau kalah, ikut mencengkram dengan kekuatan penuh. "Tidak. Ini milikku!"

Keduanya saling memperebutkan jeruk itu. Membuat perhatian banyak orang. Lagi-lagi, Lu Rei dibuat malu oleh kedua sahabatnya. Gadis itu menggaruk kepalanya, dan memalingkan pandangan.

Tak lama, jeruk itu pecah menjadi dua bagian. "Kalian ini... Benar-benar keterlaluan!" tegur Lu Rei, sambil merebut jeruk yang terbelah itu. Lalu, ia menyodorkan dua jeruk lain yang masih utuh.

"Ini untuk Lian'er, dan ini untuk Heng'er. Bentuk dan warnanya sama, tidak perlu berebut lagi. Ini milikku!" ujar Lu Rei, sembari memasukkan jeruk yang sudah terbelah itu ke dalam tas.

Fu Heng tersenyum menatap jalanan, Chen Lian mulai mengupas jeruknya.

Sementara itu, Lu Rei mulai mengeluh, "Apakah mereka ini anak-anakku? Selalu membutuhkan perhatian penuh."

"Kalau aku anakmu, maka aku akan menjadi anak bungsu. Agar menjadi kesayangan," Celetuk Chen Lian.

Fu Heng menyahut, "Maka, aku akan menjadi anak sulung yang selalu menganiayamu!"

Lu Rei hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kedua sahabatnya itu. Mereka telah bersahabat sejak kelas 1 SD, hingga sekarang, kelas 1 SMA.

Setelah sampai di sebuah bangunan tinggi nan megah, mereka berpisah di lift dan menuju lantai tujuan masing-masing. Mereka bertiga adalah tetangga.

Chen Lian masuk ke dalam unit apartemennya, dan di sambut oleh seorang pemuda berusia 24 tahun yang bernama Chen Hu.

"Aku hari ini masak telur gulung dan sup. Mau dipanaskan supnya?" tanya Chen Hu.

Chen Lian tersenyum tipis, "Aku tadi sudah makan dengan Lu Rei dan Fu Heng. Maaf, kalau aku selalu merepotkan paman."

Chen Hu mengusap rambut Chen Lian, "Tidak. Kau tidak pernah merepotkanku sama sekali."

"Malahan, aku merasa bersyukur karena kakakku, Chen Luo memberiku tumpangan selama dua puluh tahun." Imbuhnya.

Chen Lian menunduk, matanya melembut. "Paman sudah merawatku sejak kecil. Anggap saja, paman bekerja kepada kedua orang tuaku. Jangan pernah merasa bahwa paman adalah beban. Tidak sama sekali."

"Bahkan, pamanlah yang sehari-hari membersihkan rumah, memasak dan mengurus keluargaku. Aku berterima kasih pada paman, atas nama kedua orang tuaku." Ucapnya dengan lembut sembari membungkuk di depan Chen Hu.

Chen Hu tersenyum haru, air matanya nyaris menetes. Lalu, ia mengajak keponakannya untuk menonton film dvd.

Malam itu, mereka memutuskan untuk menonton film yang berjudul 'Doctor Strange'

Keesokan paginya, setelah Chen Lian bersiap untuk pergi ke sekolah. Tak lupa ia mampir ke meja sarapan. Walaupun perutnya tidak merasa lapar, ia tetap harus ke sana demi melihat orang tuanya.

Sebab, kedua orang tuanya tak pernah ada waktu untuk Chen Lian. Mereka hanya bisa bertatap muka saat sarapan pagi, setelah itu, tak pernah berjumpa lagi. Sejak Chen Lian masih SD, ibunya tak pernah menjemputnya ke sekolah. Bahkan, ia enggan hanya untuk sekadar mengambil raport.

Meja sarapan hening, seperti biasa. Namun, Chen Hu membuka percakapan. "Kakak ipar, bagaimana kabar kakak? Apakah operasinya lancar terus?" tanya Chen Hu, polos.

"Kau tahu apa soal bedah? Jangan tanya yang aneh-aneh." Jawaban dingin dari wanita yang bernama Li Yi alias ibu Chen Lian.

Chen Lian segera menyela, tak ingin suasana semakin mencekam, "Ibu, mungkin paman hanya ingin menghangatkan suasana di meja makan."

Li Yi mendesah pelan. Sementara suaminya, Chen Luo, fokus makan dengan terburu-buru sembari terus melihat jam tangan. Kemudian, ia berdiri, mengambil jas di kursi dan memakainya.

"Aku ada kelas penting hari ini. Sebagai dosen fisika, aku tidak boleh terlambat." Ucapnya sembari melangkah keluar.

Li Yi menyusul Chen Luo, tanpa menatap mata anaknya sekalipun. Tersisa Chen Lian dan Chen Hu yang makan sarapan bersama.

Setelah selesai makan, Chen Lian keluar dari unit dan menunggu dua sahabatnya di lobi apartemen. "Tchh... Aku selalu menjadi yang lertama menunggu," keluh Chen Lian.

Tak lama, Lu Rei datang dan disusul oleh Fu Heng. Mereka berjalan bersama keluar dari unit, dan menunggu bus di halte.

"Sebenarnya, hadiah apa yang kau maksud itu, Rei'er?" tanya Chen Lian.

Fu Heng menganggukkan kepalanya, ia juga ingin tahu.

Lu Rei tersenyum gembira, "Bukan hadiah namanya kalau aku kasih tahu isinya. Nanti, kalau Chen Lian sudah mendapatkan nobel, baru aku kasih hadiahnya."

"Hei, itu curang!" sela Fu Heng, sembari mengerutkan keningnya.

Lu Rei berdiri dan berlari kecil menjauhi mereka. "Wlee..." ia menjulurkan lidahnya seperti anak kecil.

Fu Heng mengejar Lu Rei, sementara Chen Lian menggelengkan kepalanya. "Kalian ini bukan anak SD."

Saat asik saling kejar mengejar, terdengar bus membunyikan bel berkali-kali.

TINN... TINN...

Bus itu mengarah ke halte, dengan kecepatan 100 km perjam. Tanpa mengerem.

BRUAAKKK...

Kejadian itu sangat cepat dan tak terduga. Dengan jantungnya yang masih berdebar-debar, nafas terengah-engah, Chen Lian terbaring. Ia berhasil menghindari bus itu.

Tapi... matanya segera membulat, dan jantungnya semakin berdebar saat mengingat dua sahabatnya. Ia segera bangkit dengan kaki gemetar, melirik sekeliling.

Chen Lian tidak menemukan kedua sahabatnya. Namun, air matanya langsung jatuh tanpa sebab saat melihat bus yang sudah ringsek menabrak dinding toko di belakang halte.

"Apa... apakah..." ucapnya dengan lemah. Lalu, dalam sekejap, dunia terasa gelap. Saat terbangun, ia berada di rumah sakit.

Di hadapannya, Chen Hu tampak sangat khawatir. "Chen Lian... untung saja kau tidak apa-apa."

Chen Lian menatap pamannya dengan tatapan menyedihkan, air matanya menetes. "Pa... pa... paman..." suaranya bergetar.

"Apakah temanku baik-baik saja?" lanjutnya.

Chen Hu memalingkan tatapannya ke bawah. Lalu, ia kembali menatap keponakannya sambil menggelengkan kepala dan menjawab, "F... Fu Heng dari unit 376, tidak selamat dan meninggal di tempat."

Mendengar hal itu. Seketika, dadanya terasa sesak, seperti dihimpit oleh ratusan ton besi. Nafasnya tak stabil. Air matanya membasahi pipi secara perlahan.

Di tengah guyuran air mata, ia lanjut bertanya. "Lalu, Lu Rei?"

"Lu Rei dari unit 381 tak sadarkan diri dan tengah kritis." Chen Hu menjawab dengan berat hati.

Pandangan mata Chen Lian menjadi kosong. Ia menatap langit-langit rumah sakit, seakan-akan dunianya runtuh. Dengan infus yang masih menempel di pergelangan tangan, ia turun dari ranjang dan jalan sempoyongan.

"Antar aku ke kamar Lu Rei... paman." Pintanya dengan nada keras kepala.

Chen Hu memapah keponakannya menuju ruang ICU. Di depan pintu, kedua orang tua Lu Rei sedang duduk dengan ekspresi sedih. Chen Lian segera mendekati mereka.

"Paman, Bibi... Apakah Lu Rei baik-baik saja?" tanya Chen Lian.

Ibu Lu Rei, Wang Xia, menatap sinis ke arahnya. "Semua ini karena kau! Anakku tidak sadarkan diri karena kau! Dia mengikuti gaya hidupmu yang kampungan itu! Selalu naik bus setiap hari."

"PERGILAH!!!! AKU TIDAK INGIN MELIHATMU." Bentar Wang Xia.

Chen Lian terduduk lemas di lantai. Lalu bersujud di kaki Wang Xia. "Izinkan saya bertemu Lu Rei sekali saja, Bibi... Saya mohon..."

"TIDAKKK!" ucapan dingin Wang Xia, sembari menendang punggung Chen Lian.

Pemuda itu hanya duduk di lantai, selama berjam-jam.

"Keponakanku, ayo kita kembali ke kamarmu." Pinta Chen Hu. Tetapi, Chen Lian bersikeras menunggu Lu Rei tersadar walau harus duduk di lantai yang dingin.

Satu hari berlalu. Chen Hu membawakan sepotong roti dan teh hangat.

Dua hari berikutnya, Chen Hu membawakan sup daging dan teh herba. Tiga hari, Chen Hu membawa roti lapis dan air hangat. Dan satu minggu kemudian.

Chen Lian tetap duduk di lantai itu. Sembari sesekali pamannya datang membawa makanan. Sementara kedua orang tua Lu Rei, melihat pemuda itu dengan tatapan jijik, terutama Wang Xia.

Di hari ke tujuh ini, keajaiban datang. Seorang dokter keluar dari ruang ICU. Dan berkata jika Lu Rei sudah sadar.

Wang Xia dan suaminya segera masuk. Sementara Chen Lian, bangkit dari duduknya dan berusaha mengintip melalui pintu kaca. Setelah beberapa jam, Wang Xia keluar dari ruang ICU dengan mata sembab.

"Chen... Chen Lian... masuklah, Lu Rei menunggumu." Ucapnya dengan nada rendah.

Bab 2—Tragedi (2)

Chen Lian gembira mendengar itu, ia segera masuk ke dalam. Disambut oleh hangatnya senyuman Lu Rei yang tengah terbaring di tempat tidur rumah sakit.

Suara mesin ICU berbunyi...

TUT… TUT… TUT…

Seperti musik yang terus memenuhi ruangan. Lu Rei menatap mata sahabatnya, dan ia mulai berbicara pelan, "Chen... tidak, maksudku Lian'er."

"Tidak perlu bicara sekarang. Kau harus sembuh dulu, baru bicara sama aku." Sahut Chen Lian.

Lu Rei tertawa kecil, dan melanjutkan ucapannya. "Hadiah yang ingin kuberikan pada kalian... adalah hadiah yang tak pernah kalian bayangkan."

"Sssssttt... bicarakan itu nanti." Sela Chen Lian lagi.

Lu Rei tertawa kecil, lalu berkata, "Aku sudah menyiapkannya beberapa hari yang lalu. Tiga buah kolumbarium, di pusat kota. Kau kanan, Fu Heng kiri sementara aku di tengah."

"Persahabatan kita harus abadi. Bahkan pemakaman pun, harus berdampingan. Selamanya." Imbuh Lu Rei.

Air mata Chen Lian merembes hebat di pipi. Lu Rei tersenyum, dan mengeluarkan kata-kata manis. "Kenapa menangis? Bukan berarti aku mati sekarang. Tapi... Fu Heng sudah ada di surga, menunggu kita. Berjanjilah padaku, bahwa saat kau tua nanti akan mengirim abumu di sana."

Chen Lian yang tadinya menangis, ia tersenyum, "Bagaimana aku mengirim abuku sendiri jika aku mati?"

"Astaga... Kau ini bodoh apa gimana? Mintalah anak, istri, atau cucumu untuk mengirim abumu." Balas Lu Rei sambil tertawa.

Chen Lian membuka mulutnya, "Haahhh? Jadi maksudmu, aku harus bergentayangan dulu dan meminta mereka menaruh abuku di sana?"

"Astaga... Kau ini jenius kalau soal fisika kuantum, tapi bodoh dalam hal logika," keluh Lu Rei.

Hari itu, mereka bercanda seharian seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Dua tahun setelah tragedi itu terjadi.

Langit Beijing berwarna abu-abu. Angin musim semi berhembus pelan. Di sisi jalan memperlihatkan layar hologram raksasa yang menayangkan pengumuman eksklusif.

"Pemenang Nobel Fisika tahun ini adalah Chen Lian dari High School Nasional Beijing, atas penemuannya dalam teknologi partikel stabil yang mampu menekan peluruhan kuantum!"

Lautan manusia yang duduk di sekeliling auditorium megah, segera bertepuk tangan. Chen Lian, mendesah pelan kemudian maju kedepan.

Raut wajahnya tanpa ekspresi, sementara pembawa acara tersenyum ke arahnya dan memegang sebuah piala untuk diberikan pada Chen Lian.

Chen Lian menerima piala itu dan membungkuk, kemudian berkata pada microfon, "Terima kasih." Ucapannya singkat, padat, dan dingin.

Ia tak terlalu peduli dengan pujian yang melambung-lambung. Semua itu hanya angka dan teori. Dunia baginya, adalah tempat penuh ketidakpastian yang harus dipecahkan dengan logika dan data.

Orang-orang hanya bertepuk tangan.

Sementara itu, Chen Lian segera turun dari panggung, kemudian menatap jam tangannya. Keningnya mengerut. Sudah hampir pukul 9 malam, tetapi acara ini tak kunjung usai.

Chen Lian berdecak, "Kenapa lama sekali?"

"Aku ingin segera istirahat di rumah." Keluhnya.

Sebelum acara selesai, Chen Lian meninggalkan kursinya dan berjalan menuju lift. Sudah 3 hari ia tidak tidur, demi menyempurnakan penemuannya itu.

KLING!

Ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari seseorang.

"Kau menang nobel barusan? Wah, selamat ya! By the way, belikan makanan. Di rumah tidak ada makanan."

Chen Lian memberikan ekspresi jijik saat membaca pesan itu, "Dasar tidak tahu malu."

Setelah melewati berpuluh-puluh lantai, akhirnya Chen Lian sampai di trotoar dan naik taksi. Beberapa menit kemudian, taksi itu berhenti di depan bangunan elit, ia segera menuju lift dan masuk ke dalam unit.

Di rumahnya hanya ada Chen Hu dengan rambut berantakan, kumis yang tak terawat dan usianya sekarang sekitar 26 tahun, ia sedang bermain game di dalam kamar Chen Lian.

"Seperti biasa," keluh Chen Lian sembari menatap pamannya.

"Mana makanannya?" tanya Chen Hu.

"Kau tidak membeli makanan?" tanya Chen Hu lagi.

Chen Lian menghela nafas dan menatap pamannya dengan dingin, ia hanya bisa mengeluh dalam hati. "Paman ini selalu menganggur, pilih-pilih kerja dan bermalas-malasan. Sungguh manusia tak berguna!"

"Aku mau istirahat, pergilah," bentak Chen Lian.

"Kakak ipar dan Kakak Chen Luo pasti pulang larut malam, aku sangat lapar. Bahan makanan habis, jadi aku tidak masak." keluh Chen Zhong.

"Kalau lapar, itu makan! Kalau tidak punya uang, itu kerja! Jangan bermain game terus!" tegur Chen Lian.

Chen Hu tidak peduli, dan melanjutkan bermain game.

Malam itu, Chen Lian memutuskan untuk mandi, dan kemudian segera tidur.

Keesokan paginya, setelah terbangun ia segera bersiap berangkat sekolah. Kedua orang tuanya sedang menunggunya di meja makan untuk sarapan bersama, tetapi, Chen Lian tampak buru-buru.

"Kamu tidak makan dulu, Lian'er?" tanya ibunya dengan lembut.

Chen Lian membalas, "Aku harus segera pergi ibu."

Ketika Chen Lian berada di ambang pintu unit apartemen, ibunya berteriak, "Selamat atas penghargaan nobelmu."

Ekspresi Chen Lian rumit dan tidak berkata apapun, hanya terlihat punggungnya yang segera keluar dari pintu unit.

Beberapa puluh menit akhirnya ia sampai di sekolah.

Saat keluar dari taksi dan berjalan di trotoar sekolah. Para gadis-gadis yang melihat Chen Lian segera mendekat.

Beberapa dari mereka mengeluarkan sesuatu dari tas dan memberikan pada Chen Lian. Ada yang memberi coklat, gantungan, dompet, buku, dan banyak lagi.

Liu Mei, gadis paling populer di sekolah dan dianggap sebagai dewi kecantikan. Mengeluarkan hadiah dari tasnya, sebuah tiket untuk memasuki laboratorium raksasa di Beijing, "Senior, apakah kamu bersedia pergi bersamaku?"

Anastasia, murid pindahan internasional dari Rusia yang sangat cantik, berambut pirang dan kulitnya seputih giok. Ia menatap Chen Lian dengan senyumannya yang menawan, "Kakak Chen, selamat atas kemenangannya. Apakah kamu menemaniku makan malam?"

Dan juga beberapa ucapan manis para gadis-gadis cantik yang centil.

Chen Lian tetap melangkah dan bersikap acuh tak acuh dengan ekspresi dingin. Sampai ia tiba di depan gerbang sekolah dan seorang gadis berteriak.

"Chen Lian?!"

Segera Chen Lian mengalihkan pandangannya dan menatap gadis itu, ia adalah Lu Rei. Senyuman tipis terlihat pada bibir Chen Lian.

Namun, ia juga langsung mengalihkan pandangan dingin dengan tatapan yang mengerikan pada para gadis genit itu sehingga mereka segera pergi karena ketakutan.

"Ka... kakak Chen Lian?"

"Aku takut...."

"Aaaaa..."

Jeritan para gadis-gadis centil itu.

Chen Lian berjalan ke arah Lu Rei dan tersenyum, "Apa kau sudah tahu beritanya?"

"Kau pernah bilang, akan memberiku hadiah saat aku berhasil mendapatkan nobel. Jangan lupakan janjimu itu!" lanjut Chen Lian.

Lu Rei menatap Chen Lian dengan senyuman manis, kemudian membalas, "Tentu saja aku tidak lupa!"

"Tapi... aku masih tidak percaya, kalau kau bisa mendapatkan nobel itu," ejek Lu Rei.

Chen Lian mendecak, "Kau ini... Meremehkanku ya?"

Lu Rei membusungkan dadanya dan menyombongkan diri, "Memangnya kenapa kau meremehkanmu? Kau berani padaku, ha?"

"Aku ini master karate lho! Cowok lemah kayak kamu akan mudah aku tumbangkan," lanjut Lu Rei.

Chen Lian membalas dengan senyuman menawan, yang terpancar diwajahnya hanya saat Lu Rei berada di hadapannya.

Mereka berjalan menuju gedung sekolah sambil bercanda. Fakta bahwa Chen Lian adalah lelaki tanpa emosi, bahkan memiliki julukan sebagai 'Pangeran Es.' Tetapi, kalau itu adalah sahabatnya, Lu Rei, es kutubnya mencair.

Setelah berjalan selama beberapa puluh menit, mereka akhirnya sampai di depan pintu gedung sekolah.

"Kau.... masuklah terlebih dahulu," ucap Lu Rei sembari tersenyum menatap Chen Lian.

Chen Lian terkejut, "Kau mau kabur kemana?"

Tiba-tiba tubuh Lu Rei mulai transparan dan menghilang.

Wajah Chen Lian memerah, air matanya tak sanggup menahan lagi untuk tidak keluar. Pertemuannya dengan Lu Rei selama beberapa menit yang lalu hanyalah halusinasinya.

Fakta bahwa Lu Rei dan Fu Heng telah meninggal 2 tahun yang lalu, dan hal itu sangat menyayat hati Chen Lian. Terkadang, ia bisa menjadi gila, halusinasi dan depresi.

"Aku .... Tidak menyangka bahwa semuanya hanyalah ilusi," lontar Chen Lian lirih sembari menunduk ke bawah.

"Kematian.... adalah kutukan," lanjut Chen Lian.

Pemuda yang dulunya lembut, kini menjadi sosok berhati dingin, semenjak kedua sahabatnya meninggal.

Ia berjalan dengan ekspresi dingin melewati lorong-lorong sekolah. Bayangannya saat masih bersama Lu Rei dan Fu Heng dahulu, tersimpan di dalam memori ingatan.

Akhirnya, dia sampai di kelas dan duduk dengan malas. Tubuhnya lemas karena kurang tidur, sementara, mentalnya juga tidak stabil.

Beberapa saat kemudian, guru sejarah masuk dan mengajar. Chen Lian memejamkan matanya di atas meja kelas.

Dalam tidurnya, ada suara samar-samar yang terdengar.

"Yin'er bangunlah! Ini sudah siang dan kamu benar-benar akan ayah hukum."

"Anak kurang ajar ini.... Tidak mau bangun sepertinya?"

Bab 3—Dunia Lain

Chen Lian yang merasa kelelahan, berusaha mengabaikan suara berisik itu, dan melanjutkan tidurnya.

"Anak ini...!!"

"Ayah, sudahlah. Bukankah anak kita sedang sakit?"

"Aku tidak peduli! Dia harus segera sembuh dan membantuku di hutan."

Suara itu semakin lama semakin mengganggu pemdengaran. Akhirnya, Chen Lian membuka mata. Namun, pemandangan di depannya terlihat sangat berbeda.

Atap yang terbuat dari kayu, dinding kayu, bahkan tempat tidur pun kayu. Ini sungguh tidak biasa.

"Apa aku diculik?" batin Chen Lian.

Ia segera mengamati sekeliling, memeriksa baju dan seluruh fisiknya. Chen Lian tengah mengenakan hanfu sederhana, lebih anehnya lagi, rambut hitamnya kini terurai panjang.

Tak lama, seorang wanita paruh baya yang mengenakan hanfu berwarna kecoklatan, masuk ke dalam kamar yang berpintukan kain.

Wajahnya tampak sangat mirip dengan Li Yi, tapi, wanita paruh baya ini tampak lebih feminim dan keibuan. Wanita itu mengelus kepala Chen Lian dengan lembut.

"Yin'er, apakah kamu masih sakit?" tanya wanita itu dengan senyuman.

Tentu pamandangan seperti ini tampak tidak nyata bagi Chen Lian, ia segera duduk di ranjang dan berkata, "Ibu...."

"Tidak perlu bekerja ke hutan, kamu masih sakit, nak. Ibu buatkan sup kesukaanmu," balas wanita itu dengan lembut.

Chen Lian segera memegang dahinya dan merasa hawa tubuh yang panas. Namun, dia juga mencubit lengannya dan merasakan sakit. "Ini bukan mimpi...." pikirnya dalam hati.

Setelah perempuan itu meninggalkan kamar. Chen Lian segera berdiri dan bergegas pergi ke halaman rumah. Tampak seorang pria paruh baya memotong bongkahan kayu besar menggunakan kapak.

Lagi-lagi wajahnya tampak familiar....

Wajah pria paruh baya itu mirip Chen Luo, namun, sedikit lebih garang dengan rambut sebahu yang sebagian diikat kebelakang.

"Ayah?" sapa Chen Lian.

Pria itu menoleh dan berkata dengan kasar, "Kau!"

"Kemarin kau nekat membantuku dan membawa puluhan ton kayu. Namun sekarang kau sakit? Dasar anak tidak berguna!" cibir lelaki paruh baya itu.

Chen Lian segera berpikir dalam hatinya, "Apakah... ini kehidupan paralel? Aku ingat bahwa dunia paralel memiliki realitas dengan fikisa kuantum, tapi...."

"Anak bodoh! Kembali sana ke kamar dan beristirahat. Segera sembuh dan bantu aku ke hutan!" gerutu lelaki paruh baya itu.

Chen Lian tidak kembali ke dalam rumah, namun dia duduk di halaman sambil memandangi pria yang mirip ayahnya itu. Pikirannya berkecamuk dan memikirkan berbagai macam teori fisika kuantum.

Lalu, sebuah ide muncul dan dia membuka mulutnya. "Ayah, apa arti dari namaku?" tanya Chen Lian, dengan trik ini, ia berharap tahu siapa nama pemilik tubuh ini.

"Kau sepertinya gila karena sakit!" balas pria paruh baya itu.

Chen Lian terkejut dengan tanggapan pria itu, sungguh diluar dugaan. Lalu, ia kembali bertanya. "Ayah, sekarang tahun berapa?"

Pria paruh baya itu hanya diam. Bukan karena malas menjawab pertanyaan itu, tapi karena tidak tahu apa yang dimaksud anaknya.

Chen Lian berdecak, lalu masuk ke dalam rumah. Dia mengamati sekeliling untuk mencari listrik, dan... tidak ada.

Rumah itu mengandalkan lentera kuno sebagai penerangan. Manik hitam miliknya membulat. “Apa aku kembali ke zaman dinasti Xia? Kalau iya... aku akan menciptakan energi listrik dan akan dikenal oleh dunia sebagai ilmuwan penemu listrik."

Chen Lian ke luar dari rumah, pergi ke halaman dengan niat untuk bertanya keberadaan ‘tukang pelebur besi’ pada pria paruh baya itu.

Namun, sebelum ia berhasil bertanya, seorang pemuda berusia 26 tahun dengan rambut panjang terurai, mengenakan hanfu yang sedikit mewah berwarna biru muda. Pria muda itu memiliki aura yang kuat, dia adalah seorang kultivator tahap awal Golden Core.

Pemuda itu memasuki halaman rumah dengan senyuman, "Kakak."

Pria paruh baya yang tadinya tengah memotong kayu segera mengalihkan pandangannya pada pria muda itu. Chen Lian juga mengalihkan pandangannya, dan segera berpikir.

"Chen Hu? Tapi.... kenapa dia tampak lebih tampan? Apa yang berbeda?" Chen Lian bertanya-tanya di dalam batinnya, sembari mengerutkan kening.

Pria paruh baya itu segera menjawab, "Xu Liang, bagaimana kabarmu?"

Xu Liang menggenggam kedua tangannya ke depan sebagai rasa hormat.

"Aku baik-baik saja kak. Terlebih, Tetua Sekte Tiangu telah menjadikanku seorang guru. Jadi, kedatanganku kemari ingin memberitahu hal yang menggembirakan ini!" ucap Xu Liang.

Chen Lian segera berpikir dalam otaknya, "Jadi, pemuda yang mirip Chen Hu itu bernama Xu Liang. Terlebih, dia adalah seorang guru? Guru apa?"

(Kilas balik)

Beberapa bulan yang lalu, seorang gadis di sekolah yang tergila-gila pada Chen Lian mengirimi sebuah novel mengenai penelitian realitas kuantum.

Namun, saat Chen Lian membaca dengan seksama, ia menjadi marah. Sebab, novel itu hanyalah fantasi, bukan sebuah data empiris.

Novel fantasi itu berisi berbagai pengetahuan tentang dunia yang ditinggali oleh para immortal. Tentu, genre seperti inilah yang dibenci oleh Chen Lian.

(Kembali lagi)

"Ahh, aku ingat sekarang! Dalam buku itu kalau tidak salah.... sekte adalah yayasan yang membina perkembangan ilmu bela diri dan spiritual," pikir Chen Lian dalam hati.

Xu Liang menatap Chen Lian, dan tersenyum. "Keponakan! Sebaiknya kau menjadi muridku," ujar Xu Liang.

Chen Lian menyipitkan mata, lalu ia bergumam dalam hati, "Tunggu dulu. Aku tidak ingin menjadi penyihir! Aku ingin menjadi ilmuwan yang menemukan energi listrik!"

Pria paruh baya itu segera menyela, "Xu Liang, jangan banyak berharap pada bocah itu. Dua tahun yang lalu, Sekte Gaogu sudah memeriksa energi Spiritual serta meridiannya, dan dia tidak memiliki potensi."

"Siapa juga yang mau jadi murid sekte!" dalam hati Chen Lian.

Xu Liang mengerutkan kening dan menghampiri Chen Lian. Ia mengangkat tangan kanan dan mengarahkannya ke dada Chen Lian. Ujung jari telunjuk dan tengahnya bersinar aura biru lembut.

Dalam pandangan Xu Liang, saat ia melihat tubuh Chen Lian, tiga buah akar berwarna ungu bersinar di dalam dentian. Hal itu membuat mata Xu Liang berbinar. Antara kegembiraan dan keterkejutan.

"Kau... dantian dan meridian milikmu berbeda dari yang lain! Aku pernah membacanya, bahwa yang seperti ini sangat langka!" cetus Xu Liang.

"Tidak, bukan dantian! Ini.... Ini.... Primordial. Di dalam dantianmu, terdapat primordial yang tersegel."

Chen Lian hanya diam, lalu memandang pria paruh baya yang mirip ayahnya itu. "Dentian? Primordial? Meridian? Apa maksudnya? Aku tidak paham sama sekali!" gumamnya dalam hati.

Pria paruh baya itu segera menyela lagi, "Tidak mungkin. Xu Yin sudah pernah mengikuti ujian meridian tapi gagal. Kenapa sekarang punya potensi?"

"Kakak, sebaiknya Xu Yin menjadi muridku. Dia akan mengguncang seluruh kultivator di Negara Xuan ini. Bukankah itu adalah sebuah keuntungan untuk keluarga Xu?" balas Xu Liang.

“Haiyah… Jika Xu Yin menjadi kultivator terkenal, kakak tidak perlu mencari kayu lagi di hutan!” tambah Xu Liang.

Pria paruh baya itu hanya diam dan fokus memotong kayu. Lalu, perempuan yang mirip Li Yi itu muncul dari ambang pintu rumah.

"Ayo makan siang, masakan sudah matang."

Ketiga pria itu masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi makan yang terbuat dari kayu sederhana.

"Kakak ipar, izinkan aku membawa Xu Yin ke Sekte Tiangu sebagai muridku," pinta Xu Liang.

Wanita itu hanya tersenyum, lalu membalas, "Makan dulu. Nanti bisa kita bicarakan."

Jemari kasar wanita itu membawa semangkuk sup wortel, dan menaruhnya tepat di depan Chen Lian. "Maaf, ibu belum bisa membelikan sup daging. Tapi, bukankah kamu juga menyukai sup wortel?"

Melihat tatapan mata wanita itu yang menyedihkan, Chen Lian segera berpura-pura bahagia. Ia tersenyum, "Kata siapa aku suka daging? Aku lebih suka wortel."

Seketika, mata wanita itu berbinar dan senyuman memancar diwajahnya. Ia segera mengambil beberapa makanan dari dapur.

Meja makan itu dipenuhi dengan masakan sederhana. Ubi rebus, tongseng kacang tanah, gandum dan sup wortel. Chen Lian merasa bahwa masakan itu hambar.

Setelah selesai makan, Xu Liang kembali membahas perihal keponakannya. "Jadi, bagaimana kak? Apakah diizinkan?"

Akhirnya, wanita itu mengangguk berat. Ia tahu, jalan kultivasi itu berat. "Tapi, kau harus menjaga keponakanmu dengan sungguh-sumgguh."

"Tentu saja kakak ipar! Xu Yin adalah keponakan yang paling aku sayangi!" ujar Xu Liang dengan senyuman lebar.

Pada malam hari, Chen Lian merasa tak bisa tidur. Otaknya dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia ini. Selain itu, ia juga merasa tak nyaman dengan ranjang kayu tanpa alas yang membuat punggungnya terasa sakit.

Ia terbiasa tidur di atas spring bed yang super empuk, dan kini.. ia harus tidur di kasur kayu. Belum lagi, para nyamuk yang berebutan menggigit tubuhnya.

"Kalau aku tetap di sini, aku bisa mengembangkan energi listrik dan menjadi kaya raya. Pindah dari rumah jelek ini dan hidup nyaman di kota."

"Tapi... kalau aku tetap di sini, sambil mengembangkan temuan energi listrik, pria paruh baya kasar itu pasti akan menyuruhku membantunya di hutan!"

"Tidak! Aku tidak mau!"

Chen Lian banyak memikirkan banyak hal. Ia juga mempertimbangkan keinginan Xu Liang.

"Kultivator ya... Apakah film tidak masuk akal yang ditonton Chen Hu itu nyata?"

"Kalau nyata... mungkin aku bisa mencari jalan keluar untuk kembali ke duniaku sendiri."

____________

Sekte Gaogu \= Sekte Lembah Tinggi

Gāogǔ (高谷)

• 高 \= tinggi

• 谷 \= lembah

Sekte Tiangu \= Sekte Lembah Langit

Tiāngǔ (天谷)

• 天 \= langit

• 谷 \= lembah

Ranah Langkah Pertama:

Qi Awakening ( tingkat 1-19):

Qi Tempering (tahap awal, tengah, akhir)

Golden Core (tahap awal, tengah, akhir)

Golden Soul (tahap awal, tengah, akhir)

Astral Core (tahap awal, tengah, akhir)

Astral Soul (tahap awal, tengah, akhir)

Starbind (tahap awal, tengah, akhir)

Masih ada tiga Langkah lagi menuju Dao. Dijelaskan pada bab-bab selanjutnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!