NovelToon NovelToon

Ibu Kos Ku

1 meninggalkan kampung halaman

Suara berisik terdengar dari sebuah rumah panggung di samping rumah keluarga Hartono. Itu adalah suara dari dua pasangan kekasih yang sedang menghabiskan waktu bersama seperti biasa. Ya, itu adalah Roni dan Ayu, yang sedang menikmati saat-saat terakhir mereka di kampung halaman. Setiap kali mereka merindukan satu sama lain, rumah peninggalan orang tua Roni menjadi tempat mereka untuk berbagi kebersamaan.

"Sayang, apakah kamu benar-benar akan pergi meninggalkan aku besok?" tanya Ayu, ingin memastikan apakah Roni benar-benar akan berangkat ke kota untuk melanjutkan studinya.

"Ya, sayang, aku harus pergi. Ini adalah pesan dari mendiang ayahku," jawab Roni dengan tegas. "Tenang saja, setelah aku mendapatkan semuanya, aku pasti kembali dan menikahimu. Di kota, kita bisa mendapatkan banyak ilmu dan peluang pekerjaan. Itu semua bisa membantu aku untuk menjadi pria yang lebih mapan dan diterima oleh keluargamu."

Ayu menghela napas pelan. "Baiklah, kalau itu keputusanmu. Aku akan selalu menunggumu. Semoga kamu tidak melupakan janjimu. Untuk malam ini, aku ingin menginap di rumahmu. Anggap saja ini perpisahan sementara kita," ujar Ayu, matanya mulai berkaca-kaca. Ia tidak bisa menahan kepergian Roni yang akan meninggalkan kampung mereka untuk mengejar cita-citanya di kota besar.

"Aku melakukannya untuk kita juga, Ayu," kata Roni, memegang tangan Ayu dengan lembut.

Malam itu mereka habiskan berdua, di atas tempat tidur yang menjadi saksi banyak kenangan indah mereka. Ayu tidak peduli dengan orang tuanya yang mungkin sedang menunggunya pulang di rumah. Saat itu, yang penting baginya adalah kebersamaan dengan Roni, lelaki yang sangat ia cintai, yang sebentar lagi akan meninggalkannya.

Keesokan paginya, Roni yang sudah menyiapkan segala sesuatunya pun segera pamit pada Ayu. Di kampung ini, ia tak memiliki siapa-siapa lagi, selain Ayu yang selalu setia mendampinginya. Beberapa bulan lalu, orang tuanya meninggal, dan kini Roni harus hidup sebatang kara. Keputusan untuk pergi ke kota menjadi langkah baru dalam hidupnya, dan ia berjanji untuk kembali setelah meraih kesuksesan.

"Sayang, hati-hati ya. Jangan lupa kirim surat ke Ayu. Jaga kesehatan di sana, karena tidak ada Ayu yang bisa merawat kamu," pesan Ayu dengan air mata yang perlahan menetes. Malam yang penuh gairah itu tak cukup untuk menghapus kesedihannya akan perpisahan ini.

"Aku akan selalu ingat pesanmu. Kamu juga jaga dirimu baik-baik, ya. Aku pasti kembali. Tunggu aku," jawab Roni dengan penuh keyakinan, sebelum akhirnya naik ke becak yang akan mengantarkannya ke stasiun.

Roni menatap pemandangan sawah yang menghampar luas di kampungnya. Ia tak menyangka bahwa hari ini adalah hari terakhirnya di tempat yang penuh kenangan ini. Namun, ia sadar bahwa sebagai seseorang yang sebatang kara, ia tak punya banyak pilihan. Tak ada warisan yang ditinggalkan orang tuanya, dan kini ia harus melangkah ke kota untuk melanjutkan studi dan mencari pekerjaan demi masa depan yang lebih baik.

Setelah menempuh perjalanan panjang dengan kereta api, Roni akhirnya tiba di kota besar. Turun di stasiun kereta api, ia segera membuka selembar kertas yang berisi alamat kampus tempat ia akan mendaftarkan diri.

"Ternyata lumayan jauh dari sini. Kukira lokasinya lebih dekat," gumamnya. Tak ada pilihan lain, ia mulai mencari taksi untuk membawanya ke sana.

Seorang sopir taksi menghampirinya. "Tuan, mau ke mana?" tanya sang sopir ramah.

Roni menyerahkan kertas yang memuat alamat kampus tersebut. "Saya mau ke alamat ini, Pak. Saya tidak terlalu paham wilayah kota. Saya datang dari kampung."

Sopir itu membaca alamat tersebut dan tersenyum. "Oh, mau daftar di kampus ini ya? Kebetulan anak saya juga sekolah di sana. Tapi, rencananya kamu mau tinggal di mana? Apa ada keluarga di sini?"

"Sayangnya tidak, Pak. Saya datang sendiri dan rencananya akan mencari kos-kosan di sekitar kampus," jawab Roni.

"Begitu ya. Tapi kos-kosan di sini mahal-mahal loh, Nak," kata sopir itu mengingatkan.

"Nanti saya cari yang lebih murah, Pak. Kalau harus jauh sedikit dari kampus, tidak apa-apa," jawab Roni yakin.

Sepanjang perjalanan, mereka berbincang santai. Roni memperkenalkan dirinya, sementara sopir itu membagikan beberapa tips agar berhati-hati di kota besar. Setelah beberapa waktu, mereka tiba di depan kampus yang megah.

"Pak, saya cuma punya uang segini. Kalau kurang, nanti saya lunasi," kata Roni sambil menyerahkan uang.

"Sudah cukup, Nak. Kamu jaga diri baik-baik ya. Kota ini beda dengan kampung. Hati-hati," pesan sang sopir sebelum meninggalkan Roni.

Roni memandang kampus besar itu dengan takjub, namun ia memutuskan untuk mencari kos-kosan terlebih dahulu sebelum mendaftar. Beberapa jam ia berkeliling, tapi setiap tempat yang ia temukan memiliki biaya sewa yang sangat tinggi.

"Astaga, mahal sekali. Kalau begini, aku tidak bisa makan," gumamnya kecewa. Ia melanjutkan perjalanan, berharap menemukan tempat yang lebih murah.

Namun, di sebuah gang sempit, ia tak sengaja bertemu dengan sekelompok pemuda jalanan. Saat ia hendak berbalik untuk menghindar, mereka sudah melihatnya.

"Heh, mau ke mana kamu? Ayo ke sini gabung," panggil salah satu dari mereka.

"Saya cuma lewat, Bang. Maaf, saya salah jalan," jawab Roni dengan sopan, berniat pergi.

Namun, mereka menghadang. "Tunggu dulu. Kamu orang kampung, ya? Di sini ada uang perkenalan. Berikan sebagian uangmu, biar aman," kata mereka.

Roni berusaha menjelaskan. "Maaf, Bang. Saya tidak punya banyak uang. Ini saja hanya cukup untuk sewa kos dan makan."

"Sudah, jangan banyak alasan. Cepat keluarkan uangmu," kata mereka memaksa.

Roni, yang tak punya pilihan, memilih melarikan diri. "Berhenti, sialan! Kejar dia!" teriak salah satu dari mereka.

Roni terus berlari, menyusuri gang-gang sempit. Namun, karena tak mengenal wilayah itu, ia malah tersesat. Dengan napas terengah-engah, ia melihat sebuah rumah dan memutuskan masuk untuk bersembunyi.

"Sial, kota ini ternyata seram juga," gumamnya sambil mengatur napas.

Tiba-tiba, suara seorang wanita mengagetkannya. "Hei, apa yang kamu lakukan di sini? Jangan-jangan kamu mau mencuri?" seru wanita itu.

Roni langsung menjelaskan. "Bukan, Mbak. Saya hanya berusaha menghindari preman yang mengejar saya. Kalau tidak percaya, saya akan pergi sekarang."

Wanita itu mengamati Roni yang tampak ketakutan, lalu bertanya. "Kamu bukan orang sini, ya? Dari kampung, kan?"

"Iya, benar, Mbak. Kok Mbak tahu?" tanya Roni.

"Hanya menebak," jawab wanita itu sambil tersenyum tipis.

Roni memperkenalkan diri. "Nama saya Roni, Mbak. Saya sedang mencari kos-kosan, tapi belum dapat yang sesuai. Harganya mahal sekali, sedangkan uang saya tidak banyak."

Wanita itu mendengarkan dengan perhatian. "Oh, kamu mencari kos-kosan, ya? Kebetulan di sini juga kos-kosan, tapi saat ini penuh. Mungkin minggu depan ada yang kosong."

"Walah, kalau begitu saya harus cari tempat lain. Hari sudah hampir malam," kata Roni, hendak pergi.

"Tunggu," kata wanita itu menghentikan langkahnya. "Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal sementara di rumah saya. Ada kamar kosong untuk sementara waktu. Kota ini tidak aman, apalagi untuk orang baru seperti kamu."

"Benarkah, Mbak? Tidak apa-apa?" tanya Roni ragu.

"Tidak apa-apa. Ayo, ikut saya," ajak wanita itu.

Roni mengikutinya ke dalam rumah. Wanita itu memperkenalkan dirinya. "Ini rumah pribadi saya, dan di belakang adalah kos-kosan milik saya. Kamu bisa tinggal di sini dulu. Panggil saja saya Mbak Maya."

"Terima kasih banyak, Mbak Maya. Tapi apa suami Mbak tidak keberatan kalau saya tinggal di sini?" tanya Roni.

Maya tersenyum tipis. "Saya sudah lama menjanda, Roni. Jadi tenang saja, saya tinggal sendiri."

Roni mengangguk penuh terima kasih. "Baik, Mbak Maya. Sekali lagi, terima kasih."

2

"Kamar mandinya ada di sana, kalau kamu ingin membersihkan tubuhmu. Tidak apa-apa, pakai saja untuk sementara. Itu kamar mandi saya," kata Maya sambil menunjuk ke arah kamar mandi.

"Terima kasih banyak, Mbak Maya. Saya benar-benar merepotkan," ucap Roni sopan.

"Ah, tidak apa-apa. Anggap saja seperti rumah sendiri. Omong-omong, tujuan kamu ke kota ini apa, kalau saya boleh tahu?" tanya Maya, penasaran.

"Saya datang untuk melanjutkan kuliah, Mbak. Kebetulan dapat beasiswa di salah satu kampus besar di sini. Sekalian juga ingin mencari pekerjaan," jelas Roni sambil tersenyum, senyum yang membuat Maya sejenak terdiam.

"Begitu, ya? Tapi hati-hati, ya. Jakarta itu keras. Banyak hal yang mungkin belum kamu tahu, apalagi kalau tidak punya kenalan," nasihat Maya dengan nada lembut.

"Iya, Mbak. Tapi saya beruntung bisa bertemu orang baik seperti Mbak, jadi saya lebih tenang," jawab Roni sambil tersenyum lagi.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Tok! Tok! Tok!

"Mbak, apa saya perlu sembunyi? Takutnya orang salah paham," kata Roni sedikit panik.

"Tidak perlu. Kamu tetap di sini saja. Mungkin itu salah satu penghuni kos. Saya akan bukakan pintunya," ucap Maya tenang.

Saat pintu dibuka, tampak seorang pemuda berdiri di sana. "Mbak, atap kamar saya bocor. Air hujan masuk," kata pemuda itu, yang ternyata bernama Bayu.

"Oh, begitu. Tunggu sebentar ya. Nanti saya minta Pak Hasim untuk memperbaikinya," jawab Maya.

Roni yang mendengar hal itu segera menawarkan diri. "Maaf, Mbak, saya dengar tadi ada masalah atap bocor. Boleh saya bantu lihat?"

"Kamu bisa perbaiki atap?" tanya Maya, heran.

"Kebetulan di kampung saya sering bantu-bantu perbaiki atap. Insyaallah bisa," jawab Roni yakin.

"Tapi ini lagi hujan. Nanti kamu sakit. Lagipula kamu baru sampai, istirahat dulu saja. Biar nanti tukang kami yang urus," saran Maya.

"Tidak apa-apa, Mbak. Saya bisa atasi. Yuk, Bayu, tunjukkan kamarnya," kata Roni penuh semangat.

Bayu pun membawa Roni ke kamarnya. Setelah mengambil tangga dan memeriksa bagian atas, Roni menemukan beberapa genteng pecah. Ia segera menggantinya. Namun, saat berada di atas, ia mendengar suara dari kamar sebelah yang cukup mencolok.

"Astaga, suara mereka bisa sekeras itu? Mengalahkan suara hujan," gumam Roni dengan senyum kecil.

"Sudah, atapnya tidak akan bocor lagi," ucap Roni ketika turun.

"Terima kasih, Bang. Oh ya, saya baru pertama lihat Abang. Orang baru ya?" tanya Bayu.

"Iya, saya Roni. Asalnya dari kampung. Lagi cari tempat tinggal, dan Mbak Maya izinkan tinggal sementara karena belum ada kamar kosong," jawab Roni.

"Oh, begitu. Kebetulan yang di kamar sebelah mau pulang kampung. Jujur, saya sering terganggu dengan suara-suara dari kamarnya tiap malam," keluh Bayu.

Roni tersenyum, teringat suara serupa saat di atap.

"Nggak ada aturan ya soal bawa pasangan ke kos?" tanya Roni.

"Haha, di sini bebas, Bang. Asal nggak ganggu orang lain," jawab Bayu santai.

"Pantas. Kamu sendiri kenapa nggak ajak pacar?" goda Roni.

"Haha, saya anak baik-baik, Bang. Belum kepikiran pacaran," sahut Bayu sambil tertawa.

Setelah ngobrol sebentar, Roni pamit. "Saya mandi dulu, Bayu. Badan saya basah. Besok kita ngobrol lagi, ya."

"Siap, Bang. Jangan lupa main ke sini lagi."

Saat kembali, Maya sudah menunggu. "Roni, ayo makan. Saya sudah masak," ajaknya ramah.

"Astaga, saya merepotkan sekali, Mbak. Saya bisa beli makanan sendiri kok."

"Sudah, sini. Jangan banyak bicara," kata Maya sambil tersenyum.

Roni melihat ke arah meja makan, namun matanya tanpa sengaja tertuju pada Maya yang mengenakan pakaian santai. Ia menunduk cepat, malu pada pikirannya sendiri.

Maya menyadari tatapan itu dan hanya berdehem kecil. Khem! Menyadarkan Roni dari lamunannya.

Setelah makan malam, Maya meminta bantuan Roni membawa piring ke dapur.

"Tolong bawakan piring-piringnya, ya. Saya mau mencuci."

Roni menurut. Namun saat mengikuti Maya dari belakang, pikirannya mulai tak karuan. Tubuh Maya yang mungil dan anggun membuat hatinya bergolak.

Tanpa sadar, Roni memeluk Maya dari belakang. Tangannya gemetar.

Maya terdiam sejenak, lalu menoleh dengan senyum tipis. "Roni... apa yang kamu lakukan?"

"Maaf, Mbak... saya nggak bisa menahan perasaan saya," bisik Roni, pelan.

Suasana menjadi hening dan tegang. Maya menatapnya dengan dalam, tapi tak menunjukkan kemarahan.

"Mbak... izinkan saya. Hanya malam ini saja... saya terlalu mengagumi Anda," ucap Roni lirih.

Maya tersenyum kecil, menggoda. "Bukannya tadi di kamar mandi kamu sudah... menyelesaikannya sendiri?" candanya.

"Mbak, kok tahu?" Roni panik.

"Suaranya terdengar jelas," jawab Maya tenang. Tapi Roni sudah tak bisa menahan diri. Ia mendekat dan memeluk Maya lebih erat, mencium lehernya dengan lembut.

"Roni... tunggu. Saya mau selesaikan cucian dulu," ucap Maya dengan suara sedikit bergetar. Tapi Roni hanya memandangnya dalam-dalam, lalu mulai menuruni tangannya.

Maya tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia memegang tangan Roni, lalu membisikkan, "Kita lanjut di kamar, ya."

Tanpa berkata, Roni menggendong Maya dan membawanya ke kamar. Ciuman mereka menyatu, menyimpan seluruh hasrat yang tak bisa lagi dipendam.

Di kamar, suara hujan di luar menjadi latar malam yang akan mengubah hubungan mereka selamanya.

3

Keesokan Pagi

Roni terbangun dan mendapati dirinya masih berada di tempat tidur Maya. Namun, Maya sudah tidak ada di sampingnya. Ia melihat bercak darah di atas sprei, membuatnya menggelengkan kepala, mengingat kejadian malam sebelumnya.

“Bukan hanya cantik, tubuhnya juga begitu mempesona. Maaf ya, Mbak, kalau aku terlalu bersemangat semalam,” gumamnya.

Roni bangkit, membersihkan tubuhnya yang masih lengket karena cumbuan semalam. Setelah selesai, ia bersiap untuk pergi ke kampus barunya, tempat ia diterima melalui program beasiswa.

Saat mengambil air minum di meja makan, ia mendapati sarapan yang sudah disiapkan oleh Maya. Sambil tersenyum, Roni merasa sangat berterima kasih atas kebaikan wanita itu. Ia menikmati makanannya dengan lahap sebelum berangkat.

Di Kampus Baru

Sementara itu, Maya yang berada di meja kerjanya di rumah sakit termenung, mengingat kejadian semalam. Senyuman kecil terlukis di wajahnya. Ia tidak menyangka dirinya menyerahkan tubuhnya pada pria yang baru ia kenal.

“Ah, kenapa masih terasa perih begini…” Maya meringis kecil sambil memijat pinggulnya.

Di sisi lain, Roni tiba di kampus barunya dengan penuh semangat. Ia tersenyum, meski pakaian yang ia kenakan sedikit lusuh. Namun, wajah tampannya berhasil menutupi kesan sederhana itu.

“Permisi, Sobat. Apa saya boleh bertanya di mana ruang pendaftaran?” tanya Roni dengan sopan pada seorang mahasiswa.

Setelah diberi arahan, Roni segera menuju ruang pendaftaran, menyerahkan formulir, dan resmi menjadi mahasiswa di kampus tersebut. Ia memutuskan untuk berkeliling, mencoba mengenal lingkungan barunya.

Sikap ramahnya menarik perhatian banyak orang. Beberapa mahasiswa wanita memperhatikan Roni dari kejauhan, membicarakan penampilan dan gaya santainya.

“Siapa dia? Sepertinya dia siswa baru. Tapi, kenapa bajunya lusuh begitu?” bisik salah satu dari mereka.

Namun, wajah Roni tetap berseri-seri, tidak peduli pada penilaian orang. Saat melewati sebuah tangga, Roni tanpa sengaja menabrak seorang gadis cantik yang sedang membawa buku.

“Maaf, Kak! Saya nggak sengaja,” kata Roni sambil segera memunguti buku yang jatuh.

Gadis itu hanya terdiam, memandangi Roni dengan tatapan terpukau. Ia tidak memperhatikan pakaian sederhana Roni, tapi lebih tertarik pada senyum manisnya.

“Tunggu…” ucap gadis itu pelan. Namun, Roni sudah berlalu, tidak mendengar panggilannya.

Di Lapangan Kampus

Roni melihat sekelompok mahasiswa bermain sepak bola di lapangan. Dengan ramah, ia menyapa mereka.

“Hai, Sobat! Apa saya boleh ikut bermain?” tanyanya sopan.

Awalnya, mereka ragu, tapi salah satu pemain yang lelah mempersilakan Roni menggantikannya.

“Baiklah, kamu gantikan aku,” kata seorang pemuda bernama Ben.

Setelah bergabung, Roni menunjukkan keahliannya dalam bermain bola. Gaya dan kelincahannya membuat semua orang terpesona.

“Hebat sekali! Siapa dia? Giringannya luar biasa,” seru para penonton.

Namun, tidak semua terkesan. Jack, salah satu pemain dari tim lawan, terlihat tidak menyukai Roni.

“Lihat, Jack. Dia lebih hebat darimu,” ujar Ari, teman Jack, sambil tersenyum mengejek.

“Diam kamu!” balas Jack kesal, menatap tajam ke arah Roni.

Itulah awal kisah Roni di kampus barunya, di mana ia mulai menarik perhatian banyak orang, baik teman maupun musuh. Namun, ia tetap menjalani semuanya dengan senyuman dan sikap ramah yang menjadi ciri khasnya.

Roni merasa cukup berkeliling kampus, lalu memutuskan untuk beristirahat sejenak guna menghilangkan keringat setelah bermain bola. Setelah beristirahat, ia kembali melanjutkan langkah, menjelajahi setiap sudut kampus dengan penuh semangat.

Ketika mahasiswa mulai pulang, Roni pun memutuskan untuk pulang. Namun, saat tiba di gerbang keluar, sebuah mobil berhenti di sampingnya. Seorang pemuda menyapanya.

"Hai, sobat. Mau ikut?" tanya pemuda itu yang ternyata Bobi, teman setim Roni saat bermain bola tadi.

Roni dengan sopan menolak, "Tidak usah, saya jalan saja. Dekat kok."

Namun, Bobi mendesaknya dengan ramah, "Ayolah, anggap saja sebagai perkenalan. Kami juga nggak langsung pulang, ini mau keliling sebentar. Ayo, ikut saja, nanti aku ajak keliling kota."

Akhirnya, Roni setuju. Dengan sedikit canggung, ia membuka pintu belakang mobil, tetapi terlihat bingung karena tidak tahu cara membukanya. Gadis di dalam mobil membukakan pintu untuknya.

"Terima kasih, Kak," ujar Roni dengan senyum. Ia menatap gadis itu, yang ternyata adalah Miya, adik Bobi sekaligus gadis yang ia tabrak sebelumnya.

"Kenalin, ini Seli pacarku, dan ini Miya, adik perempuanku," kata Bobi memperkenalkan kedua gadis di mobil itu.

"Halo, Miya. Halo, Seli. Kenalin, saya Roni, anak baru," ujar Roni ramah. Miya yang duduk di sebelah Roni hanya tersenyum malu-malu, merasa canggung berada begitu dekat dengannya.

Sepanjang perjalanan, Bobi dan Roni terlibat dalam obrolan hangat, sementara Miya lebih banyak diam, hanya sesekali tersenyum. Seli pun lebih memilih mengamati percakapan tanpa banyak ikut campur.

"Oya, Roni. Besok hari Minggu kami mau camping di pantai. Kamu mau ikut? Kita mau nginap beberapa malam di sana," ajak Bobi dengan antusias.

"Boleh, tapi saya nggak ngerepotin kan? Soalnya, saya nggak biasa yang seperti ini," jawab Roni polos.

"Udahlah, nggak usah mikir soal itu. Semua biaya aku yang urus. Anggap saja sebagai acara bareng sahabat. Mulai sekarang, kamu sahabatku. Kalau ada yang ganggu kamu, kasih tahu aku," kata Bobi tegas.

Mendengar itu, Roni merasa semakin sungkan. Dia tidak menyangka Bobi bukan hanya kaya, tetapi juga sangat baik hati.

"By the way, kamu tinggal di mana, Ron?" tanya Bobi.

"Saya ngekos di sekitar sini," jawab Roni.

"Kalau gitu, mau nggak tinggal bareng aku? Kebetulan di rumah ada kamar kosong," tawar Bobi.

Roni langsung menolak, "Tidak usah, Bob. Jadi sahabat kamu saja itu sudah lebih dari cukup. Kalau sampai tinggal bareng, saya malah makin malu."

Bobi tersenyum. "Baiklah, tapi ingat, kalau ada apa-apa, bilang ke aku. Jangan sungkan, ya."

Percakapan mereka terus mengalir. Roni sempat menoleh ke Miya yang masih diam. "Miya, kok diam saja dari tadi?" tanyanya.

"Miya memang pemalu, Ron. Tapi nanti kalau sudah akrab, dia nggak akan begitu lagi," jawab Bobi sambil tersenyum.

"Hehe, jangan malu-malu, Miya. Yang seharusnya malu tuh saya," gurau Roni. Miya hanya tersenyum kecil, menundukkan wajahnya.

Bobi benar-benar meluangkan waktu untuk mengajak Roni berkeliling kota, bahkan mengorbankan waktu romantisnya bersama Seli. Mereka mengunjungi berbagai sudut kota hingga akhirnya berhenti di sebuah restoran. Di restoran itu, Roni terlihat begitu kikuk—tidak tahu makanan apa yang harus dipesan atau cara duduk yang benar. Tingkah lugu dan kampungannya sempat menarik perhatian orang-orang sekitar. Beberapa bahkan mencibir, tetapi Bobi membela Roni.

"Dia ini sahabatku. Siapa pun yang menghina dia, sama saja menghina aku," ucap Bobi tegas, membuat orang-orang terdiam.

Bobi benar-benar menghargai Roni, karena sudah mencari tahu latar belakangnya. Ia tahu bahwa Roni bukan orang sembarangan. Dengan kecerdasan dan bakatnya, Roni berhasil masuk kampus bergengsi lewat jalur beasiswa.

Di tengah makan, Bobi berbicara kepada Miya, "Miya, banyak-banyaklah bergaul sama Roni. Dia pasti bisa menjagamu. Aku nggak suka kamu terlalu dekat sama Jack atau orang-orang yang nggak benar."

Roni yang mendengar itu bingung. "Kenapa, Bob? Bukannya banyak teman itu lebih seru?" tanyanya polos.

"Jack itu bukan orang baik, Ron. Aku nggak mau Miya salah langkah. Dia satu-satunya adik perempuanku. Sepertinya kalian akan satu kelas nanti. Jadi, tolong jaga dia, ya," pinta Bobi.

Roni mengangguk setuju walaupun masih belum sepenuhnya paham situasinya.

Setelah selesai makan, Bobi mengantar Roni kembali ke tempat tinggalnya. Namun, ketika Roni memintanya masuk, Bobi menolak karena harus menyelesaikan urusan mendesak.

"Baiklah, Bob. Hati-hati, ya," ucap Roni sebelum Bobi pergi.

Saat masuk ke rumah, Roni melihat Mbak Maya sedang asyik bekerja dengan laptop di sofa. Mbak Maya, yang sekarang sudah tidak malu-malu lagi mengenakan pakaian seksi di depan Roni, membuat pria itu kembali menelan ludah.

"Mbak, saya pulang," sapa Roni.

"Saya sudah siapkan makanan. Kamu tinggal ke dapur saja," kata Mbak Maya tanpa menoleh.

"Astaga, Mbak. Kenapa repot-repot? Saya jadi nggak enak. Lagi pula, tadi saya sudah makan bareng teman baru," jawab Roni.

Mbak Maya tersenyum kecil. "Kan Mbak sudah bilang, anggap saja rumah ini rumah sendiri. Jangan banyak alasan."

"Baiklah, Mbak. Maaf, tapi saya masih kenyang. Nanti saja kalau lapar, ya," kata Roni, mencoba menolak dengan sopan.

"Baik. Oya, tadi Bayu mencarimu. Dia pikir kamu di rumah. Nanti temui dia, ya. Katanya mau ngobrol," ujar Mbak Maya.

"Siap, Mbak. Saya akan temui dia sekarang," balas Roni, lalu segera pergi menemui Bayu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!