"Bang, ayo bawa Nabil ke rumah sakit," ucap Santi dengan suara gemetar. Air matanya terus mengalir di pipi yang pucat, memeluk tubuh kecil Nabil yang panas dingin.
Bayu duduk di depan televisi, matanya menatap layar tanpa ekspresi. Cuek. Seolah tak ada yang lebih penting dari acara TV-nya.
"Bang, ayo dong... Nabil panas tinggi, badannya menggigil. Mukanya pucat. Aku takut, ini bisa DBD atau tipes," suara Santi makin lirih, nyaris putus asa.
"Brisik banget sih kamu, ganggu aku aja!" bentak Bayu, tanpa menoleh sedikit pun.
Santi merapatkan selimut ke tubuh Nabil. "Dia anak kita, Bang... Tolong..."
Bayu menoleh, kali ini dengan tatapan benci. "Udah kubilang dari dulu, bawa aja anak itu ke panti asuhan. Aku gak mau urus dia. Anak idiot kayak dia, buat apa diselamatin?"
Santi tercekat. Kata "idiot" itu seperti pisau, menyayat lebih dalam dari sebelumnya.
"Brisik banget sih! Ada apa lagi sih?" Sinta, ibu Bayu, keluar dari kamar dengan wajah masam.
"Ini, Bu," kata Bayu cepat. "Si Santi merengek minta anaknya dibawa ke rumah sakit. Padahal aku males keluar uang. Gak penting."
Teriris hati santi bagaimana mungkin urusan anak sendiri dianggap tidak penting
Sinta mengangkat alis, lalu mendengus. "Biarin aja lah, Santi. Anak gak berguna itu kenapa masih kamu urus? Itu salahmu, kamu sih pendidikannya rendah, pantas punya anak cacat begitu."
Santi memandang mertuanya. "Bu... Ini cucu Ibu juga. Jangan berkata seperti itu, tolong..."
"Aduh, aduh... berisik banget!" Nunik, adik Bayu, keluar dari kamarnya. "Ada apa sih?"
"Ini lho, si Santi dari tadi nangis-nangis minta si Nabil dibawa ke rumah sakit," jawab Sinta sambil mencibir.
"Pemborosan, Bu. Udah jadi beban rumah tangga, sekarang malah harus dibela-belain bawa anak pembawa sial itu ke rumah sakit? Halah."
Santi berdiri. Dadanya sesak. Tangannya gemetar. Tapi kali ini ia tak mau diam saja.
"Stop! Kalau kalian tidak mau nolong, gak apa-apa. Tapi tolong... jangan hina anak saya!"
"Sudah berani melawan kamu sekarang?" suara Bayu tinggi. Ia bangkit dari kursi, masuk ke kamar dan mulai melempar keluar baju-baju Santi dan Nabil.
Dengan mata menyala, ia berteriak, "PERGI KAU DARI SINI! SEKARANG JUGA!"
Santi menatap baju-bajunya yang berserakan di lantai. Nafasnya pendek, dadanya perih. Tapi ia tahu, ini saatnya pergi. Ia memungut satu per satu pakaian yang ia punya, lalu menggendong Nabil yang tubuhnya makin dingin, muka semakin pucat.
Langkahnya berat, tapi ia terus melangkah. Tanpa menoleh.
"Jangan pernah kembali lagi, Santi!" teriak Bayu dari balik pintu.
Hujan gerimis turun saat Santi menyusuri jalan desa yang sepi. Tubuhnya menggigil, tapi ia terus melangkah dengan membawa Nabil dalam pelukan. Keringat bercampur hujan membasahi wajahnya.
"Nabil... bertahan, ya, Nak. Ibu di sini..."
"Nanti kita cari pertolongan. Pasti ada jalan..."
"Santi?" Sebuah suara memanggil dari kejauhan.
Santi menoleh. Di bawah lampu jalan yang temaram, terlihat Pak Budi, ketua RT.
"Ada apa kamu malam-malam begini bawa Nabil?"
Santi tak menjawab. Air matanya jatuh begitu saja.
Pak Budi segera mendekat, melihat kondisi Nabil. "Ya Allah... Ini gejala DBD, San! Kamu tunggu sini sebentar. Aku ke kantor desa, kita panggil ambulans."
Santi hanya bisa mengangguk. Kakinya lemas, tapi hatinya masih menggenggam harapan.
Tak lama kemudian, suara sirine ambulans kecil desa terdengar. Dua petugas turun dan langsung membawa Nabil masuk.
"Ayo, San. Kita ke rumah sakit. Kamu juga ikut," kata Pak Budi dengan suara hangat.
Santi duduk di dalam ambulans sambil menggenggam tangan Nabil erat-erat. Ternyata... masih ada orang baik di dunia ini.
Sesampainya di rumah sakit, Nabil langsung dibawa ke ruang IGD. Dokter dan perawat bergerak cepat. Tubuh mungil Nabil dipasangi infus, oksigen, dan selimut hangat.
Pak Budi mengurus semuanya. Berkat bantuannya, Nabil bisa dirawat secara gratis melalui jalur bantuan warga dan desa.
"Untung saja datang tepat waktu, Bu," kata dokter perempuan dengan nada tegas. "Kalau lebih lama sedikit, saya tidak bisa jamin. Anak ibu sudah sangat kritis. Kalau nanti ada gejala seperti ini, langsung ke rumah sakit. Jangan ditunda!"
Santi menunduk. Ia ingin menjawab, ingin menjelaskan bahwa bukan karena tak peduli... Tapi bagaimana mungkin ia bisa membawa Nabil tanpa uang, tanpa dukungan, tanpa siapa-siapa?
Ia hanya seorang ibu rumah tangga. Dianggap pembantu. Dihina. Dibuang.
Tapi hari ini, ia memilih bertahan.
Santi duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Nabil yang lemah.
Anak itu berusia lima tahun. Kepalanya lebih besar dari anak-anak lain. Tubuhnya kecil. Kurus. Perutnya agak membuncit, bukan karena kenyang... tapi karena terlalu sering lapar.
Jari-jarinya terus bergerak, seolah sedang menggambar sesuatu yang hanya ia bisa lihat. Pandangannya kosong. Terkadang air liur menetes dari sudut bibirnya. Tapi Santi tetap menyeka dengan cinta.
"Anakku... Bertahan ya... Ibu sayang kamu."
Dan Nabil hanya menatap langit-langit... dengan sepasang mata yang seolah menyimpan dunia yang berbeda.
..
“San, kamu di sini ya. Aku mau ngabarin Bayu, suamimu,” ucap Pak Budi.
“Jangan, Pak... Dia sudah mengusir aku tadi,” balas Santi lirih.
Pak Budi terdiam sesaat. Sorot matanya tajam menahan geram.
“Dasar gila... Anak sakit malah diusir.”
Ia menghela napas, lalu menepuk bahu Santi dengan lembut.
“Ya sudah, tunggu di sini, ya. Aku pulang dulu.”
Sebelum pergi, Pak Budi menyelipkan selembar uang lima puluh ribuan ke telapak tangan Santi.
“Ini buat kamu makan. Kamu harus sehat... supaya bisa jaga Nabil.”
Tak ada jawaban dari Santi. Bibirnya gemetar. Ia hanya menunduk dan menangis pelan.
Dalam hati, ia mencatat nama Pak Budi. Bukan sekadar tetangga. Tapi malaikat pertama yang turun untuk anaknya.
Pak Budi pulang. Ia mengetuk satu per satu pintu warga. Memberi kabar, memohon bantuan. Dan karena semua tahu siapa Pak Budi—orang jujur, suka menolong, dan tak pernah pamrih—dalam waktu singkat, sumbangan pun terkumpul.
Sore menjelang. Di bangsal kelas tiga rumah sakit, Santi masih duduk di sisi ranjang, mengusap peluh dari dahi Nabil yang pucat. Enam ranjang berdempetan, aroma obat menyengat, suara detak monitor bergema di antara sunyi.
Tiba-tiba, pintu terbuka keras.
Bayu datang. Matanya merah. Wajahnya penuh amarah.
“Hei, istri enggak tahu diri! Semua orang di rumah kelaparan, kamu malah enak-enakan di sini!, cepat pulang masak di rumah” aneh sekali si sengklek ini padahal dia sendiri yang mengusir santi dan sekarang memintanya kembali
Serumah bayu ada 3 prempuan semejank ada santi semua jadi pemalas, biasa dimasakan oleh santi, bahkan baju merekapun dicucikan santi, kenapa santi bertahan tentu saja demi nabil, berharap suatu saat bayu dan keluarganya menerima nabil yang memang tidak seperti anak pada umumnya
Santi tak menjawab. Ia hanya menatap kosong.
dalam hari dia bertekad akan membesarkan nabil seorang diri, nabil bukan aib, nabil adalah anugerah baginya, setiap anak pasti ada rezekinya, demi menjaga kewarasan dia tidak akan bersama bayu lagi, seorang ayah yang jijik sama anak sendiri. Baginya sekarang nabil adalah segalanya.
Bayu semakin mendekat.
“Dasar goblok! Diam saja kamu! Kamu tuli, ya?”
Tangannya terangkat, siap memukul.
“Jangan buat keributan di sini!” bentak seorang pria dari ranjang sebelah. “Kamu buta, apa? Istrimu lagi jaga anak yang sedang sakit!”
Bayu melotot.
“Jangan ikut campur! Ini urusan keluargaku!”
Pria itu berdiri. Rambutnya pirang, tubuhnya penuh tato.
“Urusan lo? Anjing! Ini ruang rawat, bukan ring tinju!”
Ia maju dua langkah.
“Kalau mau ribut, ayo keluar. Jangan ganggu istri gue yang lagi istirahat juga!”
Bayu mundur setengah langkah. Tapi lidahnya masih tajam.
“Awas kamu, Santi! Dasar istri durhaka! Kalau kamu nggak pulang malam ini, aku ceraikan kamu!”
Itu jurus andalannya. Biasanya, Santi akan menangis, bersimpuh, dan memohon.
Tapi kali ini berbeda.
Santi berdiri. Matanya berkaca-kaca, tapi sorotnya tajam.
“Ceraikan aku sekarang juga, Bayu Ardiansyah,” ucapnya lantang.
Bayu mengernyit. Ia pikir ini hanya drama Santi di depan umum.
“Kalau itu maumu,” ucap Bayu keras, “Aku, Bayu Ardiansyah, hari ini menceraikan kamu. Kamu bukan istriku lagi!”
Ia menunggu Santi menangis seperti biasa. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Santi menghadap kiblat. Lalu bersujud di lantai.
“Alhamdulillah, ya Allah,” ucapnya dalam haru, “Aku bebas dari laki-laki kejam ini.”
Tepuk tangan terdengar dari seluruh penjuru ruangan. Penunggu pasien, bahkan beberapa perawat, ikut tersenyum lega.
Pria bertato itu mendekat lagi.
“Hei, bajingan. Sekarang lo bukan siapa-siapa buat dia. Pergi sebelum gue seret keluar!”
Bayu mendengus, memaki, lalu pergi sambil membanting pintu.
Santi memeluk Nabil dengan senyum. Tangisnya masih mengalir, tapi itu bukan air mata putus asa. Itu air mata kemenangan.
Santi menatap Nabil yang sedang terlelap.
Ingatannya melayang ke masa lalu—masa ketika kehadiran Nabil sebenarnya tidak pernah diinginkan oleh Bayu.
“Bang, aku hamil,” ucap Santi dengan mata berbinar.
Menjadi ibu adalah cita-cita banyak perempuan, bukan? Dan tentu saja, Santi sangat bahagia.
Kabar yang bagi sebagian orang merupakan anugerah, bahkan dirayakan dengan sujud syukur atau santunan mendadak, justru menjadi kabar buruk bagi Bayu. Wajah Bayu langsung masam saat mendengar istrinya mengandung.
“Kamu hamil?” Bayu mengulang dengan nada curiga, bukan bahagia. Dahinya berkerut, napasnya memburu.
Santi mengangguk pelan. Tangannya menggenggam test pack bergaris dua—gemetar, gugup, tetapi berharap. Bukankah ini kabar baik? Bukankah setiap anak adalah karunia Tuhan?
“Kamu enggak pakai otak, ya? Kamu pikir kondisi kita sekarang kayak gimana? Aku masih kerja serabutan. Kita belum punya rumah sendiri, enggak ada tabungan. Kenapa kamu malah hamil, Santi? Gugurkan saja! Aku belum siap punya anak!” bentak Bayu.
Santi menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Kalau abang enggak mau punya anak, harusnya abang jangan sentuh aku. Jangan tidur sama aku!” jawabnya.
“Berisik kamu! Kamu memang bodoh dan enggak berguna! Aku enggak mau tahu—gugurkan anak itu!”
“Aku enggak mau, Bang. Itu dosa…”
“Terserah kamu! Tapi awas kalau kamu nyusahin aku dan keluargaku! Ingat, kamu cuma numpang di rumah ini!”
Ya, seperti itulah Bayu. Ia tidak pernah menganggap Santi sebagai istri, melainkan seperti orang asing yang menumpang hidup.
Hari itu, langit terasa lebih kelabu dari biasanya. Sejak saat itu, kehamilan bukan lagi momen penuh bunga dan pelukan hangat.
Bagi Santi, kehamilan adalah awal dari pertempuran panjang—antara hati yang mendamba cinta, dan kenyataan yang terus melukai.
Tak ada vitamin. Tak ada susu ibu hamil. Tak ada pemeriksaan ke bidan atau dokter. Santi hanya mengandalkan nasihat tetangga dan ramuan tradisional. Ia sering pergi ke pinggir hutan, pura-pura mencari sayur, padahal sesungguhnya ia mencari tanaman obat untuk menguatkan kandungannya.
Tujuh bulan berlalu. Perlakuan keluarga Bayu makin menjadi-jadi. Santi seperti tak diberi ruang untuk bernapas, apalagi beristirahat. Hanya karena kasih Tuhan, bayi dalam kandungannya tetap bertahan.
Santi tak mengalami mual seperti ibu hamil lain. Andai iya, tentu yang ia dapat bukan simpati, melainkan cacian dan hinaan.
Di usia kandungan enam bulan, Santi masih mencuci pakaian seluruh penghuni rumah, menyikat kamar mandi, dan membereskan rumah yang tak pernah rapi.
“Nih, cuci bajuku yang bersih! Jangan sampai ada noda!” seru Nunik, adik Bayu, sambil melemparkan cucian ke wajah Santi yang sedang jongkok di dekat ember.
“Bisa enggak kamu cuci sendiri? Aku sudah sangat lelah. Aku ini hamil, Nik…” jawab Santi, lirih.
“Itu masalah kamu! Siapa suruh kamu hamil? Sudah tahu miskin, enggak punya penghasilan, malah hamil! Harusnya kamu nabung dulu, baru mikir punya anak! Sekarang kamu repot sendiri, kan?”
Santi hanya menggumam, “Astagfirullah…”
“Jangan sok alim! Aku enggak mau tahu, sore nanti bajuku sudah harus rapi di lemari!”
Santi menerima perlakuan itu nyaris setiap hari. Keluarga Bayu makin malas sejak kehadirannya. Bahkan untuk menggantungkan handuk pun, mereka menyuruhnya.
Namun, Santi bertahan demi anaknya. Dua tahun sebelum hamil, ayah dan ibunya meninggal karena wabah yang menyerang desa. Kini, ia tak punya siapa-siapa.
Ia ingin melawan. Tapi ia tak punya kekuatan—dan keberanian.
Setiap hari, Santi bangun lebih pagi daripada siapa pun di rumah itu. Ia memasak, mencuci, menyikat kamar mandi, lalu menjemur pakaian. Sarapan? Kadang hanya sisa nasi dingin. Lauknya sudah ludes dilahap mereka yang merasa lebih berhak.
Andai saja Anita, istri Pak Budi, yang diam-diam suka memberikan makanan pada Santi, tidak peduli, mungkin Santi sudah kelaparan. Ia dianggap tak berguna hanya karena tidak menghasilkan uang. Kalau pertanyaan itu dibalik, apakah Sinta, ibu mertuanya, menghasilkan? Tidak. Ia hanya mengandalkan uang dari Bayu. Apakah Nunik juga menghasilkan? Tidak juga. Nunik hanyalah gadis pemalas yang hanya tahu bermain dan meminta uang dari Sinta, ibunya.
Sementara itu, Nina—kakak iparnya—hanyalah istri yang mengharapkan kiriman dari suaminya yang merantau. Suaminya hanya pulang saat Lebaran, itu pun tidak rutin mengirim uang. Hampir semua kebutuhan rumah ditanggung oleh Bayu. Bayu, selain bekerja serabutan, juga menjadi makelar motor dan tanah. Setiap hari ia keluar rumah untuk mencari uang. Doktrin dari ibunya, bahwa Bayu sebagai anak laki-laki harus menjadi kebanggaan keluarga dengan membahagiakan mereka, terus tertanam kuat dalam pikirannya.
Santi walau tidak menghasilkan uang harusnya mereka berfikir, siapa yang membersihkan rumah, siapa yang mencuci pakaian mereka, santi tidak menghasilkan uang tapi dia melakukan banyak hal bagi mereka, tapi bagi mereka itu bukan hal yang membanggakan. Harusnya santi diperlakukan baik karena bayulah yang paling banyak berkonribusi terhadap keungan meraka.
Malam itu, Santi merasa nyerinya semakin menjadi. Kandungannya telah memasuki bulan ke delapan. Perutnya terasa keras, punggungnya nyeri, dan setiap langkah seolah menginjak batu tajam. Tapi tidak ada satu pun yang menawarkan bantuan.
Bayu sibuk dengan gawainya, tertawa bersama teman-temannya lewat video call. Sinta malah menyuruh Santi mengupas dua kilogram kentang untuk hajatan tetangga. Sementara Nina dan Nunik bolak-balik mencoba baju baru mereka, tidak peduli meskipun Santi berjalan membungkuk menahan nyeri.
“Kamu enggak usah drama. Perempuan lain juga hamil. Biasa aja tuh,” ejek Nina, kakak iparnya. Ia bahkan menertawakan Santi yang mulai tertatih saat berjalan.
Santi diam. Lagi-lagi. Ia sudah terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa nyeri itu bukan pura-pura. Bahwa rasa sakit itu nyata. Tapi mungkin, di rumah ini, kehamilan bukanlah hal istimewa. Bukan pula sesuatu yang pantas dirayakan.
Malam itu juga, kontraksi mulai terasa. Ia tahu, karena sudah membaca buku tua yang ia pinjam dari perpustakaan desa. Saat ia mengaduh pelan, memanggil Bayu, suaminya malah kesal.
“Aduh, kamu ini bikin panik aja! Nanti aja, tunggu pagi! Malam-malam begini mana ada bidan buka!” hardik Bayu.
“Bang Bayu... aku... perutku sakit... aku takut...” lirih Santi, air matanya tak terbendung.
“Bayu, kamu gila! Lihat tuh istrimu mau melahirkan!” seru Anita yang kebetulan lewat.
“Bukan urusan kamu! Pergi sana!” usir Bayu dengan kesal.
Santi sempat merasa ada harapan ketika melihat Anita datang, namun harapan itu pupus karena Anita justru pergi lagi. Ia pasrah dengan nasib yang akan menimpanya.
“Mak Laras itu yang mau melahirkannya,” ucap Anita kemudian.
Rupanya Anita bukan pergi karena takut, melainkan untuk memanggil Mak Laras, dukun beranak di kampung. Hanya Mak Laras yang siap dipanggil 24 jam untuk membantu persalinan, dan ia menolong dengan sukarela, dibayar semampunya.
Tak lama, Anita kembali bersama Pak Budi dan adik Budi, Santoso.
“Bawa dia ke kamar!” seru Anita.
Pak Budi dan Santoso segera mengangkat tubuh Santi yang lemas menuju kamar. Sementara Bayu hanya melihat dengan kesal. Di hatinya, ia berharap Santi dan bayinya mati saja. Ia benar-benar tidak mau direpotkan dengan kehamilan ini.
“Neng, babacaan ya... Qulhu, An-Nas, atau apa pun itu ya. Pasrah ka Gusti Allah, Neng,” ucap Mak Laras menenangkan Santi.
Dengan perjuangan antara hidup dan mati, akhirnya Santi melahirkan. Anita sibuk mencari kain dan baju bayi bekas milik anaknya dulu. Pak Budi memasak air hangat untuk memandikan bayi Santi. Tak ada satu pun keluarga Bayu yang membantu. Mereka bahkan terlihat kesal melihat warga yang keluar masuk rumah untuk melihat dan membantu Santi. Ya, begitulah warga kampung, jika ada yang melahirkan, mereka akan datang menunggui.
Dan akhirnya, lahirlah seorang bayi. Kepalanya besar, matanya besar, tubuhnya kecil. Mak Laras membersihkan bayi itu dengan penuh cinta. Ia mengernyit, lalu tersenyum.
“Neng, anak ieu mah bakal jadi cahaya keur hirup Neng. Bere ngaran Nabil, nya... Artina pinter,” ucap Mak Laras yang terbata-bata berbahasa Indonesia.
(anak ini bakal menjadi cahaya untuk hidup kamu, beri nama Nabil ya artinya anak pintar)
“Yeh, anak gera adanan. Mana salakina ieu teh?” lanjutnya sambil menggendong Nabil, lalu menyerahkan ke Bayu.
Bayu melihat dengan jijik. Baginya, bayinya sangat jelek—kepalanya besar, matanya besar, tubuhnya kecil.
“Ini bukan anak saya,” kata Bayu dingin.
“Apa maksud kamu?” tanya Pak Budi.
“Ini anak Buto Ijo. Dia pasti selingkuh sama setan,” ucap Bayu penuh hinaan.
Bughhh!
Santoso memukul Bayu dengan keras.
“Dasar gila! Dari tadi aku diam saja, kamu nggak berbuat apa-apa! Sebagai seorang suami, kamu seharusnya peduli. Dan sekarang kamu malah menghina dan menuduh yang tidak-tidak!” ujar Santoso dengan kemarahan yang sudah ia tahan sejak tadi. Dari awal persalinan sampai bayi lahir, hanya dia dan kakaknya yang sibuk membantu. Ia berharap Bayu menyambut anak itu dengan bahagia. Tapi ketika Bayu justru menghina bayinya, kemarahan Santoso pun meledak.
"BRAKKKK!"
Suara meja makan yang digebrak membuat seisi rumah bergidik. Bayu berdiri, wajahnya merah marun, matanya menyala seperti bara.
"SANTIII!"teriaknya, membuat jantung Santi nyaris copot dari tempatnya.
Dari dapur yang sempit dan pengap, Santi berlari tergopoh-gopoh. Tangannya masih berbau bawang, dan wajahnya pucat karena belum makan sejak pagi.
"Kemana makanan? Kenapa nggak ada nasi di meja, hah?!"
Suaranya membelah ruang kecil itu, membungkam bahkan suara tetes hujan yang dari tadi turun deras di luar.
Santi menunduk, menahan gemetar.
"B-Bang… berasnya habis. Aku belum sempat beli…"
"Gila! Uang lima puluh ribu sehari nggak cukup? Kamu boros banget ya, Santi!"
Santi ingin menjelaskan, tapi belum sempat mulutnya terbuka, suara Nunik, adik iparnya, menyeruak dari kamar.
"Boong! Tadi aku liat dia kasih makan Nabil, Bang. Uangnya buat anak itu. Bukan buat beli beras."
Santi menoleh cepat.
"Tadi Sasa minta uang lima belas ribu buat beli kuota. Aku nggak bohong, Bang."
"Alasan! Sejak punya Nabil, kamu jadi boros. Nggak bisa diatur!"
Santi menggenggam ujung bajunya erat-erat.
"Bang… sekarang apa-apa mahal. Kita makan bertujuh, uang segitu nggak cukup."
Bayu tertawa sinis.
"Bukan karena harga naik. Tapi karena kamu ngasih makan anak itu! Itu biang masalahnya."
Santi mendongak. Ada luka menganga di hatinya yang makin mengalir deras.
"Dia anakmu, Bang. Masa kamu tega nggak ngasih makan?"
Suara Bayu berubah tajam seperti sembilu.
"Denger baik-baik, Santi. Dia bukan anakku. Dia anak setan! Aku nggak sudi punya anak kayak tuyul! Anak buto ijo!"
Kata-kata itu menampar lebih keras daripada tangan. Tapi Santi hanya diam. Ia bisa apa? Bahkan untuk menangis pun ia sudah kehabisan air mata.
Bayu mengeluarkan selembar uang lusuh dari sakunya.
"Nih. Dua puluh ribu. Beli beras. Sekarang!"
Uang itu dilempar seperti melempar sisa makanan ke binatang.
Santi tak bergeming. Di luar hujan belum reda, deras dan menggigilkan.
"Tunggu hujan reda ya, Bang…"
"Kalau kamu nggak pergi sekarang, aku lempar anakmu ke jalan! Sekarang, Santi!"
Dengan tubuh gemetar dan pakaian tipis, Santi melangkah keluar rumah. Hujan mencambuk wajahnya, tapi ia tak peduli. Di dalam hatinya hanya ada satu wajah: Nabil. Anak lelaki kecil yang belum bisa berjalan, tapi selalu tersenyum setiap kali ia pulang membawa roti murah kesukaannya.
Sampai di warung, Santi membeli sekilo beras dan sepotong roti seharga dua ribu. Ia tahu Bayu bisa marah kalau tahu, tapi biarlah. Biarlah kalau ia harus kelaparan, asalkan Nabil bisa makan roti itu dan tersenyum, walau hanya sebentar.
Saat ia pulang, tubuhnya basah kuyup. Kaki-kakinya nyaris tak kuat lagi melangkah.
Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu.
Nabil tergeletak di lantai. Menangis. Tidak ada yang peduli.
Tak ada satu pun yang menoleh.
Anaknya jatuh, mungkin karena mencoba berdiri lagi seperti yang biasa ia lakukan diam-diam, dengan tangan mungil yang memegang tembok.
Santi berlari dan memeluk Nabil erat-erat.
Air matanya bercampur hujan. Dunia boleh tak peduli pada anak ini. Tapi dia akan selalu mencitai nabil dan sekuat tenaga menjadi pelindungnya,
“Bang… kenapa Nabil nggak dibangunin?” tanya Santi pelan, suaranya tercekat oleh isak.
Bayu hanya mendengus jijik, duduk dengan kaki selonjor.
“Najis aku nyentuh dia. Anak orang mana itu… Lihat Sasa, lucu. Nabil? Wajahnya kayak hantu. Anak setan, bukan anakku. Umur udah empat tahun tapi belum bisa jalan.”
Santi menggigit bibir. Sakit. Terlalu sakit untuk dijelaskan. Tapi ia diam. Menelan semuanya dengan pasrah. Ia hanya bisa berharap… semoga, suatu hari nanti, Bayu dan keluarganya berubah.
Santi menggendong Nabil yang masih terisak, lalu membawanya ke kamar. Ia dudukkan anaknya di kasur tipis yang sudah lama butut, lalu mengeluarkan sepotong roti kecil dari kantong plastik.
“Nih, Nak… makan ya…”
Wajah Nabil seketika cerah. Ia menggigit roti dengan senyum mungil, seolah roti itu adalah kebahagiaan paling mewah yang pernah ia miliki.
Santi memeluknya erat-erat, mencium ubun-ubunnya dengan gemetar.
“Nak… sabar ya. Suatu saat, Bapak kamu pasti berubah…” bisiknya, lebih seperti harapan yang ditujukan untuk dirinya sendiri.
Biar seluruh dunia membenci anak ini…
Biar tetangga mencemooh, biar keluarga sendiri menyingkir…
Santi akan tetap mencintainya. Tanpa syarat.
"SANTIIIII!"
Teriakan Bayu kembali memecah keheningan.
Dengan hati yang masih remuk, Santi keluar dari kamar.
“Apa lagi yang kamu tunggu?! Cepat masak! Atau kamu mau biarkan seluruh rumah kelaparan?!”
Santi mengangguk cepat dan berlari ke dapur. Di sana, ia mulai menanak nasi, menumis kangkung layu, dan menggoreng ikan asin yang sudah nyaris busuk.
Hidungnya menghirup aroma masakan, tapi perutnya tetap kosong.
Satu jam ia berkutat seorang diri. Tak ada yang membantunya. Tapi ia sudah biasa.
Ketika makanan akhirnya tersaji, semua penghuni rumah keluar. Mereka duduk dan makan dengan lahap. Tak satu pun mengajaknya duduk. Santi hanya melihat dari sudut dapur, sambil berharap ada sisa untuk dirinya.
Kalau pun ada. Kalau pun mereka berbaik hati menyisakan.
“Aku malu banget sama tetangga,” keluh Sinta sambil mengunyah.
“Kenapa, Bu?” tanya Nani.
“Tadi Nabil merangkak keluar. Kita dihina. Dibilang pemuja setan karena punya anak kayak gitu.”
“Iya, malu-maluin banget. Mending kita buang aja dia ke panti asuhan,” sahut Adi, suami Sinta, dengan suara dingin.
“Kalau Nabil nggak ada, Santi juga nggak bakal mau masak buat kita,” potong Bayu sambil terkekeh. Mereka tertawa. Tertawa di atas penderitaan seorang ibu dan anaknya.
“Kenapa sih kamu masih sama perempuan kampungan itu?” Nani menatap Bayu sinis.
“Cari aja yang lebih cantik, lebih cocok sama kamu.”
“Nanti aja. Uangku belum cukup,” jawab Bayu ringan, seolah istrinya hanyalah barang yang bisa diganti kapan pun ia mau.
Dan Santi…
Santi mendengar semuanya dari balik pintu dapur. Seolah dirinya tak ada. Seolah dirinya tak pantas dihargai.
Apakah sakit?
Tentu.
Tapi demi Nabil, ia memilih diam.
Ia bisa hidup tanpa Bayu. Tapi tidak bisa hidup tanpa Nabil. Selama Nabil sehat, itu sudah cukup.
Setelah mereka selesai makan, tak satu pun membantu merapikan. Santi yang membereskan semua. Di meja, hanya tersisa satu centong nasi dan sepotong tempe gosong.
Ah, itu saja sudah lebih dari cukup.
Tiba-tiba…
“SANTIIII!”
Santi menghampiri, buru-buru.
“Ya, Bang… ada apa?”
“Mana sisa uang kembalian?”
Santi mengulurkan empat ribu rupiah.
“BRAKKK!”
Meja kembali terguncang. Santi tersentak.
“Kenapa cuma segini? Harusnya enam ribu!”
Santi menunduk.
“Dua ribu aku belikan roti buat Nabil, Bang. Dia suka sekali…”
Wajah Bayu berubah menjadi gelap.
“Dasar anjing kamu, Santi! Aku nggak sudi uangku dipakai buat anak itu. Demi Tuhan, aku nggak ridho!”
Sinta keluar dari kamarnya, diikuti Adi.
“Ada apa sih, ribut-ribut?”
“Ini. Santi lancang. Beli roti buat Nabil tanpa izin!”
“Dasar perempuan udik! Mana ngerti adab. Uang suami tuh harus minta izin!” cibir Sinta.
“Ngapain sih kamu masih ngurus anak cacat itu? Umur 4 tahun belum bisa jalan! Ilernya aja bikin jijik!” Adi menambahkan, seperti biasa, dengan kata-kata tajam yang menusuk.
Bayu menarik Nabil dari kamarnya, kasar.
“Mulai malam ini, kalian tidur di dapur! Itu hukuman buat kalian!”
Santi hanya bisa memeluk Nabil erat-erat. Hatinya hancur, tapi matanya kering. Air mata sudah habis.
“Kalau uang udah cukup, Bay, kamu carilah perempuan baru. Yang lebih selevel,” ucap Nani sambil berdiri di ambang pintu kamarnya.
Dan malam itu, Santi tidur di lantai dapur bersama Nabil. Dingin. Lembab. Tapi ia masih memeluk hangat anak kecil yang dicaci semua orang, namun tetap menjadi alasan Santi untuk hidup.
Kembali ke masa sekarang.
Di sudut ruang rawat yang dingin, Santi duduk memandangi Nabil yang terbaring lemah. Jarum infus menusuk tangan mungil anak itu, membuat dada Santi seperti diremas dari dalam.
Nabil yang sakit… tapi hatinya yang hancur.
Ia menggenggam tangan Nabil perlahan, mencoba menyalurkan sedikit kekuatan. Tapi ia tahu, tubuh kecil itu terlalu rapuh untuk menanggung semua beban dunia.
Air mata mengalir tanpa suara.
Tangis yang disimpan hanya untuk dirinya sendiri.
Tak ada lagi orang yang bisa ia harapkan. Tak ada lagi pundak tempat bersandar. Kini, ia hanya punya satu pilihan: bangkit.
“Aku akan membesarkanmu sendiri, Nak…”
gumam Santi dalam hati, penuh tekad.
“Tak akan kubiarkan siapa pun menindas kita lagi.”
Ia menatap wajah Nabil yang pucat, namun tetap terlihat damai dalam tidurnya.
"Kita hanya punya satu sama lain."
Santi mengelus kepala anaknya perlahan. Bibirnya gemetar menahan tangis, tapi suaranya tetap lembut saat berkata:
“Ayo bangkit, Nak… ayo bangun…”
“Mamah mencintaimu, sayang. Maafkan Mamah… Mamah belum bisa kasih yang terbaik buat kamu…”
Di dalam hati yang penuh luka, tumbuh sebuah janji.
Janji untuk melindungi Nabil. Untuk berdiri di tengah badai, meski harus sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!