“Bagaimana Ibu bisa setega itu pada Selly?!” bentak Deva kepada ibunya.
“Kenapa kamu membela mati-matian wanita seperti Selly? Apa istimewanya dia?!” sanggah Ibu, tak mau kalah berdebat dengan anak laki-lakinya itu.
“Selly sudah menjalin hubungan denganku selama lima tahun! Bagaimana bisa, tiba-tiba Ibu memintaku berpisah dengannya?”
“Ibu tahu siapa wanita terbaik yang pantas menjadi istrimu!” jawab Ibu tegas.
“Mungkin Ibu bukan istri yang baik untuk Bapak. Makanya Ibu bercerai dengannya,” ucap Deva dengan nada getir.
Plak!
Ibu menampar pipi kanan Deva.
“Anak kurang ajar! Demi Selly, kamu sampai berani berkata seperti itu kepada Ibumu sendiri?!” seru Ibu dengan mata membelalak, menahan amarah yang memuncak.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Deva memilih meninggalkan ibunya dan masuk ke kamar.
Di dalam kamar, Deva menangis. Ia sangat kesal. Ia merasa ibunya aneh—kenapa tiba-tiba ingin menjodohkannya dengan wanita lain, padahal ia sudah lima tahun menjalin hubungan dengan Selly. Bahkan ibunya sudah cukup mengenal Selly dengan baik.
Sementara itu, Ibu juga menangis di ruang tamu. Ia menundukkan kepala, tak menyangka Deva bisa berkata begitu menyakitkan. Selama tiga puluh tahun hidup bersama anak semata wayangnya, baru kali ini Deva mengatakan sesuatu yang menusuk hati.
Ibu Deva bernama Bu Lastri, seorang ibu tunggal. Sejak Deva duduk di bangku SMP, ia sudah membesarkannya sendirian. Ia memilih bercerai karena diselingkuhi oleh suaminya. Trauma pernikahan membuatnya tidak ingin menikah lagi.
Bukan tanpa alasan Bu Lastri menolak hubungan Deva dan Selly. Sejak awal Selly dikenalkan, Bu Lastri sudah tidak menyukainya. Itu karena Selly pernah menyelingkuhi Deva. Sebelum Deva mengenalkannya secara langsung, ia sempat bercerita bahwa Selly pernah mengkhianatinya.
Bagi Bu Lastri, melihat wanita yang pernah berselingkuh dengan anak semata wayangnya sama seperti membuka luka lama. Ia merasa perselingkuhan adalah bentuk kecanduan—sekali dilakukan, kemungkinan besar akan terulang lagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Apa? Kamu meminta putus denganku?” tanya Selly, terkejut.
“Iya. Aku ingin kita putus,” jawab Deva singkat.
“Perasaan hubungan kita baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba kamu ingin berpisah?”
“Semalam aku sudah mencoba membelamu. Aku juga sudah menolak dijodohkan dengan anak teman Ibu,” jelas Deva.
“Hah? Apa katamu? Kamu dijodohkan oleh Ibumu? Kenapa kamu tidak bilang dari awal?”
“Aku awalnya tidak ingin memberitahumu alasan sebenarnya. Tapi ternyata aku tidak bisa menyembunyikannya darimu,” ucap Deva, suaranya melemah.
Selly menatap Deva, mulai menyadari sesuatu.
“Kamu yakin ingin putus denganku? Kamu yakin akan bahagia menikah dengan wanita pilihan Ibumu?”
Deva terdiam. Ia hanya menatap Selly, penuh dilema.
Melihat ekspresi itu, Selly melanjutkan, “Aku tahu kamu masih berat melepasku. Itu terlihat dari caramu yang tak bisa menjawab pertanyaanku. Baiklah, kalau kamu memang ingin berpisah…”
Ia tersenyum—bukan senyum sedih, tapi senyum yang penuh makna.
“Asalkan kamu tahu, Deva. Hatiku akan selalu terbuka untukmu, bahkan jika kamu menikah dengan wanita lain,” bisik Selly sambil tersenyum licik.
Deva mengernyit. “Maksudmu?”
“Ya. Sekalipun kamu menikah dengan wanita lain, kamu tetap bisa menjalin hubungan denganku. Pernikahanmu bukan halangan bagiku,” tegas Selly.
Karena buta oleh cinta, Deva ikut tersenyum. Ia memeluk Selly dengan erat.
“Terima kasih, Sel. Maafkan aku karena tidak bisa menjadikanmu istri. Setidaknya, aku masih bisa tetap bersamamu.”
Selly tersenyum penuh kemenangan di balik pelukan itu.
Kemudian, dengan suara pelan namun tajam, Selly berkata, “Berpura-puralah seolah kita sudah berpisah dan jadi mantan kekasih. Itu lebih baik daripada kamu berpura-pura bahagia dengan wanita pilihan Ibumu.”
Deva terdiam sesaat setelah Selly membisikkan sesuatu di dekat telinganya. Kata-kata yang ia dengar langsung dari mulut Selly membuat dadanya terasa sesak—ia semakin terjebak dalam dilema.
"Haruskah aku melakukan hal seperti yang baru saja kamu katakan padaku?" tanya Deva sambil menatap Selly dalam-dalam.
Dengan kepercayaan diri yang penuh, Selly mendekatkan wajahnya ke arah Deva, lalu berkata tegas, “Iya. Menurutku, itu memang yang harus kamu lakukan... kalau kamu memang mencintaiku dan masih ingin bersamaku.”
Deva terdiam lebih lama kali ini. Ia menatap kedua mata Selly, mencari sesuatu di balik tatapan itu—keyakinan, harapan, atau mungkin tekanan. Ia tahu, meninggalkan Selly bukanlah pilihan yang mudah. Bukan hanya karena kecantikannya yang nyaris sempurna—yang mungkin sulit ia temukan lagi di luar sana.
Lebih dari itu, ada kenyamanan yang Selly tawarkan. Kehadiran Selly membuatnya merasa dibutuhkan, diterima, dan diinginkan. Sesuatu yang tak lagi ia rasakan dalam hubungan yang sebelumnya. Namun, suara hatinya terus bertanya: apakah semua ini layak diperjuangkan... atau justru akan menghancurkannya?
Namun, dengan sekuat tenaga batinnya, Deva mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa menjalin hubungan terlarang dengan Selly adalah pilihan terbaik baginya saat ini.
“Menurutku, kamu benar,” ucap Deva dengan mantap. “Lebih baik aku berpura-pura berpisah denganmu daripada harus pura-pura bahagia menjalani hidup dengan wanita pilihan ibuku. Itu justru akan menyiksa batinku.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Nindy terkejut ketika ayahnya, Pak Danu, mengatakan bahwa ia hendak dijodohkan dengan anak dari rekan kerjanya.
Sebenarnya, Nindy belum siap menjalin hubungan, apalagi menikah. Ia sudah terlalu nyaman dengan status single-nya.
“Tapi, Ayah harus tahu. Aku belum siap berkenalan atau menjalin hubungan, apalagi menikah dalam waktu dekat,” ucap Nindy, nada suaranya sedikit kesal.
“Lantas? Mau sampai kapan kamu begini? Tahun ini kamu hampir menginjak kepala tiga. Bukankah kamu sudah berusia dua puluh delapan?” jawab Pak Danu, berusaha meyakinkan.
Mendengar perdebatan itu, Bu Narmi, ibunya, ikut menimpali.
“Apa yang dikatakan Ayahmu itu benar, Nindy. Jangan sampai kamu terlalu nyaman dengan kesendirianmu.”
Nindy mendengus kesal.
“Ya, memangnya kenapa kalau aku nyaman sendiri? Ayah dan Bunda tahu sendiri, laki-laki yang mendekatiku hanya mempermainkanku. Mereka cuma penasaran. Aku sudah lelah dekat dengan laki-laki,” tegas Nindy.
Ayahnya menarik napas panjang, lalu berkata, “Baiklah. Kalau kamu memang masih ingin sendiri, Ayah tak bisa memaksamu. Tapi tak ada salahnya, kan, kalau kamu mencoba berkenalan dulu? Kalau di pertemuan pertama kamu merasa tidak cocok, kamu boleh langsung menolaknya. Bagaimana?”
Nindy terdiam beberapa menit. Lalu ia mengangguk pelan.
“Baiklah. Aku akan mencobanya. Tapi Ayah harus menepati janji. Jika di pertemuan pertama aku tidak nyaman, Ayah harus sampaikan kepada teman Ayah bahwa aku menolak.”
Pak Danu mengangguk mantap. “Tentu. Ayah pasti menepati janji.”
Mendengar kesepakatan itu, Bu Narmi merasa campur aduk. Di satu sisi ia lega karena Nindy bersedia mencoba. Tapi di sisi lain, ia masih khawatir kalau-kalau hati Nindy benar-benar sudah tertutup untuk cinta.
Keesokan paginya, Deva menghampiri ibunya yang sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur.
“Bu, maafkan Deva soal kemarin, ya,” ucap Deva dengan nada menyesal.
Bu Lastri menoleh dan membalas dengan senyuman hangat.
“Tidak apa-apa,” jawabnya sambil menata hidangan di meja makan.
Deva melanjutkan pembicaraan. “Bu, Deva sudah memutuskan untuk berpisah dengan Selly.”
Mendengar itu, tangan Bu Lastri terhenti. Ia menoleh dengan tatapan terkejut.
“Kamu sudah putus dengan Selly?”
Deva mengangguk pelan.
“Iya, Bu. Kemarin aku sudah mengakhiri hubungan kami. Dan… aku ingin mencoba berkenalan dengan anak dari teman Ibu itu.”
Wajah Bu Lastri langsung bersinar.
“Alhamdulillah! Ibu senang sekali, Dev. Percayalah, Ibu tidak akan menjodohkanmu sembarangan. Ibu sudah kenal baik dengan teman Ibu, namanya Pak Danu. Ibu juga pernah sekali bertemu anak perempuannya. Dia cantik, mandiri, dan sholehah. Ibu rasa, dia cocok untukmu.”
Deva tersenyum tipis. “Aku percaya, kok, dengan pilihan Ibu. Karena itu, aku mau mencoba menjalani proses ini. Kalau boleh tahu, siapa nama wanita itu, Bu?”
“Nindy, Dev. Ibu yakin, begitu kamu bertemu dengannya besok, kamu akan merasa dia adalah orang yang tepat. Insting seorang ibu itu jarang meleset.”
Deva hanya merespon dengan sebuah anggukan atas perkataan ibunya. Yang terpenting baginya saat ini adalah telah memenuhi permintaan sang ibu. Soal bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Nindy, itu akan ia pikirkan nanti.
Namun, jika harus mengikuti rencana yang telah disusun Selly, maka Deva justru harus segera menikahi Nindy. Semakin lama ia menunda pernikahan itu, semakin besar pula kecurigaan ibunya terhadapnya.
Kemudian, ia mengucapkan dengan nada tenang yang penuh kepalsuan, “Kalau bisa, mungkin Ibu bisa segera mengatur waktu untuk proses perkenalan di rumah Pak Danu. Semakin cepat, akan semakin baik, kan, Bu?”
“Benar sekali. Semakin cepat, semakin bagus,” sahut Bu Lastri antusias. “Apalagi, Pak Danu cerita kalau banyak laki-laki yang mendekati Nindy. Sayangnya, semuanya hanya mempermainkan perasaannya. Itu sebabnya Nindy sampai sekarang masih betah sendiri.”
Deva hanya tersenyum tipis mendengar penjelasan panjang lebar itu. Dalam hatinya, tak ada sedikit pun kepedulian terhadap Nindy. Baginya, semua ini hanyalah bagian dari sandiwara. Yang ia pedulikan hanyalah satu, memastikan rencananya bersama Selly berjalan sesuai harapan, tanpa kegagalan sedikit pun. Supaya ia masih tetap bisa mempertahankan hubungannya dengan Selly selama hidupnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sesampainya di kantor, Bu Lastri menghampiri Pak Danu yang sedang menyalakan layar komputernya, bersiap mengerjakan tugas hari itu.
“Pak Danu, maaf mengganggu sebentar. Saya ada yang ingin disampaikan,” bisik Bu Lastri.
Pak Danu menoleh dengan senyum ramah. “Iya, Bu. Ini soal rencana perjodohan anak kita, ya?”
Bu Lastri mengangguk. “Iya, Pak. Benar.”
“Nanti saat jam istirahat makan siang, kita bahas di kantin, ya,” kata Pak Danu.
“Oke, Pak,” jawab Bu Lastri sambil mengacungkan ibu jari, memberi isyarat setuju.
Saat jam makan siang tiba, mereka duduk bersama di kantin, menyantap makanan sambil membahas rencana perjodohan itu.
“Jadi, Deva akhirnya setuju dijodohkan dengan Nindy?” tanya Pak Danu.
“Iya, Pak. Alhamdulillah, Deva akhirnya bersedia mencoba,” jawab Bu Lastri.
“Syukurlah. Sama seperti Nindy. Tadi malam saya sempat berdebat dengannya. Tapi akhirnya saya membuat tawaran, dan dia menyetujuinya,” jelas Pak Danu.
Bu Lastri penasaran. “Kalau boleh tahu, tawaran seperti apa yang Bapak berikan sampai Nindy mau menerima perjodohan ini?”
Pak Danu tertawa kecil. “Saya bilang, kalau dari pertemuan pertama dia merasa tidak nyaman, dia boleh menolak. Tanpa paksaan.”
“Mudah-mudahan anak kita cocok, ya, Pak. Saya sungguh berharap Deva bisa menikah dengan Nindy. Apalagi saya sudah tahu latar belakang keluarga Bapak,” ucap Bu Lastri penuh harap.
“Saya juga begitu, Bu. Saya tidak akan menjodohkan anak saya dengan sembarang lelaki. Kalau bisa Deva menjadi menantu saya, saya akan sangat bersyukur,” kata Pak Danu.
Mereka berdua memang sudah lama saling kenal sejak awal bekerja di perusahaan asuransi tempat mereka berkarier. Hubungan mereka sudah akrab, bahkan mereka saling mengenal keluarga masing-masing. Tak heran jika mereka merasa perjodohan ini seperti jawaban dari doa mereka selama ini.
Namun, ada satu hal yang belum diketahui Pak Danu—bahwa Bu Lastri tidak sepenuhnya jujur. Ia mengatakan Deva masih lajang, padahal kenyataannya, Deva baru saja mengakhiri hubungan yang sudah berlangsung lima tahun dengan Selly.
Tapi Bu Lastri rela berbohong demi satu tujuan: melihat putranya menikah dengan wanita yang ia anggap lebih baik.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Seharian ini, Nindy tampak murung. Biasanya ia selalu ceria, tapi kali ini, ia hanya diam. Dari pagi sampai siang, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Melihat perubahan sikap itu, Ara—teman dekatnya di kantor—jadi khawatir.
“Nin... Nindy?” panggil Ara, pelan.
Nindy tersentak dari lamunannya. Ia menengok ke kanan dan kiri.
“Eh... iya? Ada apa?” jawabnya gugup.
Ara menepuk pelan pundaknya yang duduk membelakanginya. “Hei, aku di sini, Nin,” ucapnya sambil tersenyum.
“Oh, Ara. Maaf, Ra,” kata Nindy dengan suara lemah.
“Kamu dari tadi nggak kayak biasanya. Kamu sakit? Atau lagi nggak enak badan?”
Nindy menghela napas panjang dan menunduk.
“Fisikku sih sehat, tapi hatiku... nggak baik-baik saja.”
“Kamu lagi ada masalah?”
“Aku juga nggak tahu, ini termasuk masalah atau bukan. Tapi… aku akan dijodohkan dengan anak temannya Ayah.”
Mendengar itu, Ara mendekat dan menatap Nindy serius. “Kamu keberatan?”
Nindy akhirnya mulai membuka isi hatinya.
“Iya, Ra. Aku sebenarnya masih nyaman sendiri. Kamu tahu sendiri, kan, banyak laki-laki yang datang cuma karena penasaran. Bahkan banyak yang cuma main-main. Membayangkan harus kenalan lagi dengan lelaki baru… bikin aku malas.”
Ara tersenyum menenangkan.
“Kalau menurutku sih, dicoba saja dulu. Siapa tahu, laki-laki yang dijodohkan denganmu memang takdirmu. Tapi itu cuma saran, ya. Aku nggak maksa.”
Nindy mengangguk pelan, meski ekspresinya masih terlihat berat. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa mungkin apa yang dikatakan Ara ada benarnya. Bisa jadi, lewat perjodohan ini, ia akan bertemu seseorang yang benar-benar menghargainya.
Walaupun, hingga detik ini, hatinya masih berat menerima kenyataan itu.
Setidaknya, Ayahnya tidak memaksanya seperti dalam kisah Siti Nurbaya yang dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih.
Kalau Ayahnya sekeras itu, mungkin Nindy sudah kabur ke pulau entah di mana.
Ara menyodorkan sebungkus keripik kentang.
“Nih, camilan favorit kamu. Mau, nggak?”
Nindy mengambil keripik itu dengan ekspresi malas, lalu mengunyahnya sambil melamun.
Melihat itu, Ara tertawa.
“Kamu tuh, Nin. Cuma kamu yang bisa melamun sambil ngunyah keripik kayak gitu. Hahaha.”
“Jadi, kamu tidak benar-benar putus dengan Deva?” tanya seorang pria yang sedang duduk bersama Selly menikmati makan malam di sebuah restoran elit.
“Iya, aku tidak sungguhan putus dengan Deva,” jawab Selly sambil memotong daging steak di hadapannya.
“Kalau aku sih terima-terima saja tahu kamu masih menjalin hubungan dengan Deva. Yang penting bagiku, kamu selalu ada saat aku butuh teman. Tapi... apa Deva nggak akan kecewa kalau tahu kamu juga masih bersamaku?” tanya laki-laki itu lagi.
“Tenang saja. Aku nggak akan tertangkap untuk kedua kalinya. Deva itu, kalau sudah jatuh cinta, sangat naif. Hahaha,” ucap Selly sambil tertawa puas.
Pria berusia sekitar tiga puluh tahun itu ikut tertawa mendengar pernyataan Selly.
Sambil menikmati hidangan, pria itu kembali bertanya, “Tapi... mau sampai kapan kamu bersembunyi seperti ini?”
Wajahnya mendekat ke arah Selly dan menatapnya tajam.
“Sudah kubilang, aku nggak akan ketahuan berselingkuh lagi. Lagipula, aku lebih nyaman bersamamu, Kevin,” jawab Selly, membalas tatapan Kevin dengan penuh percaya diri.
Tahun lalu, Deva sempat mengetahui perselingkuhan Selly dengan Kevin. Jika dilihat dari sisi fisik dan finansial, Kevin memang jauh berada di atas Deva. Ia memiliki usaha properti, dan orang tuanya adalah pengusaha batu bara.
Berbeda dengan Deva yang mencintai Selly sepenuh hati, Kevin hanya menganggap Selly sebagai teman kencan sekaligus hiburan semata.
Deva sempat merasa rendah diri saat mengetahui siapa Kevin sebenarnya. Karena itulah, ia langsung memutuskan hubungannya dengan Selly. Namun, karena sudah terlanjur jatuh cinta, ia akhirnya kembali mengajak Selly untuk berbaikan.
Saat Deva beberapa waktu lalu memergoki perselingkuhan Selly dengan Kevin, Selly berpura-pura sedih. Padahal, di dalam hatinya tak ada sedikit pun rasa penyesalan.
Bahkan setelah Deva benar-benar berhenti menghubunginya, Selly sama sekali tak peduli. Dengan penuh kepercayaan diri, ia yakin bahwa Deva akan kembali padanya. Ia berpikir, lelaki bodoh macam apa yang benar-benar tega meninggalkannya? Karena itulah, Selly begitu yakin Deva akan kembali ke pelukannya.
Tebakannya pun tepat. Selang beberapa bulan setelah mereka putus dan tidak lagi saling berkontak, tiba-tiba Deva kembali menghubunginya. Ia mengajak Selly untuk menjalin hubungan lagi.
“Boleh aku tanya sesuatu lagi?” Kevin kembali melontarkan pertanyaan.
“Tentu saja boleh. Apa lagi yang ingin kamu tahu?” balas Selly santai.
“Apa alasanmu masih memilih kembali bersama Deva?”
Selly tersenyum tipis. Ia meletakkan pisau dan garpu di piring, lalu menjawab dengan santai, namun menusuk.
“Karena aku suka laki-laki yang tunduk padaku. Yang mau mengejarku terus-menerus.”
Selly mengangkat dagu, menangkupkan kedua tangannya di bawah dagu sambil memandang Kevin dengan percaya diri.
Kevin hanya mengangguk. Ia tak terkejut. Ia sudah tahu siapa Selly sebenarnya. Baginya, wanita itu adalah sosok yang merasa bisa menaklukkan siapa saja hanya karena paras cantiknya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam ini, Nindy sedang bersiap-siap menyambut kedatangan Bu Lastri dan Deva ke rumahnya. Kedua orang tua mereka telah sepakat bahwa malam minggu ini akan menjadi awal proses perjodohan.
Ini adalah pertama kalinya Nindy dan Deva akan bertemu.
Karena perasaan setengah hati, Nindy hanya berdandan seadanya. Ia mengenakan kaus lengan pendek yang dipadukan dengan outer cardigan panjang berwarna biru dongker, hijab sederhana, dan celana jeans.
Bu Narmi menegurnya dengan ekspresi tak puas.
“Nindy, masa kamu berdandan seperti itu saat bertemu calon pasanganmu? Ganti baju, dong. Pakailah yang lebih sopan, biar terlihat menghargai tamu yang datang,” tegur Bu Narmi.
Dengan malas, Nindy mengiyakan. “Iya deh, Bun. Aku ganti. Nih, aku mau ke kamar sekarang.”
Ia melangkah ke kamar sambil mendengus kesal. Sesampainya di dalam, ia membuka lemari dengan hati yang tak terlalu semangat.
“Bunda juga tahu, aku ini terpaksa,” gumamnya pelan.
Ia mulai memeriksa baju-bajunya satu per satu, sampai akhirnya matanya tertuju pada baju yang ia kenakan saat lebaran lalu.
“Kayaknya ini cocok, deh,” ucapnya sambil memandangi baju tersebut.
Ia pun berganti pakaian dan mengganti hijabnya. Tak lupa, ia mengoleskan sedikit lipstik berwarna natural. Setelah selesai berdandan, ia keluar kamar.
Di ruang tamu, Pak Danu dan Bu Narmi sudah duduk dan mengobrol.
Nindy menghampiri mereka dan menunjukkan penampilannya.
“Nih, Bun. Udah cocok, belum?” tanyanya sambil memasang wajah cemberut.
“Nah, gini dong. Cocok, kok. Baju lebaran kamu pantas dipakai untuk acara semi-formal seperti ini,” puji Bu Narmi sambil tersenyum.
Melihat ekspresi malas Nindy, Pak Danu ikut menasihatinya.
“Jangan cemberut, dong. Senyum, Nindy. Kasih kesan baik ke laki-laki yang akan dijodohkan sama kamu.”
Nindy pun tersenyum paksa.
Tak lama, suara mobil terdengar memasuki halaman rumah. Pak Danu dan Bu Narmi menoleh ke luar jendela. Benar saja, tamu mereka—Bu Lastri dan Deva—telah datang.
Nindy ikut menyambut mereka di depan rumah. Saat Bu Lastri dan Deva turun dari mobil, mata Nindy membesar. Ia terpukau melihat ketampanan Deva.
Dag dig dug...
Detak jantung Nindy tiba-tiba berdetak lebih cepat. Ia bahkan lupa mengedip. Saat Deva tersenyum dan mengulurkan tangan untuk bersalaman, barulah ia sadar dan cepat-cepat membalas senyum itu dengan wajah kikuk.
Kenapa Ayah nggak bilang kalau laki-laki yang akan dijodohkan denganku setampan ini?
Pak Danu dan Bu Narmi mempersilakan tamu mereka masuk ke ruang tamu.
“Nindy, kenalkan. Ini Deva, anak saya,” kata Bu Lastri sambil menepuk pundak putranya.
Lalu ia menoleh ke Deva. “Nak Deva, ini Nindy. Mudah-mudahan kamu mau mencoba berkenalan dengan anak saya.”
Deva tersenyum sopan dan menoleh ke Bu Narmi.
“Baik, Bu. Saya akan mencoba mengenal Nindy lebih jauh. Mudah-mudahan kami bisa cocok dan menjalin hubungan yang baik.”
Saat itu juga, Nindy sadar—detak jantungnya belum juga kembali normal.
Setelah sekian lama hatinya tertutup, malam ini, ia merasakan getaran cinta yang berbeda. Ia terus mencuri pandang ke arah Deva sambil tersenyum gugup. Sepanjang perkenalan itu, Nindy nyaris tidak berkata-kata. Ia hanya bisa tersenyum malu-malu, berusaha menyembunyikan debaran di dadanya.
"Aku tidak boleh seperti ini. Ingat, ini baru pertemuan pertama. Masih ada pertemuan-pertemuan selanjutnya untuk memastikan apakah Deva benar-benar yang terbaik untukku. Tolong, jangan sampai aku jatuh cinta dulu... sebelum aku yakin bahwa dia memang pantas untukku," ucap Nindy dalam hati.
Tanpa disadari, Deva memperhatikan Nindy yang tampak sibuk menenangkan dirinya sendiri. Bukan berarti ia tertarik pada Nindy, hanya saja gerak-gerik gadis itu jelas menunjukkan bahwa ia sedang berusaha menenangkan diri. Deva tidak tahu pasti, apakah Nindy merasa cemas, atau ada alasan lain yang membuatnya gelisah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!