Langit di atas kampus itu terlalu cerah untuk hati sekelam milik Aurelia. Ia berdiri di gerbang utama dengan langkah ringan, tapi ada ketegangan samar yang merayap di ujung matanya. Sorot tatapannya tidak seperti mahasiswa baru lainnya yang penuh harap dan ambisi. Tatapan Aurelia dingin. Tajam. Seolah ia datang bukan untuk belajar—melainkan untuk mengincar sesuatu.
Angin pagi meniup lembut helaian rambut panjangnya yang terurai. Di tangannya, map kulit hitam tampak sederhana, namun isinya bukan buku pelajaran. Ada foto buram, potongan kertas, dan simbol yang tak bisa dimengerti orang awam. Simbol yang ditunjukkan oleh satu-satunya orang yang selama ini ia kenal sebagai 'ayah'.
Dario Estrallo.
“Dengar baik-baik, Lia...” suaranya masih terngiang dalam kepala Aurelia. “Orang ini bukan target biasa. Jangan lakukan pendekatan terlalu cepat. Tapi jangan pula terlalu lambat. Waktu kita tidak banyak.”
Waktu. Sesuatu yang Dario selalu pertaruhkan.
“Temukan simbol itu,” katanya lagi tempo hari, “dan kau akan tahu kebenaran tentang ibumu.”
Ibunya. Kata yang terasa asing tapi sekaligus menyakitkan. Aurelia tidak pernah melihat wajah perempuan itu. Tidak tahu bagaimana suaranya, tidak tahu bagaimana senyumnya. Ia hanya tahu, ibunya sudah meninggal. Titik. Tanpa makam, tanpa foto. Tanpa apa pun.
Satu-satunya petunjuk tentang masa lalu datang dari Dario. Lelaki yang selama ini memanggilnya ‘putri’, tapi tak pernah memeluknya benar-benar hangat. Lelaki yang memberinya nama belakang Estrallo, tapi tak pernah menunjukkan sisi manusiawinya lebih dari lima menit.
Dan sekarang, lelaki itu menyuruhnya datang ke universitas ini. Menjadi mahasiswa seperti biasa. Menyamar. Mencari sosok yang telah merenggut ibunya dari dunia. Atau... setidaknya, itulah yang dikatakan Dario.
Nama targetnya: Leonardo Venturi.
---
Aula orientasi dipenuhi ratusan mahasiswa baru. Riuh suara dan tawa. Senyum gugup dan pakaian terbaik mereka. Aurelia duduk di barisan tengah, menyendiri, memperhatikan.
“Lia, ya?” bisik seorang gadis di sampingnya, ramah. “Namaku Nadin. Teman sekamarmu, katanya.”
Aurelia hanya mengangguk pelan. “Hai,” balasnya singkat.
Nadin tidak tersinggung. “Kamu anak Jakarta?”
“Bukan.”
“Oh…” Nadin tertawa kecil. “Kamu misterius banget, ya. Seriusan, aura kamu tuh kayak... cewek-cewek di film action.”
Aurelia hanya tersenyum samar.
Sebelum percakapan itu berlanjut, pintu aula terbuka. Seorang pria masuk dengan langkah pasti. Suasana mendadak hening. Wajah-wajah di aula refleks menoleh. Gadis-gadis langsung membetulkan posisi duduk.
Pria itu mengenakan kemeja hitam pas badan yang digulung sampai siku. Wajahnya tegas, rahangnya tajam, matanya gelap. Datar dan mengintimidasi.
Dan Aurelia tahu, tanpa perlu diperkenalkan pun—dialah Leonardo Venturi.
“Aku dosen pengganti kalian untuk semester ini,” ucap pria itu, suaranya dalam dan jelas. “Leo. Tidak perlu panggil saya ‘Pak’. Saya juga tidak peduli kalian suka saya atau tidak. Saya hanya peduli pada hasil.”
Beberapa mahasiswa tertawa kecil. Tapi tak satu pun berani menyahut. Pria itu... punya aura yang tidak lazim. Bukan seperti dosen-dosen muda lainnya yang mencoba akrab. Leo seperti... batu karang di tengah badai. Keras, dingin, dan tak tergoyahkan.
Aurelia mencatat dengan tenang. Gerak tubuhnya, sorot matanya, dan cara Leo menatap setiap mahasiswa. Seolah mencari tahu siapa yang akan jadi beban dan siapa yang bisa dimanfaatkan. Bukan tipe akademisi biasa.
Dario tidak berbohong. Pria ini bukan sosok biasa.
---
Malam Hari, Asrama
Lampu asrama mulai redup. Nadin sudah terlelap dengan maskernya, sementara Aurelia duduk di depan laptop, membuka folder rahasia tersembunyi di balik sistem file fiktif. Di layar, muncul beberapa potongan gambar: tato. Simbol aneh. Foto lama yang sudah diedit dan diperbesar berulang kali.
Tangan Aurelia terhenti pada satu gambar. Sebuah tato samar di lengan kiri seseorang, dengan pola spiral dan huruf latin kuno di bawahnya. Gambar itu buram—tapi dari sudut dan pencahayaan, Dario yakin itu adalah milik Leo Venturi.
“Aku yakin simbol itu ada di tubuhnya. Temukan. Pastikan. Dan setelah itu, kita akan tahu langkah selanjutnya.”
Tapi apa maksud simbol itu? Dario tidak pernah menjelaskan. Dan Aurelia terlalu cerdas untuk bertanya lebih jauh. Dalam permainan seperti ini, terlalu banyak tahu justru berbahaya.
Tiba-tiba laptopnya berbunyi: pesan dari sistem aman.
> “Awasi interaksi dia dengan dosen tua bernama Gianni. Mereka punya masa lalu. Tapi jangan terlibat dulu.”
Aurelia menghela napas. Ia mematikan layar, menyandarkan tubuh ke kursi, lalu menatap langit-langit gelap.
Apakah aku benar-benar ingin tahu kebenaran itu? Atau aku hanya boneka dalam drama ini?
Dario tidak pernah menjelaskan siapa sebenarnya dirinya. Tapi ia selalu menanamkan satu hal dalam kepala Aurelia:
“Kau anakku. Dan aku ingin kau hidup.”
Namun, semakin lama Aurelia berada di kampus ini, semakin ia menyadari—mungkin kebenaran tidak sesederhana itu. Mungkin… dia bahkan bukan anak kandung Dario.
Tapi pertanyaan-pertanyaan itu harus disimpan rapat. Ini bukan waktu untuk goyah. Belum.
---
Beberapa Hari Kemudian, Ruang Kelas
Leo berdiri di depan kelas sambil memperhatikan hasil ujian awal yang ia buat hanya untuk menjebak mahasiswa pemalas. Satu demi satu nilai buruk terpampang di layar.
“Tugas kalian bukan untuk sok pintar. Tugas kalian adalah bekerja keras. Kalau tidak bisa berpikir, setidaknya jangan jadi beban negara.”
Beberapa mahasiswa tertunduk. Tapi Aurelia tetap tenang.
Tatapan Leo sekilas menangkap sorot matanya.
Mereka saling menatap sejenak. Tanpa senyum. Tanpa ekspresi.
Sebuah medan magnet muncul di antara keduanya. Bukan ketertarikan biasa. Tapi seperti dua keping koin dari dunia berbeda yang secara misterius saling mengenali.
Tanpa tahu, bahwa darah mereka... pernah bersinggungan dalam tragedi yang belum terungkap.
---
Keesokan harinya, langit tampak mendung. Awan menggantung di atas kampus seperti firasat buruk yang belum sempat dituliskan. Aurelia berjalan cepat di sepanjang lorong gedung administrasi, menggenggam map berisi dokumen kelas tambahan yang katanya harus diisi mahasiswa baru. Tapi pikirannya tak sepenuhnya ada di sana.
Dia belum bisa berhenti memikirkan Leo.
Ada sesuatu yang berbeda dari pria itu. Bukan hanya karena ia adalah target misi, tapi karena setiap kalimat, setiap geraknya seperti penuh dengan kode yang tak terpecahkan. Seolah dia menyimpan lebih banyak rahasia dari yang pernah dibayangkan.
Aurelia berhenti di depan kantor dosen. Ia mengambil napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hati, lalu mengetuk pintu.
"Masuk!" suara itu terdengar dari dalam, berat dan pelan.
Pintu terbuka. Dan di baliknya, Leo duduk di belakang meja dengan lengan tergulung seperti kemarin, mata elangnya langsung menangkap kehadiran Aurelia. Sekilas saja, tapi cukup membuat jantung gadis itu terpeleset sesaat.
"Aurelia, bukan?" tanyanya tanpa ekspresi.
"Iya, Pak. Saya diminta mengantarkan ini," jawabnya sambil menyerahkan map dokumen.
Leo mengambilnya, membuka sejenak, lalu mengangguk. "Kau termasuk cepat. Biasanya mahasiswa lain baru ingat setelah ditegur."
Aurelia hanya mengangguk. Tapi tak langsung beranjak. Matanya menatap sekeliling ruangan, mencari petunjuk… apapun yang bisa membawanya lebih dekat pada misi.
Ruangan itu bersih dan rapi. Terlalu rapi. Tidak ada foto keluarga, tidak ada dekorasi pribadi. Hanya buku-buku tebal berjajar, dan beberapa catatan tangan berbahasa asing di meja. Aurelia hampir yakin itu tulisan kode atau aksara kuno. Tapi dia belum cukup dekat untuk membaca.
"Kau ingin bertanya sesuatu lagi?" suara Leo mengembalikan fokusnya.
"Eh, tidak... maksud saya, ya. Saya cuma... penasaran."
"Penasaran?"
"Kenapa Bapak jadi dosen? Maksud saya… Bapak terlihat seperti orang yang cocok kerja di lembaga riset rahasia atau… sesuatu yang lebih ekstrem."
Leo menatapnya lama, lalu tersenyum samar. Tapi bukan senyum hangat. Lebih seperti… permainan.
"Karena menjadi dosen memberiku akses yang cukup luas… dan anonimitas yang aman."
Aurelia terdiam. Apakah itu... jawaban jujur? Atau hanya cara lain untuk mengusirnya secara halus?
Leo berdiri perlahan, berjalan mendekati rak buku di sampingnya, mengambil sebuah buku tebal berbahasa Latin.
"Kau suka membaca?"
Aurelia mengangguk pelan. "Kalau isi bukunya bisa dipahami, saya suka."
Leo menoleh padanya. "Sayangnya, hal yang paling penting dalam hidup… jarang datang dalam bentuk yang mudah dipahami."
Aurelia tidak tahu harus menjawab apa. Tapi otaknya bekerja cepat. Buku itu… judulnya familiar. Dia pernah melihat versi terjemahannya di perpustakaan pribadi Dario. Buku tentang simbol-simbol kuno dan pesan tersembunyi.
Apakah ini… petunjuk?
Leo kembali duduk dan membuka lembar-lembar bukunya. Percakapan selesai. Tapi di kepala Aurelia, permainan baru saja dimulai.
---
Malamnya, angin dingin menerpa jendela asrama. Aurelia menatap ponsel lama miliknya. Ada satu pesan dari Dario.
"Bagaimana perkembangannya? Sudah lihat tubuhnya? Apakah ada bekas simbol?"
Aurelia mendesah.
"Belum. Tapi aku mulai curiga, dia menyembunyikan sesuatu. Ruangannya bersih, tapi bukunya penuh kode dan simbol aneh."
Balasan Dario muncul hampir seketika.
"Kau harus lebih dekat dengannya, Lia. Ciptakan alasan. Pancing kepercayaan. Jangan lupa, ini demi ibumu."
Aurelia menggigit bibir bawahnya. Demi ibunya. Demi kebenaran. Demi janji yang belum pernah dia ucapkan… tapi sudah terpatri di hatinya.
Dia tidak tahu bahwa di tempat lain, Leo sedang membuka surat lama milik ayahnya. Tulisannya pudar, sebagian terbakar, tapi satu kalimat selalu dia baca berulang-ulang:
"Jika aku mati, jangan percaya siapa pun. Bahkan wanita cantik sekalipun."
Leo menatap kosong ke luar jendela. Dan samar di sudut pikirannya… wajah polos Aurelia muncul sekilas.
Langit sore itu kelabu, seolah memantulkan suasana hati Aurelie yang tengah bergemuruh. Ia duduk sendirian di bangku taman kampus, tempat yang biasanya ramai oleh mahasiswa lain yang bercengkrama atau sekadar melepas penat. Tapi sore ini, Aurelie memilih tempat itu untuk menyendiri. Matanya menatap lurus ke arah gedung perkuliahan, tepat ke arah di mana sosok Leonardo Venturi baru saja keluar dengan langkah panjang dan angkuh.
Pria itu tampak seperti biasa—berwibawa, dingin, dan tak mudah didekati. Setelan hitam yang dikenakannya membuatnya terlihat lebih seperti tokoh dalam film mata-mata daripada seorang dosen. Namun yang paling menyebalkan bagi Aurelie adalah bagaimana tatapan mata cokelat Leo itu tak pernah menunjukkan ketertarikan, bahkan sedikit pun, terhadap dirinya.
Sudah berminggu-minggu Aurelie gadis yang lebih sering dipanggil Lia itu mencoba. Ia mengawali semua ini karena permintaan ayahnya, Dario Estrallo. Ia tahu misi itu penting. Tapi ia tidak tahu kenapa pria itu begitu... dingin. Terlalu sulit untuk didekati, terlalu cerdas untuk dijebak.
Ia tahu Leo menyembunyikan sesuatu, tapi tak tahu cara membuka pintu ke dalam dunia misterius yang dimiliki pria itu.
"Kenapa sih harus dia?" gumamnya, menggertakkan gigi.
Beberapa mahasiswi lain sempat menertawakannya saat tahu Aurelie mulai tertarik pada Leo. Bukan karena mereka menganggapnya bodoh, tapi karena mereka tahu semua usaha akan sia-sia. Sudah banyak yang mencoba—mulai dari yang terang-terangan menggoda, hingga yang sekadar memberikan kopi setiap pagi. Tapi Leo tetap sama. Dingin. Tak tersentuh. Tidak tersenyum, tidak terlibat. Ia hanya membalas dengan sopan, tapi tanpa makna.
Aurelie menatap layar ponselnya. Jemarinya bergerak cepat, menekan nomor yang sangat ia hafal di luar kepala. Tak butuh waktu lama hingga sambungan tersambung.
“Papa,” ucapnya pelan. Suaranya mengandung nada kelelahan, juga frustrasi.
Di seberang, suara Dario terdengar tenang. “Ada apa, Lia?”
“Aku buntu. Dia terlalu sulit, Papa. Dia nggak seperti orang biasa. Bahkan buat sekadar bicara empat mata aja susah. Kalau memang dia menyembunyikan sesuatu, kenapa nggak kita paksa aja? Tangkap, geledah, cari tahu angka-angka itu, atau apalah itu yang Papa bilang.”
Dario terdiam. Hening di ujung sana cukup panjang hingga membuat Aurelie berpikir sambungannya terputus.
Tapi akhirnya suara itu terdengar. Kali ini lebih berat. “Leo bukan orang sembarangan. Jangan gegabah, Lia. Kita tidak bisa melakukannya seperti itu.”
“Kenapa enggak? Kita punya beberapa anak buah, 'kan?”
“Bukan soal jumlah. Ini soal... risiko. Leo bukan target sembarangan. Dan kamu juga bukan sekadar pion.”
Aurelie terdiam, merasa seperti anak kecil yang ditegur karena kesalahan. Ia menarik napas dalam dan mencoba menenangkan diri.
“Tapi Papa bilang kunci itu penting. Kunci yang bisa membuka misteri kematian Mama. Aku cuma—”
“Dan kamu akan menemukannya. Tapi bukan dengan jalan kekerasan. Percayalah padaku.”
“kunci rahasia itu… benar-benar ada?” tanya Aurelie, suara lirih.
“Ya. Kunci yang entah berbentuk apa itu disimpan di suatu tempat. Dan hanya Leo yang tahu—entah dia sadar atau tidak. Kamu hanya perlu lebih dekat. Lebih dalam. Sampai dia menunjukkan sisi lain yang dia sembunyikan dari dunia.”
Aurelie mengangguk kecil, meski tahu Dario tak bisa melihatnya. Ia menutup telepon dan menyandarkan kepalanya ke sandaran bangku. Angin sore mengibaskan rambut pirangnya, dan matanya menerawang ke langit kelabu yang mulai meneteskan rintik.
“Kalau kamu memang tahu sesuatu, Leo... kenapa kamu terlihat seperti nggak tahu apa-apa?” bisiknya pada angin.
Dalam hati, ada pertanyaan yang tak bisa ia jawab. Mengapa semakin ia membenci Leo, semakin besar pula keinginan untuk tahu lebih banyak tentang pria itu? Apakah ini hanya rasa penasaran? Atau ada sesuatu yang lebih?
Aurelie menggeleng. Ia tak boleh terjebak dalam emosi. Ini semua untuk ibunya. Untuk masa lalu yang belum tuntas. Untuk janji yang ia buat pada Dario, pria berstatus papah yang telah membesarkannya, menyayanginya, dan mempercayakan misi ini padanya.
Namun, ada satu hal yang belum pernah ia sadari selama ini—ia tidak benar-benar tahu apa yang sedang ia cari. Dario hanya menyebut “kunci penting”, kode yang konon bisa membuka kunci kematian ibunya. Tidak pernah lebih dari itu.
Ia tak tahu bahwa kunci itu bukan sekadar kunci biasa. Ia tak tahu bahwa yang ia kejar adalah sebuah pin brankas—sebuah kunci menuju kekayaan besar, harta warisan sang raja mafia yang tak pernah bisa disentuh siapa pun sejak kematiannya yang misterius.
Dan lebih dari itu... ia juga tidak tahu bahwa ayahnya—Dario Estrallo—menyimpan rahasia yang jauh lebih kelam dari kematian ibunya.
Aurelie bangkit dari bangku taman. Ia merapikan tasnya dan berjalan kembali ke arah asrama. Hatinya masih bergemuruh. Kali ini bukan hanya karena frustrasi... tapi juga karena rasa takut. Leo bukan hanya pria yang sulit dipahami, dia terasa seperti teka-teki hidup yang bisa menghancurkan siapa pun yang mencoba membacanya.
Namun ia harus melanjutkan ini. Apa pun taruhannya.
---
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!