NovelToon NovelToon

CINTA DALAM ENAM DIGIT

Awal sebuah misi

Langit pagi di atas Universitas Savalone tampak terlalu cerah untuk hati yang sedang menyimpan dendam. Di tengah keramaian mahasiswa baru yang berlalu-lalang dengan wajah penuh semangat dan harapan, Aurelia Nayla berdiri tegak di depan gerbang utama kampus. Bukan karena terpesona oleh megahnya arsitektur klasik universitas itu, tapi karena otaknya sedang bekerja—mengukur, menakar, dan menghitung segala kemungkinan.

Penampilannya sederhana, sesuai aturan: kemeja putih bersih, rok abu bergaris, dan sepatu pantofel hitam. Rambut panjangnya yang kecokelatan dibiarkan tergerai rapi, mempertegas kesan anggun. Tapi matanya—matanya menyimpan sesuatu yang berbeda. Ada ketegasan, ada ketajaman, seperti seorang penembak jitu yang sudah memilih target dan hanya menunggu momen menembak.

Di tangannya tergenggam map kulit hitam. Terlihat seperti map biasa, tetapi isinya bukan catatan kuliah ataupun formulir pendaftaran. Di dalamnya, terselip potongan-potongan foto buram, coretan tangan, dan sebuah nama yang dilingkari dengan tinta merah tebal:

Leonardo Venturi.

“Dengar baik-baik, Lia!”

Suara itu kembali menggema di pikirannya. Tegas, dingin, dan bergetar penuh tekanan. Suara Dario.

“Orang ini bukan target sembarangan. Jangan terburu-buru, tapi jangan juga terlalu lambat. Kita kejar waktu.”

Dario selalu bicara tentang waktu seolah itu adalah mata uang yang bisa habis kapan saja. Dan baginya, waktu memang tak pernah murah.

“Temukan simbol itu. Maka kau akan tahu kebenaran tentang ibumu.”

Ibunya. Sosok samar yang bahkan tidak pernah hadir dalam mimpinya. Tidak ada suara, tidak ada tawa, hanya nama yang dikubur bersama rahasia kematian yang tidak pernah selesai. Yang Lia tahu, ibunya telah tiada—dibunuh. Itu versi yang selalu ditanamkan Dario sejak ia kecil.

Dan pelakunya? Alessandro Venturi. Ayah dari Leonardo.

Kini Lia ada di sini. Mengaku sebagai mahasiswa baru, mengikuti orientasi, dan perlahan menyusup ke kehidupan sang dosen muda. Semua demi satu misi: balas dendam dan jawaban. Sebab jika bukan demi itu, buat apa hidupnya?

---

Aula utama universitas penuh sesak. Suara-suara saling bersahutan: perkenalan, candaan, derai tawa gugup mahasiswa baru. Aurelia berhasil mendapatkan kursi di baris tengah. Ia duduk tenang, diam dalam keramaian.

“Lia, ya?”

Suara riang dan cempreng muncul dari arah kanan. Seorang gadis dengan rambut dikuncir dua duduk di sebelahnya, wajahnya berbinar cerah seperti belum pernah mengenal istilah "hari buruk".

“Aku Nadin! Katanya kita sekamar di asrama. Aku udah ambil kasur bawah, kamu nggak keberatan kan?”

Aurelia hanya menoleh singkat, mengangguk. “Nggak.”

Nadin menyipitkan mata, lalu tersenyum geli. “Kamu dingin banget. Tapi cool sih. Kayak cewek drama Korea yang nyamar jadi detektif.”

Komentar itu membuat sudut bibir Lia nyaris terangkat. Hampir.

Nadin tak berhenti. Ia merogoh ranselnya dan mengeluarkan wadah makanan bening berisi risoles. “Mau? Mamaku paranoid anaknya mati kelaparan di hari pertama kuliah.”

“Gak, makasih.”

“Yah, lebih banyak buat aku, dong.” Nadin mengunyah risoles sambil bicara. “Kamu takut gendut ya? Hebat sih.”

Aurelia hanya diam. Perhatiannya segera tertarik ke depan ketika suasana aula mendadak tenang. Pintu besar terbuka, dan seseorang masuk.

Langkahnya mantap, tubuh tegap, kemeja hitam tergulung sampai siku. Wajahnya seperti diukir—rahang tegas, hidung tinggi, mata tajam yang menyapu ruangan seperti sedang memilih siapa yang pantas diperhatikan.

Tanpa perkenalan, Lia tahu: Itu dia.

Leonardo Venturi.

“Saya dosen pengganti untuk semester ini,” suaranya berat, tenang, dan tak memberi ruang untuk sanggahan. “Leonardo. Panggil saya Leo. Saya tidak tertarik jadi teman kalian. Saya tidak butuh pujian. Saya hanya peduli hasil.”

Beberapa mahasiswa terkekeh, mencoba mencairkan suasana. Tapi tatapan datarnya membuat mereka langsung bungkam.

Nadin berbisik pelan, “Dingin banget, sumpah. Tapi cakep. Aku rela diulang semester kalau bisa liatin dia tiap hari.”

Lia mengabaikan komentar itu. Tatapannya tak beranjak dari pria di depan kelas. Bukan karena pesona, tapi karena… teka-teki. Dimana simbol itu berada? Di bagian tubuh mana?

---

Malam itu, kamar asrama.

Nadin sudah tertidur dengan posisi aneh, satu kaki menggantung dari ranjang, wajah masih tertutup masker mentimun. Sementara Lia duduk di meja belajar, cahaya laptop menyala redup.

Folder rahasia terbuka. File-file terenkripsi berisi foto-foto tak biasa: tato spiral, dan simbol mirip glyph kuno.

Pesan terakhir dari Dario muncul di layar:

> “Temukan simbol itu. Pastikan. Lalu kita lanjut ke langkah berikutnya.”

Namun, Dario tak pernah menjelaskan apa langkah itu. Ia hanya memerintah dan memastikan Lia tak pernah bertanya terlalu jauh. Itu sudah cukup lama jadi aturan tidak tertulis di antara mereka.

Satu pesan baru muncul.

> “Awasi dosen tua bernama Gianni. Jangan dekati.”

Lia mengetik balasan cepat.

> “Kenapa?”

Balasan muncul beberapa detik kemudian:

> “Nanti kau akan tahu. Fokus pada Venturi.”

Aurelia menghela napas. Layar laptop ia tutup. Dalam sunyi, hanya suara napas Nadin dan detak jantungnya sendiri yang terdengar. Ia memejamkan mata sejenak, mengulang lagi kalimat yang paling sering muncul dalam pikirannya akhir-akhir ini.

“Setelah semua ini selesai... apa aku bisa hidup tenang?”

---

Dua Hari Kemudian – Kelas Strategi Bisnis

Leo berdiri di depan kelas, seolah tidak tergoyahkan oleh suara gelisah mahasiswa yang baru saja melihat nilai kuis pertama mereka—mayoritas gagal.

“Ini bukan kontes keberuntungan,” katanya, suaranya tegas. “Kalau kalian tidak bisa berpikir, setidaknya belajar diam dan tidak menyusahkan.”

Beberapa mahasiswa tertawa hambar. Lia tetap tenang di tempat duduknya.

Tatapan Leo menyapu ruangan. Lalu berhenti di dirinya. Sesaat. Tapi cukup lama untuk membuat jantung Lia berdetak sedikit lebih cepat.

Mata itu.

Tatapan itu.

Seolah keduanya pernah bertemu entah di kehidupan lain atau dalam tragedi yang belum selesai.

Detik itu terasa seperti keabadian. Dunia di sekitar mereka membisu.

Belum cinta. Tapi juga bukan benci.

Mungkin… pertanda bahwa misi ini tak akan sesederhana yang Lia bayangkan.

Dan jauh di balik pandangan datar Leonardo, ada sesuatu yang juga sedang mencari. Mencari potongan teka-teki yang belum ia tahu… ternyata ada dalam diri Aurelia Nayla.

---

Jejak yang tertinggal

Pagi itu langit kampus tampak suram, seperti menyimpan firasat yang belum sempat disampaikan. Langkah Aurelia bergema di lorong gedung administrasi. Di tangannya, map formulir kelas tambahan terkepal erat. Tapi isi pikirannya tidak sedang membahas kelas apa pun.

Wajah Leo terus membayang. Tatapannya kemarin—dingin, penuh kendali—membekas kuat. Bukan hanya karena pria itu adalah target misi, tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang… tidak biasa. Setiap gerak dan kata-katanya terasa seolah memiliki makna tersembunyi.

Aurelia berhenti di depan pintu kantor dosen. Ia tarik napas, lalu mengetuk dengan mantap.

“Masuk,” jawab suara berat dari dalam.

Saat pintu terbuka, Leo sedang duduk di belakang meja. Kemeja lengan panjangnya tergulung hingga siku, dan tatapan matanya langsung menembus Aurelia dalam sekejap.

“Aurelia, ya?” suaranya tenang, tapi tak sepenuhnya ramah.

“Iya, Pak. Saya diminta mengantarkan ini.” Ia menyerahkan map tanpa berani menatap terlalu lama.

Leo menerimanya, membuka sekilas, lalu mengangguk. “Cepat. Biasanya mahasiswa baru menunda sampai diingatkan.”

Aurelia tersenyum kecil, tapi tidak langsung pergi. Matanya menyapu ruangan—berharap menemukan sesuatu. Tapi ruang itu bersih nyaris steril. Tidak ada foto pribadi, tidak ada benda sentimental. Yang ada hanyalah rak buku penuh volume tebal dan beberapa catatan tulisan tangan dengan aksara asing.

Terasa ganjil. Terlalu netral untuk ruangan seorang dosen yang karismatik.

“Masih ada yang kau perlukan?” tanya Leo, memperhatikannya tanpa ekspresi.

“Saya… hanya penasaran, Pak.”

“Penasaran?”

Aurelia menelan ludah. “Kenapa Bapak memilih jadi dosen? Maksud saya, dengan penampilan dan... aura Bapak, saya kira Bapak lebih cocok jadi peneliti rahasia atau... bahkan semacam agen.”

Leo memandangnya beberapa detik, lalu tersenyum samar—senyum yang tidak hangat, melainkan penuh pertimbangan.

“Karena jadi dosen memberiku akses. Dan, lebih penting lagi, anonimitas.”

Jawaban itu membuat Aurelia terdiam. Entah jujur atau sedang bermain kata.

Leo berdiri perlahan, lalu berjalan ke rak buku di sampingnya. Ia mengambil satu buku tua dengan huruf Latin di sampulnya.

“Kau suka membaca?” tanyanya, tanpa menoleh.

“Kalau bukunya tidak terlalu membingungkan, saya suka,” jawab Aurelia jujur.

Leo menoleh, menatapnya. “Sayangnya, sebagian besar kebenaran tidak datang dalam bentuk yang mudah dipahami.”

Kata-katanya terdengar seperti pelajaran… atau peringatan. Aurelia diam, tapi pikirannya berpacu. Buku itu—judulnya tidak asing. Ia pernah melihatnya di koleksi terlarang milik Dario. Buku tentang simbol-simbol kuno.

Petunjuk? Atau jebakan?

Leo kembali ke mejanya, membuka halaman-halaman buku itu. Tanpa berkata apa pun lagi. Bagi Aurelia, percakapan telah berakhir. Tapi dalam hatinya, permainan baru saja dimulai.

---

Malam harinya, angin mengetuk jendela asrama seperti pertanda. Di kamarnya yang redup, Aurelia duduk dengan ponsel di tangan. Satu pesan muncul dari nama yang membuat napasnya berat: Dario.

> “Sudah lihat tubuhnya? Ada simbol?”

Ia mengetik cepat.

> “Belum. Tapi ruangannya bersih mencurigakan. Dan dia punya banyak buku tentang kode dan simbol aneh.”

Balasan datang seketika.

> “Kau harus lebih dekat. Dekati dia. Dapatkan kepercayaannya. Jangan lupa siapa yang kau bela.”

Aurelia menatap pesan itu lama. Ibunya. Satu-satunya alasan kenapa ia menuruti semua ini. Tapi perlahan, rasa ragu mulai menyusup dalam keyakinan.

Sementara itu, di tempat lain, Leo duduk sendiri dalam temaram lampu. Di tangannya, selembar surat tua yang mulai rapuh dibaca untuk kesekian kali.

Jika aku mati, jangan percaya siapa pun. Bahkan wanita cantik sekalipun.

Ia mendongak, menatap jendela. Samar, wajah Aurelia muncul di pikirannya. Dan entah mengapa, surat itu terasa lebih nyata malam ini.

---

Dibalik rasa benci

Langit sore itu kelabu, seolah memantulkan suasana hati Aurelie yang tengah bergemuruh. Ia duduk sendirian di bangku taman kampus, tempat yang biasanya ramai oleh mahasiswa lain yang bercengkrama atau sekadar melepas penat. Tapi sore ini, Aurelie memilih tempat itu untuk menyendiri. Matanya menatap lurus ke arah gedung perkuliahan, tepat ke arah di mana sosok Leonardo Venturi baru saja keluar dengan langkah panjang dan angkuh.

Pria itu tampak seperti biasa—berwibawa, dingin, dan tak mudah didekati. Setelan hitam yang dikenakannya membuatnya terlihat lebih seperti tokoh dalam film mata-mata daripada seorang dosen. Namun yang paling menyebalkan bagi Aurelie adalah bagaimana tatapan mata cokelat Leo itu tak pernah menunjukkan ketertarikan, bahkan sedikit pun, terhadap dirinya.

Sudah berminggu-minggu Aurelie gadis yang lebih sering dipanggil Lia itu mencoba. Ia mengawali semua ini karena permintaan ayahnya, Dario Estrallo. Ia tahu misi itu penting. Tapi ia tidak tahu kenapa pria itu begitu... dingin. Terlalu sulit untuk didekati, terlalu cerdas untuk dijebak.

Ia tahu Leo menyembunyikan sesuatu, tapi tak tahu cara membuka pintu ke dalam dunia misterius yang dimiliki pria itu.

"Kenapa sih harus dia?" gumamnya, menggertakkan gigi.

Beberapa mahasiswi lain sempat menertawakannya saat tahu Aurelie mulai tertarik pada Leo. Bukan karena mereka menganggapnya bodoh, tapi karena mereka tahu semua usaha akan sia-sia. Sudah banyak yang mencoba—mulai dari yang terang-terangan menggoda, hingga yang sekadar memberikan kopi setiap pagi. Tapi Leo tetap sama. Dingin. Tak tersentuh. Tidak tersenyum, tidak terlibat. Ia hanya membalas dengan sopan, tapi tanpa makna.

Aurelie menatap layar ponselnya. Jemarinya bergerak cepat, menekan nomor yang sangat ia hafal di luar kepala. Tak butuh waktu lama hingga sambungan tersambung.

“Papa,” ucapnya pelan. Suaranya mengandung nada kelelahan, juga frustrasi.

Di seberang, suara Dario terdengar tenang. “Ada apa, Lia?”

“Aku buntu. Dia terlalu sulit, Papa. Dia nggak seperti orang biasa. Bahkan buat sekadar bicara empat mata aja susah. Kalau memang dia menyembunyikan sesuatu, kenapa nggak kita paksa aja? Tangkap, geledah, cari tahu angka-angka itu, atau apalah itu yang Papa bilang.”

Dario terdiam. Hening di ujung sana cukup panjang hingga membuat Aurelie berpikir sambungannya terputus.

Tapi akhirnya suara itu terdengar. Kali ini lebih berat. “Leo bukan orang sembarangan. Jangan gegabah, Lia. Kita tidak bisa melakukannya seperti itu.”

“Kenapa enggak? Kita punya beberapa anak buah, 'kan?”

“Bukan soal jumlah. Ini soal... risiko. Leo bukan target sembarangan. Dan kamu juga bukan sekadar pion.”

Aurelie terdiam, merasa seperti anak kecil yang ditegur karena kesalahan. Ia menarik napas dalam dan mencoba menenangkan diri.

“Tapi Papa bilang kunci itu penting. Kunci yang bisa membuka misteri kematian Mama. Aku cuma—”

“Dan kamu akan menemukannya. Tapi bukan dengan jalan kekerasan. Percayalah padaku.”

“kunci rahasia itu… benar-benar ada?” tanya Aurelie, suara lirih.

“Ya. Kunci yang entah berbentuk apa itu disimpan di suatu tempat. Dan hanya Leo yang tahu—entah dia sadar atau tidak. Kamu hanya perlu lebih dekat. Lebih dalam. Sampai dia menunjukkan sisi lain yang dia sembunyikan dari dunia.”

Aurelie mengangguk kecil, meski tahu Dario tak bisa melihatnya. Ia menutup telepon dan menyandarkan kepalanya ke sandaran bangku. Angin sore mengibaskan rambut pirangnya, dan matanya menerawang ke langit kelabu yang mulai meneteskan rintik.

“Kalau kamu memang tahu sesuatu, Leo... kenapa kamu terlihat seperti nggak tahu apa-apa?” bisiknya pada angin.

Dalam hati, ada pertanyaan yang tak bisa ia jawab. Mengapa semakin ia membenci Leo, semakin besar pula keinginan untuk tahu lebih banyak tentang pria itu? Apakah ini hanya rasa penasaran? Atau ada sesuatu yang lebih?

Aurelie menggeleng. Ia tak boleh terjebak dalam emosi. Ini semua untuk ibunya. Untuk masa lalu yang belum tuntas. Untuk janji yang ia buat pada Dario, pria berstatus papah yang telah membesarkannya, menyayanginya, dan mempercayakan misi ini padanya.

Namun, ada satu hal yang belum pernah ia sadari selama ini—ia tidak benar-benar tahu apa yang sedang ia cari. Dario hanya menyebut “kunci penting”, kode yang konon bisa membuka kunci kematian ibunya. Tidak pernah lebih dari itu.

Ia tak tahu bahwa kunci itu bukan sekadar kunci biasa. Ia tak tahu bahwa yang ia kejar adalah sebuah pin brankas—sebuah kunci menuju kekayaan besar, harta warisan sang raja mafia yang tak pernah bisa disentuh siapa pun sejak kematiannya yang misterius.

Dan lebih dari itu... ia juga tidak tahu bahwa ayahnya—Dario Estrallo—menyimpan rahasia yang jauh lebih kelam dari kematian ibunya.

Aurelie bangkit dari bangku taman. Ia merapikan tasnya dan berjalan kembali ke arah asrama. Hatinya masih bergemuruh. Kali ini bukan hanya karena frustrasi... tapi juga karena rasa takut. Leo bukan hanya pria yang sulit dipahami, dia terasa seperti teka-teki hidup yang bisa menghancurkan siapa pun yang mencoba membacanya.

Namun ia harus melanjutkan ini. Apa pun taruhannya.

---

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!