NovelToon NovelToon

Masa Lalu Pilihan Mertua

Bab 1 Masa Lalu Pilihan Mertua

Pagi itu, Diva terbangun lebih awal dari biasanya. Setelah menunaikan salat Subuh, ia segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan bagi suami dan ibu mertuanya. Ia tahu betul bahwa mertuanya tidak suka melihatnya bangun kesiangan.

Sambil menanak nasi, Diva membersihkan piring kotor yang tersisa dari semalam. Padahal, sebelum tidur ia sudah mencuci semuanya, tetapi ia tahu kebiasaan ibu mertuanya yang sering terbangun tengah malam untuk makan, lalu meninggalkan piringnya begitu saja.

Setelah dapur beres, ia melanjutkan pekerjaan rumah lainnya menyapu, mengepel, lalu mencuci pakaian. Saat nasi mulai matang, ia pun menyiapkan sarapan di meja makan. Belum sempat beristirahat, suara langkah kaki dari dalam kamar mengisyaratkan bahwa suaminya sudah bangun.

"Eh, Bang, sudah bangun?" sapa Diva lembut.

"Hmm... iya," jawab Arman datar.

Tanpa banyak bicara, Arman langsung menuju kamar mandi. Diva kembali ke pekerjaannya, memasukkan cucian ke dalam mesin pengering. Namun, sebelum sempat menyelesaikan semuanya, suara lantang terdengar dari ruang tengah.

"Diva! Diva! Diva!"

Nada suara itu terdengar kesal. Diva buru-buru menghampiri ibu mertuanya.

"Aduh, Div! Dipanggil bukannya nyahut!" sentak ibu mertuanya dengan nada ketus.

"Maaf, Bu, tadi Diva lagi mencuci baju," jawabnya pelan.

"Halah, alasan saja! Udah masak belum? Rumah udah diberesin?" tanya sang ibu dengan ekspresi datar.

"Sudah semua, Bu," jawab Diva singkat.

"Bagus. Cepat selesaikan semuanya."

Diva mengangguk dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Sementara itu, Arman yang sudah selesai mandi mulai bersiap untuk bekerja. Sebelum ia keluar kamar, Diva telah lebih dulu menyiapkan pakaian kerjanya.

Usai menjemur pakaian, Diva melihat suami dan ibu mertuanya tengah duduk menikmati sarapan. Ia pun kembali ke kamar untuk membersihkan diri. Setelah rapi, ia menghampiri suaminya dan mencium tangannya.

"Bang, hati-hati ya. Semangat kerjanya," ucapnya dengan ramah.

"Iya. Kalau sudah selesai, kamu istirahat saja," jawab Arman singkat sebelum berlalu dan melajukan mobilnya.

Tak lama kemudian, suara ibu mertuanya kembali terdengar.

"Diva, kamu sudah beres semua?"

"Iya, Bu, sudah," jawab Diva.

"Bagus. Ibu mau pergi. Kamu jaga rumah, ya."

"Iya, Bu."

Diva menatap punggung ibu mertuanya yang perlahan menghilang di balik pintu. Dalam hati, ia tahu bahwa mertuanya sebenarnya bukan orang jahat. Hanya saja, mulutnya sering kali lebih cepat daripada hatinya.

Setelah ibu mertuanya pergi, Diva akhirnya duduk di meja makan untuk menikmati sarapannya. Usai makan, ia segera mencuci piring kotor bekas sarapan mereka, lalu beristirahat sejenak.

“Suntuk juga kalau tidak bekerja,” batinnya. Sebelum menikah, ia terbiasa bekerja. Meskipun saat ini ia tidak perlu bekerja di luar rumah, Diva tetap memiliki penghasilan sendiri. Ia memiliki sebuah minimarket di kota yang dikelola oleh kakak perempuannya. Setiap bulan, ia menerima bagian dari keuntungan minimarket tersebut. Namun, baik suami maupun mertuanya tidak mengetahui hal itu. Mereka hanya mengira Diva berasal dari keluarga biasa saja.

Tak hanya itu, sebenarnya Diva juga lulusan S2. Namun, sejak awal pernikahan, ia memilih menyembunyikan hal itu karena khawatir Arman akan minder dan menjauh darinya.

Sambil bersantai, Diva mencatat daftar belanja bulanan. Hari ini, Arman menerima gaji, dan seperti biasa, ia harus memastikan kebutuhan rumah tangga tercukupi.

Menjelang siang, ibu mertuanya pulang sambil membawa makanan, termasuk untuknya. Diva pun menemani sang ibu makan bersama. Namun, di tengah-tengah suapan, pertanyaan yang selalu ia dengar kembali terlontar.

"Div, kapan sih kamu kasih Ibu cucu? Udah tujuh tahun kamu nikah sama Arman, tapi belum juga ada tanda-tanda," ucap ibu mertuanya.

Diva menarik napas dalam. "Iya, Bu. Diva sama Bang Arman juga sedang berusaha," jawabnya dengan tenang.

Namun, jawaban itu tampaknya belum cukup. "Apa kamu yang mandul?" ujar ibu mertuanya tanpa ragu.

Seketika, amarah membuncah di dada Diva. Namun, ia berusaha menahannya. Dengan suara tegas, ia berkata, "Ibu, tolong jaga ucapan Ibu."

Tanpa menunggu respons, Diva berdiri dan berlalu pergi, meninggalkan ibunya yang masih duduk di meja makan.

Di belakangnya, samar-samar ia mendengar ibu mertuanya menggerutu, "Dasar menantu egois."

Lalu, Diva pun masuk ke kamar sambil menangis. Aku juga ingin punya anak, tapi kalau Allah belum kasih, mau bagaimana lagi? Kami juga sudah berusaha dan memeriksakan diri… batinnya lirih.

Jam empat sore, Arman baru saja pulang kerja. Ia mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Yang membukakan pintu adalah ibunya.

"Loh, kok Ibu yang buka? Mana Diva, Bu?" tanya Arman heran.

"Ada di kamar, lagi ngambek sama Ibu," jawab ibunya dengan nada datar, lalu duduk di sofa.

Arman menghela napas, lalu ikut duduk di samping ibunya.

"Ada apa lagi, Bu?" tanyanya lelah.

"Ya ampun, memang Ibu salah kalau nanyain cucu?" sahut ibunya.

"Tapi, kan, Ibu tahu kalau Diva pasti sedih kalau ditanya soal itu," jawab Arman.

Ibunya mendengus kesal. "Itulah kamu. Coba dulu kamu nikah sama Raya, pasti sekarang kamu sudah bahagia. Ibu juga sudah pasti punya cucu," katanya tanpa ragu.

Arman mengepalkan tangan, berusaha menahan kesabaran. "Bu, cukup ya. Aku sama Raya memang nggak jodoh. Ibu doakan saja aku sama Diva lekas punya anak," ucapnya tegas, lalu bangkit meninggalkan ibunya.

"Tidak! Anak dan menantuku semua egois!" omel ibunya sendiri.

---

POV Ibu Susan

Andai saja dulu Arman berjodoh dengan Raya, pasti aku sudah bahagia sekali. Tapi sayangnya, lamarannya dulu ditolak hanya karena dia belum menjadi PNS. Saat itu, Arman memang belum seperti sekarang…

Tapi bagaimanapun juga, aku tetap lebih menyukai Raya. Sudah cantik, sarjana pula. Tidak seperti Diva, hanya lulusan SMA. Apalagi, dia anak yatim, hanya punya seorang kakak perempuan di kota.

Lalu, Arman pun masuk ke kamar dan melihat istrinya sedang terlelap. Ia duduk di samping ranjang, menatap wajah lelah Diva.

"Maafin Ibu ya, Div. Ibu tidak bermaksud menyakiti hatimu," ucapnya lirih.

Setelah itu, Arman beranjak untuk membersihkan diri. Ia menaruh baju kotornya di keranjang, sementara sayup-sayup, Diva mulai terbangun. Matanya mengerjap, melihat sekeliling.

"Loh, sudah jam berapa ini? Aku belum masak buat Bang Arman," gumamnya pelan.

Ketika ia hendak keluar kamar, Arman kebetulan baru saja selesai mandi.

"Bang, udah pulang dari kapan? Kok nggak bangunin aku?" tanya Diva.

"Abang baru aja pulang. Kamu tadi tidur, jadi abang segan mau bangunin," jawab Arman.

"Yaudah, tunggu ya. Aku masak dulu buat kita makan malam," ujar Diva, lalu bergegas ke dapur. Namun, saat sampai di sana, ia tak melihat keberadaan ibu mertuanya.

---

POV Arman

Aku sudah tujuh tahun menikah dengan Diva, wanita yang pertama kali kutemui di kota saat aku mengikuti tes CPNS dulu. Saat itu, aku bertemu dengannya secara tak sengaja karena ia sedang mengantar temannya. Awalnya, aku tidak terlalu memperhatikannya, karena saat itu aku masih bersama Raya.

Dulu, ibuku sangat yakin bahwa aku akan menikahi Raya. Namun, sayangnya, lamaranku ditolak hanya karena aku belum menjadi PNS. Aku sempat merasa galau berkepanjangan. Bagaimana tidak? Aku dan Raya sudah menjalani hubungan hampir tiga tahun.

Namun, takdir membawaku kembali ke kota karena ada urusan lain. Di sana, aku tak sengaja bertemu Diva lagi, kali ini di sebuah minimarket tempatnya bekerja. Kami mulai berbincang, bertukar nomor telepon, dan semakin sering berkomunikasi. Dalam dua bulan, aku merasa cocok dengannya dan memutuskan untuk menikahinya.

Saat itu, ibuku tidak setuju. Diva bukan menantu pilihannya. Namun, aku tetap teguh pada keputusan ini dan akhirnya menikahi Diva. Setelah menikah, aku membawanya ke kabupaten tempatku tinggal.

Tiga bulan setelah pernikahan kami, aku menerima kabar baik aku lolos tes CPNS. Alhamdulillah, aku diterima di daerah asalku. Sejak saat itu, ekonomiku mulai meningkat, dan aku akhirnya bisa membeli mobil.

Namun, Diva tak menghiraukannya. Ia segera menuju dapur dan membuka kulkas. Hari ini masak ayam goreng sama lalapan saja, pikirnya.

Sekitar satu jam kemudian, semua makanan sudah siap. Diva menatanya di meja makan lalu menutupnya agar tetap hangat. Setelah itu, ia segera membersihkan diri dan mengambil wudu untuk salat. Sementara itu, Arman pergi ke masjid untuk menunaikan salat Magrib dan Isya.

Setelah salat, kami pun makan malam bersama. Aku sudah melupakan kejadian tadi siang dan memilih untuk menikmati momen ini.

Usai makan, Bang Arman dan ibu duduk di ruang tengah, sementara aku membersihkan meja dan mencuci piring. Setelah semuanya beres, aku ikut duduk bersama mereka.

"Nah, sekarang semuanya sudah kumpul. Saatnya aku bagikan gajiku ya," kata Arman sambil mengeluarkan uang. "Ini buat kamu, Div, dan ini untuk Ibu."

"Alhamdulillah," ucap Ibu dengan senyum puas.

"Makasih ya, Bang," aku pun ikut berterima kasih.

"Bu, Arman juga sudah kirim untuk Arini," tambahnya.

"Iya, sudah. Baiklah, Ibu masuk dulu ya," ucap ibu sambil berdiri.

"Iya, Bu," jawab Arman.

Saat ibu masuk ke kamarnya, aku menoleh ke arah suamiku. "Bang, besok aku belanja ya?" tanyaku.

"Iya, kamu atur saja. Kalau kurang, nanti bilang ke abang," jawabnya santai.

Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata pelan, "Bang, maaf ya, kalau sampai saat ini aku belum bisa kasih kamu anak."

Arman menatapku, lalu tanpa ragu, ia menarikku ke dalam pelukannya. "Kalau Allah belum kasih, ya kita sabar dulu ya," ucapnya lembut.

Aku menatap suamiku penuh rasa syukur. Terima kasih ya Allah, sudah menghadirkan suami seperti Bang Arman.

Bab 2 Masa Lalu Pilihan Mertua

Seperti biasa, Diva sudah membersihkan semuanya dan menyiapkan sarapan untuk semua. Arman pun sudah siap berangkat kerja, begitu juga dengan ibu mertuanya. Kami pun menikmati sarapan bersama.

"Div, kamu sudah dikasih uang kan sama Arman? Ibu mau kamu masak yang enak-enak ya," ucap ibu.

"Baik, Bu," jawab Diva singkat.

Setelah sarapan dan Arman berangkat kerja, Diva mulai membereskan piring. Setelah semua beres, ia bersiap-siap untuk pergi ke pasar.

Saat Diva hendak pergi, ibu mertuanya yang sedang menonton televisi menoleh.

"Bu, Diva ke pasar dulu ya," ucap Diva.

"Iya, hati-hati. Sana cepat, nanti keburu habis semuanya," jawab ibu.

Diva pun keluar rumah dan melajukan motornya menuju pasar. Perjalanan hanya sekitar 15 menit karena jaraknya tidak terlalu jauh. Namun, karena kali ini ia ingin belanja banyak, menggunakan motor adalah pilihan terbaik.

Di pasar, Diva membeli daging, ikan, ayam, sayuran, dan buah untuk stok dua minggu ke depan. Setelah itu, ia membeli bumbu-bumbu yang dibutuhkan. Hampir satu jam kemudian, semua belanjaan sudah siap.

Sebelum pulang, enaknya minum es cendol dulu, pikirnya. Ia pun membeli dua porsi, satu untuk dirinya dan satu lagi untuk ibu mertuanya.

Sesampainya di rumah, ibu sudah menunggu di ruang tamu.

"Kok lama, Div?" tanya ibu dengan nada ketus.

"Iya, Bu. Tadi ramai. Oh iya, ini Diva belikan es cendol buat ibu," jawab Diva sambil menyodorkan es cendol.

"Nah, ini baru menantu ibu. Tau aja ibu lagi haus," ujar ibu dengan senyum puas.

Diva hanya tersenyum kecil lalu berlalu ke dapur untuk membereskan belanjaannya. Setelah semuanya selesai, ia berniat masuk ke kamar untuk beristirahat.

"Div, kamu masaknya sorenya aja ya. Ibu siang ini mau arisan," kata ibu.

"Iya, Bu," jawab Diva.

---

Ibu Susan pun pergi ke acara arisan yang diadakan di salah satu kafe baru di kota. Tidak lupa, ia memakai perhiasannya agar terlihat menawan di depan teman-temannya.

Sesampainya disana, ia melihat teman-temannya sudah berkumpul.

"Eh, Jeng Susan!" sapa Jeng Tari.

"Iya, maaf ya, Jeng, telat," jawab Bu Susan.

"Nggak kok, yuk duduk," ajak Jeng Tari.

Mereka pun menikmati acara arisan bersama. Namun, saat hendak pulang, Bu Susan tidak sengaja menabrak seseorang.

"Aduh! Kalau jalan hati-hati dong!" ujar Bu Susan sambil berdiri dan merapikan bajunya.

"Loh, Tante Susan?" suara seseorang membuatnya menoleh.

"Eh, Raya! Apa kabar, Nak?" jawab Bu Susan dengan senyum lebar.

"Baik, Tante. Tante sendiri bagaimana?" tanya Raya.

"Baik, Nak. Oh iya, Tante buru-buru mau belanja. Tante boleh minta nomor kamu?" tanya Bu Susan penuh harap.

"Boleh dong, Tan," jawab Raya sambil memberikan nomor ponselnya.

Setelah mendapatkan nomor Raya, wajah Bu Susan tampak bahagia.

Sore hari, Arman sudah pulang dan sedang bersantai di ruang tengah. Tidak lama kemudian, ibu pulang dengan membawa beberapa paper bag di tangannya.

"Arman, kamu sudah pulang?" ucap ibu sambil duduk di sebelahnya.

"Iya, Bu," jawab Arman singkat.

Sambil melihat sekeliling, ibu pun berbicara dengan suara pelan, penuh semangat.

"Man, kamu tahu nggak, tadi ibu ketemu siapa?" ucap ibu dengan wajah bahagia.

"Nggak tahu, Bu. Kan ibu belum cerita," jawab Arman santai.

"Ishh, kamu ini! Ibu ketemu Raya!" ujar ibu bersemangat.

"Terus?" jawab Arman datar.

"Ini pertanda buat kamu, Man," kata ibu penuh arti.

"Aduh, Ibu, jangan aneh-aneh lah. Aku ini sudah menikah," ucap Arman dengan nada kesal.

Sementara itu, di dapur, Diva tengah sibuk menyiapkan makan malam. Ia memasak sop daging, tumis sayur, dan bakwan jagung. Cocok banget nih buat makan malam, batinnya.

Setelah semua masakan siap, Diva berniat membersihkan diri. Saat hendak masuk ke kamar, tanpa sengaja, ia mendengar percakapan suami dan ibu mertuanya.

Mereka sedang membicarakan seseorang bernama Raya.

Siapa dia? Apa hubungannya dengan Bang Arman? batinnya lirih.

Tanpa ingin mendengar lebih jauh, Diva segera masuk ke kamar dan bergegas mandi, berusaha menenangkan pikirannya.

Seketika, ibu dan Arman yang sedang berbicara di ruang tengah saling berpandangan.

"Udah, Bu. Cukup. Nanti Diva tahu semuanya," ujar Arman, sedikit khawatir.

Lalu, Arman segera masuk ke kamar.

"Div, kamu mau mandi ya?" ucap Arman.

"Iya, Bang," jawab Diva singkat.

Syukurlah Diva nggak dengar, batinnya. Kalau tidak, pasti kacau.

Sementara itu, di ruang tengah, ibu bergumam lirih, "Dikasih peluang nggak mau. Anak itu awas aja, nanti kamu pasti kembali sama Raya, Man."

Setelah salat Isya, kami semua menikmati makan malam dalam keheningan, tanpa sepatah kata pun terucap.

"Div, besok kamu siapkan sarapan untuk ibu aja. Besok abang ada acara," ucap Arman.

"Iya, Bang," jawab Diva singkat.

Seperti biasa, setelah makan, Arman dan ibu duduk bersama di ruang tengah, sementara aku sibuk membersihkan semuanya. Setelah selesai, aku sama sekali tak berminat untuk bergabung dengan mereka, jadi aku memilih masuk ke kamar.

Arman yang menyadari hal itu segera menyusulku.

"Div, kamu kenapa?" tanyanya.

"Nggak apa-apa, Bang. Hanya mengantuk aja," jawabku datar.

"Oh, ya sudah. Kamu istirahat aja," ujar Arman, lalu beranjak pergi.

Lalu, Arman keluar dari kamar untuk memberi tahu ibu.

"Bu, lain kali kita nggak perlu bahas Raya lagi," ucap Arman sambil duduk di sofa.

"Heleh, kamu ini. Ya suka-suka ibu lah," jawab ibu santai, lalu berlalu masuk ke kamar.

Arman menghela napas panjang. Ibu ini sulit sekali diberi tahu. Aku hanya takut Diva salah paham.

Setelah itu, Arman masuk kembali ke kamar dan berbaring, bersiap untuk tidur.

Setelah salat Subuh, Diva bersiap untuk membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan. Sekitar satu jam kemudian, rumah sudah rapi. Hari ini, ia memilih memasak menu sederhana ikan goreng, sambal, dan sayur.

Pukul 06.30, semua sudah siap. Saat Diva sedang membereskan meja, ia melihat suaminya bersiap menuju kamar mandi.

"Abang mau mandi ya? Bentar, ya, Diva siapkan dulu," ucapnya dengan ramah.

"Iya, Div. Abang mandi dulu," jawab Arman sambil berlalu ke kamar mandi.

Diva pun beranjak ke kamar.

"Udah masak, Div?" tanya ibu dari ruang tengah.

"Udah, Bu," jawab Diva.

"Bagus. Rumah juga sudah rapi," sahut ibu.

Diva hanya mengangguk, lalu kembali ke kamar untuk mempersiapkan segala keperluan suaminya.

Ya Allah, semoga rumah tanggaku tetap baik-baik saja, batinnya lirih. Setelah semuanya siap, ia duduk di tepi ranjang sambil bermain ponsel.

Tak lama kemudian, suara pintu kamar mandi terbuka. Arman sudah selesai mandi.

"Ini, Bang," ucap Diva sambil menunjuk pakaian yang telah ia siapkan.

"Iya, terima kasih, Diva," balas Arman dengan lembut.

Setelah semua siap, mereka keluar bersama.

"Bang, pamit ya," ujar Arman.

"Iya, Bang," jawab Diva, tak lupa menyalami suaminya.

"Udah mau pergi, kamu, Man?" tanya ibu dari dalam.

"Iya, Bu," jawab Arman, lalu menyalami tangan ibunya.

"Hati-hati," kata ibu dan Diva bersamaan.

Arman pun melajukan mobilnya meninggalkan rumah.

Setelah itu, Diva masuk ke kamar untuk membersihkan diri. Setelah rapi, ia baru sarapan bersama ibu.

Setelah semua urusan beres, Diva bersantai di ruang tengah sambil menonton televisi.

Bab 3 Masa Lalu Pilihan Mertua

Menjelang sore, Diva sudah siap memasak. Karena lauk makan pagi masih ada, ia hanya menambahkan sedikit saja. Tak lama kemudian, terdengar suara mobil memasuki garasi. Bang Arman sudah pulang. Dapur yang berdekatan dengan garasi membuat suara mobil terdengar jelas.

Setelah semua siap, Diva menyiapkan minuman untuk suaminya. Begitu air mendidih, ia menuangkannya ke dalam gelas, lalu membawa minuman itu ke ruang tengah.

"Bu," sapa Arman sambil duduk di sebelah ibunya.

"Capek, Man? Tuh, Diva lagi bawain minum buat kamu," ujar ibu.

"Bang, ini kopinya," ucap Diva sambil meletakkan gelas di meja.

"Terima kasih, ya, Div," balas Arman.

Setelah itu, ia beranjak ke kamar untuk bersiap mandi.

Sementara itu, di ruang tengah, ibu kembali membuka topik lama.

"Man, gimana? Kamu masih suka sama Raya?" tanya ibu tiba-tiba.

Arman menghela napas panjang. "Astaga, Bu. Baru juga Arman pulang kerja, malah tanya soal masa lalu lagi."

"Aduh, Ibu cuma mau tanya aja, loh," jawab ibu santai.

"Bu, pasti sekarang Raya juga sudah punya kehidupannya sendiri. Ini sudah tujuh tahun berlalu," ucap Arman, berusaha mengakhiri pembicaraan.

Deg! Diva yang baru selesai mandi tiba-tiba merasa lemas. Dari balik pintu dapur, ia mendengar percakapan mereka. Jadi, ini calon menantu yang pernah diceritakan Arini? Sekarang Diva baru tahu namanya Raya.

Namun, selagi Bang Arman tidak menginginkannya lagi, seharusnya semuanya baik-baik saja.

Lirih, Diva membatin, lalu beranjak pergi tanpa ingin menyapa siapapun dan langsung masuk kamar.

Tiba-tiba, ibu dan Arman menoleh bersamaan. Arman, dengan raut wajah yang berubah serius, segera beranjak dari duduknya.

Arman memasuki kamar dan melihat Diva duduk di tepi ranjang, diam menatapnya.

"Diva, apa kamu mendengar semuanya?" tanya Arman pelan.

Diva hanya menatapnya tanpa bicara, lalu mengangguk.

Arman mengusap rambutnya dengan kasar. "Arghhh… ini semua karena Ibu," lirihnya, frustasi.

Ia mendekati Diva dan berlutut di hadapannya. "Diva, Abang mohon, dengarkan Abang dulu," ucapnya dengan suara lembut.

Diva tetap diam, menatap suaminya. "Jelaskan, Bang. Aku tidak ingin hanya mendengar dari satu pihak saja," ucapnya akhirnya.

Arman menarik napas dalam sebelum berbicara. "Sebelum Abang kenal kamu, Abang memang lebih dulu bersama Raya. Tapi waktu itu, Abang belum sesukses sekarang. Lamaran Abang ditolak. Tidak lama setelah itu, Abang bertemu kamu, dan saat itulah Abang mulai memiliki rasa untuk kamu, Div," ujarnya lirih.

Diva menundukkan wajah, menahan air mata. "Jadi, aku hanya jadi pelampiasan abang setelah masa lalu tidak menerimamu?" tanyanya dengan suara bergetar.

Arman segera menggeleng. "Tidak begitu, Sayang. Saat ini, sampai kapan pun, Abang hanya mencintai kamu. Tidak ada orang lain, termasuk Raya. Apa kamu pernah melihat Abang berubah? Apa uang belanja juga berubah? Tidak kan, Sayang? Abang mohon, Diva percaya sama Abang."

Diva terdiam cukup lama, hatinya berkecamuk. Akhirnya, ia menarik napas dalam dan menatap suaminya. "Baiklah, aku pegang kata-kata Abang. Tapi ingat, Bang, jika suatu saat Abang menduakan aku… lebih baik kita berpisah."

Jawabannya tegas, membuat Arman tercekat.

Angan-angan Ibu Susan sungguh di luar akal. Bagaimana tidak? Bisa-bisanya ia ingin Arman berpoligami.

"Arman ini, sudah tahu ibu ingin menantu seperti Raya. Kalau pun sekarang kamu sudah punya Diva, apa salahnya kalau kamu juga bersama Raya? Suami punya istri dua kan tidak dilarang, malah dianjurkan dalam agama. Apalagi sekarang kamu sudah menjadi PNS, pasti orang tua Raya setuju."

Ucapan Ibu Susan begitu santai, seolah yang dibicarakan hanyalah hal sepele. Namun, pikirannya jelas-jelas penuh perhitungan. Ia benar-benar ingin mewujudkan angan-angannya, tanpa peduli pada perasaan Diva.

Setelah pertengkaran itu, Diva dan Arman kembali bersikap biasa saja. Mereka makan bersama, meskipun dalam hati Diva masih terasa enggan. Setelah selesai, seperti biasa, Diva membereskan semuanya.

Setelah semua pekerjaan beres, Diva masuk ke kamar dan mengambil ponselnya. Ada pesan dari kakaknya.

"Div, uangnya sudah kakak transfer seperti biasa ya. Kamu sehat, kan? Gimana Arman?"

Diva pun segera membalas,

"Alhamdulillah, terima kasih, Kak. Iya, semua baik-baik saja."

Sebenarnya, Diva ingin bercerita tentang Arman kepada Kak Dira, tapi ia mengurungkan niatnya.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka.

"Belum tidur kamu, Div?" tanya Arman.

"Belum, Bang. Lagi balas pesan Kak Dira ini," jawab Diva.

"Oh iya, salam ya buat Kak Dira," ujar Arman sambil duduk di samping Diva.

Setelah itu, Diva menaruh ponselnya di samping ranjang dan merebahkan diri. Arman menatapnya dengan tatapan yang berbeda.

"Kenapa Bang menatap aku seperti itu?" tanya Diva pelan.

Arman tersenyum ragu. "Hmm... Diva, abang boleh minta sesuatu nggak?"

Diva tersenyum kecil. "Boleh lah, Bang. Abang kan suami Diva."

Malam itu, pasangan suami istri itu larut dalam kebersamaan hingga dini hari. Baru sekitar jam 2 pagi mereka tertidur, kelelahan menyelimuti tubuh mereka.

Meski tubuh masih terasa letih, Diva tetap bangun saat alarm berbunyi pukul 5 subuh. Ia tidak ingin mertuanya mengomel jika ia bangun kesiangan. Setelah salat, ia segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.

Pukul 6.30, semua sudah siap. Seperti biasa, ia menemani ibu mertuanya dan suaminya makan, lalu mengantar Arman ke depan sebelum berangkat kerja.

Saat hendak kembali ke dalam, ibu mertua menatapnya dengan curiga.

"Div, kamu sakit?" tanya ibu Susan.

"Nggak kok, Bu," jawab Diva, berusaha tersenyum meskipun tubuhnya masih terasa lelah.

"Jangan bohong kamu. Ya sudah, kamu istirahat aja. Nanti siang ibu mau pergi," ujar ibu Susan sebelum masuk ke kamarnya.

Sementara itu, di dalam kamarnya, ibu Susan mengambil ponselnya dan mengirim pesan.

"Halo, Nak Raya, ini Tante Susan."

Tak lama kemudian, ada notifikasi pesan masuk.

"Iya, Tante?" balas Raya.

"Nak, hari ini sibuk tidak? Tante mau ketemu Raya."

"Tidak, Tante. Nanti kita ketemu di kafe yang kemarin saja, ya."

Rasa senang menyelimuti hati ibu Susan. Ia sudah tak sabar bertemu dengan calon menantu yang selama ini ia idam-idamkan.

Diva baru saja ingin merebahkan badan ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi.

"Sayang, maaf ya, abang bikin Diva lelah."

Diva yang membaca pesan itu langsung tersenyum malu-malu. Ketika hendak membalas, masuk lagi pesan baru.

"Sayang, nanti nggak usah masak ya. Nanti abang bawa makan malam."

Diva membalas singkat. "Iya, abang."

Siang Hari

Diva terbangun karena perutnya mulai terasa lapar. Ia keluar kamar dan melihat rumah dalam keadaan sepi. Tanpa berpikir lama, ia menuju dapur untuk makan.

Sementara itu, di Kafe

Ibu Susan duduk dengan wajah berbinar di hadapan Raya.

"Tante kangen sekali sama Nak Raya," ucapnya penuh semangat.

"Ih, Tante bisa aja," balas Raya tersipu.

Setelah berbincang sejenak, Raya tiba-tiba bertanya, "Tan, aku dengar-dengar sekarang Arman udah jadi PNS, ya?"

Ibu Susan mengangguk penuh kebanggaan. "Iya, Nak Raya. Apa Nak Raya mau kembali bersama Arman?" tanyanya tanpa ragu.

Raya terdiam sejenak sebelum menjawab, "Mau sih, Tan, tapi kan Arman sudah punya istri," ujarnya dengan nada sedikit sedih.

Ibu Susan tersenyum penuh arti. "Kamu tenang saja. Arman juga masih sayang sama kamu. Dia menikahi istrinya itu karena dulu keluarga kamu menolak," ucapnya meyakinkan.

"Maaf ya, Tan," balas Raya, berpura-pura enggan.

"Iya, Nak. Tante juga berharap kamu tetap bisa menjadi menantu Tante," ujar Ibu Susan penuh harap.

Setelah puas berbincang, Ibu Susan pun kembali pulang.

---

POV Raya

“Wah, sekarang Arman sudah menjadi PNS dan orang tuaku setuju dengannya. Aku baru tahu setelah melihat akun sosial medianya. Tapi yang membuatku kesal, dia sudah menikah."

Beberapa waktu lalu, aku tidak sengaja bertemu dengan ibu Arman. Dari situ aku sadar, aku masih punya kesempatan untuk mendekati Arman. Bagaimana tidak? Ketika berbincang denganku, ibu Arman masih mengharapkanku menjadi menantunya."

Benar, kesempatan ini tak akan aku sia-siakan. Kalau aku bisa menikah dengan Arman, aku bisa menguasai semua hartanya." Raya tersenyum penuh ambisi, pikirannya dipenuhi rencana.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!