NovelToon NovelToon

Bukan Cinderella-nya

1. Ulang Tahun ke-29

“Selamat ulang tahun, Nathaniel Alvaro.”

Ucapan itu keluar dari mulut seorang wanita anggun berkebaya merah marun, dengan gaya rambut cepol rapi dan senyum khas wanita kelas atas yang lebih sering menghitung reputasi daripada detak jantung. Madeline Alvaro, ibunda Nathan, meletakkan kado berbungkus perak di meja makan besar yang telah dihiasi lilin dan bunga mawar putih.

Nathaniel Alvaro, atau lebih dikenal dengan Nate oleh orang-orang dekatnya, mengangkat sebelah alis. Pria itu duduk dengan kemeja putih rapi, kancing atas terbuka dan rambut sedikit berantakan, membuatnya tampak seperti pria di iklan parfum mahal. Wajahnya tampan, tubuhnya tinggi tegap, dan mata tajamnya bisa membuat orang mengaku dosa hanya dengan satu lirikan.

“Terlalu formal, Ma. Aku udah 29 tahun, bukan anak TK,” ujarnya sambil membuka bungkus kado itu dengan malas.

“Justru karena kamu 29 tahun, Mama serius.” Madeline menyesap teh tanpa mengalihkan pandangan. “Tahun depan kamu kepala tiga. Sudah waktunya kamu menikah.”

Nate menghela napas berat, seperti anak remaja yang diminta ikut arisan RT. Ia menatap ibunya dengan ekspresi yang tak bisa disalahartikan selain satu hal: tolong jangan bahas ini lagi.

“Aku belum kepikiran nikah.”

Madeline meletakkan cangkir tehnya dengan pelan, penuh wibawa. “Kamu pewaris Alvaro Group. Kamu punya tanggung jawab. Mama ingin kamu punya pasangan yang pantas, bukan sekadar cantik, tapi juga berkelas, berpendidikan, tahu etika.”

Nate menatap ibunya, lalu menatap kado di tangannya, sebuah jam tangan eksklusif keluaran terbatas yang sejujurnya sangat ia sukai, tapi dia tetap mengerutkan kening.

“Hadiah ulang tahun atau suap buat nikah?”

Madeline tersenyum sipit. “Anggap saja pengantar.”

Nate tertawa kecil, pahit. “Mama tahu aku sibuk. Perusahaan, meeting, proyek ekspansi ke luar negeri. Mana sempat mikirin pernikahan?”

“Kamu sempat beli jam tangan langka dari Swiss minggu lalu.”

“Itu beda,” jawabnya cepat.

“Kamu juga sempat jalan-jalan ke Bali dua bulan lalu.”

“Refreshing.”

Madeline bersedekap. “Tapi kamu nggak sempat pacaran? Jangan pura-pura sibuk, Nathan.”

Nate menahan diri untuk tidak mendorong kursinya menjauh dan kabur ke garasi. Ini sudah tahun ketiga ibunya menyentil soal pernikahan. Dan meski Nate cerdas, kaya, dan hampir tidak punya kekurangan di atas kertas, entah kenapa hidup asmaranya seperti sinyal Wi-Fi... kadang kuat, kadang hilang tanpa jejak.

“Gimana kalau Mama kasih kamu pilihan?” Madeline mengeluarkan selembar foto dari tas tangannya dan meletakkannya di meja. “Celestine Aurellia. Anak sahabat Mama. Cerdas, punya karier, cantik. Mama yakin kamu akan cocok.”

Nate hanya menatap foto itu sekilas. Wajah wanita yang tampak elegan dan... galak. Alis tegas, dagu sedikit terangkat. Wanita seperti itu biasanya bisa menghancurkan ego pria dengan satu kalimat.

“Ma, aku belum siap dijodohin. Kayak... ini bukan zaman kerajaan.”

Madeline mendesah. “Nathan, Mama ini bukan nyuruh kamu nikah minggu depan. Hanya bertemu. Berkenalan. Minum kopi. Kalau cocok, lanjut. Kalau enggak... Mama akan carikan yang lain.”

Nate membulatkan mata. “Jadi aku tetap harus ketemu?”

“Kamu tetap harus menikah.”

Nate menatap ibunya dengan ekspresi putus asa, tapi Madeline sudah kembali menyesap tehnya seolah percakapan ini hanya trivia ringan. Nate menatap ke luar jendela, matahari pagi Jakarta bersinar cerah, tapi dadanya terasa mendung.

Kenapa semua orang ingin aku menikah seakan-akan dunia akan kiamat kalau aku tetap jomblo?

Sambil mengunyah croissant yang rasanya tiba-tiba hambar, pikirannya terbang ke seseorang. Bukan Celeste. Bukan wanita mana pun dari daftar kandidat ibunya. Tapi seorang gadis yang nyaris tak pernah bicara banyak, selalu menunduk saat bertatapan mata, dan entah kenapa... selalu berhasil bikin Nate tersenyum meski cuma dengan satu ucapan pelan, “Selamat pagi, Tuan.”

Clarissa.

Gadis itu bukan siapa-siapa di mata dunia. Hanya seorang asisten rumah tangga. Tapi bagi Nate, dia seperti teka-teki yang tak ingin dipecahkan, hanya dinikmati perlahan. Sudah tiga tahun Clarissa bekerja di rumah keluarga Alvaro, dan sejak hari pertama dia datang dengan koper kecil dan rambut dikuncir rendah, Nate sudah merasa ada sesuatu yang berbeda.

Sialnya, dia tak pernah bisa mengungkapkannya. Bahkan ketika diam-diam membayari kuliahnya tanpa sepengetahuan siapa pun. Bahkan saat Clarissa menangis di dapur karena gagal ujian dan dia pura-pura lewat, hanya untuk meninggalkan secangkir cokelat panas.

Diam-diam, Nate tahu... dia jatuh hati.

Tapi apa yang bisa dia lakukan? Dunia mereka terlalu jauh. Nama belakangnya adalah Alvaro—nama yang muncul di majalah bisnis dan Forbes Asia. Sedangkan Clarissa... bahkan tak punya akun media sosial.

“Besok malam, Mama atur dinner dengan Celeste. Pakai baju yang rapi. Jangan ngeluh.”

Suara ibunya memutus lamunan Nate. Ia hanya mengangguk, tanpa semangat.

“Jangan pasang muka mayat begitu. Mama tahu kamu belum pernah benar-benar jatuh cinta.”

Oh, betapa salahnya Madeline Alvaro kali ini.

2. Gadis Berpita Cokelat

“Clarissa, tolong ambilin file biru di meja kerja saya, ya. Yang sebelah printer,” ujar Madeline, setengah memerintah seperti biasa.

“Baik, Bu.”

Suara itu pelan, nyaris seperti bisikan. Clarissa mengangguk sopan sebelum melangkah cepat namun ringan, seperti sudah hafal semua sudut rumah mewah itu bahkan dalam gelap.

Dia bukan tipe orang yang menonjol. Tidak seperti para asisten rumah tangga di rumah keluarga elite lainnya yang suka bicara berlebihan atau berusaha akrab. Clarissa kalem, tidak banyak omong, dan selalu rapi. Rambutnya dikuncir rendah dengan pita cokelat lusuh yang entah mengapa selalu dia pakai. Wajahnya manis, tapi bukan tipe cantik glamor yang biasa Nate temui di pesta-pesta. Justru karena itu, Clarissa terasa... nyata.

Saat gadis itu kembali dengan map biru di tangannya, Nate baru turun dari lantai dua, mengenakan kaus hitam polos dan celana jogger.

Mereka nyaris berpapasan.

Mata mereka bertemu.

Sesaat.

Lalu Clarissa cepat-cepat menunduk. “Selamat pagi, Tuan.”

Nate menahan napas. Dalam pikirannya, ia ingin membalas dengan kalimat manis, mungkin mengajak bicara lebih lama, atau setidaknya menanyakan kabar. Tapi yang keluar hanya gumaman singkat, “Pagi.”

Clarissa buru-buru menyerahkan map ke Madeline, lalu kembali ke dapur seperti embun yang menguap pelan-pelan. Menghilang, tapi meninggalkan rasa dingin di dada.

Nate masih menatap punggungnya. Selalu seperti itu. Ia terlalu kaya, terlalu tinggi, terlalu ‘berbeda’ untuk sekadar membuka pembicaraan biasa. Clarissa juga bukan gadis yang mudah diajak bercanda atau flirting.

Dia seperti bunga kecil yang tumbuh di antara beton, hampir tak terlihat, tapi tetap bertahan.

“Nathan.”

Suara Madeline mengagetkannya. “Kamu ngelamun liatin pembantu lagi?”

Nate pura-pura tertawa. “Enggak. Tadi mikir kerjaan.”

Madeline memutar matanya. “Mama harap kamu nggak punya niat aneh-aneh ke anak itu. Dia bukan level kamu.”

Kalimat itu menampar lebih keras dari yang Nate harapkan. Tapi dia sudah terbiasa. Semua orang selalu bicara soal level. Keluarga Alvaro punya standar, dan Clarissa tidak masuk daftar.

“Dia kerja dengan baik. Nggak pernah buat masalah,” jawab Nate datar.

“Itu bagus. Tapi tetap saja, jangan terlibat terlalu jauh,” kata Madeline, lalu berjalan pergi.

Nate menatap ke arah dapur.

Dia ingat hari pertama Clarissa datang. Dengan koper kecil, wajah lelah, dan senyum yang dipaksakan. Waktu itu hujan deras, dan Madeline bahkan tak menyuruh siapa pun menjemput gadis itu dari gerbang. Nate yang melihat dari balkon akhirnya turun diam-diam, membawakan payung. Clarissa kaget setengah mati.

Sejak saat itu, Nate memperhatikan dari jauh.

Dia tahu Clarissa kerja keras. Tiap malam gadis itu membaca buku kuliah dengan mata berat, sambil duduk di tangga belakang. Dia tahu Clarissa pernah jual ponsel demi bayar biaya semester. Dan karena itulah, tanpa suara, Nate yang mengurus semuanya. Mendaftar ulang kuliah, melunasi semesterannya, bahkan diam-diam membelikan laptop baru dan menyuruh supir mengaku itu “donasi kampus”.

Clarissa tak pernah tahu.

Dia hanya bilang, “Alhamdulillah, ternyata dosen bantuin.”

Nate hanya tersenyum di balik pintu kamarnya, tidak tega membetulkan cerita.

Apa dia bodoh? Mungkin. Tapi dia tidak butuh ucapan terima kasih. Cukup melihat Clarissa bahagia, cukup. Meski Clarissa tak pernah tahu bahwa semua itu dari pria yang dia panggil “Tuan”.

Dan entah sejak kapan, Nate mulai menunggu pagi hanya untuk mendengar ucapan “Selamat pagi, Tuan” dari bibir gadis itu.

*

Sore itu, Clarissa sedang menyiram tanaman di taman kecil belakang rumah. Nate berdiri di balkon, memperhatikan dari lantai dua. Hujan rintik mulai turun. Clarissa belum sadar. Rambutnya mulai basah, tapi dia masih tersenyum, memperhatikan satu demi satu bunga yang dia rawat sendiri.

Nate turun cepat. Kali ini bukan karena kasihan. Dia hanya... ingin berdiri di sebelahnya.

“Clarissa,” panggilnya saat sampai di tangga taman.

Gadis itu terlonjak kaget. “T-Tuan? Maaf, saya... saya nggak tahu kalau—”

“Payung,” kata Nate, sambil menyodorkan benda itu. “Kamu kehujanan.”

Clarissa ragu. “Nggak apa-apa, Tuan. Hujannya kecil.”

Nate tetap mengangkat alis. “Nanti kamu sakit. Terus Mama nyuruh aku cari ART baru. Aku males.”

Clarissa tersenyum kecil. “Baik, Tuan.”

Mereka berdiri di bawah payung bersama. Sunyi. Canggung.

Tapi Nate merasa... nyaman.

“Ada yang bilang... kalau orang yang suka hujan itu orang yang hatinya sedih,” kata Clarissa pelan, masih menatap bunga mawar yang basah.

Nate menoleh ke arahnya. “Kamu sedih?”

Clarissa menggeleng. “Enggak. Saya cuma suka hujan.”

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Nate merasa... dia juga suka hujan.

3. Bunga di Tangga Belakang

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Rumah besar keluarga Alvaro sunyi, hanya suara detak jam antik di ruang tengah yang terdengar. Semua lampu sudah dimatikan, kecuali satu: lampu kecil di dekat tangga belakang.

Clarissa duduk di anak tangga ketiga, berselimut hoodie tipis dan membuka buku besar berjudul Psikologi Perkembangan. Cahaya lampu temaram membuat bayangannya memanjang ke lantai. Tangannya sibuk mencoret-coret kertas, alisnya sedikit mengernyit.

Nate berdiri di balik jendela ruang makan, mengintip diam-diam sambil menyandarkan diri ke dinding.

Sudah hampir seminggu dia memperhatikan kebiasaan Clarissa ini. Tiap malam setelah semua pekerjaan rumah selesai, gadis itu akan menyelinap ke tangga belakang dengan buku dan setumpuk print out. Tempat itu sunyi, tak ada yang lewat, dan biasanya cukup dingin untuk membuat orang menyerah setelah lima belas menit.

Tapi Clarissa bisa duduk di sana berjam-jam, hanya dengan satu mug air putih dan semangat yang entah datang dari mana.

Nate tersenyum kecil. “Gila, ni anak bener-bener rajin,” gumamnya.

Ia melirik bunga kecil yang tadi diambilnya dari taman. Bunga mawar merah muda, mekar sempurna.

Rencananya impulsif, bodoh bahkan, tapi Nate tak peduli. Ia menggulung secarik kertas kecil yang sudah ditulis sebelumnya dan mengikatnya ke batang mawar dengan pita kecil.

Lalu, diam-diam, dia berjalan keluar lewat pintu samping.

Clarissa sedang terlalu tenggelam dalam bacaannya untuk menyadari langkah pelan Nate yang mendekat dari arah taman. Pria itu berhenti sekitar dua meter dari tangga, meletakkan bunga di atas pagar kayu kecil, lalu mundur lagi cepat-cepat.

Dari balik bayangan, ia menunggu.

Butuh beberapa menit sebelum Clarissa menyadari kehadiran bunga itu. Saat dia berdiri untuk meregangkan badan, matanya menangkap sesuatu yang asing di pagar.

“Eh?” Clarissa melangkah mendekat.

Ada sebatang mawar merah muda.

Dengan catatan kecil tergulung di batangnya.

Clarissa membuka kertas itu perlahan-lahan, seperti takut merusaknya. Tulisan di sana hanya dua kalimat, sederhana:

“Untuk gadis yang lebih kuat dari yang dia sadari.

Dari: Pengagum Rahasia.”

Wajah Clarissa memerah seketika. Dia memandang ke sekitar, jantungnya berdebar.

Nate nyaris tertawa dari tempat persembunyiannya. Dia bisa melihat reaksi gadis itu dengan jelas—kebingungan, malu, senang, lalu kembali bingung.

Clarissa duduk kembali, kali ini memandangi bunga itu dengan senyum kecil.

Nate mundur pelan, lalu kembali ke kamarnya. Detak jantungnya tak kalah kencang.

“Pengagum rahasia,” gumamnya sendiri, geli. “Gue juga nggak nyangka bakal sekampungan ini.”

Tapi melihat senyum Clarissa tadi, senyum tulus tanpa beban, semua konyolnya jadi terasa berharga.

Keesokan paginya, Madeline mengetuk kamar Nate dengan ekspresi tak senang.

“Kamu ingat, kan? Hari ini kamu harus makan siang sama Celeste.”

“Celeste?” Nate mengernyit.

“Anak sahabat Mama, Julianne Aurellia. Kamu udah ketemu dia pas kecil. Sekarang dia udah cantik, sukses, kerja di firma hukum top. Mama atur lunch kalian di hotel sore ini.”

Nate langsung geleng. “Ma, aku ada meeting.”

“Jangan cari alasan. Anak itu calon istri ideal.”

Nate berdiri dari tempat tidur. “Aku nggak butuh istri ideal. Aku butuh istri yang bisa bikin aku ngerasa nyaman, bukan yang Mama pilih.”

Madeline menatap putranya tajam. “Jangan bilang kamu masih mikirin... Clarissa?”

Nate mengangkat bahu, cuek. “Kalau iya, kenapa?”

Madeline menahan napas sejenak, lalu memutar tubuh dan keluar dari kamar tanpa kata.

Nate duduk kembali. Matanya melirik ke arah balkon, ke taman di mana Clarissa biasanya menyiram bunga. Dia masih memegang satu bunga mawar merah muda yang tersisa di vas kecil di meja.

“Gue nggak peduli dia pembantu atau bukan,” katanya pada diri sendiri. “Selama dia bisa bikin gue tersenyum kayak kemarin... itu cukup.”

Di dapur, Clarissa menyelipkan bunga pemberian “pengagum rahasia” itu ke dalam bukunya. Senyum itu belum hilang sejak semalam.

Dalam hati, dia berpikir:

Siapa pun dia... terima kasih. Aku butuh itu.

Dan diam-diam, dua hati mulai saling mendekat—dalam gelap, dalam sunyi, dalam diam.

Tanpa tahu bahwa dunia takkan membiarkan cinta mereka semudah itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!