Inaya Nadira, seorang gadis yang baru saja lulus SMK. Ia adalah anak ke-4 dari 5 bersaudara yang semuanya Perempuan dari keluarga kurang mampu. Ia bisa menyelesaikan sekolahnya karena beasiswa dan bantuan dari kakak ke-3nya. Sang ayahmeninggal saat dirinya masih dibangku kelas 1 SD.
Ada keinginan untuk melanjutkan kuliah karena dirinya mendapatkan jaminan beasiswa dari sekolahnya. Tetapi Inaya memilih untuk bekerja di sebuah koperasi demi meringankan beban sang ibu yang hanya sebagai pedagang sayur kelilingdan membiayai sekolah adik bungsunya.
Inaya yang bekerja, telah mendapatkan 2 kali lamaran dari saudara sepupunya dan kenalan sang ibu. Tinggal di desa yang masih konservatif, Inaya menurut dengan keputusan sang ibu. Baginya menikah atau tidak sama saja karena ia tidak berharap banyak pada pernikahan. Pernikahan ketiga kakaknya, membuat Inaya merasa pernikahan hanyalah hubungan timbal balik antar pasangan.
Akan tetapi, semua lamaran itu gagal karena perhitungan weton* mereka yang tidak cocok. Yang pertama karena weton pihak laki-laki lebih sedikit dibandingkan dengan Inaya dan berakhir di tanggal lamaran atau pernikahan yang “tibo nggeblake”atau jatuh di hari meninggalnya orang tua atau nenek/kakek.
Yang kedua gagal karena perhitungan neptu** keduanya yang menemui jalan buntu dan berakhir dengan 1-0. Terdengar seperti permainan bola bukan? Tetapi maksud dari angka itu adalah salah satu dari mereka akan mengalami kekosongan rezeki selama penyatuan. Tentu saja gagal, siapa yang mau mengalami kekosongan rezeki?
“Kamu besok libur, Nak?” tanya Ibu Inaya, Ranti.
“Iya, Bu. Besok disuruh istirahat di rumah karena lusa harus ikut audit. Mungkin aku tidak pulang selama 3 harian, Bu.” Jawab Inaya.
“Ikut Ibu ke pasar, ya? Kebetulan banyak barang yang harus ibu bawa besok.”
“Baik, Bu.”
Ikut ke pasar menjual dagangan sudah menjadi kebiasaan Inaya bahkan sejak ia masih SMP. Dulu ia akan bangun jam 1 malam untuk membantu mengangkut barang ke pinggir jalan yang dilalui bus antar kota. Jam 2 malam berangkat ke pasar menggunakan bus dan pulang jam 4 pagi jika ia harus sekolah.
“Adikmu tidak perlu dibangunkan, nanti dia takut kalau tahu ditinggalkan sendiri di rumah.” Kata Ibu Ranti yang sudah siap dengan selendang dan bakulnya.
“Baik, Bu.” Inaya menggunakan sweater untuk melindunginya dari hawa dingin dan tidak lupa menggunakan celana untuk memudahkannya mengangkat barang dagangan.
Dagangan yang perlu di bawa dari rumah adalah 3 tandan pisang yang sebelumnya sempat di peram sehari semalam. Inaya membawa 2 tandan ukuran sedang dan Ibu Ranti membawa tandan yang besar. Mereka berjalan kurang lebih 100 meter untuk mencapai jalan yang dilalui bus antar kota.
Selain pisang, masih ada 2 karung singkong dan 3 buah Nangka masak berukuran jumbo yang sudah diangkut sebelumnya dan dititipkan di salah satu pemilik toko di pinggir jalan.
Bus antar kota yang biasa mengambil trayek pagi khusus pedagang seperti Ibu Ranti sudah hafal dengan beliau, sehingga segera menata barang dagangan yang langsung memenuhi area depan karena bagian atas dan belakang sudah penuh dengan barang dagangan pedagang lain. Inaya dan Ibu Ranti sampai harus berdiri karena semua tempat duduk sudah penuh.
45 menit kemudian.
Begitu sampai di pasar kota, bus tidak berhenti di depan pasar, melainkan memutar ke belakang karena jalanan di belakang pasar adalah tempat jualan para pedagang di malam hari sedangkan pasar kota yang sebenarnya baru akan buka pukul 7 pagi. Ibu Ranti yang sudah mendapatkan spot berjualan, menata dagangannya. Sambil berdagang, Ibu Ranti juga membeli beberapa sayur dari pedagang lain untuk jualannya nanti.
“Kamu mau pulang dulu atau ikut belanja?”
“Ikut, Bu.”
“Ya sudah, sayur hijau sudah dibeli semua sisa sayur sop. Tunggu sebentar lagi, nanti tokonya buka.” Inaya melihat jam yang ada di ponselnya menunjukkan pukul 5pagi.
“Sarapan dulu boleh tidak, Bu? Lapar.” Inaya memegangi perutnya yang keroncongan karena semalam ia tidak ada makan malam.
“Mau sarapan apa?”
“Rawon sudah buka belum jam segini, Bu?”
“Belum, pecel saja yang sudah buka.”
“Ya, sudah. Pecel juga tidak apa-apa, Bu.”
Inaya mengikuti sang ibu menuju warung pecel pincuk yang berjaja di pinggiran pasar kota. Selesai makan, sang ibu membawa Inaya ke bagian belakang pasar dimana pedagang sayur, ikan, sembako berada. Sambil menunggu mereka buka, Ibu Ranti lebih dulu membawa Inaya ke penjual gethuk dan jamu yang sudah menjajakan dagangan mereka.
“Kamu bisa belikan ibu ayam tidak?” tanya Ibu Ranti saat warung-warung di pasar mulai menjajakan dagangan.
“Bisa, Bu. Berapa banyak?”
“Setengah kiloannya 4, seperempatnya 4 juga, 1 kiloannya 2, khusus sayap 4, khusus ceker 2, khusus kepala 2, campurnya 4. Ini uangnya.” Inanya mengangguk.
“Kamu masih ingat tempatnya?”
“Masih, Bu.”
Sampai di tukang ayam, Inaya memesankan apa yang diperintahkan sang ibu. Saat menunggu pesanannya, ada yang memanggil Inaya dari arah belakang.
“Mbak Sintya!” seru Inaya yang mengenali orang yang memanggilnya.
“Kamu sedang apa? Pagi sekali.”
“Ikut Ibu belanja buat jualan, Mbak. Mbak Sintya tumben ke pasar sendirian.”
“Aku sama adik sepupuku, dia nunggu di parkiran.” Inaya mengangguk.
“Bagaimana kabar Bapak dan Ibu?”
“Baik. Kamu sesekali main ke rumah.”
“Kapan-kapan ya, Mbak. Aku hanya libur sehari dalam seminggu, jadi lebih nyaman untuk malas-malasan di rumah.”
“Malas-malasan apa? Ini kamu libur malah ikut ke pasar.”
“Malasnya nanti, Mbak.” Inaya tertawa.
“Karnaval besok, kamu mau ikut tidak?”
“Lihat jadwal dulu ya, Mbak. Kalau libur aku ikut, tapi kalau tidak Mbak cari gantinya ya?”
“Iya. Kamu kabari Mbak nanti, ya?” Sintya pamit pulang dan Inaya membayar pesanannya yang sudah selesai disiapkan.
Karnaval yang dimaksud Sintya adalah karnaval yang rutin di gelar setiap tanggal 17 Agustus untuk memperingati kemerdekaan Indonesia. Sejak SMK, Inaya aktif dalam kegiatan di luar sekolah untuk mendapatkan tambahan uang saku. Ia ikut dalam grup band sekolah sebagai vokalis yang juga selalu mempersembahkan lagu setiap karnaval.
Dari sana ia mengenal Sintya yang juga merupakan vokalis dari SMA 3. Hubungan mereka akrab dan sampai sekarang Sintya masih sering mengajak Inaya manggung jika ada yang menyewa band gabungan Sintya.
“Sudah semua, Bu?” tanya Inaya yang melihat sang ibu sudah Menyusun dagangan ke dalam bakul dan tas anyaman.
“Sudah, tinggal nunggu kamu saja. Masukkan ayamnya ke dalam tas itu!” Inaya memasukkan ayam yang dibawanya ke dalam tas yang sudah berisi aneka ikan.
Ibu Ranti menggendong bakulnya dan Inaya membawa dua tas anyam menuju terminal bus. Begitu sampai di desa Inaya, Ibu Ranti mulai menjajakan dagangannya di emperan toko sebelum nantinya dibawa berkeliling sedangkan Inaya pamit pulang.
.
.
.
*weton: Perhitungan hari kelahiran berdasarkan penanggalan Jawa yang menggabungkan hari dan pasaran (Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing).
**neptu: Nilai yang dihitung dari penjumlahan nilai hari dan pasaran.
.
.
.
Semoga para pembaca suka..
Sepulang Inaya dari audit, Sintya kembali menghubunginya dan mengatakan jika dirinya senggang bisa ikut Latihan di studio yang tidak jauh dari rumahnya. Inaya menolaknya dengan mengatakan jika dirinya masih banyak pekerjaan. Saat Inaya libur, barulah ia berkunjung ke rumah Sintya.
“Masuk, Nak Ina!” seru Bapak Sintya yang melihat kedatangan Inaya.
“Bapak, sehat?”
“Alhamdulillah.. Lama tidak kemari kamu tambah cantik, Nak!”
“Bisa saja, Pak. Ibu mana?”
“Ibu di belakang sedang buat ikan panggang. Bapak dapat banyak tangkapan hari ini.”
“Alhamdulillah..”
“Kamu ke belakang saja sambil nunggu Sintya. Bapak mau ke balai desa.”
“Baik, Pak.”
Inaya yang sudah terbiasa ke rumah Sintya, membuat mereka memperlakukannya seperti anak sendiri dantidak lagi sungkan dengan kedatangannya. Berbeda dengan Inaya yang masih merasa sungkan dengan perlakuan Sintya dan kedua orang tuanya.
“Jangan kemari! Nanti bajumu bau asap!” seruIbu Sinta yang sedang mengasapi ikan di samping dapur.
“Tidak apa-apa, Bu.”
“Tidak usah dibantu, sebentar lagi selesai. Nanti kalau kamu pulang bawa, ya? Tangkapan Bapak hari ini lumayan banyak.”
“Kenapa tidak di jual saja, Bu?”
“Sudah di jual Sebagian, ini sisanya. Orang-orang jarang mau dengan ikan P kalau tidak diasapi.”
“Bukannya kalau sudah diasapi seperti ini akan lebih mahal harganya?”
“Tenang saja! Uang yang dihasilkan sudah cukup. Ini rezeki untuk di rumah dan kamu.”
Inaya tidak lagi mendebat Ibu Sintya. Keluarga Sintya adalah keluarga nelayan yang tinggal di pinggiran Pantai. Bahkan di dalam rumah Sintya, Inaya masih bisa mencium bau amis khas laut. Inaya yang tidak terbiasa terkena angin laut akan mudah masuk angin saat angin laut bertiup kencang sehingga setiap kali berkunjung, ia akan mengenakan pakaian tebal.
Beberapa saat kemudian, Sintya kembali. Ia datang dengan membawa banyak barang bersama dengan calon suaminya yang juga merupakan pelaut dari kota sebelah.
“Sudah lama nunggunya?” tanya Sintya memeluk Inaya.
“Tidak, Mbak. Baru saja. Halo, Mas!” sapa Inaya.
“Halo juga.” Jawab Teguh yang memang sudah mengenal Inaya sejak pertunangan mereka.
“Pernikahan kami dimajukan, Dek! Kamu harus jadi domasku, ya?”
“Aku tidak bisa janji, Mbak.”
“Tenang saja! Acaranya di hari Minggu, jadi kamu tidak punya alasan untuk menolakku!”
“Baiklah, kapan?”
“Satu bulan lagi, tanggal 14 Februari. Mbak sengaja memilih tanggal itu karena tanggal itu juga kami pertama kali berkenalan.”
“Apa tidak ada hitungan neptu, Mbak?” tanya Inaya penasaran.
“Tidak ada, Dek!Kami orang pesisir tidak kolot dengan hitungan weton. Jadi kami bisa leluasa memilih hari asalkan tidak bertepatan dengan hari yang menjadi pantangan.”
“Enak, Mbak.” Gumam Inaya.
“Apa, Dek?”
“Tidak apa-apa, Mbak!”
“Ayo aku kenalkan dengan sepupuku! Kebetulan dia sedang ada di rumah. Jarang-jarang saat kamu berkunjung dia pas pulang miyang.” Inaya hanya menurut.
Seorang laki-laki yang sedang duduk di pelataran rumah, segera berdiri saat melihat Sintya dan Inaya yang keluar dari rumah karena rumah mereka berhadapan. Maklum, satu blok yang di tempati Sintya merupakan rumah keluarga besar sehingga rumah mereka saling berhadapan dan bersebelahan.
“Dek Weko, ini Inaya yang aku ceritakan kepadamu.”
“Weko.” Laki-laki Bernama Weko itu mengulurkan tangannya.
“Inaya.” Sambut Inaya yang menyalami tangan Weko.
“Dek Weko ini miyang sama dengan Mas Teguh, Dek. Bedanya, kalu Mas Teguh bisa sebulanan, kalau Dek Weko hanya 20-22 hari saja.” Inaya menganggukkan kepalanya.
Sintya mulai menceritakan banyak hal. Pembicaraan di dominasi rencana pernikahannya yang telah disusun bersama Teguh. Inaya menjadi pendengar setia di sampingnya. Ia merasa tidak nyaman karena pandangan mata Weko selalu menuju ke arahnya.
Tak lama kemudian, Ibu Sintya mengajak mereka untuk makan siang. Weko juga ikut makan siang bersama mereka. Setelah makan siang, Inaya berpamitan untuk pulang karena ia hanya izin kepada sang ibu sampai sehabis dzuhur.
“Kamu kesini pakai bus kan, Dek?” tanya Sintya.
“Iya, Mbak.”
“Biar Dek Weko yang antar kamu pulang! Kasihan kalau kamu harus naik angkot dan cari bus lagi.”
Ya. untuk sampai ke rumah Sintya, Inaya harus naik bus selama 50 menit untuk sampai di pangkalan angkot dan naik angkot selama 10 menit untuk sampai di gang yang ada di depan SMA 1. Selanjutnya ia berjalan menyusuri gang sekitar 50 meter untuk sampai di rumah Sintya.
“Tidak, Mbak! Takut merepotkan.” TolakInaya.
“Tidak merepotkan sama sekali.” Kata Weko sambil tersenyum.
“Dengar, Dek? Dek Weko tidak keberatan.” Sintya tersenyum menang.
Inaya tidak bisa menolak karena Bapak dan Ibu Sintya juga mendukung Weko untuk mengantarkannya. Setelah memastikan ikan yang disiapkan Ibu Sintya dibungkus rapi, Inaya berpamitan.
“Pakai motorku saja, Dek!” perintah Sintya karena motor Weko adalah motor laki, sedangkan Inaya sedang menggunakan rok saat ini.
“Pinjam, ya?”
“Ya, jangan lupa diisi bensin full!”
“Tenang saja!”
Weko membonceng Inaya menggunakan motor matic milik Sintya. Saat mendekati terminal, Inaya memberanikan diri untuk berbicara.
“Turunkan saya di terminal saja, Mas.”
“Kenapa?”
“Saya takut jadi omongan tetangga kalau diantar sampai rumah.”
“Kenapa takut?” Tanya Weko yang menepikan motor.
“Saya hidup di desa, Mas. Beda dengan Mas yang tinggal di pinggiran kota. Di desa, setiap gerak-gerik saya akan diperhatikan orang. Jika mereka tahu saya diantarkan pulang oleh laki-laki, mereka akan menyebarkan gossip yang tidak-tidak.” jelas Inaya.
“Kenapa kamu harus takut? Aku mengantarkanmu di siang bolong secara terang-terangan, bukan mengantarkanmu secara sembunyi-sembunyi.”
“Iya, tapi..”
“Tidak apa-apa! Aku akan mengantarkanmu sampai rumah dan aku akan mengatakan kepada ibumu kalau aku sepupu Mbak Sintya.” Tegas Weko yang kemudian kembali melajukan motornya.
Inaya hanya bisa pasrah. Dalam benaknya, ia sudah membayangkan bagaimana gossip akan tersebar setelah para tetangga tahu dirinya diantarkan pulang oleh laki-laki.
Sejak SMK, Inaya menjadi sasaran gossip warga desa karena pilihannya yang masuk ke SMK tidak seperti Perempuan desa lainnya yang memilih untuk masuk SMA atau bekerja.
Pernah suatu Ketika, Inaya diantarkan pulang oleh temannya karena sudah tidak mendapatkan bus ke arah desanya karena batas bus antar kota yang melewati desanya adalah jam 5 sore. Ia juga pernah diantarkan pulang oleh gurunyamalam-malam karena dirinya baru saja selesai mengikuti karnaval.
Warga desa segera menggosipkan Inaya sebagai Perempuan yang sering gonta-ganti pasangan. Hal tersebut memicu murka sang ibu yang akhirnya melarang Inaya untuk diantarkan oleh teman atau gurunya.
Akhirnya, setiap kali Inaya sampai di terminal di atas jam 5 sore, ia akan naik angkutan trayek khusus pedagang yang akan berangkat setelah maghrib.
.
.
.
.
.
*miyang: berangkat melaut untuk menangkap ikan.
“Saya Weko, Bu. Sepupu dari Mbak Sintya.” Weko memperkenalkan diri kepada Ibu Ranti saat baru saja sampai mengantarkan Inaya.
“Terima kasih sudah mengantarkan anak saya. Sebaiknya Anda kembali sebelum mengundang penasaran orang lain.” Jawab Ibu Ranti tanpa menyambut uluran tangan Weko.
“Baik, Bu. Saya pamit.” Weko menurunkan tangan dengan tetap tersenyum.
“Aku pulang dulu, Dek!”
“Iya, Mas. Hati-hati di jalan.” Inaya menganggukkan kepalanya dengan sedikit sungkan karena sikap Ibu Ranti.
Setelah Weko tidak terlihat, Inaya masuk ke dalam rumah. Sang ibu yang sudah menunggunya segera mencegahnya masuk ke dalam kamar.
“Siapa laki-laki itu?”
“Mas Weko, Bu. Sepupunya Mbak Sintya.”
“Jangan dekat-dekat dengannya! Lain kali jangan mau diantarkan pulang! Bisa heboh sekampung nanti.”
“Kalau aku bisa nolak, aku akan menolaknya, Bu.”
“Sepupu Sintya, sudah pasti pekerjaan miyang!”
“Memangnya kenapa kalau miyang, Bu?”
“Orang-orang yang berangkat miyang itu rata-rata pemabuk! Mereka suka minum karena hanya itu yang bisa membuat mereka tetap hangat di atas kapal.”
“Ibu tahu dari mana?”
“Banyak pedagang kenalan Ibu di pasar yang cerita.”
“Rata-rata berarti tidak semuanya kan, Bu?”
“Tetap sama saja! Mungkin tidak pemabuk, tetapi kalau di atas kapal minum ya tetap saja Namanya mabuk!” ketus Ibu Ranti yang kemudian meninggalkan Inaya ke dapur.
Inaya tidak tahu mengapa sang ibu bersikap seperti itu. Selama ini memang sikap Ibu Ranti selalu ketus saat ada teman laki-lakinya yang mengantarkan pulang ataupun sekedar berkunjung. tetapi tidak sampai benci seperti saat ini.
Ia mengabaikannya dan masuk ke dalam kamar meletakkan tasnya dan membawa ikan panggang yang dibawakan Ibu Sintya ke dapur.
“Tidak ada kulkas, tidak bisa disimpan lama-lama. Kamu antarkan Sebagian ke rumah Budhemu sana!” kata Ibu Ranti yang melihat banyaknya ikan panggang P yang dibawa Inaya.
“Anif mana, Bu?”
“Tidak tahu. Katanya mau main ke rumah Lala tadi.”
Niat Inaya ingin meminta Anif yang mengantarkan ikan panggang, gagal. Terpaksa ia yang mengantarkannya sendiri.
Sampai di rumah Budhe Inaya, ia melihat beberapa sepupunya berkumpul di teras rumah. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu. Tentu saja Inaya bisa menebak apa yang sedang mereka bicarakan, yaitu dirinya.
“Budhe, ini ikan panggangyang saya bawa dari pesisir tadi.” Kata Inaya yang memberikan bungkusan plastic kepada Budhe Rini.
“Terima kasih, Na. Kalau kamu mau nitip simpan di kulkas, bisa kamu bawa kemari!”
“Iya, Budhe.”
Dalam hati Inaya memilih untuk memakannya sampai habis daripada dititipkan di kulkas yang mana akan hilang saat dirinya hendak mengambilnya. Bukan karena tidak ridho, ia hanya tidak suka cara keluarga dari pihak ayahnya itu memanfaatkan keadaan keluarganya.
Bisa saja mereka izin terlebih dahulu kepadanya dan ia tentu saja akan mengizinkannya. Tetapi mereka justru berkilah dengan mengatakan mereka tidak tahu jika barang yang ada di kulkas adalah titipanInaya.
“Siapa tadi, Na?” tanya sepupu Inaya, anak pertama dari Budhe, Idris.
“Teman, Kang.”
“Teman tapi mesra, ya?” timpal sepupu satunya, Rumi.
“Tidak, Mbak. Itu sepupu Mbak Sintya.”
“Owalah! Lain kali kalau ke sana, bisa bawakan cumi kering yang seperti biasanya, tidak?”
“Saya membawa apa yang mereka berikan, Mbak. Maaf saya pamit dulu, masih harus nyetrika.” Inaya buru-buru pergi karena ia tidak mau pembahasan mereka semakin membuatnya muak.
Ini adalah alasan kedua Inaya tidak begitu dekat dengan keluarga pihak sang ayah. Mereka hanya bisa iri dengan apa yang keluarga Inayah punya, sehingga seringkali memojokkan keluarganya saat mereka sedang dalam kesusahan.
Sampai di rumah, Inaya langsung masuk ke dalam kamar dan menyetrika pakaian yang akan ia gunakan bekerja besok.
Malam harinya, Inaya mendapatkan pesan dari nomor baru yang mengatakan jika dirinya adalah Weko yang meminta nomor dari Sintya. Inaya tidak membalasnya dan pergi untuk tidur.
Keesokan paginya, Inaya kembali mendapatkan pesan dari Weko yang menawarkan diri untuk menjemputnya. Tapi lagi-lagi Inaya mengabaikannya dan segera bersiappergi bekerja.
“Na, hari ini Pak Anto izin. Tolong kamu gantikan dia untuk penagihan!” kata Nuri
“Penagihan? Daerah mana, Mbak?”
“Daerah Gegunung. Apa kamu tahu?”
“Gegunung, aku hanya tahu sedikit. Apakah tidak ada yang lain?” tanya Inaya ragu.
Selama bekerja setengah tahun ini, ia hanya sebagai admin yang merekap penagihan. Ia tidak pernah keluar kantor untuk melakukan penagihan langsung. Ia bahkan tidak tahu seluk beluk kota tempat tinggalnya karena ia jarang sekali pergi ke mana-mana. Tempat-tempat yang ia tahu hanyalah tempat yang pernah ia kunjungi saat ada kegiatan ataupun karena ada saudara yang tinggal di sana.
“Tidak ada lagi. Tolong ya, Na?”
“Baiklah.”
Inaya terpaksa menerimanya karena hanya ada dua admin di cabang yang ia tempati. Tidak mungkin ia meminta Nuri yang saat ini sedang hamil, sehingga dirinya pergi ke daerah Gegunung dengan menggunakan motor kantor.
Ada 5 orang yang perlu ia tagih di daerah ini. Berhubung Sintya juga tinggal di daerah Gegunung, Inaya menanyakan nama-nama tersebut kepadanya sebelum berangkat.
“Mali dan Nandar ada di ujung jalur gang masuk ke rumahku, Dek. Kalau 3 lainnya, sebaiknya kamu diantarkan Dek Weko. Aku takut kamu nyasar.”
“Aku tidak mau merepotkan, Mbak. Kasih tahu arahnya, aku akan menghafalkan jalannya.”
“Tidak perlu sungkan, Dek. Anggap saja Dek Weko itu penunjuk jalan, kamu tidak merepotkannya!”
“Tap..”
“Sudah, tidak usah menolak! Dek Weko akan menunggumu di depan gang.” Mau tak mau, Inaya tidak lagi mendebat.
Ia menjalankan motornya menuju daerah Gegunung yang menuju ke arah barat. Beberapa menit kemudian, Inaya sampai di depan gang dan menemukan Weko sudah menunggunya di dduduk di atas motor.
Tanpa berkata apapun, Weko mendahului Inaya. Inaya mengikutinya dari belakang dan mereka sampai di sebuah rumah yang ada di paling ujung gang. Ia melakukan penagihan, lalu lanjut ke rumah selanjutnya yang berjarak 10 meter. Setelah itu, barulah Inaya mengikuti Weko yang menjalankan motornya keluar dari gang dan berbelok kanan.
Lurus beberapa meter, kemudian belok kiri masuk gang. Belok kanan, belok kiri sampai ujung dan belok kanan lagi, barulah mereka sampai di rumah orang ketiga.
“3 deret ini adalah rumah yang kamu perlu tagih. Aku akan menunggumu di sini.” Kata Weko.
“Terima kasih, Mas.” Inaya menganggukkan kepalanya.
Weko tersenyum melihat Inaya yang terlihat menghargainya. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik Inaya yang menagih dan mencatat uang yang dibayarkan. Sampai di rumah ketiga, Inaya mendapat bentakan dari pemilik rumah. Weko segera mendekat untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
“Bug!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!