“Lo serius mau di sana seminggu? Sendirian? Gue jadi ngerasa bersalah karena lo gini gara-gara Abang gue. Kenapa nggak ajak gue aja, sih?”
Jenar Masayu, perempuan yang sedang patah hati itu mengembuskan napas berat saat sahabatnya menelepon ketiga kalinya hari ini untuk memastikan keadaannya. Sejujurnya ia berada di sini untuk melarikan diri alih-alih healing. Jenar terlalu sakit menghadapi kenyataan jika cinta pertamanya—Hanif—yang merupakan kakak Hana bertunangan kemarin.
Sudah lama ia mengincar Hanif, dan sering pula memberikan kode pada lelaki itu. Jenar pikir kodenya berbalas. Nyatanya, Hanif hanya menganggapnya tidak lebih dari teman adiknya. Jenar tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Hanif karena dari awal ia yang memendam perasaan dan tidak berani jujur pada lelaki itu. Sekarang, giliran Hanif tunangan dengan wanita lain, remuk suda hatinya. Tidak bisa ia menghadapi kenyataan pahit ini jika terus berada di dekat Hana.
“Iya, Han. Gue mau refreshing dulu. Ntar deh kalau suasana hati gue udah pulih, baru gue balik. Gue lagi mau sendiri. Nggak mau ditemenin siapa-siapa,” jawab Jenar lesu.
“Bener nggak apa-apa? Ini ... bukan semacam percobaan bunuh diri ‘kan? Lo nggak bakal lakuin itu ‘kan?”
Mata Jenar membulat mendengarnya. Hei! Sepatah-patah apa pun hatinya, amit-amit ia mengakhiri hidup hanya karena masalah percintaan. Jenar masih waras untuk tidak melakukan itu!
“Gila lo ya! Nggak mungkin gue begitu. Jangan mikir aneh-aneh, deh, Han. Atau gue sumpahin lo kayak gue nyumpahin Abang lo!”
“Buset, udah mau sumpah-sumpahin aja. Gitu-gitu Abang gue serius sama tunangannya. Dia—“
“Bye, Han! Gue tutup dulu!”
Tanpa basa-basi, Jenar langsung menutup telfon dari sahabatnya itu. Terlalu malas membahas Hanif. Jenar terlihat seperti perempuan paling sakit hati sedunia. Seakan Hanif mengkhianatinya. Padahal di sini masalahnya hanya tentang cinta bertepuk sebelah tangan. Ah, hidup wanita itu sangat kacau hanya gara-gara cinta pertamanya itu.
Teriknya matahari di pagi hari membuat Jenar merasa perlu keluar penginapan untuk menikmati waktu liburannya. Sayang jika ia hanya rebahan di kamar. Jauh-jauh ke pantai Pangandaran, ia rasa dirinya harus melakukan sesuatu hari ini untuk menghilangkan Hanif dari pikirannya.
Oleh karenanya Jenar pun keluar dari boncabin Madasari—sebuah penginapan bertajuk rumah kayu—yang ia sewa untuk seminggu ke depan. Jenar sengaja memilih tempat homestay seperti ini karena sangat cocok untuk orang yang ingin me time. Tempatnya asri, tidak terlalu besar, dan sekeluar dari tempat itu langsung disambut pemandangan alam. Suasana yang sebenarnya sangat Jenar sukai ....
Pantai Madasari tidak jauh dari penginapannya itu. Jenar dengan keberaniannya pun pergi ke pantai tersebut. Terkadang ia menertawai dirinya sendiri. Demi apa ia nekad me time untuk mengobati patah hati?! Percobaan yang sangat ekstrem untuk anak gadis yang biasa manja sepertinya.
Saking bingungnya mau ke mana, Jenar hanya plonga-plongo setibanya di bibir pantai. Kamera dan tripod yang ia bawa seakan tidak ada gunanya karena mood-nya masih juga belum membaik meski melihat keindahan alam sekali pun.
“Apa gue foto di bebatuan itu aja, ya? Kayaknya bagus di sana.” Jenar melihat ke arah bebatuan karang yang terletak tak jauh darinya.
Banyak wisatawan yang mengambil foto di sana. Dan Jenar pun tertarik karena batu tersebut dikelilingi langsung oleh ombak putih yang bentuknya sangat cantik.
Maka Jenar pun berlari-lari kecil ke sana. Susah payah ia menyeimbangkan langkahnya karena tangannya sekaligus memegang tripod. Setibanya di sana, Jenar langsung merangkak menaiki batu tersebut. Ia akan berfoto di atas bebatuan itu agar saat pengambilan gambar tampak estetik, pikirnya.
Namun sayang, malang sekejap mata, Jenar terlalu ceroboh karena tidak berhati-hati. Alhasil, kakinya tergelincir dan ia pun jatuh ke bawah berserta tripod-tripodnya yang kini terapung di ombak.
“Aaaa! Sakit!” pekik Jenar.
Suara Jenar menggema ke udara, membuat banyak mata tertuju padanya. Terkhusus pada seorang lelaki yang juga sedang mengambil gambar—tak jauh dari tempat Jenar berdiri.
Lelaki berparas tampan, mengenakan baju kemeja lengan pendek dan celana selutut dengan kamera yang menggantung di lehernya. Gena, lelaki itu datang ke sini juga untuk menjernihkan pikiran karena baru ditipu oleh partner usahanya.
Refleks, melihat seorang perempuan terluka, insting Gena bergerak cepat. Ia pun menolong gadis yang tidak ia ketahui namanya itu tanpa ragu.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Gena seraya mengulurkan tangan dan membantu gadis itu berdiri.
Jenar, gadis yang barusan terkilir itu menerima uluran tangan Gena. Ia biarkan pria itu membopongnya ke bibir pantai.
“Agak sakit. Tapi makasih udah nolongin, ya,” kata Jenar mengulur senyum segan.
Perlahan Gena mendudukkan Jenar. Beberapa kali pula perempuan itu meringis seraya mengusap kakinya. Gena tentu peka jika perempuan itu sedang kesakitan. Ia bercelingak-celinguk kiri kanan, memastikan teman atau kerabat dari perempuan itu datang ke sini melihat keadaannya. Namun sepertinya tidak ada yang akan datang. Hal itu membuat Gena memberanikan diri bertanya—
“Kamu ke sini sama siapa? Di mana keluarga kamu?”
Maka Jenar menjawab, “Aku ke sini sendiri. Nggak sama siapa-siapa,” ujarnya memelas.
Mata Jenar memerah menahan rasa sakit di tumit kakinya. Rasanya tulang Jenar ada yang patah, atau mungkin ada pendarahan di dalam. Agak berlebihan memang. Padahal kakinya cuma terkilir biasa. Namun reaksi Jenar, ditambah bibirnya yang bergetar-getar itu membuat Gena jadi tidak tega. Akhirnya lelaki itu berjongkok di depan Jenar dan perlahan menyentuh kaki gadis itu.
“Aku izin periksa kaki kamu, ya?”
Jenar tersentak saat merasakan tangan lelaki itu mengambil kakinya. Mendadak canggung menguasai suasana. Mata Jenar tak lepas dari wajah tampan yang berada di depannya ini. Defenisi pesona pria matang. Lelaki itu terlihat berwibawa, tampangnya juga tidak kalah jauh dengan Hanif.
Jenar menggeleng cepat saat pikirannya berkelana ke mana-mana. Gue kenapa sih? Lihat yang segar dikit langsung melek. Padahal jelas posisinya gue lagi patah hati! Setidaknya itulah isi hati Jenar saat ini.
“Kaki kamu terkilir. Aku carikan es batu dulu ya? Bagusnya dikompres biar darahnya nggak beku di dalam,” tawar lelaki itu. Suaranya yang berat membuat bulu kuduk Jenar berdiri.
Alhasil, sebagai refleks salah tingkah, Jenar memainkan rambutnya. “Apa kamu nggak ngerasa direpotin?”
“Lho, sama sekali nggak. Aku juga lagi sendiri di sini. Kebetulan lagi healing.”
Ih, kok bisa samaan?!
“Oh, ya udah kalau gitu. Makasih sebelumnya.”
Dan setelah itu, lelaki tersebut tampak berkeliaran mencari es batu di kedai-kedai kelapa di bibir pantai itu. Selang lima menit, lelaki itu kembali. Ia mulai mengompres kaki Jenar. Diletakkannya kaki gadis itu ke pahanya, dan Jenar spontan memegang bahu Gena kala kakinya ditekan-tekan.
“Aakh—sakit!”
“Tahan, ya. Dikit lagi....”
Jenar terus meringik. Berkali-kali pula Gena berhenti sampai akhirnya Jenar diam. Hal itu berlangsung lima belas menit lamanya. Dan setelah selesai proses pengompresan itu, Gena berpindah duduk di samping Jenar.
"Mudah-mudahan kakinya cepat pulih ya? Nggak parah, kok. Cuma nanti dibiasain jalan aja.”
“Iya. Thank you. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tau mesti gimana di tempat ini. Maklum, aku datang sendiri ke sini,” kekeh Jenar.
Sejenak Gena memerhatikan wajah Jenar. Satu kata yang berkutat di kepala Gena; cantik. Ya. Gena akui gadis di sampingnya ini cantik, dan terlihat dari wajahnya, usia gadis itu juga lebih muda darinya. Gena tidak sadar senyumnya terbit kala menatap wajah mulus nan manis itu.
“Oh, ya, aku Jenar. Jenar Masayu.”
Gena berkedip saat Jenar mengulurkan tangan ke arahnya. Ia pandangi kuku-kuku lentik yang dihiasi nail itu. Tangan perempuan itu mulus dan hangat ketika ia menyentuhnya tadi. Membuat Gena tidak ragu mengulurkan tangannya.
“Aku Gena. Gena Pratama.”
Mereka pun berjabatan. Kulit tangan keduanya terasa hangat dan lembab. Jemari Jenar pun tenggelam dalam tangan Gena yang kokoh dan besar.
Dan entah siapa yang memulai, obrolan ringan di antara mereka pun terjadi. Tentang Jenar yang baru saja lulus kuliah, dan Gena yang memiliki usaha kedai kopi. Termasuk rentan usia mereka yang berjarak lima tahun. Ya. Gena saat ini berusia 27 tahun, sementara Jenar baru 22 tahun. Mereka pun tersenyum saat saling menceritakan diri masing-masing.
“Jadi kita beda lima tahun, ya? Salah berarti aku manggil aku kamu. Harusnya Mas,” kekeh Jenar.
“Sebenarnya manggil nama pun nggak apa-apa. Biar lebih akrab gitu.”
“Bener nih? Takut nggak sopan.”
“Justru aku yang agak aneh kamu manggilnya Mas-Mas. Emang aku tukang cilok, apa?”
Lantas mereka sama-sama tertawa seolah sudah kenal lama. Padahal genap satu jam pun belum ....
Berhubung kaki Jenar sedang sakit, niatnya untuk mengelilingi pantai hari ini pun sirna. Ia berniat kembali ke penginapan dan mengistirahatkan diri sebentar untuk memulihkan kakinya. Jadi, ia pun berpamitan pada Gena.
“Aku ke penginapan aja deh kayaknya. Minimal sehari ini istirahat dulu. Ah, padahal cuaca lagi bagus. Sayang ke sini cuma buat tiduran. Aku kesel banget,” celetuk Jenar bawel.
Gena tertawa kecil mendengar cara bicara Jenar yang menyerocos itu. Entah kenapa bawelnya Jenar terasa menyenangkan di telinganya.
“Aku antar, ya?” tawar Gena.
“Eh, serius? Ngerepotin nggak nih? Atau malah nanti ada yang marah karena kamu nolong cewek di sini,” kata Jenar seraya tertawa.
Gena menggeleng. “Siapa yang marah? Pacar maksud kamu?”
“Ya gitu. Pasangan. Kan nggak enak aku dicakar sama pacar kamu kalau tahu kamu di sini dekat-dekat sama aku.”
Sumpah, demi apa seorang Jenar seberani ini sama cowok asing? Jenar memuji keberaniannya sendiri. Ini sangat di luar dugaannya sendiri.
“Nggak ada yang marah. Aku nggak punya pacar.” Gena menerangkan, membuat senyum lega terbit di bibir Jenar.
“Jadi, mau aku antar?” Gena menawarkan diri kembali.
Tentu saja Jenar tidak menyiakan kesempatan ini. Ia sambut uluran tangan Gena, ia biarkan tangan lelaki itu melingkari bahunya. Sebelah tangan Jenar pun dengan berani menyelinap ke pinggang Gena.
Lantas, Gena pun melangkah dalam keadaan membopong Jenar menuju penginapannya.
“Kamu nginap di mana?” Gena bertanya.
“Nggak jauh dari sini. Nah, itu tuh! Di boncabin itu!” tunjuk Jenar ke arah penginapannya yang berjarak kurang dari 500 meter dari sini.
Gena tercengang mendengarnya. Katanya, “Lho, aku juga nginap di sana.”
“Eh, serius?!”
“Iya. Aku ke sini home stay, mau healing rencana untuk beberapa hari ke depan.”
“Wah, kok bisa samaan gitu ya? Kata orang kalau samaan .... hahah, nggak jadi deh.”
“Apa? Jodoh?”
Mereka pun tertawa lagi. Tentu saja obrolan seperti ini tidak ada maksud serius. Dua-duanya hanya ingin mencairkan suasana di antara mereka agar tidak terlalu canggung.
Setibanya di penginapan, Gena mengantarkan Jenar ke dalam dan membantu perempuan itu duduk di ranjangnya.
“Penginapan aku nggak jauh dari sini. Cuma jarak tiga rumah aja,” terang Gena, membuat mata Jenar berbinar, serasa mendapatkan teman baru di tengah kesendirian di tempat asing ini.
“Sumpah, kenapa kebetulannya banyak banget sih?” kata Jenar takjub.
Gena mengangkat bahunya. “Aku juga nggak ngerti. Kita sama-sama ke sini buat healing dan sama-sama sendiri juga,” sahutnya.
Jenar mengiyakan. Mau mengobrol lebih banyak, ia rasa terlalu cepat dan aneh untuk ukuran orang yang baru berkenalan. Lagi pula suasana hatinya belum membaik. Masih terasa sesak karena Hanif masih bertahta di sana.
“Aku lanjut jalan dulu ya? Mau cari spot foto hari ini. Semoga kamu lekas membaik,” kata Gena pamit.
Jenar mengangguk seraya tersenyum. “Makasih banyak ya, atas bantuannya.”
Dan setelah itu Gena benar-benar pergi. Sampai akhirnya lelaki itu menghilang dari pandangan, barulah Jenar merasa sedih seolah kehilangan teman sefrekuensinya.
“Dih, gue apaan sih? Kenapa gue ngerasa enggak rela Mas-mas itu pergi? Otak gue udah rusak kayaknya gara-gara Mas Hanif!” oceh Jenar sambil mengacak-acak rambutnya.
Berdiam diri di penginapan seharian benar-benar membuat Jenar suntuk. Ia tidak sadar ketiduran berjam lamanya hingga saat ia bangun hari sudah malam saja. Kini perut Jenar lapar. Ia rasa dirinya harus mencari makan ke luar sana demi kenyamanan tidurnya malam ini.
Meski sepertinya ia tidak akan bisa tidur karena masih galau memikirkan Hanif.
Beruntung kaki Jenar sudah bisa digerakkan walau belum terlalu pulih. Maka di sinilah gadis itu berada, tepatnya di restoran penginapan. Mungkin dengan duduk di sini seraya menatap ombak di bawah sana bisa merelaks pikirannya. Daripada waktunya seharian ini terbuang sia-sia karena tiduran di kamar.
Mencari tempat duduk, mata Jenar tidak sengaja terarah pada meja di dekat pagar pembatas, yang mana memperlihatkan sosok lelaki yang tadi pagi menolongnya. Jenar bisa melihat dengan jelas wajah itu karena lelaki itu duduk menyamping.
Entah apa yang menggerakkan kaki Jenar menuju ke sana, yang jelas Jenar dengan ceria menghampiri lelaki itu seperti menghampiri teman sendiri. Jujur, sejak tadi ia memikirkan Gena, berharap mereka bertemu lagi di lain kesempatan. Dan ternyata semesta mengabulkan keinginannya.
“Gena,” panggil Jenar, membuat cowok yang sedang menyeruput kopi itu menoleh padanya.
“Eh? Kamu di sini juga?” Gena menatap Jenar dengan ekspresi bahagia. Alam bawah sadarnya menyuruh ia berdiri untuk menggeser kursi agar bisa Jenar duduki. Perlakuan sederhana, namun bisa membuat gadis yang baru lulus kuliah itu tersipu malu.
“Ketemu lagi deh!” kekeh Jenar ceria.
“Kakinya udah baikan?” Gena bertanya.
Jenar mengangguk. Ia menggerak-gerakkan kakinya untuk menunjukkan pada Gena. “Udah agak mendingan.”
“Syukurlah....” Gena bergumam pelan. “Mau pesan apa? Biarin aku panggil pelayannya.”
“Aku mau kopi kayak kamu aja. Sama nasi goreng seafood. Aku belum makan dari siang tadi.”
Maka Gena pun memesankan makanan untuk Jenar. Usai makanan datang, mereka pun makan bersama dengan lahap sembari bertukar cerita satu sama lain. Mereka benar-benar menikmati kebersamaan, tak merasa canggung sedikit pun karena keduanya sama-sama ekstrovert dan nyambung diajak bicara. Jenar seolah mendapat teman baru di sini. Tadinya ia takut dan ragu berlibur di pantai ini. Namun, kalau ada Gena, semua bisa dipertimbangkan.
Jenar sendiri tidak mengerti kenapa ia bisa menaruh rasa percaya pada pria asing yang bahkan belum genap sehari berkenalan dengannya. Begitu juga dengan Gena. Lelaki itu merasakan kenyamanan tersendiri saat bicara dengan Jenar. Padahal selama ini ia cukup tertutup pada perempuan.
Makanan yang mereka santap habis, namun topik pembahasan mereka tak habis-habis. Dari yang semula duduk berhadapan, kini mereka duduk bersisian seraya menghadap ke arah pantai. Debur ombak di malam itu menjadi pengiring kebersamaan.
“Jadi orang tua kamu udah meninggal pas Covid kemarin?” Gena bertanya setelah Jenar menceritakan tentang dirinya.
“Iya. Sekarang aku tinggal sama Kakak aku. Dia yang jadi pengganti ayah dan ibu buat aku,” kata Jenar, sedih.
Gena sekali lagi menemukan kecocokan tentang mereka. “Kok bisa samaan ya? Orang tuaku juga udah meninggal. Aku juga tinggal sama kakak.”
“Eh, serius?”
Gena mengangguk. “Aku belajar hidup mandiri karena nggak mungkin terus minta ke Kakak. Aku ... punya kedai kopi. Sekarang juga cabangnya udah sepuluh. Dengan itu aku bantu-bantu Kakak. Ya, anggaplah kami saling tolong menolong. Aku nggak mau bikin Kakakku kerepotan ngurus semua sendiri. Beda sama kamu yang perempuan, aku kan laki-laki. Jadi mau nggak mau harus bisa mengayomi Kakakku.”
Entah apa yang ada di pikiran Gena sampai ia berani menceritakan tentang pribadinya pada perempuan yang baru dikenal. Rasanya memang semengalir itu mengobrol dengan Jenar hingga ia lupa gadis ini baru saja dikenalnya.
“Kamu keren banget udah punya usaha. Aku? Boro-boro usaha. Kuliah aja baru lulus. Argh! Rasanya aku nggak mensyukuri hidup banget karena galau terus kerjaannya. Mana kabur ke sini segala gara-gara patah hati. Harusnya aku cari kerja gitu, ya? Atau bikin usaha kayak kamu. Ih, pokoknya aku malu sama diriku sendiri!” omel Jenar panjang lebar.
Kening Gena mengerut menangkap pembicaraan gadis itu. “Apa tadi? Kamu ... datang ke sini karena patah hati?”
Jenar mengangguk. Sudah keceplosan, ya tanggung-tanggung kalau tidak diceritakan sekalian.
"Sebenarnya aku melarikan diri ke sini,” kekeh Jenar pahit. “Cinta pertamaku kemarin tunangan sama cewek lain. Rasanya sakit banget. Aku nggak sanggup ngehadapin kenyataan. Makanya aku ke sini. Terdengar konyol memang. Tapi serius, rasanya sakit banget buat aku. Aku cinta sama dia dari dulu. Ya salah aku juga karena nggak jujur. Sampai akhirnya cintaku bertepuk sebelah tangan,” kata Jenar.
Matanya perih saat menceritakan itu. Selang sedetik pemandangan langit malam di depannya mengabur karena terhalang cairan bening yang siap terjun dari pelupuk.
Melihat Jenar menangis, Gena refleks menggerakkan ibu jarinya ke pipi gadis itu, lantas menyeka air mata Jenar yang mulai berjatuhan. Detik itu juga Jenar menoleh hingga membuat pandangan mereka bertemu di titik yang sama. Dada Jenar menghangat merasakan kelembutan jari Gena yang bergerak di pipinya.
“Maaf, aku nggak bermaksud—“
“Enggak apa-apa. Aku yang minta maaf karena cengeng banget di depan kamu,” potong Jenar cepat.
“Nggak cengeng kok. Kamu manusia, makanya kamu berhak nangis. Aku kalau jadi kamu juga nangis banget. Kamu hanya perlu membiasakan diri. Aku tahu sakit banget rasanya. Tapi, satu yang pergi, pasti bakal datang gantinya seribu kali lebih baik. Kamu harus percaya itu. Kamu cantik, kamu berharga. Aku yakin yang dapatin kamu nanti benar-benar beruntung.”
Air mata Jenar makin mengalir mendengar kata-kata manis itu. Jujur, Jenar terharu. Ia merasa menemukan sosok yang mendukungnya, yang mengerti akan dirinya, yang mau memahaminya. Selama ini ia hanya punya Hana dan Leknor sebagai kakak. Dan entah kenapa pria asing ini bisa membuatnya merasa nyaman dan percaya begitu saja.
“Jangan nangis lagi,” kata Gena. Tidak tega melihat perempuan itu menangis di sisinya, maka Gena arahkan kepala Jenar menuju bahunya.
Jenar pun tidak segan tiduran di bahu Gena. Ia menangis di sana, melepaskan beban yang melilit perasaannya. For God Shake! Rasanya benar-benar nyaman. Dada Jenar bergetar saat berkontak fisik dengan lelaki di sampingnya ini.
Hening mengambil alih suasana. Hanya keheningan yang mengisi mereka bersama sentuhan-sentuhan ringan yang Gena berikan untuk menenangkan perasaan Jenar. Ia usap kepala gadis itu, lalu turun ke bahu dan berakhir di lengan.
Jenar menikmati sentuhan itu. Tangannya yang semula diam kini melingkari lengan Gena. Tak malu pula ia menyembunyikan wajahnya di bahu lebar cowok itu.
Ini sangat nyaman bagi mereka berdua. Tak ada satu pun dari mereka yang berniat mengakhiri posisi ini.
“Tadi kamu bilang punya 10 kedai kopi. Pasti sukses banget ya kamu sekarang? Aku jadi kepengen mampir ke kedai kopi kamu,” ujar Jenar.
“Boleh. Aku pasti senang kalau kamu mau berkunjung,” sambut Gena.
“Tapi ... omong-omong soal usahaku, aku juga lagi stress sebenarnya karena ditipu sama temanku sendiri. Makanya aku ke sini buat jernihin pikiran,” ujar Gena.
Gantian, kini ia yang bercerita.
“Oh ya? Ditipu kenapa?”
“Aku yang salah terlalu percaya sama dia karena dia sahabatku. Tapi ya udah lah, semua udah terjadi. Mau gimana lagi?”
Jenar mengusap punggung tangan Gena yang besar untuk memberikan ketenangan. “Sabar ya. Temen emang gitu sekarang. Suka nusuk dari belakang. Ke depannya jangan gampang percaya aja sama orang lain. Harus bisa memilah teman pokoknya.”
Cerita antara mereka pun berlanjut. Keduanya bercengkerama menembus malam, membiarkan waktu bergulir tanpa ada yang berniat mengakhiri.
Jam demi jam berlalu. Cerita mereka semakin asyik saja layaknya sepasang kekasih yang sedang bertukar pikiran. Gena tak segan memberikan jaketnya untuk Jenar agar gadis itu tak kedinginan.
Bahkan sampai mentari terbit pun, keduanya masih di sana. Entah itu karena waktu yang bergulir terlalu cepat, atau karena mereka yang sengaja mengulur waktu agar kebersamaan ini tidak secepatnya berakhir.
Jenar mengerjap saat merasakan sinar mentari menelisik masuk ke retinanya. Perlahan netra cantik itu terbuka, dan hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit ruangan yang dibuat dengan kayu jati. Sejenak Jenar termenung mengumpulkan nyawa. Selang semenit barulah ia sepenuhnya sadar dan akhirnya bangkit ke posisi duduk.
Jenar menepuk jidat. Ia baru ingat semalam dirinya mengobrol dengan Gena di restoran hotel sampai subuh. Mereka bercerita hal random yang akhirnya berlanjut tanpa ada yang mau memutus obrolan. Mengingat hal itu membuat pipi Jenar merona. Terbayang olehnya skinship ringan yang mereka lakukan. Serasa mereka pasangan, padahal nyatanya hanya dua orang yang lari dari masalah dan kebetulan bertemu di tempat yang sama.
“Jen, Jen. Lo tuh ke sini mau lupain dokter Hanif. Eh, malah gebet cowok,” kekeh Jenar. “You’re bitch, Babe!”
Bagaimana tidak nakal? Anak gadis mana yang langsung nemplok sama cowok asing seperti yang Jenar lakukan?
Omong-omong soal deep talk mereka semalam, Jenar jadi kagum pada sosok Gena. Pesona pria matang memang beda. Apalagi cowok itu memiliki sepuluh kedai kopi. Ah, selama ini ia hanya tertarik pada dokter. Ia menganggap dokter itu keren. Itu semua karena ia menyukai dokter Hanif. Tapi kalau dipikir-pikir, pengusaha boleh juga ....
Jenar menggeleng samar, mengusir pikirannya yang berkelana entah ke mana-mana. Masih pagi, sudah mengkhayal. Bisa-bisa dipatok ayam rejekinya.
Sebentar. Masih pagi? Jenar melirik jam di dinding dan terkejut mendapati jam yang menunjukkan angka sepuluh pagi. Ah, pantas saja terik mentari hangatnya terasa beda. Apalagi sekarang perutnya terasa keroncongan karena tidak sarapan.
Jenar menghela napas. Bisa rusak jadwal liburannya hari kedua kalau ia terus-terusan ada di kamar ini. Alhasil Jenar beringsut turun dari ranjang, lantas menuju kamar mandi. Namun baru beberapa langkah, ia baru sadar jika kakinya sudah bisa sedikit mendingan. Ya, walau masih sedikit sakit ketika diajak berjalan. Tapi setidaknya sudah tidak separah kemarin.
“Je? Kamu masih di dalam?”
Suara lelaki dari luar serta ketukan di pintu membuat Jenar mengangkat wajahnya. Dari suaranya, ia sudah tahu itu siapa. Alam bawah Sadar Jenar membuat dada perempuan itu bergetar. Ia yang semula ingin ke kamar mandi pun berubah haluan membukakan pintu untuk cowok itu.
“Gege!” sorak Jenar bahagia.
Gege. Kalau dipikir nama itu lucu juga untuk cowok tersebut. Jenar dari semalam sudah memanggil lelaki itu dengan nama akrab.
“Hai! Morning, cantik,” sapa Gena. Wajah cowok itu tampak sumringah. Pakaiannya juga sudah rapi. Kalau Jenar tebak, sih, sudah mandi.
“Kamu udah rapi aja? Kapan bangunnya?”
“Setengah jam yang lalu. Begitu aku bangun, aku langsung mandi. Dan rencananya mau ajakin kamu makan pizza di dekat sini.” Gena menjelaskan. Ia kemudian menekukkan wajahnya, menyembunyikan senyum yang sejak tadi membuat bibirnya berkedut. “Itu pun kalau kamu mau ....”
“Mau, mau, mau!” kata Jenar antusias.
Tampangnya yang lucu itu membuat debar di dada Gena semakin bertebaran. Apalagi wajah bangun tidurnya. Semakin menunjukkan usia Jenar lima tahun lebih muda darinya.
Dasar anak kecil baru tamat kuliah. Gena menyeletuk dalam hati.
“Kalau gitu siap-siap, gih. Aku tungguin kamu beberes,” ujar Gena yang langsung diangguki Jenar.
“Oke. Tunggu bentar!”
Dan setelahnya bocah 22 tahun itu langsung pergi ke kamar mandi. Gena mengamati langkah Jenar yang sudah sedikit lurus ketimbang kemarin. Gena menghela napas lega mengetahui Jenar sudah memulih. Tadinya, sewaktu ia bangun tidur, orang pertama yang diingat Gena adalah Jenar. Terbayang olehnya betapa kesepian Jenar di sini. Maka ia ajak saja gadis itu jalan bersama. Toh mereka ke sini sama-sama berniat healing, ‘kan?
Gena lantas duduk di kursi teras. Tanpa ia sadari, wajahnya sejak tadi berseri-seri meski semalam kurang istirahat. Dan tak terhitung pula beberapa kali Gena menoleh ke pintu, menanti Jenar siap berbenah. Tiap detik terasa lama bagi Gena. Padahal Jenar baru meninggalkannya beberapa menit saja.
Butuh dua puluh menit lamanya Gena menunggu sampai akhirnya sosok perempuan yang ia tunggu itu menampakkan diri.
“Hai, maaf lama, ya! Kacamata hitam aku nggak ketemu tadi.”
Jenar muncul dengan pakaian santainya. Celana jeans kulot yang dipadukan dengan crop top hitam. Sebagai outer, Jenar menutup tubuh rampingnya itu dengan kemeja putih yang seluruh kancingnya dibuka. Gena meneguk salivanya susah payah. Jenar benar-benar cantik. Bukan cuma muka, melainkan sebatang badan. Kulit gadis itu putih mulus, dan bagian tubuhnya pun berisi di tempat yang tepat.
“Kamu kenapa bengong? Ayo!” ajak Jenar yang kini tak segan meraih tangan Gena.
Gena mengerjapkan mata karena kaget. “Eh, iya. Ayo.”
Melihat Jenar yang masih kesusahan berjalan membuat Gena berinisiatif. “Sini aku bantuin,” gumam Gena dengan suara rendahnya. Ia papah tubuh gadis itu menuju motornya yang terletak di depan penginapan. Sebelah tangan Jenar ia angkat dan lingkarkan ke bahunya dari belakang. Sementara tangan Gena melingkari pinggang gadis itu.
Gena tidak sadar jika perbuatannya itu berhasil membuat tubuh Jenar membeku. Aliran darah dalam tubuh gadis itu memanas, jantungnya berdebar tak karuan. Dan yang lebih membuat perut Jenar seperti diterbangi kupu-kupu yaitu saat ia sadar Gena ke sini naik motor.
“Lho, kamu bawa motor?” tanya Jenar. Karena setahunya, dari cerita Gena tadi malam, ia ke sini naik mobil.
“Iya. Aku sewa. Nggak enak banget jalan-jalan di pantai pakai mobil. Kenapa? Kamu nggak suka ya? Mau aku ganti ke mobil aja?”
Jenar segera menggeleng. Tadi ia hanya membayangkan momen berduaan dengan Gena di atas motor. Bayangkan saja apa yang bisa pasangan lakukan di atas motor? Pelukan? Senderan? Saling lihat di spion? Bisa mati karena salah tingkah Jenar membayangkan itu!
“Nggak, kok. Seneng justru naik motor,” jawabnya.
Maka Gena tersenyum. Ia selipkan rambut Jenar ke belakang telinga. “Berangkat yuk?”
“Ayuk!”
Dan setelahnya Gena membantu Jenar naik ke motor. Padahal sudah Jenar bilang ia bisa sendiri, tapi Gena benar-benar mengkhawatirkannya. Jenar sampai tidak bisa menahan senyumnya di depan Gena gara-gara perbuatan cowok itu.
“Pegangan yang erat!” suruh Gena seraya mengambil tangan Jenar untuk ia letakkan di perutnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!