"Sabar nek, sebentar lagi kita akan sampai!"
Seorang gadis muda tengah menggendong neneknya yang sedang sakit parah sejak 1 tahun belakangan ini.
Di tengah hujan gerimis yang tengah membasahi bumi. Kilatan petir yang menyambar, menjadi satu-satunya penerangan yang dia punya. Gadis itu tanpa gemetar terus berjalan di tengah kegelapan malam.
Nama gadis itu adalah dyah suhita...
Malam yang sunyi, dengan jalanan becek dan berlumpur akibat hujan yang terus mengguyur desa itu.
Desa wanara, adalah satu-satunya desa pedalaman yang ada di kota itu. Desa yang sangar jauh dengan hiruk pikuk kota.
Sudah sangat lama, dyah menggendong neneknya yang bahkan sudah tidak bergerak sama sekali.
Harapannya setelah tiba di puskesmas, neneknya akan mendapatkan perawatan dan sembuh. Tetapi fakta berkata lain, nenek yang dia harapkan sembuh itu, sudah tidak bernyawa.
"Nek, bangun nek. Kita sudak akan sampai! Nenek pasti kedinginan yah?" Tanya dyah sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya neneknya menggunakan pundaknya.
Sayangnya neneknya itu sudah sama sekali tidak merespon. Bahkan hembusan nafas di hidung sudah tidak terasa di tengkuk dyah.
Mata dyah tertuju di pos kampling samping jalan, kakinya melangkah dengan begitu cepatnya, membawa tubuh neneknya yang sudah lemas terkulai.
Dyah menidurkan neneknya, di papan lantai pos ronda. Dyah berusaha sekuat tenaga membangunkan neneknya, tetapi sama sekali tidak ada pergerakan.
"nek bangun, nek! Tolong jangan bercanda!" Pekik dyah dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Tubuhnya yag basah akibat air hujan, tetap tidak membuat wajah ayunya menghilang.
Karena neneknya tidak kunjung bergerak dyah memberanikan diri menempelkan jarinya ke lubang hidung neneknya.
"Aaaa! Nenek! Jangan tinggalin dyah, nek. Dyah tinggal dengan siapa kalau nenek pergi?" Teriak dyah yang memecahkan tangis hingga menembus rintikan hujan malam ini. Ia memeluk erat tubuh neneknya yang hanya tertinggal tulang, kehilangan daging sejak sakit yang ia derita.
Dengan hati yang begitu hancur dyah kembali menggendong tubuh neneknya itu. Kembali membawa ke desa dan akan meminta bantuan ke warga untuk membantu memakamkannya.
Di sepanjang perjalanan yang sepi dengan kanan kiri hutan dan perkebunan yang masih asri. Dyah mengusap air mata seolah tidak memiliki jalan untuk berhenti.
Setibannya di salah satu rumah warga dyah memberanikan diri mengetuk pintunya.
Tok... tok... tok...
Dengan isakan yang terus keluar dari bibir tipisnya, dyah berharap ada warga yang akan membantunya.
Kriieeeett!!
Pintu yang terbuat dari papan kayu hutan itu terbuka, engselnya yang sudah berkarat membuat pintu itu berderit ketika di buka.
"Dyah!" Pekik si pemilik rumah dengan mata melotot tajam melihat dyah yang tengah menggendong neneknya, di pundak belakangnya.
"Ngapain kamu kesini?" Tanyanya ketus.
"Tolong saya! Nenek saya meninggal, saya tidak bisa memakamkannya." Lirih dyah di selingi isakan.
"Tidak! Jangan kotori rumah saya dengan wanita penyembah iblis ini! Pergi!" Serunya. Warga itu sama sekali tidak mengasihani wajah dyah yang sudah basah dengan air mata dan air hujan.
"Tolong wak, uwak adalah petua desa. Kemana lagi saya akan meminta pertolongan?" Ucap dyah dengan wajah memelas.
Warga yang di panggil uwak oleh dyah menatap sinis dyah, kemudian berucap, "kamu dengan ya. Yang mencuri hewan ternak di desa ini dan mengganggu ketentraman warga, itu sudah jelas nenekmu! Baguslah kalua dia sekarang mati!" Ucapnya yang langsung membuat hati dyah sakit.
Dyah terdiam seribu bahasa, hingga akhirnya pintu kayu itu tertutup begitu kencang di hadapannya.
Dyah kembali kerumahnya dengan air mata yang bercucuran. Hatinya hancur, hidupnya seolah tidak punya pondasi.
Kebetulan di pos ronda yang tak jauh dari rumahnya ada beberapa bapak-bapak yang sedang berjaga. Bibir dyah mengukur senyuman, sembari berjalan mendekati kerumunan bapak-bapak itu.
"Mas, pak! Tolong saya. Nenek saya meninggal, tolong bantu saya untuk mengurus jenazahnya!" Ucap dyah sambil mendekati kerumunan bapak-bapak itu.
Mendengar ucapan dyah semua laki-laki di pos ronda itu saling tatap. Kemudian salah satu bapak-bapak berucap, "maaf dyah, kami tidak bisa membantu kamu. Nenekmu itu pengabdi setan! Kami tidak ingin tertular sial jika membantumu!" Jawab salah satu dari mereka.
"Halah, kenapa harus pakai maaf maaf segala! Itu memang benar adanya. Biarkan saja jasadnya membusuk di makan belatung, tidak perlu di makamkan!" Timpal warga lainnya. Mereka semua lekas meninggalkan dyah yang hanya bisa terdiam.
Tangannya yang menopang jasad neneknya terkepal hebat. Bibirnya yang tadi tercebik karena menahan isakan tangis, kini berubah menekuk menahan amarah.
"Heyyy... kalian! Aku dyah suhita, bersumpah desa wanara ini tidak akan pernah mendapatkan ketenangan! Dan akan mendapatkan bala yang jauh lebih menyeramkan hingga mengambil satu persatu dari kalian semua! Selama kalian masih berfikir nenekku penyembah setan. Dan kalian tidak mau bersujud dan meminta maaf di makam nenekku, maka desa ini akan berubah menjadi desa mati!" Teriak dyah dengan sangat lantang, kilat petir menyambar dengan terangnya, menimbul percikan api di belakang dyah karena telah menyambar salah satu pohon.
Para laki-laki baik bapak-bapak dan para remaja langsung berbalik dan terdiam. Tanpa mereka sadari kaki dan tangan mereka menggigil, melihat sumpah dyah yang seolah di saksikan oleh alam.
Mereka bergegas lari tunggang langgang, hingga beberapa kali terjatuh. Tetapi meski pun begitu mereka sama sekali tidak memiliki niat, untuk mencabut ucapan dan menolong dyah.
Dengan amarah yang masih membara dyah kembali berjalan dengan membawa tubuh neneknya yang sudah tidak lagi bernyawa di gendongan belakangnya.
Malam ini adalah malam kepergian seorang nenek-nenek tua yang di tuduh pengabdi setan, air hujan dan pohon-pohon rindang menjadi saksi bisu atas peristiwa memilukan ini.
Para warga menuduh nenek dyah sebagai pengabdi setan bukan tanpa alasan. Kejadian kehilangan ternak beberapa waktu silam di desa wanara itu, mereka yakini bahwa itu adalah perbuatan neneknya dyah. Sebab beberapa jejak hewan dan padungon atau sesaji yang mereka temukan di pojok rumah dyah.
Salah satu warga memprovokasi bahwa hilangnya ternak mereka karena di jadikan makanan jin yang di pelihara neneknya dyah.
Setelah sampai di rumah, dyah dengan segala kemampuan yang dia punya, memandikan, mengkafani, sampai menggali lubang untuk neneknya seorang diri.
Tidak perduli air mata yang terus tumpah sepanjang dia melakukan semua itu. Dyah tetap melaksanakannya dengan wajah yang menahan amarah.
Hingga tiba pada sesi terakhir dimana dyah memakamkan neneknya, dyah menurunkan jasad neneknya seorang diri.
Menidurkan jasad neneknya di liang lahat dengan begitu lembutnya. Tangannya membelai lembut wajah sang nenek, dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir.
"Nenek... maafkan dyah. Maafkan dyah kalau tidak membiarkan nenek pergi dengan tenang. Tapi dyah juga yakin, kalau nenek tidak akan bisa pergi dengan tenang, apa bila dalam keadaan yang seperti ini! Maka bantulah dyah nek!" Lirih dyah dengan suara parau, kemudian tangan dyah meraih kain kafan di atas kepala neneknya. Lalu mengikatnya dengan tali kain kafan itu juga.
Dyah mengikatkan tali itu di atas kepala neneknya, dengan sumpah agar neneknya membantu dirinya membalaskan dendam.
***
Waktu berjalan cepat, malam telah berganti, desa wanara masih berlagak seolah tidak memiliki kesalahan apa-apa. Setelah meninggalnya nenek saroh atau neneknya dyah, mereka masih melaksanakan kegiatan ronda sesuai dengan jadwal, bergilir seperti biasa.
Yang berbeda dari malam ini adalah, malam ini tidak turun hujan seperti malam ketika neneknya dyah meningal. Tetapi hanya angin yang lumayan kencang bertiup, membuat pohon-pohon dan rumput-rumput menari-nari.
"Jo, kamu ngerasa ada yang anek ndak, tah?" Tanya aceng pada tejo.
"Iyo, eh. Kok baunya kayak kapur barus menyengat sekali, yo!" Jawab tejo sambil mengusap tengkuknya yang terasa meremang.
Hembusan angin yang tertiup lirih tetapi terus menerus, membuat bulu kuduk kedua pria itu meremang.
"Ceng, kok punggungku terasa berat ceng!" Ucap tejo yang membuat aceng melihat ke arah belakang temannya itu.
Mata aceng terpaku dengan lidah yang kelu tidak bisa mengatakan sepatah katapun. Kaki dan tangannya bergetar hebat dengan bibir yang menggigil seolah di sengat listrik.
"Kamu kenapa, toh ceng? Kok melihat ke arah belakangku seperti itu?" Tanya tejo yang mulai merasa tidak tenang dengan tatapan aceng.
Aceng bergeming, tangannya berusaha terangkat dan menunjuk ke arah punggung tejo.
Sedangkan tejo mulai merasa bahw ada sesuatu yang melingkar di lehernya. Dengan jantung yang mulai berdegup tidak beraturan, tejo memberanikan diri untuk melihat ke belakang.
"Aaaaaarggggghhh...!!!!" Teriak mereka berdua secara bersamaan, ketika melihat nenek-nenek berambut putih awut-awutan, dengan wajah hancur dan mata sebesar telur melotot tajam ke arah mereka berdua. Kulitnya yang mengelupas, mengeluarkan cairan lendir yang menetes ke tubuh tejo yang menggigil hebat.
Aceng dan tejo lari tunggang langgang, hingga beberapa kali terjatuh tersandung kerikil di jalanan.
Mereka terus berlari hingga tiba di belokan desa mereka menabrak seorang nenek-nenek penjual jamu keliling di desa wanara itu.
"Aaaaarghhh..!!!" Teriak mereka berdua secara bersamaan.
"Tolong!"
Tung!
Tung!
Tongkat kayu yang menjadi tumpuan nenek itu berjalan mendarat di kepala aceng dan tejo.
"Kalian ini kenapa? Malam-malam begini lari-lari, teriak-teriak lagi.." tanya nenek tua itu.
"Lah, mbah tuti. Ngagetin aja!" Ucap aceng yang tadi sangat ketakutan.
"Kalian ini kenapa? Kenapa seperti baru saja melihat hantu?" Tanya nenek penjual jamu yang bernama tuti itu.
"Iya bener! Kami memang baru saja melohat hantu!" Sahut tejo dengan wajah raut wajah pucat.
Mereka berdua ngos-ngosan karena sehabis berlari, tidak memperhatikan ke arah nenek tuti yang berdiri di hadapan mereka.
"Apa hantunya seperti ini?" Suara cempreng nenek tuti tiba-tiba berubah serak.
Baik aceng dan maman terdiam. Dengusan nafas mereka yang tadinya terdengar riuh, tiba-tiba senyap tidak terdengar ketika mendengar suara khas nenek yang sudah sangat tua itu.
"Kamu hapal ndak, sama suaranya?" Tanya tejo yang tengah bertumpu pada lututnya. Tejo menatap ke arah aceng yang ada di sebelahnya.
"Hapal jo, kayanya itu suaranya.."
"Nenek cuma minta gendong cu, untuk bisa pulang ke makam umum!" Suara serak khas wanita itu kembali terdengar.
Aceng dan tejo memberanikan diri untuk berdiri dari jongkok panjang mereka. Melihat dari ujung kaki mbah tuti yang tengah berdiri di hadapan mereka berdua.
Terlihat kaki pucat, sedikit mengelupas kemerahan dan tidak menapak tanah, tepat berada di hadapan mereka.
Tejo dan aceng secara perlahan menggerakan kedua bola mata mereka ke atas, dan semakin terlihat siapa pemilik kaki itu.
"Aaaaarggghh! Setannn minta gendong!" Teriak mereka berdua secara bersamaan.
Aceng dan tejo kembali berlari seperti orang yang kesetanan. Nafas dan keringat mereka benar-benar berseteru membuat nadi mereka tidak beraturan.
Bruakkk!
Mereka berdua berlari hingga menabrak uwak yanto, selaku petua desa wanara. Ia tengah berjalan bersama beberapa warga lainnya yang kebetulan keluar rumah untuk membeli sate di ujung jalan besar.
"Hey! Kalian ini kenapa? Lari-lari seperti orang di kejar rentenir!" Ucap yanto kesal karena merasa pundaknya sakit, akibat di tabrak aceng dan tejo.
Tejo memasang wajah pucat kemudian ia berucap, "Ma... maaf wak, saya tidak sengaja. Tadi itu kami di kejar-kejar sama hantu nenek saroh, wak. Mengerikan sekali!" Jelas tejo dengan suara bergetar hebat.
Alis yanto bertaut karena penuturan dari tejo.
"Nenek saroh? Neneknya dyah?" Tanya yanto yang masih belum mengerti.
"Iya wak, dia gentayangan, mengerikan sekali!" Sahut aceng tidak kalah pucat dari tejo, bahkan keringat-keringat sebesar biji jangung menetes-netes dari pelipis aceng dan tejo.
"Ah tidak mungkin, kalian pasti halusinasi.." ucap yanto sambil memasang wajah santai.
"Kami serius wak, kami tidak bohong!" Timpal aceng lagi.
Yanto terdiam beberapa saat, alisnya bergerak kesana kemari, menandakan bahwa dia tengah berfikir.
"Aku yakin, dia gentayangan karena menjadi budak setan. Secara diakan mengabdi kepada setan, jelas kalau dia mati tidak akan tenang!" Ucap yanto yang entah-entahan sesuai kebenaran.
Aceng dan tejo saling tatap mendengar ucapan yanto.
Kemudian yanto berucap, "kalau begitu kalian hati-hati saja, jangan sampai arwah gentayangan itu melukai kalian.." ucap yanto yang membuat kedua pria jawa totok itu gemetaran.
Setelah mengatakan hal itu, yanto dan beberapa temannya itu langsung melenggang pergi. Meninggalkan aceng san tejo yang menggigil hebat.
"Bagaimana ini ceng? Apa kita lanjut meronda?" Tanya tejo yang ketakutan.
"Ndak usah, pulang saja, takut aku!" Jawan aceng cepat.
Tanpa berfikir lama mereka berdua bergegas pulang ke rumah mereka masing-masing. Tidak lagi melanjutkan meronda, karena ketakutan mereka yang lebih besar.
"Toh, sih pencuri hewan ternak sudah meninggal. Sekarang malah mau mencuri nyawa kita." Celetuk aceng.
Setibanya di rumah masing-masing, tejo langsung masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaan istrinya.
Aceng yang memang tinggal seorang diri langsung masuk ke dalam kamarnya dan langsung merebahkan diri.
Meski hatinya tidak tenang karena terpikir oleh sosok nenek saroh yang gentayangan.
Aceng menutup wajahnya menggunakan bantal. Tidak ingin mengingat apapun tentang nenek itu lagi.
Tok... tok.... tok....
Meski kepalanya tertutup bantal, nyatanya dia masih bisa mendengar suara ketukan dari pintu utama.
Aceng tidak langsung membuka pintu. Justru dia semakin menenggelamkan wajahnya di bantal.
Tetapi, suara ketukan di pintu utama itu tidak kunjung mereda. Membuat aceng tak kunjung tenang.
Dengan hati yang bergetar kencang, aceng memberanikan diri untuk beranjak dari ranjangnya.
Dia berjalan keluar kamar dengan tatapan awas yang terus menatap ke arah pintu utama.
Nafasnya tersenggal-senggal, dengan kerongkongan yang mencoba untuk menelan ludah.
"Si... siapa itu?" Batin aceng masih mengambil ancang-ancang untuk melangkah.
Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara ketukan pintu, yang semakin terdengar tidak terjeda. Seolah tidak sabar untuk di buka.
Meski sejujurnya aceng teramat ragu untuk membuka pintu itu, akhirnya dia tetap meraih knop pintu utama dengan jantung yang berdebar 2 kali lebih cepat.
Perlahan dia memutar dan menarik daun pintu utama tersebut. Aceng begitu terkejut kala melihat wanita muda nan cantik, berbaju putih, dengan selendang berwarna senada. Berdiri anggun dengan tangan mulus yang memegangi selendang menutupi wajahnya.
"Ca... cari siapa neng?" Tanya aceng dengan raut wajah gugup.
"Boleh numpang singgah mas?" Tanya wanita itu dengan suara lembut. Suara itu benar-benar tidak asing di telinga aceng.
Tidak menunggu jawaban dari bibir aceng, wanita itu melenggang masuk ke dalam begitu saja. Dia langsung menutup pintu setelah berhasil masuk.
"Eh tapi..." aceng menghentikan ucapannya, kala tiba-tiba wanita itu nyelonong masuk ke dalam kamarnya begitu saja.
Aceng yang kebingungan dengan sosok wanita itu, hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Mau tidak mau aceng mengikuti wanita itu dari belakang.
"Hah!" Aceng teramat terkejut, kala membuka pintu kamarnya, aceng melihat wanita itu menurunkan dress putih yang di kenakannya begitu saja.
Wanita itu menanggalkan bajunya tepat di hadapan aceng. Tentu itu membuat adik kecil aceng langsung beraksi melihatnya.
Susah payah aceng menelan ludah, pemandangan alam lengkap dengan danau indah terpapang jelas di hadapannya, membuat matanya menggelap lupa akan segalanya.
"Dy.. dy.."
"Sssttthhh! Kemarilah!" Wanita yang menjadi tamu istimewa pria lajang puluhan tahun itu menarik lembut tangan aceng masuk ke dalam kamar itu. Tidak lupa pintu ia kunci dan mencabut kunci itu dari tempatnya.
Aceng yang sudah sangat terhipnotis, hanya bisa diam membisu memandang wanita yang ada di hadapannya ini.
Ia berjalan melenggak-lenggok mendekati aceng, yang telah duduk di pinggir ranjang. Mata aceng tidak bisa lepas, dari pemandangan bola lembut yang menggelantung menantang dirinya.
Wanita itu bergegas mendorong tubuh aceng dengan kasarnya, dengan gerakan cepat wanita itu langsung mengukung tubuh aceng.
"Sudah siap?" Tanya wanita itu dengan nada lembut. Jemari lentiknya menyentuh dada aceng yang sudah polos.
Aceng hanya mengangguk lirih, lalu memejamkan mata menerima setiap sentuhan dari lawannya.
Tepat ketika bibir tebal wanita itu menyentuh bibir aceng, matanya yang memiliki bola mata kecoklatan serta bulu mata lebat nan lentik alami itu, meraih belati yang ternyata dia sembunyikan di balik bajunya yang tergeletak di pinggir ranjang.
crok!
Satu tusukan belati mendarat di kerongkongan aceng, aceng langsung tidak berteriak dan hanya bisa kejang-kejang meregang nyawa sebab mulutnya di bekap menggunakan bibir tebal wanita yang ada di atas aceng itu.
"Enak kan sayang?" Lirih wanita itu tepat di telingan aceng, di saat-saat sekarat aceng.
Hingga akhirnya tubuh aceng tidak bisa lagi bergerak.
Crashh!
Wanita itu mencabut belatinya kesamping kanan menciptakan luka sayatan di leher yang teramat panjang.
Wanita itu bergegas mengelap semua benda yang sempat ia sentuh, tidak lupa membawa barang-barang yang bisa membuat dirinya di curigai. Setelah selesai, dia bergegas memakai kembali pakaiannya dan menuliskan sesuatu di kaca menggunakan bercak darah, setelah melakukan semua itu, wanita itu kemudian meninggalkan rumah aceng dengan bibir yang terus mengembangkan senyum seringai.
***
Tong.... tong.... tong.....
Semua warga desa wanara, berkumpul ke pos kampling begitu mendengar suara kentungan yang di pukul oleh tejo.
Wajah mereka semua tegang dan bertanya-tanya, ada apa gerangan pagi-pagi buta kentungan di bunyikan.
Sedangkan tejo wajahnya sangat ketakutan, sampai-sampai keringat membasahi dahi dan punggungnya meski masih dini hari.
Suara adzan di desa itu memang jarang sekali terdengar. Apa lagi ketika ustaz di desa itu tengah pergi ke kota karena ada sebuah urusan.
"Ada apa jo? Kenapa pagi-pagi pukul-pukul kentongan?" Tanya salah satu warga yang kebingungan melihat tejo yang berdiri dengan kaki gemetar hebat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!