"Ayo...!"
"Lari lebih cepat!"
Si pria menarik paksa wanitanya untuk terus berlari kala netranya menangkap beberapa sosok pria mengejar mereka.
"Aku... Tidak... Sanggup berlari... Lagi..."
Si wanita berkata dengan napas tersengal. Ia menghentikan larinya sejenak, membungkukkan badan sembari menopang tubuhnya sendiri dengan meletakkan tangan di lutut. Napasnya memburu, mengingatkan dirinya bahwa mereka berdua sudah berlari cukup jauh dan dalam waktu lama.
Hutan gelap nan sunyi yang ada di kanan kiri mereka, penerangan bulan purnama yang berada di atas kepala mereka, serta jalanan aspal tak berujung tanpa ada satupun kendaraan yang lewat membuat si wanita menghembuskan napas frustasi.
Jalan menuju perbatasan kota yang biasanya dilalui oleh banyak orang kini kosong seakan ingin memberi enam orang yang mengejar mereka kesempatan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
"Mereka sudah semakin dekat," si pria berkata lagi.
Serta merta si pria menarik tangan kekasihnya untuk kembali berlari, namun keadaan sang kekasih yang sudah kelelahan justru membuat wanita itu tersungkur.
"Sayang...!"
Si pria berseru panik, segera berlutut untuk membantu kekasihnya berdiri dan berharap bisa kembali melanjutkan lari mereka dari kejaran enam pria berbadan besar yang sejak awal sudah mengejar mereka berdua.
"Sepertinya permainan kucing-kucingan sudah berakhir,"
Salah satu dari mereka berkata diakhiri tawa, memberikan tatapan meremehkan seraya mengeluarkan sebuah belati dari balik pakaiannya.
"Sejujurnya aku sedikit bosan," satu yang lain menimpali.
"B-Bagaimana ini, Rye?" tanya si wanita dengan nada takut.
"Hubungi polisi... Atau pengawalmu!" ujarnya.
"Ponselku... Terjatuh, Rye," jawab si wanita lirih.
Enam orang itu tertawa. Beberapa saat kemudian, pria yang disebut Rey itu turut tertawa.
"Apakah permainan peran ini sudah berakhir, Ryder?"
Salah satu dari enam pria itu bertanya, memberikan seringai mengerikan sembari memainkan belati di tangannya.
"Mereka mengenalmu, Rye?"
"Ariana Lyra Aurelia,"
Ryder berkata dingin, lalu berbalik dan memberikan sorot tajam pada Ariana.
"Kau menyandang nama keluarga Aurelia yang terhormat, tapi kau bodoh!"
'Jlebb...!'
"Ukh...!"
"R-Rye..."
Ariana mendesis lirih, merintih pelan saat Ryder menghunuskan belati tepat di jantungnya. Memberikan tatapan tak percaya atas apa yang dilakukan sang kekasih terhadapnya, lalu melangkah mundur.
Namun, baru beberapa langkah Ariana menjauh, tubuhnya tersungkur. Rasa sakit pada dadanya menjalar ke seluruh tubuhnya.
"K-K-Kenapa?" Ariana bertanya dengan susah payah, menatap nanar kekasihnya yang kini tersenyum.
"Sederhana," Ryder menjawab dengan senyum angkuh, melangkah mendekat pada Ariana dan berjongkok di dekat Ariana.
"Karena aku sudah tidak membutuhkanmu lagi,"
Ariana bisa melihat tatapan Ryder padanya menggelap, menyiratkan kebencian yang tidak pernah Ariana lihat selama ini.
"J-Jadi... M-mereka..."
"Mereka orang-orangku yang aku perintahkan untuk mengejar kita agar terlepas dari pengawasan para pengawalmu," jawab Ryder.
"Dengan begitu, aku bisa memalsukan kematianmu bahwa merekalah yang membunuhmu. Dan mereka akan ku minta pergi meninggalkan kota dengan bayaran yang mereka inginkan,"
"Rye...!"
Suara lembut dari wanita lain tiba-tiba menyela, menarik perhatian Ariana untuk beralih pandang pada sosok wanita yang baru saja datang.
"S-Sienna..." Ariana berdesis lirih, tak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Uhukk...!"
Ariana terbatuk, mengeluarkan cairan merah dari mulutnya bersamaan dengan pandangannya yang mulai mengabur.
"Sepertinya kamu sudah selesai," ujar Sienna tanpa beban.
"K-Kenapa? Bukankah... K-Kamu... Mencintaiku?" tanya Ariana.
"Cinta?" sambut Ryder tertawa, lalu berdiri.
"Pada anak manja dan bodoh sepertimu? Yang benar saja!"
"T-Tapi... Kita... Akan menikah..." ucap Ariana pelan.
"Kamu berjanji akan menikahiku jika aku mengalihkan sebagian besar saham keluargaku padamu. Tapi, setelah semua yang aku lakukan, kenapa kamu melakukan ini padaku?"
"Dasar bodoh!" dengus Sienna.
"Apakah kamu masih tidak mengerti? Rye tidak pernah menginginkanmu. Kau hanya alat bagi Rye untuk mendapatkan semua hartamu. Dan sekarang, semua surat peralihan saham sudah berada di tangan Rye, jadi kamu sudah tidak berguna lagi,"
Setiap kata sarkas yang Sienna lontarkan menampar keras wajah Ariana. Wajah pucatnya menunjukkan rasa tidak terima, namun tubuhnya melemah seiring dengan rasa sakit yang kian kuat mendera tubuhnya.
'Uhukk...!"
Ariana kembali terbatuk, mengeluarkan cairan merah dari mulutnya. Tubuhnya terbaring lemah di atas aspal keras nan dingin.
"Ayo pergi!" ajak Ryder.
Sienna mengangguk, tersenyum mengejek melihat keadaan Ariana yang belumuran darah.
"Ohh..." Sienna tiba-tiba berbalik, kembali mendekat pada Ariana yang terbaring tak berdaya, lalu berjongkok di samping Ariana.
"Kau tahu? Aku dan Rye akan menikah," ujar Sienna sembari menunjukkan cincin berlian di jemari tangannya.
"Kamu tentu akan datang bukan?"
"Upss... Tentu saja kamu tidak akan bisa datang. Tak masalah, aku tidak akan meminta hadiah pernikahan darimu. Tapi sebagai gantinya, aku ingin mengatakan satu rahasia untukmu, anggap saja ini sebagai hadiah pernikahan kami karena kamu teman kami,"
Ariana menatap tanpa minat, rasa sakit yang mendera tak sebanding dengan sakit hati yang ia rasakan atas pengkhianatan kekasihnya.
"Ayahmu..." ucap Sienna.
Mendengar satu kata itu, wajah Ariana menoleh cepat.
"Kecelakaan yang menimpa Ayahmu adalah kecelakaan yang disengaja. Dan kau tahu siapa yang melakukannya?"
Ariana diam, memohon dalam benaknya untuk tidak mendengar hal yang ia pikirkan.
"Rye,"
DEG!
"Woah... Kamu terkejut bukan?" sambut Sienna tertawa puas.
"Kau...!"
"Iuhhh... Lepas! Dasar menjijikkan!"
Seinna serta merta menghempaskan tangan Ariana yang tiba-tiba mencekal pergelangan tangannya, membuat tubuh Ariana kembali terhempas ke aspal.
"Kita tinggalkan tempat ini, Sienna!" ujar Ryder. "Para bodyguard itu pasti akan datang sebentar lagi,"
"Baiklah," sambut Sienna.
Ryder, Sienna serta enam orang yang sebelumnya mengejar Ariana pergi meninggalkan Ariana begitu saja. Mereka bahkan tidak lagi menoleh sampai mereka menghilang ditelan kegelapan malam.
Samar-samar, Ariana mendengar suara deru mobil, sesaat kemudian suara mobil itu menghilang. Hal yang membuat Ariana tersadar bahwa lokasinya saat ini sudah diatur oleh Ryder.
"Betapa bodohnya..." Ariana tersenyum getir.
"Lyra...!"
Detik ketika Ariana merasa hidupnya berakhir, suara teriakan dari seseorang kembali menarik kesadaran Ariana yang nyaris menghilang.
"Lyra...!"
"Buka matamu! Kumohon..."
Ariana merasakan seseorang memeluk tubuhnya, ia juga merasakan tetesan air jatuh tepat di wajahnya, memaksa Ariana untuk membuka mata.
"Kael..." lirih Ariana.
Ariana menggeleng lemah saat merasakan pria yang kini bersamanya akan mengangkat tubuhnya.
"Bertahanlah sebentar saja," pinta Kael.
Kael menangis, tidak bisa melakukan apapun pada belati yang masih terbenam di dada Ariana.
"Uhukk...!"
Ariana kembali terbatuk, memberikan noda merah baru pada wajahnya yang segera di hapus oleh Kael tanpa rasa jijik.
"Kumohon bertahan sebentar saja, kita ke rumah sakit," ucap Kael pilu.
Ariana menggeleng lemah, mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Kael.
"M-Maaf..." lirih Ariana.
Seketika, kilasan tentang sikap yang ia berikan pada Kael terputar di depan matanya. Sikap abai yang ia berikan, sikap kasar yang ia tunjukkan, membuat penyesalan masuk ke relung hatinya. Pria yang selama ini selalu ia abaikan justru ada bersamanya di napas terakhirnya.
"M-Maaf..." ulang Ariana.
"Andai... Aku... Memiliki kehidupan... Kedua... Aku... Akan... Memilihmu... Untuk... Ku..."
Sebelum Ariana dapat menyelesaikan kalimatnya, tangan Ariana terkulai diikuti dengan kedua mata Ariana yang terpejam.
"Lyra..."
"Buka matamu... Jangan tidur!"
"Lyra..."
"Kumohon..."
Kael membelai lembut wajah Ariana, mendekap erat tubuh wanita itu dengan air mata yang terus mengalir dan jatuh di pipi Ariana. Namun wanita itu tetap diam, tidak bergerak seiring dengan napas terakhir yang terdengar lembut sebelum akhirnya berhenti. Benaknya terus menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa menjaga wanita yang ia cinta.
"Andai aku memiliki kehidupan kedua... Aku bersumpah untuk tidak akan membiarkanmu terluka..."
"Lyra..."
"LYRAAAA....!"
. . . .
. . . .
To be continued...
(( Catatan : semua setting tempat dan nama yang digunakan hanya fiksi.))
Happy Reading!
. . . . .
. . . .
"Nona..."
"Nona..."
"Nona Ariana...!"
"Uhmmm... Berisik...!"
"Bangun Nona, Tuan besar menunggu Anda untuk sarapan bersama,"
DEG!
"Tuan besar...? Ayah?"
Kedua mata Ariana seketika terbuka, menegakkan tubuh dengan gerakan tiba-tiba dan menemukan suasana kamar yang sangat familiar baginya.
"Apa..."
Tangan Ariana reflek meraba dadanya sendiri, tertegun tidak ada luka ataupun rasa sakit seperti yang terakhir kali ia rasakan. Pandangannya mengedar, mendapati susunan kamar tempat ia berada saat ini sama seperti lima tahun lalu yang mana dirinya masih manjadi seorang pelajar.
"Nona?"
Ariana menoleh, menemukan sosok wanita berseragam maid yang berusia beberapa tahun lebih tua darinya berdiri di sisi tempat tidur, tersenyum hangat.
"Lila..."
Ariana berdesis lirih, air matanya mulai menggenang melihat sosok wanita yang terasa seperti seorang kakak baginya. Otaknya berpikir cepat, mengingat bahwa Lila adalah pelayan yang ia pecat secara tidak terhormat hanya karena pelayan itu berkomentar buruk tentang Ryder, dan dari dorongan Ryder jugalah ia memecat Lila, seakan melupakan bahwa Lila sudah menjadi pelayan pribadinya sejak ia masih remaja.
Puluhan kali Lila mengingatkan pada dirinya untuk tidak percaya kepada Ryder, namun ia tidak pernah mau mendengar. Dan pada akhirnya ia memberikan segalanya untuk Ryder setelah mengusir Lila dari kediaman Aurelia.
"Saya, Nona. Apakah Anda menginginkan sesuatu?" sambut Lila bingung.
'Apakah aku bermimpi?'
"Ambilkan aku cermin!" titah Ariana.
Lila mengangguk, menjauh sesaat dan kembali mendekat sembari menyodorkan sebuah cermin pada Ariana yang segera ia terima dan menatap pantulan wajahnya sendiri.
'Wajah ini... Aku terihat lebih muda. Dan kamar ini... Susunan kamar ini adalah saat aku masih tercatat sebagai mahasiswi di Universitas Ashwood,'
Ariana menurunkan cermin ke pangkuan, menatap kedua tangannya, lalu memberikan cubitan kuat pada tangannya sendiri hingga meninggalkan bekas merah pada kulitnya.
'Sakit...'
"Nona! Apa yang Anda lakukan?" pekik Lila.
Wanita berseragam maid itu segera mendekati Ariana, meraih tangan Ariana untuk menghentikan aksi Nona-nya yang gagal ia lakukan ketika Ariana tiba-tiba memeluk tubuh Lila sampai membuat wanita itu terduduk di atas tempat tidur.
"Ini nyata..."
'Akhirnya aku bisa memelukmu lagi, Lila,'
Ariana bergumam pelan, menumpahkan kerinduan yang ia rasakan dalam benaknya, menahan isak tangis dengan membenamkan wajah di bahu Lila.
"Nona... Apakah Anda bermimpi buruk?" tanya Lila pelan sembari mengusap punggung Ariana.
"Saya minta maaf karena sudah membangunkan Anda,"
Ariana hanya menggeleng.
Tuhan tidak tidur, Ariana! Tuhan benar-benar memberimu kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang sudah kamu lakukan dengan kembali ke lima yang tahun lalu.
Terima kasih, Tuhan... Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Nona..."
Panggilan Lila menarik Ariana kembali dari lamunannya ke kenyataan yang tengah ia hadapi saat ini.
"Nona, jika Anda tidak segera bersiap, Anda bisa melewatkan sarapan bersama Tuan Besar," ucap Lila lagi.
'Tuan Besar... Aku bisa bertemu Ayah lagi...'
Ariana mengangguk, beranjak dari tepat tidur dan pergi ke kamar mandi untuk memulai ritual paginya. Di dalam kamar mandi, Ariana memandangi pantulan wajahnya melalui cermin, mengamati tiap inci wajahnya yang tidak pernah lagi ia rawat sejak Ryder mengatakan tidak mementingkan penampilan fisik dan selalu meminta dirinya untuk tampil sederhana.
Wajah kusam, rambut kusut, serta penampilan sederhana yang ada dalam diri Ariana sekarang sedikitpun tidak mencerminkan siapa Ariana sebenarnya.
"Lila!"
"Saya, Nona?"
Lila segera mendekat saat Ariana menjulurkan kepala dari kamar mandi.
"Bisa beri aku sabun wajah?" pinta Ariana.
Lila tertegun, menautkan alis dengan tatapan heran pada Ariana yang kini mengulurkan tangan.
"Lila...!"
"Ah... Iya... Baik," sahut Lila.
'Pagi ini Nona bersikap aneh. Bukankah biasanya Nona selalu menolak menggunakan apapun yang berhubungan dengan skincare? Meski stok di kamar Nona selalu tersedia, tapi Nona tidak pernah menggunakannya,' batin Lila.
'Semoga ini pertanda baik,'
Ariana kembali menatap bayangan dirinya di cermin, memangkas sedikit rambutnya untuk membuat tampilannya lebih rapi dan segera keluar setelah ritual paginya selesai.
Tak sampai di sana, Ariana mulai memoleskan riasan tipis pada wajahnya yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Mengabaikan kacamata yang selama ini ia kenakan hanya untuk memenuhi keinginan Ryder hingga ia tidak sadar bahwa Ryder justru membuat penampilan Ariana terlihat culun.
"Nona... Anda terlihat cantik," puji Lila.
Ariana tersenyum. "Bisa bantu aku mengikat rambutku, Lila?" pinta Ariana.
"Uhmm... Apakah Anda yakin, Nona?" Lila balas bertanya, wajahnya menunjukkan keraguan.
Pertanyaan bernada ragu Lila membuat Ariana segera tersadar bahwa selama ini Ariana akan marah pada pelayannya jika menyentuh dirinya, dan semua itu karena bujukan Ryder yang selalu mengatakan jika apa yang dilakukan Lila hanya memperburuk penampilan Ariana, parahnya Ariana menelan mentah itu semua dan percaya pada Ryder.
"Tentu saja, Lila. Sekarang lakukan ini untukku," ucap Ariana tersenyum seraya menyodorkan sisir.
"Baik," sambut Lila tersenyum senang.
Begitu sisir itu berpindah tangan, Lila menyingkirkan handuk yang membungkus rambut Nona-nya, segera menyadari Ariana memangkas rambut. Sayangnya, ia tidak berani untuk bertanya lebih jauh, ia hanya merasa Nona-nya terlihat berbeda dari pagi itu dan melihat aura kecantikaan yang sebelumnya tidak pernah ia lihat.
"Selesai, Nona," ucap Lila.
Ariana berdiri, melangkah keluar meninggalkan kamar diikuti Lila di belakangnya dengan penampilan berbeda.
Jika sebelumnya ia berpakaian serba longgar dengan sweeter dan celana panjang, rambut diikat dua, serta kacamata membingkai kedua matanya, kini Ariana tampil lebih modis dan simple dengan rambut yang dikat menjadi satu di sisi kanan.
Langkah Ariana terhenti saat berada di ambang pintu ruang makan, jantungnya berdegup lebih cepat saat menemukan sosok Ayah-nya yang tengah menikmati secangkir teh bertemankan majalah seperti yang biasa Ayahnya lakukan. Membuncahkan kerinduan mendalam yang hatinya rasakan.
Kemudian, wajah itu terangkat, tersenyum pada Ariana yang membuat Ariana bergegas mendekat sekaligus menghambur ke dalam pelukan sang ayah.
"Ada apa ini, tidak biasanya kamu seperti ini,"
Wajah Ariana terangkat, menatap lekat wajah pria paruh baya yang sangat ia rindukan. Menggeleng pelan.
'Aku sangat merindukanmu, Ayah,'
Henry Aurelia, pria paruh baya yang menjadi Ayah Ariana itu tersenyum, mendorong lembut tubuh putrinya dan segera menautkan alis begitu melihat penampilan Ariana yang pagi ini tampak berbeda.
"Pakaianmu... Di mana kacamatamu?" tanya Tuan Henry bingung.
"Ayah lupa? Sejak awal mataku normal, kenapa aku harus menggunakan kacamata?" sambut Ariana tersenyum.
"Tapi, biasanya kamu..."
Tuan Henry tertegun, merasa tidak biasanya sang putri bersikap demikian, terutama riasan yang Ariana poleskan di wajah.
"Apakah aku terlihat aneh, Ayah?" tanya Ariana.
"Ahh... Tidak, bukan begitu. Kamu sangat cantik pagi ini. Ayo sarapan, pagi ini Ayah yang antar kamu ke Universitas," ucap Tuan Henry.
Ariana mengangguk. Tanggapan yang justru membuat dahi Tuan Henry berkerut.
"Apakah kamu baik-baik saja, Sweetheart?" tanya Tuan Henry.
. . . .
. . . .
To be continued...
"Sebentar, Sweetheart!"
Ariana urung keluar dari mobil saat Tuan Henry menahan tangannya, menumbuhkan kerutan tipis di dahi Ariana saat wajah sang Ayah berubah muram.
"Ada apa, Ayah?" tanya Ariana lembut.
"Ayah akan menuruti keinginanmu untuk memberikan satu saham perusahaan pada Ryder. Jadi, Ayah akan pergi hari ini untuk menemui relasi bisnis Ayah. Apakah tidak apa-apa jika Ayah meninggalkanmu sementara?" tanya Tuan Henry.
Ariana terdiam sejenak, menatap lekat wajah ayahnya yang selalu menuruti keinginannya meski sulit dilakukan. Tangannya terulur meraih tangan sang ayah, memberikan remasan lembut dengan senyum tulus yang bisa ia berikan.
'Di masa lalu, Ayah pergi untuk mengurus bisnis dan berakhir gagal. Tapi saat itu aku justru marah pada Ayah karena Ayah tidak mau memberikan satu saham pada Ryder yang akan aku jadikan sebagai hadiah ulang tahun. Kali ini, hal itu tidak boleh terjadi,'
"Jika aku ingin Ayah tidak pergi, apakah Ayah akan mengabulkannya?" tanya Ariana lirih.
"Tapi, itu sama saja..."
"Lupakan tentang sahamnya! Ayah tidak perlu memberikan saham itu pada siapapun," potong Ariana.
"Bukankah kamu ingin memberikan saham itu pada Ryder?" tanya Tuan Henry.
"Tidak! Yang aku inginkan hanyalah Ayah tidak pergi, aku ingin Ayah tetap di sini dan batalkan pertemuan Ayah dengan relasi bisnis Ayah," jawab Ariana.
Tuan Henry kembali diam, menatap wajah putrinya yang kini memiliki sikap berbeda. Menyimpan begitu banyak pertanyaan yang tidak bisa ia utarakan.
'Ada apa dengan putriku? Apakah dia sudah sadar bahwa Ryder tidak baik untuknya? Tapi, bagaimana bisa?'
"Baiklah, Ayah tidak akan pergi kemana pun," jawab Tuan Henry.
"Kalau begitu aku keluar dulu," ucap Ariana.
Tuan Henry mengangguk. "Ayah akan meminta sopir untuk menjemputmu nanti,"
Ariana mengangguk, keluar dari mobil dan melangkah menuju bangunan besar di mana dirinya menimba ilmu. Dalam perjalanan menuju ruang kelasnya, Ariana bisa merasakan semua tatapan mahasiswa tertuju padanya, ia bahkan bisa mendengar beberapa komentar yang mereka lontarkan untuknya.
"Apakah dia mahasiswi baru? Aku tidak pernah melihat dia sebelumnya," ucap salah satu mahasiswa.
"Dia cantik..."
"Aku sependapat, dia bahkan lebih cantik dari Sienna..."
"Cantik tapi jika otak rendah, itu tidak akan berguna di kampus ini,"
Ariana tersenyum tipis, mengabaikan apa yang sempat ia dengar dan melangkah menuju ruang kelasnya. Ruangan familiar segera menyambutnya kala langkah Ariana tiba di dalam kelas, meletakkan tas yang ia bawa dan duduk di salah satu kursi yang menjadi kursinya.
"Apa kamu mahasiswi baru?"
Pertanyaan itu membuat Ariana menoleh, mendapati mahasiswi yang menjadi teman satu kelasnya berdiri di depannya.
"Kursi itu sudah ada yang menempati, kamu bisa pindah ke belakang," dia berkata lagi.
'Ryder... '
Ariana tersenyum singkat, menaikan sedikit alisnya sebagai ungkapan pertanyaan tanpa ucapan.
'Ryder Alexander, mahasiswa yang menjadi idaman kampus karena ketampanan serta kecerdasan yang dia miliki. Di masa lalu aku mengagumimu seperti orang bodoh dan rela menjadi budakmu,'
'Kau memintaku untuk duduk di kursi ini hanya untuk mempermalukanku setiap waktu, memaksaku untuk menjadi mahasisiwi terbodoh dan membuatmu menjadi mahasiswa tercerdas karena tidak ada yang bisa mengalahkanmu di saat aku bisa melakukannya dengan mudah. Sekarang, mari kita lihat, sampai sejauh mana kau akan bertingkah? Anak sopir keluargaku!'
"Aku duduk di kursiku. Bukankah kamu yang memilih kursi ini untukku, Rye," ucap Ariana tersenyum manis.
Dahi Ryder bekerut, mengamati penampilan Ariana dari atas sampai bawah dan terhenti pada wajah Ariana yang kini terihat cantik.
'Sejak kapan dia menjadi secantik ini?' batin Ryder.
"Ariana?"
"Ya, itu aku," sambut Ariana.
Beberapa mahasiswa yang sudah berada di dalam kelas seketika menoleh begitu mendengar apa yang Ryder ucapkan, beberapa bahkan mendekat untuk mengamati wajah Ariana dari dekat.
Pakaian serba longgar, rambut kuncir dua, wajah kusam dan lusuh serta kacamata yang biasa ada pada diri Ariana kini berbanding terbalik dengan penampilan modis dan cantik Ariana hari ini.
"Kamu sungguh Ariana?" celetuk salah satu teman.
"Kamu terlihat sangat cantik,"
Beberapa komentar positif mulai terdengar, berbeda dengan Ryder yang kini terpaku di tempatnya berdiri.
"Untuk apa cantik jika memiliki otak udang,"
Komentar sinis itu datang dari arah pintu, membuat semua pandangan beralih pada Sienna yang baru saja datang dan segera mendekat, memposisikan dirinya di samping Ryder.
"Lagi pula, penampilan Ariana hari ini pasti karena Rye yang memenuhi semua yang dia butuhkan. Kalian tentu tidak lupa siapa Ariana bukan?" ucap Sienna.
"Itu benar, Ryder sangat baik sampai mau mengeluarkan banyak uang hanya untuk menunjang penampilan Ariana hari ini, dan itu pasti tidak sedikit," salah satu teman Sienna menimpali.
Alis Ariana terangkat seraya menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Dibiayai olehnya? Apa yang membuatmu berpikir begitu, Emma?"
"Tentu saja karena Tuan Muda Ryder yang terlalu baik padamu," sahut Emma.
"Tuan Muda Ryder?" ulang Ariana, lalu tergelak singkat.
"Menurutmu aku siapa?" imbuh Ariana bertanya.
"Kau hanya anak pembantu, anak sopir dari keluarga Ryder," jawab Emma.
"Anak sopir..." Ariana mengulang dua kata itu dengan nada sinis seraya beralih pandang pada Ryder.
Ryder berubah gugup sesaat sebelum kambali tenang seperti sebelumnya.
"Kalian tidak perlu mengungkitnya, lebih baik sekarang kalian duduk. Sebentar lagi kelas akan dimulai," ucap Ryder.
'Si pecundang ini... Mengaku sebagai Tuan Muda dan menyebutku sebagai anak sopir kepada semua orang. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada orang sepertinya? Aku benar-benar buta,' dengus Ariana dalam hati.
Kelas pun dimulai saat profesor terkait mata kuliah hari itu datang.
Ariana yang bisa mengikuti semua pelajaran bahkan bisa menjawab semua pertanyaan lisan ataupun tertulis dari profesor pun kembali menarik perhatian semua murid, termasuk profesor itu sendiri. Bahkan saat diadakan ujian dadakan, Ariana berhasil menempati posisi tertinggi dan berakhir dengan mematik rasa tidak terima dari mereka yang menjadi teman Sienna.
"Dia pasti curang!" kecam Emma.
"Kau tidak mungkin mendapatkan nilai tinggi yang bahkan melebihi Ryder dan Sienna," imbuhnya.
"Jaga bicaramu, Emma!" tegas Ariana.
"Aku bisa mendapatkan nilai tinggi karena aku belajar,"
"Dan kamu pikir kami akan percaya?" sambut Emma.
"Benar, selama ini kamu selalu berada di peringkat terakhir. Bagaimana mungkin sekarang kamu berada di peringkat teratas begitu saja," teman lain menimpali.
"Apakah itu benar, Ariana?" tanya Profesor.
"Saya tidak melakukan kecurangan apapun Mrs," jawab Ariana.
" Tapi semua temanmu mengatakan kamu melakukan kecurangan," ucap Profesor.
"Saya belajar sampai malam sebelum ini," dusta Ariana.
"Aku yang menjadi tutormu saja sampai tidak bisa lagi mengajarimu, Ariana. Bagaimana bisa kamu cerdas dalam waktu semalam dengan belajar sendiri?" ucap Ryder.
"Benar, Mrs tahu sendiri bukan bagaimana Ariana selama ini?
"Itu karena..."
"Cukup!" lerai Profesor. "Ariana, nilai ujianmu kali ini tidak berlaku. Akan saya anggap kamu gagal ujian!"
"Apa...?"
. . . .
. . . .
To be continued...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!