Kota Arcadia, Provinsi Iskoria, Thaloria.
Malam kembali menyergap kota yang ramai ini. Lampu-lampu neon berkelip, menerangi kelab malam dan bar yang mulai bergeliat menyambut para pelanggan malam. Suasana dekaden menyelimuti setiap sudut kota, menggoda mereka yang kesepian dan sombong untuk larut dalam gemerlap dunia malam.
Di distrik selatan Kota Arcadia, sebuah klub malam berukuran sedang, berdiri dengan megah. Klub ini berada di bawah naungan Geng Macan Hitam, geng dunia bawah kelas dua yang cukup disegani.
Di sebuah kamar kecil di lantai dua, seorang pelayan yang mengenakan kemeja putih, celana panjang, dan rompi merah berlari tergesa-gesa masuk. Wajahnya tampak tegang, tangannya dengan cepat membuka ikat pinggangnya.
Suara pintu terbuka dengan kasar… DOR!
"Sial… akhirnya!" gumamnya sambil mendesah panjang. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, jelas sekali dia sudah menahan rasa sakit cukup lama.
Namun, baru saja ia ingin menarik celananya kembali, tubuhnya tiba-tiba menegang. Sesuatu yang dingin dan tajam menyentuh lehernya.
Suara logam menggores kulit… SREK!
Sebagai seorang setengah gangster, dia langsung menyadari apa yang terjadi. Itu… belati!
"celos ada di kamar mana?" Suara dingin itu terdengar tajam, menusuk jantungnya lebih dalam daripada belati yang menekan lehernya.
Pelayan itu gemetar. Dia ingin berbohong, tapi sebelum kata-kata itu keluar, bilah belati bergerak sedikit…
Suara tetesan darah jatuh ke lantai… TIK! TIK! TIK!
"Ka-kamar 307… kamar 307!" suaranya bergetar ketakutan.
Seketika, sebuah hantaman keras mendarat di belakang kepalanya. Pandangannya berputar, lalu semuanya menjadi gelap.
Suara benda jatuh ke lantai… BRUK!
Sosok yang berdiri di belakangnya hanyalah seorang pemuda, tampak masih berusia tujuh belas atau delapan belas tahun. Wajahnya tampan, namun tatapannya penuh kebengisan. Cahaya dingin berkilat di matanya saat ia menjilat ujung bilah belatinya, menikmati rasa darah dingin di lidahnya.
Tanpa ragu, ia menyeret tubuh pelayan yang tak sadarkan diri ke sudut ruangan. Tangannya cekatan menanggalkan pakaian pria itu, lalu mengenakannya ke tubuhnya sendiri.
Suara kain bergesekan… SREK! SREK!
Beberapa menit kemudian, pemuda itu sudah berada di bar lantai satu.
"Tolong, lima botol German Beck!" serunya dengan suara berat.
Bartender yang berdiri di belakang meja sedikit terkejut, menatapnya dengan penuh selidik.
"Apa?"
Pelayan palsu itu terkekeh, menampilkan senyum ramah.
"Ada pelanggan di lantai tiga yang ingin memesan beberapa botol anggur berkualitas. Dia tidak mau yang terbaik, tapi yang termahal."
Bartender itu mengangguk sambil tersenyum.
"Orang kaya memang begitu. Mereka pasti memberi banyak tip."
"Semoga saja."
Bartender mengambil lima botol bir Beck dari rak terdalam dan menyerahkannya. Namun, matanya masih memperhatikan pelayan itu dengan curiga.
"Hei, kenapa kamu terlihat asing?"
Pemuda itu tertawa kecil.
"Saya pegawai baru. Hari ini hari pertama saya kerja, makanya keluar karena ada pelanggan buru-buru."
Bartender mengangguk pelan, meski dalam hatinya masih ada rasa ragu.
"Aneh… setahuku tidak ada perekrutan pelayan baru…" gumamnya.
Tanpa memperdulikan itu, pemuda tersebut sudah naik ke lantai tiga. Tidak ada seorangpun di sana. Dengan gerakan cekatan, ia mengeluarkan kantung kecil dari balik rompinya. Perlahan, ia membuka kantung itu, menampakkan bubuk putih halus di dalamnya.
Suara kertas dibuka… KREK!
Dengan hati-hati, ia menuangkan bubuk itu ke dalam botol bir satu per satu. Tangannya mengocok botol dengan perlahan agar racun tercampur sempurna.
Suara cairan bercampur… GLUK! GLUK!
Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan detak jantungnya. Lalu, dengan senyum tipis di bibirnya, ia melangkah menuju kamar 307.
Suara ketukan pelan di pintu… TOK! TOK! TOK!
Suara kasar terdengar dari dalam.
"Siapa itu?"
Pemuda itu menundukkan kepala, menyembunyikan tatapan dinginnya.
"Pelayan, menyajikan anggur."
Suara gagang pintu berputar… KLIK!
Malam ini, Kota Arcadia akan menyaksikan sebuah pembalasan berdarah.
Suara pintu bergeser perlahan… SSSHHK!
Di ambang pintu, seorang pria kurus berambut kuning berdiri dengan tatapan waspada. Matanya menyapu tubuh pelayan yang berdiri di depannya, menatap dari atas ke bawah dengan penuh selidik.
"Kapan kita memesan bir?" tanyanya dengan nada kasar.
Dari celah pintu yang terbuka, terlihat seorang pria botak bertato duduk santai di sofa empuk, dikelilingi wanita-wanita muda yang tertawa genit. Asap rokok melayang di udara, bercampur dengan suara musik yang samar-samar terdengar dari luar.
Pelayan itu tertawa kecil, mengangkat lima botol bir di tangannya.
"Ini German Beck, pesanan dari bosku sendiri. Hehe, dia bilang ini hadiah untuk Saudara Celos."
Mata pria berambut kuning berbinar penuh antusias.
"Serius?" katanya sambil meraih salah satu botol, mendekatkannya ke hidung dan menghirup aromanya dalam-dalam. "Sial, aku belum pernah minum bir terkenal seperti ini sebelumnya."
Dengan semangat, dia berteriak ke dalam ruangan.
"Bos! Pemilik kelab ini mengirim penghormatan. Haha! Ini bir Beck dari Jerman, yang terbaik di dunia! Aku tidak menyangka kelab malam kumuh ini bisa punya stok sebagus ini."
Suasana ruangan mendadak hening. Sepuluh pria berbadan besar dan selusin wanita muda yang sebelumnya asyik dengan urusan masing-masing kini menoleh, menatap pria berambut kuning itu dengan penuh minat.
Pelayan itu mengambil kesempatan untuk masuk lebih dalam, mendekati pria botak yang disebut Saudara Celos. Ia menundukkan kepala dengan penuh hormat, menyuguhkan botol-botol bir dengan tangan terulur.
"Saudara Celos, ini titipan dari bosku. Dia bilang ini hadiah khusus untuk Anda."
Pria botak itu tertawa keras, suaranya bergema di dalam ruangan.
"Haha! Penghormatan khusus untukku? Tidak buruk, tidak buruk!" katanya sambil menepuk pahanya. "Sepertinya tamparan yang kuberikan padanya tadi malam cukup mengajarinya pelajaran. Baiklah, aku akan terima. Kau, keluar dari sini!"
Pria-pria lain tertawa, beberapa di antaranya berseru dengan nada mengejek.
"Kenapa cuma lima botol? Pemilik kelab ini pelit sekali!"
Tanpa peringatan, pria berambut kuning itu melayangkan tendangan keras ke perut pelayan.
Suara hantaman… BUGH!
Pelayan itu mundur selangkah, menahan sakit.
"Pergi dari sini! Apa yang kau lihat-lihat?" bentak pria berambut kuning itu.
Pelayan itu tersenyum kecil, mengangguk.
"Ya, saya akan segera pergi."
Dengan langkah ringan, ia berjalan keluar. Namun, begitu pintu tertutup di belakangnya…
Suara pintu tertutup pelan… KLIK!
Ekspresinya berubah drastis. Senyum tipis di wajahnya lenyap, digantikan oleh tatapan dingin penuh kebencian. Aura membunuh menyelimuti tubuhnya, begitu pekat hingga udara di sekitarnya terasa lebih dingin.
Bersandar pada dinding, ia menatap jarum jam di pergelangan tangannya yang terus berputar.
Suara detak jam… TIK… TIK… TIK…
Lima menit berlalu.
Ia menarik napas dalam-dalam, merogoh sesuatu dari balik pakaiannya…
Suara logam ditarik keluar dari sarungnya… SREK!
Sebuah belati berkilat mencerminkan cahaya redup lorong. Dengan tatapan tak tergoyahkan, ia mendorong pintu…
Suara pintu didorong tiba-tiba… BRAK!
Di dalam, ruangan yang sebelumnya dipenuhi suara tawa kini sunyi. Tubuh-tubuh besar tergeletak tak berdaya di lantai dan sofa. Mata-mata mereka terbelalak, wajah-wajah mereka pucat seperti mayat. Tangan mereka masih memegang botol bir yang kini terguling dengan cairan berbuih yang merembes ke karpet.
Racun sudah bekerja dengan sempurna.
Pelayan itu melangkah ke arah pria botak yang masih bersandar di sofa. Tubuhnya tampak bergetar samar, namun bukan karena ketakutan—melainkan karena amarah yang mendidih.
Tatapannya semakin dingin, penuh dendam yang membara.
"Selena… aku akan membalaskan dendammu."
Suara hembusan napas panjang… HAAAH…
Dengan satu gerakan cepat, belati itu menusuk dada kiri pria botak yang tertidur lelap.
Suara belati menembus daging… CROTCH!
Mata pria itu terbuka seketika, mulutnya terbuka dalam keheningan. Napasnya tersengal-sengal, tetapi sebelum suara bisa keluar, bilah belati itu sudah ditarik ke bawah dengan kejam.
Suara daging robek… SRAAKK!
Darah muncrat ke segala arah, mengotori sofa, lantai, dan dinding ruangan.
Pria botak itu menggeliat beberapa kali sebelum tubuhnya akhirnya lunglai. Namun, si pelayan belum selesai.
Tangannya masuk ke dalam rongga dada yang terbuka, jari-jarinya mencengkeram organ hangat yang masih berdetak.
Suara cairan berdarah menetes ke lantai… TIK… TIK… TIK…
Dengan sorot mata yang dingin dan tanpa emosi, ia menarik keluar jantung pria itu.
Suara organ ditarik keluar… PLUK!
Jantung itu masih berdetak lemah di tangannya. Perlahan, ia berjalan menuju dinding ruangan yang bersih, lalu menekan organ berdarah itu ke dinding yang putih. Dengan gerakan tegas, ia menuliskan satu kata dengan darah segar yang menetes.
"KEBENCIAN"
Suara darah bercipratan… SRET! SRET! SRET!
Hawa mencekam menyelimuti ruangan. Suasana berubah seperti Neraka. Pelayan itu menatap dingin tulisan berdarah itu, sebelum tertawa pelan…
Suara tawa dingin… Hh… Hh… Hh…
Sebuah tawa yang mengerikan, seolah berasal dari dasar jurang kehancuran.
Tiba-tiba, ia berbalik. Tangannya meraih belati yang tergeletak di lantai.
Suara besi digenggam erat… GLEK!
Matanya berbinar dengan cahaya haus darah.
Suara gergaji bekerja… ZZZT… ZZZT… ZZZT…!
Darah segar mengalir, membentuk sungai pekat yang melumuri lantai ruangan pribadi itu. Di tengah genangan darah, pemuda itu terus bekerja tanpa ekspresi. Dengan tangan kokoh, ia menggergaji kepala demi kepala, hingga dua belas kepala terpisah sempurna dari tubuh pemiliknya.
Satu per satu, kepala itu ia susun dengan hati-hati. Mata yang kosong menatap tanpa nyawa, bibir yang ternganga seolah ingin berteriak, tapi sunyi. Kepala-kepala itu membentuk sebuah kata besar di lantai berlumuran darah…
"KEBENCIAN"
Suara darah menetes… TIK… TIK… TIK…
Aura kematian memenuhi ruangan. Ini bukan lagi sebuah ruangan pribadi di kelab malam. Ini adalah neraka Asura yang mengerikan.
Tanpa sedikit pun emosi, pemuda itu mengeluarkan kantong plastik dari saku dalamnya. Dengan gerakan cekatan, ia mengeluarkan belati tajam dan mulai memotong jari-jari dari tubuh yang sudah tak bernyawa.
Suara daging terkoyak… SREK! SREK! SREK!
Setelah semua jari terpotong, ia memasukkannya ke dalam kantong plastik dan mengikatnya rapat. Darah masih menetes dari belati di tangannya saat ia dengan santai mengganti pakaian.
Suara kain bergesekan… SRK SRK!
Lalu, tanpa meninggalkan jejak, ia melangkah keluar dari ruangan yang kini telah berubah menjadi lautan darah.
…
Pemukiman Dekat SMA No. 2
Malam telah larut, udara dingin menyelinap di antara bangunan-bangunan tua. Pemuda itu berdiri di depan sebuah pintu kayu, mengetuk pelan.
Suara ketukan… TOK… TOK… TOK…
Tak lama kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan sosok seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah. Ia mengernyit heran melihat pemuda tampan yang berdiri di ambang pintu.
"Siapa yang kau cari?" tanyanya lembut.
Pemuda itu tersenyum sopan, mengeluarkan sebuah kartu pelajar dan menyerahkannya.
"Bibi, selamat malam. Saya ketua kelas Reno. Ini kartu pelajar saya. Guru meminta saya untuk memberikan pelajaran tambahan kepada Reno untuk menjelang ujian akhir."
Mata wanita itu berbinar terkejut, lalu ekspresinya berubah menjadi penuh kehangatan.
"Oh, begitu? Wah, terima kasih banyak. Reno memang bandel, selalu saja membuat masalah. Saya tidak menyangka kamu masih mau repot-repot mengajarinya. Silakan masuk, duduklah sebentar. Saya akan mengambilkanmu buah."
Saat wanita itu berbalik hendak pergi, pemuda itu menahan gerakannya dengan lembut.
"Bibi, tidak usah repot-repot. Saya hanya akan di sini selama satu jam. Tolong jangan ganggu."
Wanita itu mengangguk patuh.
Pemuda itu melangkah menuju kamar yang ditunjuk, membuka pintu, lalu tersenyum tipis sebelum menutup dan menguncinya dari dalam.
Suara pintu tertutup perlahan… KLIK!
Di dalam kamar, seorang remaja tinggi kurus tengah sibuk di depan komputer, asyik bermain game. Ia tidak menoleh saat menyadari kehadiran seseorang.
"Apa lagi? Aku akan belajar setelah game ini selesai! Kau menggangguku saja!" gerutunya kesal.
Pemuda itu mendekat, tatapannya dingin.
"Reno…"
Remaja itu mengerutkan kening, akhirnya menoleh. Saat ia melihat siapa yang berdiri di belakangnya, matanya membelalak.
"Kau? Sial, kenapa kau ada di sini?! Pergi! Jangan ganggu aku!"
Pemuda itu terkekeh pelan.
"Ayo pergi sekarang."
Dalam sekejap…
Suara belati melesat… SWOOSH!
Belati tajam menebas leher Reno dalam satu gerakan cepat.
Suara daging terpotong… SRAKK!
Darah menyembur deras dari leher yang terpenggal, mengotori layar komputer, meja, bahkan dinding kamar.
Suara darah memancar… SSSHHH!
Tubuh Reno tersentak sekali, lalu jatuh ke lantai dengan suara berdebum. Kepala yang terpenggal itu menggelinding pelan, meninggalkan jejak darah yang mengerikan.
Dengan tenang, pemuda itu mengeluarkan kantong plastik lain, memasukkan kepala dan jari-jari Reno ke dalamnya. Ia berjalan ke jendela kamar—lantai dua—lalu melompat keluar ke dalam kegelapan malam.
Suara langkah menghilang di kejauhan… TAP… TAP… TAP…
…
SMA No. 2 – Area Asrama
Suasana di dalam asrama begitu santai. Empat siswa sedang duduk melingkar, asyik bermain kartu sambil bercanda. Mereka bahkan tidak menyadari seseorang telah masuk dan mengunci pintu dari dalam.
Suara pintu terkunci… KLIK!
Pemuda itu berdiri di ambang pintu, perlahan mengeluarkan belati berlumuran darah dari tasnya.
Tatapan matanya dipenuhi keganasan yang dingin.
Suara besi beradu dengan kain… SRRRT!
Langkahnya perlahan, mendekati mereka yang masih tertawa tanpa menyadari kematian telah tiba.
Suara angin malam berdesir… WHOOOOSH… WHOOOOSH…!
Di dalam asrama yang remang-remang, empat siswa masih asyik bermain kartu. Tawa mereka menggema di ruangan sempit, tak menyadari bahaya yang telah berdiri tepat di belakang mereka.
Pemuda itu melangkah mendekat, belati berlumuran darah berkilat di tangannya.
Suara langkah mendekat… TAP… TAP… TAP…
Tiba-tiba, salah satu dari mereka menoleh.
"Siapa…?"
Suara belati melesat… SWOOSH!
Terlambat! belati itu telah menembus lehernya dalam satu gerakan cepat.
Suara daging terkoyak… SRAKK!
Darah menyembur deras ke dinding, ke meja, ke wajah teman-temannya yang masih terpana dalam horor.
Suara napas tercekat… HIK! HIK! HIK!
Sebelum mereka sempat berteriak, pemuda itu sudah bergerak. Belatinya menari di udara—cepat, brutal, tanpa ampun.
Suara belati membelah udara… SWISH! SWISH! SWISH!
Dalam hitungan detik, keempat siswa itu tumbang, tubuh mereka tergeletak di lantai dengan darah mengalir membentuk genangan.
Hening.
Suara tetesan darah… TIK… TIK… TIK…
Namun, keheningan itu tak bertahan lama.
Suara jeritan melengking… AAAAAAARRGH!!!
Teriakan nyaring mengguncang seluruh gedung asrama. Suara itu begitu memilukan, memecah keheningan malam, menggema hingga ke sudut-sudut bangunan.
Para siswa lain yang ada di ruangan sebelah hanya bisa mengumpat.
"Sialan! Berisik sekali! Mau mati, hah?!"
"Diamlah, besok ada ujian!"
Beberapa orang menggeliat di tempat tidur mereka, mendengus kesal, lalu kembali memejamkan mata.
Tidak ada yang menyadari… bahwa teriakan itu bukan sekadar lelucon tengah malam.
Tidak ada yang tahu… bahwa di dalam kamar itu, empat nyawa telah direnggut dengan kejam.
Tidak ada yang membayangkan… bahwa di sekolah tempat mereka menuntut ilmu ini, seorang pembunuh berdarah dingin telah menjadikannya sebagai panggung pembantaian.
Malam terus berlanjut.
Suara angin kembali berdesir… WHOOOOSH… WHOOOOSH…!
Suara bel alarm kantor polisi berbunyi nyaring… TIIIIN!!! TIIIIN!!! TIIIIN!!!
Tengah malam itu, keheningan kantor polisi Kota Arcadia dipecah oleh dering bel darurat yang memekakkan telinga. Para petugas yang sebelumnya terlelap dalam lelahnya tugas, tiba-tiba dihantui oleh rasa cemas. Seisi kantor bergolak, rasa resah melanda hati setiap pejabat tinggi. Tidak butuh waktu lama bagi kabar mengerikan tentang sebuah pembantaian yang begitu brutal mengalir seperti arus yang tak terbendung, menghantam keras fondasi ketenangan kota dan menggoyahkan sendi pemerintahan yang ada.
Lima siswa dan dua belas anggota geng ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Bahkan para polisi yang sudah terbiasa menghadapi kejahatan pun merasa mual melihat pemandangan di lokasi kejadian.
Suara langkah tergesa-gesa di koridor… TAP TAP TAP! Suara lembaran berkas dilempar ke meja… BRUK!
"Ini gila… ini benar-benar di luar batas!" Kepala Polisi membanting berkas laporan di hadapan para bawahannya. "Semua cuti dibatalkan! Kita harus menangkap pelakunya secepat mungkin!"
Walikota dan direktur kepolisian mengadakan rapat darurat semalaman. Tekanan yang mereka rasakan luar biasa. Jika kasus ini tidak segera diselesaikan, jabatan mereka bisa tamat.
Namun, mereka segera mendapat titik terang. Dalam waktu kurang dari dua jam, seluruh bukti mengarah pada satu nama.
"Kenzo."
Suara lembaran kertas ditarik cepat… SWISH! Suara ketukan pena ke meja… TOK TOK TOK!
"Kenzo, laki-laki, 18 tahun, siswa kelas tiga di SMA No. 2 Kota Arcadia. Berprestasi tinggi, pengawas kelas, tetapi memiliki sifat pemberontak dan agresif. Tidak memiliki riwayat gangguan mental."
"Tanggal 5 Juni 2002, pacarnya, Selena, diculik oleh Reno dan lima siswa lainnya dari sekolah yang sama. Mereka menyerahkannya kepada Celos, pemimpin Geng Macan Hitam, dengan imbalan lima juta Malam itu, Selena diperkosa beramai-ramai hingga tewas oleh Celos dan dua belas anggota gengnya. Diduga kuat ini adalah pembunuhan balas dendam!"
Suasana ruangan rapat mencekam. Tak ada yang berbicara. Semua orang tahu… kasus ini sudah terpecahkan.
"Siapkan pasukan!" perintah Kepala kepolisian. "Tangkap dia, hidup atau mati!"
Suara sepatu bot berbaris… DUK DUK DUK! Suara sirene polisi meraung di jalanan… NEE-NOOO NEE-NOOO!
Tiga ratus polisi dari berbagai unit—pasukan khusus, tim anti huru-hara, dan detektif kriminal—dikerahkan untuk memburu Kenzo. Mereka menyisir seluruh kota, menggeledah setiap sudut gelap.
Hingga akhirnya, saat fajar menyingsing, seseorang menemukannya.
Di sebuah pemakaman di pinggiran kota, di depan sebuah makam yang masih baru, seorang pemuda berlutut diam.
Air matanya jatuh tanpa suara.
Suara angin berembus pelan… WHOOOSH… WHOOOSH…! Suara lilin bergetar… FLICKER… FLICKER…!
Di hadapannya, lima lilin merah hampir padam. Di samping setiap lilin… ada satu kepala manusia yang masih berlumuran darah.
Di tanah, dua karakter besar tertulis dengan jari-jari manusia—
"Kebencian."
Suara napas tercekat… HIK!
Para polisi yang menyaksikan pemandangan itu menelan ludah. Tak ada yang berani berkata-kata.
Kenzo tidak melawan saat borgol dikunci di pergelangan tangannya.
Suara klik borgol… CLICKK!
Ia hanya menatap ke makam di hadapannya.
Tatapan kosong… tetapi ada api yang masih menyala di dalamnya.
Dalam hitungan jam, berita penangkapannya tersebar ke seluruh kota dan provinsi. Kasus ini menjadi perbincangan hangat di seluruh negeri.
Sebagian orang menangis iba.
Sebagian mengutuknya sebagai monster.
Sebagian lagi… bertepuk tangan.
Lima hari kemudian, pengadilan terbuka digelar. Kenzo menolak membela diri.
Ia seharusnya dihukum mati di tempat. Namun, entah mengapa, hakim menjatuhkan hukuman mati yang ditangguhkan selama dua tahun.
Keputusan itu menimbulkan kontroversi besar.
Namun bagi Kenzo, hukuman apa pun tak ada artinya lagi.
Hatinya telah mati.
Dan kebenciannya… masih belum padam.
Suara guntur menggelegar di kejauhan… GRRRRRUUUMMMBBBLLL!
Suara rantai besi bergemerincing… CINK CINK CINK! Suara langkah berat di koridor penjara… TAP TAP TAP!
Diborgol di tangan dan kaki, Kenzo melangkah masuk ke dalam penjara tanpa ekspresi. Tatapannya kosong, seolah jiwanya telah tertinggal di pemakaman tempat ia menyerahkan dendamnya kepada malam.
Sejak vonis dijatuhkan, tidak ada banding, tidak ada protes. Bahkan orang tua dari lima siswa yang terbunuh pun diam saja. Seakan semuanya telah mencapai titik akhir yang tak perlu dipertanyakan lagi.
Hanya setelah bersujud sepuluh kali di hadapan orang tuanya yang menangis, Kenzo dibawa pergi.
Suara pintu besi terbuka… KREEEKKK! Suara borgol dikunci… CLICKK!
Duduk di dalam mobil tahanan, ia tak berkata sepatah kata pun. Perjalanan seharusnya hanya dua jam, tetapi entah mengapa, mobil itu terus melaju, bergelombang melewati jalan-jalan berbatu hingga mencapai gunung-gunung sunyi yang diselimuti kabut.
Setelah pos demi pos pemeriksaan, gerbang demi gerbang terbuka, mereka akhirnya tiba di sebuah penjara besar yang tersembunyi jauh dari kota.
Di sana, tanpa banyak basa-basi, prosedur standar dijalankan—penggeledahan tubuh, pemeriksaan fisik, pemotongan rambut, mandi air dingin, berganti pakaian, dan makan makanan tahanan yang hambar.
Nomor tahanan: 7702.
Dua jam kemudian, di bawah pengawalan dua sipir bersenjata, Kenzo dikirim ke sel No. 105—sel kolektif yang dihuni oleh sebelas narapidana lain.
Suara jeruji besi terbuka… KREEEK! Suara langkah masuk… TAP TAP!
"Bangun, semuanya. Cepat!" suara keras sipir memerintahkan.
Di dalam sel, para tahanan mulai bangkit dari tempat tidur mereka, menguap, dan mengamati pemuda baru yang baru saja masuk.
Seorang pria gemuk berwajah bulat menyeringai licik, menatap Kenzo dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Heh, lihat ini. Anak kecil masuk penjara! Apa rambutnya sudah tumbuh semua?"
Seorang pria botak di sebelahnya tertawa kasar. "Hati-hati, bocah-bocah zaman sekarang kelihatannya polos, tapi bisa jadi mereka lebih bengis dari kita. Hahaha!"
Tahanan lain ikut tertawa.
Suara tongkat besi dipukul ke ranjang… BANG!
"Dengar baik-baik!" suara sipir menggema, "Mulai hari ini, tahanan bernama—Kenzo—akan tinggal di sel kalian. Sekarang jumlah kalian sudah penuh, dua belas orang. Bersikaplah baik, jangan membuat masalah! Dan kau, Johnny…" Sipir menunjuk pria gemuk tadi. "Jangan cari gara-gara lagi! Kalau kau macam-macam, aku kirim kau ke sel isolasi! Mengerti?"
Johnny, si pria gemuk, hanya mengangkat bahu malas. "Dimengerti, Bos."
Suara langkah sipir pergi… TAP TAP TAP… Suara pintu sel tertutup rapat… BANG!
Kenzo tidak peduli dengan kegaduhan di sekelilingnya. Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan menuju tempat tidur kosong di sudut sel. Namun, baru saja melangkah dua langkah, Johnny menghadangnya.
Pria gemuk itu melingkari Kenzo seperti pemangsa mengamati mangsanya.
Lalu, tiba-tiba—
Suara ludah… PLEH!
Ludah hangat dan kental mendarat tepat di wajah Kenzo.
Ledakan tawa memenuhi sel.
Tahanan lain menepuk-nepuk ranjang besi, tertawa puas melihat bocah baru yang dipermalukan.
Di tengah sorak sorai itu, Kenzo tetap diam.
Namun, sesuatu dalam matanya berubah.
Sesuatu yang dalam, dingin, dan berbahaya.
Suara angin berdesir… WHOOSH! WHOOSH!
Suara napas berat… HUH… HUH… Gelak tawa kasar memenuhi ruangan… HAHAHA!
Johnny, si kucing gunung, menyeringai puas. “Wah, sombong sekali kau, bocah! Masuk ke sini tanpa membungkuk atau memberi upeti? Kalau begini caranya, bagaimana aku bisa mempertahankan wilayahku di gedung Timur?”
Kenzo tetap diam, bahkan tidak menoleh, dan terus berjalan menuju ranjangnya.
Namun, pria botak di dekatnya, yang sejak tadi ikut menertawakan, tiba-tiba mengayunkan tinjunya ke perut bagian bawah Kenzo.
Suara pukulan keras… DUGG! Suara napas tercekat… GHK!
Kenzo terhuyung mundur enam langkah, menghantam pagar tempat tidur dengan keras. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya.
Tahanan lain meledak dalam tawa liar.
“Haha! Bocah ini pikir dia bisa jadi raja di sini?”
“Ini penjara, Bung! Kau berada di wilayah Saudara Johnny! Kalau mau selamat, bersujudlah dan merangkak di bawah selangkangannya! Hahaha!”
Kenzo menyeka dahak dan darah di wajahnya. Tatapannya dingin, tanpa emosi.
"Aku tidak ingin mencari masalah. Sebaiknya kalian juga tidak main-main denganku."
Suasana mendadak hening.
Suara langkah berat… TAP TAP… Hembusan napas dalam… HAAH…
Johnny menatap Kenzo dengan mata menyipit. Cahaya berkilat di sorot matanya, lalu dia mendengus dan mengangkat tangan, memberi isyarat kepada yang lain untuk tidak bertindak.
“Baiklah, bocah. Aku akan memberimu jalan.”
Johnny melirik bocah itu, yang mengangguk dan berjalan menuju pagar besi, pura-pura menghirup udara segar.
Saat Kenzo berbaring di ranjang, Johnny melangkah mendekat, menatapnya dengan senyum licik.
Lalu—
Suara gesekan ikat pinggang… SREK! Suara air mengalir… SSST!
“HAHAHA! Saudara Johnny sedang memberimu air suci, bocah!”
Tahanan lain tertawa terbahak-bahak melihat Johnny buang air kecil di tempat tidur Kenzo.
Namun kali ini, tak ada kemarahan di wajah Kenzo. Tak ada ekspresi. Hanya keheningan.
Kemudian, perlahan, ia duduk dan menatap Johnny dengan dingin.
“Sudah kubilang,” suaranya serak, “Jangan macam-macam denganku.”
Sejenak, tubuh Johnny merinding. Namun, ia menepis rasa takutnya dengan tawa kasar.
“Kau mencari mati…”
Suara langkah cepat… DUK! Suara tinju diayunkan… WHOOSH!
Tinju besar Johnny meluncur ke wajah Kenzo dengan kekuatan penuh.
Namun, sebelum tinju itu mencapai target—
Suara tangan mencengkeram… CREEKK!
Kenzo bergerak.
Dalam sekejap mata, kepalanya sedikit miring, dan tangannya mencengkeram tinju Johnny dengan kuat.
“Jangan main-main denganku.”
Kali ini, kata-kata itu adalah vonis.
Suara tulang diremukkan… KRAK!
Kenzo menarik tangan Johnny ke belakang, sementara tangan kanannya berubah seolah menjadi bilah tajam yang menyayat tulang rusuk pria gemuk itu dengan kecepatan mengerikan.
Suara tulang patah… RETAK!
Johnny membelalak. Ia terhuyung mundur.
Suara tubuh jatuh ke lantai… DUKK!
Darah mengalir dari mulutnya. Tubuhnya kejang-kejang sesaat, lalu diam selamanya.
Tulang rusuk yang patah telah menembus jantungnya.
Hening.
Sangat hening.
Suara napas tercekat… HHH!
Semua orang mundur, menatap Kenzo dengan ketakutan yang membeku.
Tak ada yang berani bicara.
Tak ada yang berani bergerak.
Di dalam sel yang penuh dengan penjahat keji, malam itu, seorang bocah delapan belas tahun mengukuhkan posisinya.
Sebagai pemangsa teratas!
Suara detak jantung… DUG-DUG… DUG-DUG… Keheningan yang mencekam… Hanya suara napas berat terdengar… HHH… HHH…
Kenzo bahkan tidak melirik mayat Johnny. Ia hanya menatap dingin ke arah pria botak yang sebelumnya menghantam perutnya.
Hening.
Udara di dalam sel terasa semakin berat.
Pria botak itu, yang tadinya penuh percaya diri, kini gemetar ketakutan. Sorot mata Kenzo begitu dingin, menusuk seperti pisau yang siap merobek nyawanya. Ia merasa seperti seekor kijang yang terpaku di bawah tatapan seekor singa lapar. Kematian seakan sudah berbisik di telinganya.
Suara langkah pelan… TAP… TAP… TAP…
Kenzo melangkah maju.
Pria botak itu tersentak panik.
"A-aku… tolong!"
Dengan suara nyaring, ia berteriak seperti orang gila, menggedor-gedor pagar besi dan memohon pertolongan.
Suara jeritan menggema di seluruh blok sel… AAAAAHHH!
Para tahanan lain yang terbangun mendongak, menatap ke arah sumber suara dengan mata penuh rasa ingin tahu.
Sementara itu, para sipir penjara yang tak tahu apa yang terjadi segera berlari ke arah sel dengan tongkat besi di tangan.
Namun, sebelum mereka tiba—
Suara langkah dipercepat… TAP-TAP-TAP! Suara pukulan telak… DUGG!
Kenzo menerjang maju dan menendang wajah pria botak itu dengan keras.
Tubuh pria itu terlempar ke belakang. Jeritannya langsung terputus.
Suara tubuh menghantam dinding… BRUKK!
Sebelum tubuhnya jatuh ke lantai, Kenzo kembali bergerak. Ia melesat, mencengkeram kepala pria botak itu dengan kedua tangan seperti cakar elang.
Suara napas tercekat… GHKK! Suara tulang diremukkan… KRAK!
Lututnya terangkat, menghantam wajah pria itu dengan kekuatan penuh.
Tulang wajahnya remuk seketika.
Suara tubuh ambruk… BLUKK! Keheningan total…
Pria botak itu tak bergerak lagi. Wajahnya berlumuran darah, seperti telah dihantam palu godam.
Kesembilan tahanan lain terpaku.
Suara napas tercekat… HHHH… HHHH… Suara tubuh jatuh satu per satu… BLUK! BLUK!
Saking takutnya, mereka semua jatuh pingsan tanpa sempat merasa mual atau bahkan muntah.
Tak lama kemudian—
Suara derap langkah cepat… DUK DUK DUK! Suara pagar besi dibuka dengan kasar… GRAKK!
Para sipir penjara menyerbu masuk.
Namun, mereka semua membeku melihat pemandangan mengerikan di hadapan mereka.
Dua mayat tergeletak berlumuran darah.
Sementara itu, Kenzo berdiri di tengah sel, tak bergerak, seperti dewa kematian yang baru saja turun ke dunia.
Suara perintah tegas… "Jatuhkan dia!" Suara sengatan listrik… ZZTTT! "AAARGH!" Suara tubuh tersungkur… BLAM!
Enam sipir langsung menjatuhkan Kenzo ke lantai.
Borgol dan belenggu kaki yang baru saja dilepas dipasangkan kembali.
Suara rantai dikunci… CREEKK!
Seorang sipir berpangkat tinggi masuk, menatap pemandangan itu dengan wajah murka.
"Bawa dia ke sel khusus! Siapa monster ini?! Siapa yang mati?!"
Seorang tahanan yang masih ketakutan menjawab dengan suara gemetar.
"K-Kenzo… Pendatang baru… Yang mati adalah Johnny dan Axelrod si botak…"
Mata sipir itu menyipit.
"Kenzo? Baru di sini?"
Ia menoleh ke salah satu petugas di sampingnya.
"Baru dikirim malam ini. Itu pembunuh yang menggemparkan Provinsi Iskoria beberapa hari lalu."
Sipir itu terkejut.
"Apa? Bocah mesum itu? Kenapa dia ada di sel biasa? Seharusnya dia langsung dimasukkan ke sel khusus atau ke lantai dua dan tiga!"
Petugas yang tadi ditanya langsung memasang senyum canggung.
"Maaf, Pak. Saya membaca catatannya… Bocah ini dulunya anak yang jujur. Dia hanya membunuh untuk membalas dendam atas kekasihnya. Saya pikir dia hanya impulsif, jadi saya memberinya kesempatan di sel biasa dulu… Lagipula, tahanan di lantai dua dan tiga itu terlalu brutal."
Sipir berpangkat tinggi itu mendengus dingin.
"Brutal? Hah! Kau tidak lihat apa yang dia lakukan di sini? Kau pikir dia bocah polos? Kenzo… bukan sekadar pembunuh biasa."
Ia menatap Kenzo yang kini sedang diseret keluar dengan ekspresi tak terbaca.
"Bocah ini… mungkin lebih berbahaya daripada semua tahanan di lantai atas."
Suara rantai yang menyeret tubuh… KREK… KREK… Suara napas tersengal… HHH… HHH…
Sipir berpangkat tinggi mendengus dingin, menatap tubuh Kenzo yang kini terkulai lemas akibat sengatan listrik.
"Impulsif? Bocah ini bukan sekadar impulsif. Dia seperti serigala yang sudah lama ditekan, dan begitu dia mencium bau darah, dia tak akan bisa ditarik kembali."
Sipir di sebelahnya hanya bisa mengangguk patuh.
"Maaf, Pak. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi. Terima kasih atas kebaikan Anda."
Sipir berpangkat tinggi meliriknya dingin sebelum menghela napas dan bertanya, "Di mana kita bisa mengurungnya?"
"Lantai lima di semua gedung penjara sudah penuh, kecuali satu sel yang tersisa… 502."
Matanya menyipit.
"502? Hmph… Baiklah, masukkan dia ke sana. Biarkan dia bertahan dua hari dulu."
Suara langkah-langkah berat… DUK… DUK… DUK… Suara pintu besi terbuka satu per satu… KREEKKK!
Kenzo, yang masih lumpuh karena sengatan listrik, diseret menaiki tangga ke lantai lima. Tujuh gerbang besi dibuka satu per satu, memperlambat perjalanan mereka menuju sel yang lebih dalam.
Berbeda dengan sel biasa di lantai bawah, lantai lima memiliki tata letak yang berbeda.
Tidak ada ruangan besar dengan banyak tempat tidur.
Hanya ada dua sel yang saling berhadapan, masing-masing berisi satu tahanan.
Akhirnya, mereka tiba di ujung lorong.
Suara gerbang besi terakhir terbuka… GRAKK! Suara tubuh dilempar masuk… DUK!
Tubuh Kenzo terhempas ke lantai beton dingin.
Tanpa sepatah kata, para sipir menutup gerbang dan pergi, meninggalkan Kenzo sendirian.
Keheningan menyelimuti ruangan.
Cengkraman listrik yang melumpuhkan perlahan mulai surut. Setelah lebih dari sepuluh menit, Kenzo akhirnya bisa menggerakkan tubuhnya kembali.
Suara napas pelan… HHH… HHH…
Ia perlahan bangkit, memandang sekeliling sel kecil itu.
Tempat ini sempit, dingin, dan sunyi.
Namun, dia tersenyum tipis.
"Lumayan. Dua nyawa ditukar dengan satu kamar sendiri. Tidak buruk."
Kenzo mengusap bahunya yang masih nyeri.
Dia tidak tahu mengapa dirinya dijatuhi hukuman mati yang ditangguhkan alih-alih langsung dieksekusi.
Namun, itu bukan hal yang penting.
Hidup… lebih menyakitkan daripada mati.
Dan dia pantas menanggung rasa sakit ini.
---
Suara kenangan berputar… Samar-samar terdengar suara tawa seorang gadis… "Haha, Kenzo! Kamu harus melindungiku, ya?" Suara langkah kaki berlari di taman…
Dulu… Kenzo hanyalah seorang siswa SMA biasa.
Dia tidak memiliki latar belakang kuat, tidak ada keistimewaan.
Namun, dia memiliki seseorang yang ingin dia lindungi dengan seluruh jiwanya.
Selena.
Gadis yang mengisi dunianya.
Dia masih ingat kata-kata yang pernah diucapkan Selena kepadanya:
"Sepanjang hidupku, aku hanya ingin seseorang menjemputku, menyimpanku dengan hati-hati, dan melindungiku dari rasa takut, penderitaan, dan kesepian… Dan akhirnya, aku menemukan orang itu. Orang yang kucintai… kamu, Kenzo."
Namun, ia gagal menepati janji itu.
Karena yang akhirnya ia temukan… hanyalah tubuh Selena yang sudah hancur, terbuang di hutan belantara.
Suara jantung yang berdebar keras… DUG… DUG… Suara napas tercekat… HHH… HHH…
Saat itu, dunianya menjadi gelap.
Dan di tangannya, ia menggenggam belati yang berlumuran darah.
Ia telah kehilangan segalanya.
Sekarang, berada di dalam sel ini… hanya ada satu hal yang ia tunggu.
Saat di mana ia bisa menebus dosanya… dan menyusul Selena ke dalam kegelapan.
Suara rantai beradu… KREK… KREK… Napas berat terdengar samar… HHH… HHH…
Kenzo berbaring di ranjang sempitnya, menatap langit-langit sel yang dingin dan lembap.
Ia tidak menyesal.
Satu-satunya penyesalannya adalah kedua orang tuanya yang kini harus menanggung malu karena perbuatannya.
Mereka pasti menderita…
Mereka pasti bertanya-tanya—apakah tindakan impulsifnya sepadan hanya demi seorang gadis?
Suara angin berdesir… Seperti bayangan kenangan yang berlalu…
Tapi Kenzo akan tersenyum dan berkata—itu sepadan!
Bahkan jika hidupnya diulang kembali, ia akan tetap menghunus belati tanpa ragu.
Ia masih mengingat kata-kata gurunya:
"Jika tidak ada yang menyinggungmu, jangan menyinggung mereka. Tapi jika seseorang berani menyinggungmu… balas sepuluh kali lipat!"
Sekali belati diangkat, tak ada jalan untuk kembali.
Guru telah mengajarkan seni beladiri sejak kecil.
Guru telah mengajarinya menjadi orang baik.
Guru telah mengajarinya seni bela diri yang sebenarnya.
Dan sekarang, meskipun ia baru berusia delapan belas tahun, ia telah mencapai tingkat kedelapan dalam seni beladiri—melampaui gurunya sendiri.
"Aku tidak mengecewakanmu, Guru. Jika rohmu masih mengawasi dari atas sana, kau pasti bisa beristirahat dengan tenang…"
---
Suara tawa lirih… "Heh…"
Tiba-tiba, suara seseorang memecah lamunannya.
"Hei, benarkah 502 benar-benar mengurung anak sekecil itu? Ini terdengar agak lucu."
Kenzo menoleh perlahan.
Di sel seberang, seorang lelaki kekar bersandar di dinding besi dengan senyum arogan di wajahnya.
Tatapan pria itu tajam dan penuh percaya diri.
Di tubuhnya, ada tato harimau merah yang meraung ke langit—seolah-olah siap menerkam mangsanya.
Aura pria itu begitu kuat hingga menimbulkan tekanan.
Namun, Kenzo hanya melirik sekilas, lalu kembali berbaring.
Tidak peduli.
Pria itu, Max, menaikkan alisnya dengan sedikit terkejut.
Dalam suara rantai besi yang beradu, ia melangkah ke dekat gerbang selnya dan menatap Kenzo dengan penuh minat.
"Anak kecil, kau unik juga."
"Aku baru saja tiba di penjara ini sore tadi. Selama di perjalanan, aku sempat mendengar para sipir membicarakan tentang lantai lima"
"Katanya, lantai lima memiliki total 20 sel, khusus untuk tahanan paling berbahaya."
"Dari 501 hingga 520, semakin kecil angkanya, semakin berbahaya penghuninya."
"Dua sel terakhir—501 dan 502—sudah lama kosong karena tak ada tersangka yang cukup berbahaya untuk ditempatkan di dalamnya."
Max tersenyum licik.
"Tapi lihatlah takdir… Hari ini, aku dikurung di 501, dan kau, seorang bocah sekolah, ditempatkan di 502."
"Ayo, ceritakan sesuatu pada Paman Max. Aku penasaran, kejahatan apa yang kau lakukan hingga bisa masuk ke sini?"
Kenzo tidak menanggapi.
Ia tetap memejamkan mata dan berpura-pura tidur.
Suara keheningan yang panjang… Hanya terdengar napas dan gemerincing rantai…
Max tidak terlihat kesal.
Sebaliknya, ia justru tersenyum lebih lebar dan menjilat bibirnya.
"Paman sungguh tertarik padamu, bocah."
Setelah itu, ia kembali ke tempat tidurnya, mencari posisi yang nyaman.
Menatap langit-langit sel yang remang-remang, ia berbisik sendiri:
"Sepertinya hidup di penjara ini tidak akan membosankan… Hehehe…"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!