•
Suara lonceng pernikahan telah berdentang, terdengar sangat samar-samar dan jauh di telinga Karina. Jika saja dirinya tidak sadar, ia pasti akan mengira bahwa suara dentang lonceng itu berasal dari pernikahan pasangan lain yang ada di gereja sebelah.
Suara obrolan terdengar cukup riuh-rendah memenuhi setiap penjuru ruangan, dari orang-orang yang terlihat saling berjabat tangan dan mengucapkan ucapan selamat dengan senyum yang di mata Karina terlihat setengah tulus. Jika saja, sekali lagi, Karina tidak sadar, pasti dia akan mengira bahwa dirinya adalah salah satu dari para tamu, berbaur di antara kerumunan dengan gaun pestanya, hadir hanya untuk mencicipi wine yang disuguhkan di acara resepsi pernikahan ini.
*Umumnya, itu adalah bagian terbaik dari sebuah resepsi pernikahan, kan? Wine yang disajikan lah yang membuat sebuah acara pernikahan layak untuk dihadiri. Maka karena itu, Karina berasumsi bahwa orang-orang pasti akan menghadirkan wine berkualitas di acara penting seperti ini. Orang kaya tentunya memiliki cukup banyak uang untuk menghadirkan wine dengan kualiatas paling baik untuk hari besar mereka. Ini adalah love language para konglomerat, cara mereka menunjukkan betapa mereka mencintai pasangannya. Tentu bagi para undangan yang juga merupakan para kapitalis, rasanya tidak ada yang lebih romantis daripada wine* yang terbaik, terutama jika wine itu gratis.
Biasanya, dirinya dan Chloe Lawson, sahabatnya, akan berdiri di sudut ruangan, bergosip layaknya remaja. Mereka bisa membicarakan tentang apa pun, bahkan hal-hal yang tidak penting sekalipun. Karena memang begitulah mereka biasanya. Chloe biasanya akan menyikut lengannya, mulai bergosip tentang putri dari seorang CEO yang tampak sangat haus akan perhatian, atau tentang istri dari seorang eksekutif yang tampak sangat kaku dan canggung.
Dan Karina akan tertawa, menyetujui setiap pendapat sahabatnya itu. Itu lah yang biasa mereka lakukan setiap kali menghadiri pesta pernikahan, berdiri di sudut yang tidak terlalu ramai, saling berbisik sambil menyesap wine dengan mata yang melirik ke segala arah di balik gelas yang besar. Hanya mereka berdua, mengesampinkan gelar bisnis dan segala formalitas yang membosankan, berbicara tentang hal-hal konyol layaknya sahabat.
Tapi sayangnya, semua hal seru itu tidak bisa ia lakukan saat ini, karena dirinya sedang berada di sebuah acara pernikahan yang dihadirinya lebih karena terpaksa dan keharusan. Rasanya ia ingin menggandeng lengan sahabatnya dan menariknya pergi ke suatu tempat, mengobrol dan mencicip wine dengan santai. Namun sayangnya, ia tidak bisa melakukannya.
Dan kalian pasti bertanya-tanya... apa yang menghentikan seorang Karina Yates, 24 tahun, wakil direktur Vineyard Valor, pewaris perusahaan wine nomor satu di Australia, untuk melakukan hal yang ia sukai?
Karena pernikahan ini bukanlah pernikahan yang harus dihadirinya karena diundang, dirinya tidak berada di sini untuk mengawasi dan mengontrol kualitas karena mereka menyajikan wine dari perusahaannya. Betapa ia berharap itulah alasannya berada disini sekarang. Namun tidak, alasan sesungguhnya jauh lebih buruk.
Karena pernikahan ini adalah pernikahannya. Ya, dialah tokoh utama di pesta ini. Dirinya lah yang biasanya menjadi bahan gosipnya bersama Chloe.
Karina bertanya-tanya, apa yang orang-orang gosipkan tentang dirinya? Ia mencoba menempatkan dirinya dalam perspektif para tamu undangan, melemparkan pandangan yang mencurigakan dan mencoba membayangkan apa yang akan dirinya obrolkan dengan orang yang ada di sebelahnya. Mungkin ia akan bertanya-tanya, mengapa sang pengantin wanita terlihat gugup dan tampak sedikit kesepian di hari besarnya? Mengapa wakil direktur perusahaan importir wine terbesar di Australia yang masih sangat muda dan aktif, tiba-tiba menikah di usia yang baru 24 tahun?
Karina merasa pusing membayangkannya. Bagaimana bisa dirinya sudah merasa lelah secara fisik dan mental tentang pernikahan disaat cincin bahkan belum melingkar di jarinya?
Jika ini bukan pernikahannya, Karina pasti akan menjadi orang yang paling mengejek situasi sang pengantin saat ini, tertawa pelan sambil menyikut Chloe yang juga akan ikut tertawa bersamanya. Ah, Karina bertanya-tanya apakah dirinya akan bisa bergosip seperti itu bersama Chloe lagi nantinya.
Karina menatap lurus pada seseorang yang berdiri di ujung karpet di depan altar, menunggunya berjalan menyusuri karpet merah. Steve Cooper, seorang pemuda yang merupakan putra dari perusahaan saingan keluarganya, sebuah perusahaan pembuat wine terbesar di Australia, seseorang yang merupakan CEO muda terbaik di negara ini. Steve berdiri di depan altar dengan tangan yang terselip di belakang punggungnya, menatap ke arahnya yang berjalan bergandengan dengan ayahnya yang tersenyum sangat lebar, saking lebarnya terlihat seperti menyeringai di mata Karina. Karina berharap senyumnya sendiri tidak terlihat terpaksa di mata orang-orang yang hadir di pernikahannya ini.
Karina menghela napas pelan. Karpet merah yang dilaluinya seakan membentang tanpa batas di ujung kakinya. Ia merasa seperti waktu berjalan dengan sangat lambat, rasanya seperti terjebak dalam adegan-adegan slow motion dramatis yang ada di film-film.
Karina merasa jantungnya berdebar sedikit lebih kencang karena tidak sabar, dan ia menggigit bagian dalam pipinya. Mengapa rasanya ia berjalan dengan sangat lambat? Apakah kakinya seberat itu sehingga ia tidak bisa berjalan sedikit lebih cepat? Karina merasakan tangannya yang memegang buket bunga mulai sedikit bergetar. Para tamu yang menyadarinya mungkin akan berasumsi bahwa tangannya bergetar karena dirinya gugup dan bahagia.
Langkah kakinya akhirnya berhenti di depan altar. Ketika ayahnya menyodorkan tangan Karina yang dipegangnya kepada Steve yang sebentar lagi akan menjadi suaminya, Karina mulai penasaran apakah ada data statistik yang mencatat jumlah pengantin wanita yang melarikan diri tepat di hari pernikahan mereka. Mungkin jika angka pada data itu tidak tinggi, Karina bisa berkonstribusi dengan menarik tangannya dari genggaman Steve, berbalik dan berlari keluar dari ruangan ini dengan dramatis.
Namun, ketika dirinya sudah berada di atas altar dan berdiri berhadapan dengan Steve, tatapannya bertemu dengan sepasang mata Steve yang tajam dan tanpa emosi. Karina langsung tersadar akan alasan mengapa mereka berada di situasi ini.
Ya, pernikahan ini adalah idenya.
Karena itu, Karina sedikit menundukkan kepalanya, mengalihkan pandangannya pada buket bunga yang ada di tangannya. Dirinya lah yang menyeret Steve ke dalam situasi ini, dan ia cukup beruntung karena pria itu dengan mudah setuju dengan segala rencana dan tawarannya. Karina lagi-lagi bertanya, apakah orang-orang biasanya menikah semudah ini? Pernikahan ini sama sekali tidak terlihat serumit apa yang sering ia dengar.
"Apakah kamu, Steve Cooper, bersedia menerima Karina Yates sebagai istri yang sah? Berjanji untuk selalu merayakan kesuksesannya dan mendukungnya di saat-saat sulit? Untuk mencintainya, menghormatinya, dan menjaganya dengan penuh kasih sayang, sepanjang sisa hidupmu?"
Seperi yang ia duga, Steve menjawab dengan tidak ragu-ragu, meski nada bicaranya terdengar sangat datar seperti sedang membacakan berita di TV. "Saya bersedia."
"Apakah kamu, Karina Yates, bersedia menerima Steve Cooper sebagai suamimu yang sahㅡ"
Bola mata Karina bergetar. Tanpa menunggu sang pendeta menyelesaikan ucapannya, Karina langsung menjawab dengan suara lantang. "Saya bersedia." Wajahnya sedikit naik untuk menyamai Steve yang berada di hadapannya.
Karina mencoba menyunggingkan senyuman lebar, dan pengantin pria di hadapannya ini tetap menatapnya dengan wajah datar, sama sekali tidak berusaha membalas senyumnya. Senyum di wajah Karina perlahan memudar seperti tinta warna yang disapu oleh air. Luar biasa, sepertinya ia baru saja menikahi seseorang yang memiliki sindrom wajah datar.
"Dengan begitu, mulai saat ini dan seterusnya, saya menyatakan kalian berdua sebagai pasangan suami istri yang sah."
Dan di saat inilah, momen ketika dunia tiba-tiba berubah menjadi penuh warna. Setelah melakukan pertukaran cincin, musik seremonial yang meriah mulai mengalun lembut, diiringi dengan tepuk tangan yang meriah.
Karina menggandeng tangan Steve dan melangkah menuruni altar mereka, melempar buket bunga dan berpura-pura tersenyum bahagia kepada satu sama lain di hadapan para tamu.
Karina diam-diam merasa kesal dan marah. Mengikat janji suci sehidup semati seharusnya menjadi sesuatu yang paling bahagia dalam hidupnya. Namun saat ia melihat senyum lebar Steve, ia merasa semua ini sangat palsu dan menjengkelkan. Yang Karina rasakan hanyalah kekesalan, kesedihan, dan ketakutan.
Tiba-tiba ia merasa acara pernikahan ini sangat kejam. Karena menurut Karina, pernikahannya ini tidak jauh berbeda dari pemakaman. Satu-satunya perbedaan adalah dirinya yang hidup dan mengenakan gaun putih. Para tamu seharusnya menangisi dirinya yang kehilangan kebebasannya, menangisi belenggu yang akan membayangi hidupnya mulai sekarang, bukannya memberi tepuk tangan atas pernikahan palsunya ini.
Hidup dengan seseorang yang tidak ia cintai tentu bukan sesuatu yang layak untuk dirayakan. Setiap senyum dan tawa yang ia lihat terasa seperti tamparan di wajahnya. Karina tidak bisa melakukan apa pun selain hanya tersenyum getir.
Karina menarik napas pelan sambil masih tetap tersenyum. Ia mencoba mengingatkan dirinya tentang apa tujuan dari semua ini, bagaimana semua ini akan terbayar pada akhirnya, karena ini adalah rencananya, dan dirinya tidak pernah salah.
Karina mengalihkan pandangannya dan menatap empat wajah dengan senyum bahagia yang ada di barisan paling depan. Senyuman yang begitu tulus dari orang-orang yang sangat ia dan Steve sayangi, dan keduanya rela jika harus melalui berbagai kekacauan demi kebahagiaan keempat orang tersebut.
Orangtua mereka.
"Anda bisa mencium pengantin wanita sekarang."
Keraguan dalam bahasa tubuh mereka tampak begitu ironis bagi Karina. Mereka mendekatkan wajah lebih karena keharusan daripada karena kemauan, dan ini seharusnya menjadi tanda bahwa semua ini adalah ide yang buruk. Seharusnya mereka tau bahwa ini adalah kesalahan.
Namun, tentu saja mereka tidak menyadarinya.
•
•
•
\~Flashback\~
“Jadi begini rencananya!”
Ujar Karina, sedikit terlalu keras, disertai dengan hentakan tangannya pada permukaan meja yang ada di hadapannya hingga mengeluarkan bunyi gedebuk yang cukup keras. Tiga gelas minuman yang ada di atas meja bahkan ikut bergetar hebat.
“Karina, sstt! Kamu tidak perlu berbicara terlalu keras,” Chloe yang duduk bersebelahan dengannya berbisik dengan suara pelan sambil menoleh sekitar dengan cepat. “Ayo, duduklah.”
Karina menegakkan tubuhnya, ikut melirik sekitarnya dan menyadari dirinya berada di posisi yang canggung. Ia sedang berdiri di tengah-tengah sebuah kafe yang ramai, berdiri dan membanting meja seperti tokoh protagonis dalam film Marvel yang akan menyampaikan sebuah rencana besar.
Tatapan-tatapan bingung dari pengunjung kafe tertuju padanya, beberapa bahkan tidak sungkan berbisik sambil menatapnya aneh. Karina menggaruk lehernya pelan, mengalihkan wajah dan tatapannya langsung bertemu dengan satu tatapan datar dan dingin dari seorang pria yang duduk tepat di hadapannya. Karina mendengus pelan, ia sungguh tidak menyukai tatapan itu.
Dengan suara pelan, Karina mengatakan 'Oke' sebelum berdehem dan kembali duduk. Steve, yang duduk di hadapan Karina, masih tetap menunjukkan reaksi yang datar dan dingin. Sikap cuek pria ini benar-benar membuat Karina merasa sangat kesal. Steve sedikit banyak sudah tahu rencana macam apa yang akan Karina tawarkan padanya, namun pria ini terlihat begitu datar dan bosan, seolah-olah yang akan Karina sampaikan adalah hal yang paling tidak penting di dunia ini, seolah-olah Karina adalah seorang pialang saham yang sedang berusaha menawarkan dan mencoba mengajaknya berinvestasi. Sungguh menjengkelkan.
“Oke. Jadi, ini rencananya.” Karina mulai berbicara, telunjuknya bergerak mengelilingi bagian atas cangkir kopinya sebagai upaya untuk menyembunyikan rasa canggung dan malunya. “Terima kasih sudah setuju untuk bertemu denganku secara mendadak di tempat seperti ini. Aku tahu biasanya kamu hampir selalu menolak bertemu dengan seseorang di luar urusan pekerjaan.”
Steve tidak mengatakan apa pun dan hanya mengedipkan matanya perlahan. Untuk ukuran seseorang CEO yang selalu dipuji sebagai social butterfly yang ramah dan menyenangkan, sikap Steve padanya saat ini sungguh tidak menggambarkan keramahan itu. Mengapa dia menatapnya dengan mata yang begitu datar dan dingin? Apa sih masalahnya?
Karina tidak menyukai siapa pun yang menyakiti egonya, karena Karina tiba-tiba merasa seperti orang tidak penting yang tidak layak berbicara dengan pria ini. Mereka baru bertemu selama kurang lebih sepuluh menit, dan Karina sudah membenci semua hal tentang Steve.
“Tidak masalah,” Steve akhirnya berbicara, menyandarkan tubuh pada kursih dan memasukkan satu tangannya ke dalam saku jasnya. Dia pikir dia keren sekali, gerutu Karina di dalam hati. “Lagipula aku tidak bisa menolak tawaran dari Chloe.” Tatapan Steve beralih dari Karina pada Chloe yang ada disamping gadis tersebut, dan wajah yang tadinya datar dan dingin langsung berubah ramah dengan senyum. Karina mengedipkan matanya beberapa kali. Sebenarnya yang akan menikah dengan pria ini dirinya atau Chloe? Karina mulai berpikir bagaimana ia bisa menjalankan semua rencananya dengan pria yang menatap sahabatnya dengan penuh kasih sementara menatapnya seolah-olah dirinya adalah musuh? Apakah rencananya akan gagal total tepat di hadapannya bahkan sebelum dia sempat melaksanakannya?
“Tidak perlu berterima kasih! Aku pasti akan melakukan apapun yang terbaik untuk kedua sahabatku,” jawab Chloe dengan nada suara yang sangat ceria. Ucapan Chloe mengingatkan Karina bahwa semua rencananya memang bisa terealisasikan berkat Chloe.
Karina dan Steve tidak pernah punya alasan untuk berbicara satu sama lain. Mereka hanya pernah bertemu beberapa kali ketika keduanya ikut bersama orang tua mereka ke pertemuan sosial. Interaksi yang pernah mereka lakukan selama ini hanya sebatas mengangguk singkat dengan gelas wine di tangan.
Chloe adalah penghubung terkuat di antara mereka berdua, karena Chloe adalah sahabat Karina dan kebetulan juga bersahabat dengan Steve. Lucu sekali, bagaimana seorang putri dari perusahaan pembuatan bir bisa menjadi sahabat dengan dua pewaris perusahaan wine terbesar di industri alkohol, padahal dalam pandangan bisnis seharusnya mereka adalah pesaing.
Karina masih ingat ketika dirinya menelepon Chloe di tengah malam beberapa hari yang lalu, menceritakan sebuah ide gila yang muncul di otaknya. Sebuah rencana yang ia susun secara mendadak setelah tanpa sengaja mendengarkan percakapan kedua orangtuanya yang berencana menjodohkannya pada salah satu putra dari teman baik mereka. Karina ingat betapa bersemangat dirinya ketika Chloe mengatakan bahwa dia bisa membantu merealisasikan rencana itu karena dia memiliki seorang teman yang juga menghadapi masalah yang sama dengan Karina.
Dan teman baik yang dimaksud Chloe adalah seorang pria yang saat ini duduk di depannya, dengan wajah yang terlalu tampan untuk sifat yang sangat sombong dan dingin. Chloe juga mungkin satu-satunya alasan mengapa Steve masih duduk di kursi itu. Dia tidak berada di sini karena Karina yang memintanya, itu sudah pasti.
Menghela napas pelan, Karina mengetuk pinggiran cangkir kopinya sedikit terlalu keras. “Aku yakin Chloe sudah menjelaskan padamu tentang rencanaku.”
Tanggapan yang ia terima terlalu biasa untuk sebuah rencana yang akan mengubah hidup mereka secara drastis. “Ya. Selama rencana ini dapat mendatangkan keuntungan untuk perusahaan dan dapat membuat orangtua ku bahagia, aku tidak keberatan.” Jawab Steve dengan suara yang sangat tenang. Dia meraih gelas yang ada di hadapannya kemudian menyesap cappuccino panasnya. “Dan selama rencana ini tidak akan mempengaruhi kehidupan dan hubungan pribadiku.”
Karina mendengus pelan. Karina tidak merasa dirinya akan menjadi masalah dalam hubungan pribadi pria ini. Mereka bahkan tidak bisa disebut teman, dan dengan kesan yang ia dapatkan dari Steve saat ini, Karina pikir fakta itu akan bertahan untuk sementara waktu. “Kamu tidak perlu khawatir soal itu,” jawab Karina, sambil menyilangkan kakinya dan meletakkan kedua tangannya yang saling bertautan di atas lutut. Pose yang selalu ia lakukan ketika ia sedang bernegosiasi soal bisnis. “Semua ini tidak akan menggangu masalah pribadimu. Anggap saja ini seperti proposal bisnis.”
Ya, karena memang semua ini hanya sebuah bisnis. Bisnis yang dapat menguntungkan kedua belah pihak, dengan syarat dan ketentuannya sangat jelas, disepakati dan dinegosiasikan bersama.
Karina yakin dirinya sudah memikirkan dan menyusun semua ini dengan matang selama beberapa hari ini terakhir ini. Sebuah skema yang sempurna secara teori tanpa ada ruang untuk gagal, selama dirinya dan Steve melakukan apa yang harus dilakukan, memerankan bagian mereka dengan baik sesuai dengan perjanjian.
Steve tidak menjawab, ia hanya menatap Karina, menunggu gadis itu untuk berbicara lebih lanjut.
“Rencana ini tidak akan sulit untuk dijalankan. Kita adalah dua nama besar di industri yang sama, jadi pernikahan ini akan sangat masuk akal untuk tujuan membangun jaringan. Selama ini orang tua ku dan orang tua mu juga memiliki hubungan yang cukup baik, jadi aku yakin mereka tidak akan keberatan. Pada akhirnya baik aku atau kamu akan dipaksa untuk menikah dengan pilihan mereka, jadi mengapa tidak melakukannya sekarang saat pilihannya masih ada di tangan kita, bukan?” ujar Karina tenang sambil tersenyum.
“Sepertinya hanya orang tua ku saja yang tidak berniat mencarikanku jodoh. Apakah tidak ada satu pun teman baik mereka yang ingin menjadikanku sebagai menantu mereka? Aku jadi merasa tidak diinginkan,” Chloe berbicara, menyandarkan punggungnya pada kursih sambil mencebikkan bibirnya.
Karina menyenggol lengan Chloe sambil tertawa kecil. “Bukankah itu bagus. Kamu jadi bisa bebas mencari cintamu sendiri tanpa ada halangan apa pun. Orang sebaik kamu tidak pantas memiliki nasib sial sepertiku.”
Karina sedikit menaikkan nada suaranya saat mengucapkan ‘sial’ sambil melirik Steve dengan tatapan malas, dan Steve hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai respon. Cukup bagus, setidaknya pria dingin itu merespon ucapannya.
“Selain itu, jika kita dapat membentuk kemitraan yang bagus di antara perusahaanmu dan perusahaan ku, nilai saham kita akan meroket. Rencana ini juga akan membuat penggabungan pemasok menjadi lebih mudah dan menghilangkan persaingan yang tidak perlu. Penggabungan inventaris juga berarti lebih banyak penghematan pada biaya marjinal barang yang dijual. Proses perencanaan dan prediksi juga akan lebih mudah dilakukan di kedua pihak, yang berarti dominasi pasar yang lebih mudah secara keseluruhan. Jadi, semua ini sama sekali tidak akan merugikan, dari segi bisnis.”
Karina berhenti sesaat untuk melihat reaksi Steve, dan pria itu hanya memberinya anggukan. Hal ini menandakan ia bisa melanjutkan penjelasannya, “Aku rasa tidak akan ada banyak resiko berarti lainnya. Selama kita berpura-pura saling mencintai saat orang tuaku atau orang tuamu ada di sekitar, yang berarti hanya di kantor, acara sosial atau kunjungan keluarga, itu sudah cukup. Untuk urusan pribadi lainnya, kamu tidak perlu khawatir. Baik aku maupun kamu sebenarnya juga tidak single, kan. Chloe memberitahuku tentang hubungan mu. Kamu mengencani seorang artis, bukan?”
“Namanya Kate,” jawab Steve, ”Dan agensinya ingin merahasiakannya. Demi reputasinya sebagai seorang artis.”
“Itu juga membantu menjaga reputasi dan citra mu sebagai CEO termuda yang paling sukses. Aku yakin kamu tahu kalau wajah tampanmu itu juga mempengaruhi penjualan wine perusahaanmu.” Ujar Chloe sambil terkekeh pelan, membuat Karina ikut tertawa bersamanya.
Steve hanya mendengus. Entah karena merasa terhibur atau kesal, Karina tidak tahu. Dan sebenarnya tidak mau tahu juga.
“Yang aku bilang kan benar. Kamu menjadi terkenal karena semua pemotretan dan wawancara di majalah-majalah. Aku yakin para wanita mengerumuni toko wine yang ada poster besarmu disana.”
Steve tidak menanggapi komentar Chloe dan hanya menggeleng pelan sambil tersenyum. Karina baru saja akan mulai mendiskusikan soal perencanaan pesta pernikahan ketika Steve tiba-tiba bertanya, dengan suara penuh keingintahuan. “Bagaimana denganmu? Bukankah kamu juga sedang berkencan dengan seseorang? Kudengar orang itu bukan orang sembarangan dan cukup terkenal di kalangan pebisnis.”
Membicarakan soal Felix biasanya merupakan hal yang paling Karina sukai. Saat menyebut nama kekasihnya itu, Karina biasanya akan berbinar-binar, siap untuk menceritakan panjang lebar dan tanpa henti tentang semua kesempurnaan pacarnya kepada siapa pun yang cukup tidak beruntung untuk mendengarkan ocehannya. Namun entah kenapa, saat Steve yang bertanya soal urusan pribadinya, Karina merasa malas untuk bercerita.
Jadi dengan singkat ia menjawab, “Ya. Namanya Felix.”
Reaksi Steve berikutnya adalah reaksi yang paling ekspresif yang pernah dia tunjukkan di wajahnya sejak mereka memasuki kafe ini, dan itu adalah reaksi terkejut. Ekspresi kaget memenuhi setiap lekuk wajahnya. Hampir terlihat lucu untuk dilihat, dengan alis terangkat dan dahi berkerut, bibirnya membentuk huruf 'o' yang kecil namun sempurna. “Felix? Apakah itu Felix yang kita semua kenal?”
Karina menatap Steve dengan tatapan pasrah. Ia merasa Steve sudah terlalu tahu banyak tentang urusan pribadinya tanpa harus diceritakan. Steve menegakkan posisi duduknya dan kembali berbicara dengan nada yang sedikit meninggi. “Felix Lawrence? Putra dari pebisnis tambang nomor satu di negara kita?”
“Ya, dia orangnya.” Jawab Karina malas.
Dan tepat setelah mendengar jawaban Karina, sebuah tawa yang cukup keras keluar dari bibir Steve. Dia tertawa sambil menyandarkan punggung ke kursinya dan menghembuskan napas seolah tidak percaya.
Karina sedikit terkejut mendengar suara tawa itu. Tentu saja tidak ada alasan baginya untuk menganggap manusia tertawa adalah hal yang aneh. Tertawa adalah hal yang wajar, bukan? Tapi ini adalah Steve, yang Karina pikir bahkan mungkin tidak akan pernah menyunggingkan sebuah senyuman tulus padanya.
“Sekarang aku mengerti mengapa kamu mempunyai ide seperti ini.” ujar Steve, sedikit memiringkan kepalanya ke samping, matanya kembali menatap Karina. “Ini akan menjadi kedok yang sempurna.”
“Aku senang kalau kamu mengerti,” jawab Karina, menyunggingkan sebuah senyum tipis. “Aku yakin ini juga akan sangat menguntungkan bagimu dan Kate, melihat bahwa kita berdua harus menyembunyikan hubungan kita dengan pasangan masing-masing.”
Steve hanya mengangguk setuju, tidak ada yang bisa dia katakan untuk menyanggah. “Apa ada hal penting lainnya lagi yang harus diketahui tentang rencana ini?”
Karina sedikit mencondongkan badan dari tempat duduknya dan menatap Steve dengan tatapan serius. “Hanya satu. Kita tidak boleh ketahuan. Orang tua kita tidak boleh tahu sama sekali."
Steve tersenyum tipis, tatapannya masih tetap acuh tak acuh. Lalu Karina bertanya, “Ada pertanyaan?”
“Tidak.” Jawab Steve singkat, dan senyum puas mengembang di bibir Karina. Dengan ini, kesepakatan pun terjalin. Semudah itu.
Karina berdiri, merapihkan blazer yang ia kenakan dan mengulurkan tangannya kearah Steve untuk bersalaman. Steve menatap tangan Karina sesaat sebelum ikut berdiri dan menyambut tangan Karina yang berukuran jauh lebih kecil darinya itu.
“Senang berbisnis denganmu.” Ucap Karina, dengan nada yang terdengar puas. Menjadi salah satu pewaris perusahaan besar di negara ini, perjodohan bukanlah hal yang aneh bagi mereka. Jadi, tidak ada yang aneh jika keduanya memperlakukan pernikahan ini seperti sebuah kesepakatan bisnis.
Karena memang begitu nyatanya. Pernikahan tanpa perasaan hanyalah sebuah kontrak di atas kertas, dan apa bedanya dengan investasi bisnis?
Setidaknya itulah yang ia yakini saat Steve menjabat tangannya dengan senyum yang kali ini cukup lebar hingga memperlihatkan lesung pipi di wajahnya. “Begitu juga denganku, senang berbisnis denganmu.”
Dengan begitu, CEO termuda dan tersukses ini akan menjadi suaminya.
\~End of Flashback\~
•
•
•
“Felix, aku bisa terlambat datang ke pertemuan penting kalau begini,” Karina mengatur napas di antara tawa yang terengah-engah, kepala menoleh ke arah Felix yang sedang memeluknya dari belakang. Felix mempererat tangannya yang melingkar di pinggang Karina. "Lepaskan dulu... hei hentikan! Geli tau!"
Felix hanya menanggapi dengan tertawa jahil, membenamkan wajahnya ke dalam lekuk leher Karina, tangannya masih tetap memeluk pinggang gadis itu dengan lebih erat.
Karina menghela napas putus asa, kemudian kembali tertawa geli karena Felix yang dengan sengaja menggelitik leher Karina dengan ujung hidungnya, jelas Felix tidak menggubris ucapan Karina.
Karina menggeleng pelan sambil melirik ke arah jam antik yang tergantung di dinding. Tiga menit lagi dan dirinya sudah benar-benar harus pergi untuk menghadiri pertemuan dengan klien penting perusahaan mereka. Karina bisa memaafkan dirinya sendiri untuk hal apa pun kecuali keterlambatan.
Karina kembali berbicara, kali ini dengan suara yang sedikit lebih serius, “Tuan muda Felix,” ujar Karina, jari-jarinya mengusap-usap rambut pirang yang terselip di bawah dagunya. “Aku benar-benar akan terlambat kalau kamu tidak melepaskanku sekarang.”
Ucapan Karina kali ini cukup efektif. Felix melepaskan pelukannya dan mundur dengan ekspresi sedih bercampur kesal. Sambil mendengus kecil, dia menatap Karina yang kini sudah berbalik menatapnya. "Kenapa kamu harus pergi? Kita baru menghabiskan waktu sebentar saja. Bukankah biasanya ayahmu yang akan menghadiri pertemuan penting seperti ini?"
Raut sedih di wajah kekasihnya itu hampir membuat Karina berpikir untuk menelepon sekretarisnya dan meminta jadwalnya untuk diatur ulang. Karina sudah terlalu sering meninggalkan Felix demi sebuah rapat atau pertemuan penting seperti ini, dan dengan setiap bujukan yang gagal, kini Felix semakin mahir dalam menunjukkan ekspresi yang membuat Karina merasa ingin mengabaikan pekerjaannya.
Namun Karina menepis pikirannya itu dan menyunggingkan senyuman hangat. Ia melangkah maju dan mendaratkan satu ciuman di pipi Felix. Tentu saja, pacarnya yang merupakan putra dari orang terkaya di Australia ini tahu bagaimana cara meluluhkan hatinya, tapi Karina tidak semudah itu untuk terbujuk. Tugas kantornya juga sama pentingnya dengan pria yang ada di hadapannya ini.
“Karena sekarang usiaku hampir 25 tahun, jadi aku harus mulai terbiasa menangani hal-hal yang lebih penting.” Karina meraih tas tangannya, berjalan melewati Felix menuju kaca besar yang ada di samping pintu kamar. Alisnya sedikit mengernyit ketika melihat kerutan di blazer dan kerah bajunya. Inilah mengapa seharusnya ia tidak bermesraan dengan kekasihnya hanya beberapa menit sebelum berangkat untuk bertemu dengan klien penting. Karina merapikan pakaiannya sambil menatap Felix dari kaca. “Aku akan menebusnya nanti, aku janji.”
Felix menghembuskan napas pelan, merapatkan bibirnya dan berjalan menghampiri Karina. Dia meraih pundak wanita itu dan memutar tubuhnya untuk menghadapnya, kemudian menempelkan keningnya pada kening Karina. Ini adalah upaya terakhirnya untuk membujuk, menatap mata Karina seolah-olah berkata 'apakah kamu benar-benar harus pergi?'.
Dan Karina meletakkan telapak tangannya di dada Felix, menggesekkan hidungnya pada hidung kekasihnya itu, dan menarik diri setelah memberikan kecupan kecil. Itu adalah caranya untuk mengatakan 'ya, aku harus pergi'.
Felix terdiam sesaat atas penolakannya yang halus dari kekasihnya itu. Dia sudah sangat mengenal Karina. Ia mengenal Karina yang selalu menatapnya seolah-olah dirinya adalah orang yang paling berharga di dunia ini, dan juga Karina yang tidak akan mengalihkan pandangan dari berkas kantornya mau sebanyak apa namanya keluar dari bibir Felix.
Dan Felix tidak bisa menyalahkan Karina akan itu. Tidak bisa dipungkiri bahwa Karina sudah terlebih dahulu mencintai pekerjaannya sebelum ia mencintai Felix.
Pada akhirnya Felix hanya bisa mengangguk pelan sambil menyunggingkan senyum, meletakkan satu tangannya pada punggung Karina dan mengikuti kekasihnya yang sudah berjalan keluar dari kamar. Felix sama sekali tidak keberatan dengan keadaan hubungan mereka saat ini, selama dirinya masih bisa mendapatkan waktu untuk berdua saja dengan Karina, walaupun itu hanya sebatas berada di dalam ruangan yang tertutup, menghabiskan waktu bersama diiringi musik yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua.
Setidaknya semua ini bisa membuat mereka merasa seperti tidak ada orang lain di dunia ini selain mereka berdua, dimana keduanya bisa menjadi versi diri mereka sendiri. Ketika Karina bukan pewaris perusahaan pembuat wine terbesar di negara ini. Ketika Felix bukan putra dari pengusaha terkaya di Australia. Ketika mereka tidak perlu menyembunyikan perasaan mereka karena satu tindakan ceroboh dapat mengakhiri semua yang telah mereka perjuangkan.
‘Putra dari pengusaha tambang terkaya di Australia yang sudah bertunagan, secara diam-diam menjalin hubungan dengan pewaris perusahaan wine terkenal', tentu saja bukan judul berita utama yang bagus untuk disiarkan.
Ya, Felix telah bertunangan, dengan seorang wanita yang bagaikan cerminan dari dirinya sendiri, putri dari pengusaha tambang. Mereka tidak saling mencintai, namun tidak bisa menolak perjodohan yang sudah menjadi sebuah perjanjian dari kakek buyut mereka. Jadi secara terpaksa mereka harus menerima takdir itu. Roseane, tunangannya, bahkan mengetahui hubungan diam-diam antar Felix dengan Karina. Terkadang Felix bertanya-tanya, apa yang Rose rasakan. Tapi sepertinya wanita itu tidak peduli karena dia tidak pernah mengeluh bahkan sepertinya tidak peduli. Mungkin karena dia tahu bahwa Felix sudah bersama Karina bahkan sebelum dirinya masuk ke dalam kehidupan pria itu.
“Semoga pertemuanmu berjalan dengan lancar,” bisiknya pelan saat menarik Karina kembali ke pelukannya, memberikan kecupan ringan pada puncak kepala wanita itu.
Karina membiarkan dirinya menyandarkan kepalanya di dada Felix, tersenyum manis sambil menarik napasnya pelan, menghirup aroma parfum yang begitu menenangkan dari tubuh Felix. Beberapa detik berlalu hingga Karina menarik dirinya dari pelukan Felix.
Tepat ketika jam di dinding berdentang pelan menunjukkan pukul 11 siang, Karina menyadari bahwa ia harus pergi sekarang jika ingin tiba di pertemuan tepat lima belas menit sebelum kliennya datang. Baru saja ia ingin meraih ponsel yang ada di dalam tas tangannya, pintu yang berada tepat di sebelah kamar terbuka.
Karina mendengar suara obrolan sebelum ia melihat dua sosok keluar dari balik pintu tersebut, saling merangkul satu sama lain. Bukannya Karina belum terbiasa dengan pemandangan yang ada di hadapannnya saat ini, tetapi dirinya tetap saja meringis setiap kali melihat kemesraan dua orang tersebut. Benar-benar pasangan yang menjengkelkan.
Suara Kate bergema di lorong kosong dan diiringi oleh tawa Steve. "Apakah semua CEO di dunia ini bersikap sama seperti kamu dan Karina. Padahal tidak ada salahnya untuk datang terlambat ke pertemuan sesekali."
Kate terus mengoceh, tangannya melingkari lengan Steve saat mereka berjalan menyusuri koridor, menuju tempat di mana Karina berdiri bersama Felix. Tatapan Steve beralih dan bertemu dengan mata Karina, dan Karina hanya melempar senyum tipis. Tidak ada yang belum pernah dilihatnya pada titik ini, tapi ia tahu Steve masih merasa malu setiap kali mereka melihat dirinya yang sedang bermesraan dengan Kate.
"Kate, terlambat sedikit saja dan aku akan pergi tanpa dia. Aku serius." Karina berkata sambil tersenyum tipis. Kate mendengus pelan, kemudian menyandarkan kepalanya pada bahu Steve. Karina menggeleng pelan, dan keempatnya pun berjalan beriringan menuju tangga yang berada di ujung koridor.
Karina melirik ke arah Steve. Pria yang merupakan suaminya itu kini sedang melingkarkan tangannya pada pinggang wanita lain. Begitu juga dengan dirinya yang membiarkan pria lain yang bukan suaminya merangkul bahunya dengan mesra. Karina sangat sadar bahwa situasi ini sungguh tidak bermoral.
Mereka sedang berada di rumah pribadi Felix saat ini. Selama enam bulan terakhir, mereka sering bertemu di sini dan diam-diam menghabiskan waktu dengan pasangan asli masing-masing. Semua pelayan dan penjaga hanya tahu bahwa keempatnya menghabiskan waktu bersama di ruang kerja Felix sebagai teman baik.
Tepat saat mencapai tangga dan akan turun menuju ruang tamu, Kate melepaskan lengan Steve.
“Felix!” seru Kate, seolah-olah ia baru menyadari bahwa Felix ada di sana. Karina melakukan hal yang sama, meninggalkan sisi Felix dan berjalan mendekati Steve.
Kate yang kini berdiri di samping Felix melingkarkan lengannya di bahu pria tersebut. Posisinya terlihat aneh karena Felix jelas jauh lebih tinggi darinya.
"Aww, Kate. Hentikan." Ujar Felix, sambil memutar bola matanya. Karina memperhatikan interaksi itu sambil tersenyum geli. Felix adalah orang dengan kepribadian yang cukup tertutup, dan ia bisa melihat bahwa Kate mulai bisa menarik perhatian Felix dengan usahanya yang konsisten dalam mengajak pria itu mengobrol. Menurut Karina ini adalah sesuatu yang sangat menyenangkan untuk dilihat.
“Jangan bilang kamu melepas cincin pernikahan kita?” Sebuah suara bergema dari sebelahnya, dan Karina menoleh ke arah Steve yang menatap tangan kirinya dengan tajam.
Karina hanya mencibir, merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaan itu sebelum ia menarik tangan kirinya keluar dari saku blazer, menunjukkan cincin itu dengan jelas tepat di depan wajah Steve.
Steve sedikit memundurkan kepalanya sambil merapatkan bibirnya.
“Aku mungkin ceroboh, tapi aku bukan istri yang pelupa.” Ujar Karina sambil menatap Steve sinis.
“Ya, ya,” jawab Steve sambil terkekeh pelan, matanya mendelik mendengar ucapan Karina. "Betapa beruntungnya aku memiliki istri yang tidak pelupa sepertimu."
Karina hanya medengus pelan mendengar ucapan Steve. Ia kemudian mengulurkan tangan dan mengaitkannya pada lengan Steve. Setelah berada di formasi yang benar, keempatnya kini berjalan menuruni tangga, dengan Steve dan Karina yang saling bergandengan, dan Kate yang kini terlihat mengobrol dengan Felix berjalan di belakang mereka.
Felix dan Kate memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengobrol di ruang tamu, tentu saja dengan Felix yang lebih banyak mendengarkan sementara Kate yang lebih banyak berbicara. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada keduanya, Steve dan Karina berjalan keluar dari rumah.
Keduanya masuk ke kursi belakang limusin yang sudah terbuka. Begitu mobil mulai bergerak meninggalkan kediaman itu, Karina menatap keluar jendela sambil memikirkan bagaimana kehidupannya berubah dalam beberapa bulan terakhir.
Tanpa disangka-sangka, ternyata semua ini berjalan lebih menyenangkan daripada yang Karina bayangkan. Pertama-tama, mereka bisa keluar dari rumah orang tua dan melakukan apa pun yang mereka inginkan di rumah mereka sendiri.
Dan itu berarti mereka bisa mengundang pasangan masing-masing kapan saja sesuai keinginan mereka. Walaupun kadang itu terasa tidak cukup, tapi keempatnya cukup senang dengan keadaan ini.
Jadwal Kate adalah yang paling padat dari mereka semua, karena dia adalah seorang artis papan atas dengan jutaan mata yang mengikuti setiap gerak-geriknya. Namun, seseorang dapat melakukan apa saja demi cinta, bukan? Seperti Kate yang tidak pernah gagal mengunjungi Steve setidaknya seminggu sekali diantara jadwalnya yang sangat padat.
Dan karina tidak akan mengeluh soal itu. Sangat sedikit hal buruk yang bisa ia katakan tentang Kate. Ia mungkin lebih menyukai wanita itu daripada sang kekasih, sangat ironis mengingat Steve adalah orang yang berdiri di altar bersamanya. Jika Kate adalah seorang pria dan ia bisa memilih di antara mereka berdua, sungguh, Steve sama sekali tidak akan punya kesempatan.
Karina suka ketika Kate ada di sekitarnya, karena pertama, wanita itu sangat menyenangkan. Dia tahu persis apa yang harus dikatakan dan bagaimana bersikap agar seseorang menyukainya. Mungkin itu efek sebagai figur publik yang sangat disukai semua orang. Jika dia bisa membuat Felix menoleransi kehadirannya, Kate mungkin bisa melakukan apa saja.
Dan kedua, Steve menjadi orang yang sangat berbeda saat Kate ada di dekatnya. Yang berarti tidak ada wajah dingin dan ekspesi datar seperti biasanya, diganti dengan Steve yang selalu tersenyum.
Semua rencananya ini benar-benar berjalan dengan sangat baik, dan Karina cukup terkejut. Bahkan ketika ia bertemu dengan Chloe beberapa hari lalu untuk menceritakan kesehariannya, sahabatnya itu dengan gembira setuju dan mengatakan, "Aku tahu kamu orang yang sangat cerdas dalam menyusun rencana, tetapi sejujurnya aku sempat ragu tentang yang satu ini. Aku pikir mungkin ini saatnya dimana kamu akhirnya menyusun sebuh rencana yang gagal. Aku senang sekali melihat bahwa aku terbukti salah," ujar Chloe penuh semangat sambil menyeruput secangkir cokelat panasnya. Karina merasa senang sekaligus tersinggung mendengar ucapannya.
Namun, hal paling mengejutkan yang ia dapati sejauh ini berkaitan dengan pria yang duduk di sebelahnya, sedang menatap ponselnya dengan serius, mungkin mengirim pesan kepada Kate atau melihat detail terakhir dari berkas yang dikirim sekretarisnya untuk pertemuan hari ini.
Steve ternyata tidak seburuk yang ia kira. Karina masih ingat betapa kaget dirinya ketika menyadari bahwa pria ini tidak sesombong yang ia kira. Sikap Steve setelah mereka tinggal bersama ternyata cukup baik, dan Karina hanya bisa berharap dia akan tetap seperti itu.
Selama bisnis yang kini mereka kelola bersama terus berkembang dan Felix masih bisa datang kepadanya kapan pun ia membutuhkan, Karina dengan senang hati menoleransi apa pun tentang semua ini.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah restoran mewah, dan Steve mengulurkan tangannya melewati Karina untuk membuka pintu sebelum Karina sempat melakukannya. "Tidak ada lagi ucapan-ucapan sayang di depan klien kali ini. Kemarin kamu sudah cukup membuatku malu."
Karina tertawa pelan mendengar ucapan Steve dan segera keluar dari mobil. Ia menatap Steve yang sedang berjalan memutari mobil ke arahnya. "Benarkah begitu, Sayang? Sejauh yang kuingat, kamu tampak sangat menikmatinya."
Steve menatap Karina dengan pandangan malas, menyodorkan lengannya agar Karina bisa menautkan tangannya disana. Mereka sudah terbiasa setelah melakukan ini berkali-kali.
Setelah itu, tanpa mengatakan apa-apa, keduanya berjalan menyusuri karpet merah menuju bagian depan Michellin Star. "Siapa yang memilih restoran ini? Aku lebih suka Cheateau Marmont." Komentar Karina pelan, yang hanya ditanggapi Steve dengan senyum tipis.
"Jika pertemuan ini berjalan dengan baik, bisakah kamu menjadi orang yang hadir di pertemuan selanjutnya?" Ujar Karina pelan setelah mengangguk kecil kepada seorang pelayan yang sedang bertugas. Steve melakukan hal yang sama kepada pelayan di sebelah kanan mereka, menanggapi ucapan Karina sambil mendengus pelan. "Kenapa? Apakah karena kamu tidak bisa berbahasa Prancis lebih baik daripada aku? Apakah aku perlu menyewa guru privat untukmu?"
“Mengapa kamu malah meremehkanku? Klien dari Prancis selalu lebih menyukaiku daripada kamu. Mereka selalu memuji pengucapanku.” Balas Karina. Mereka terus berjalan mengikuti seorang manajer yang mengarahkan keduanya ke ruang VIP.
“Ngomong-ngomong, steak di sini cukup enak. Aku tidak peduli tentang menjaga sopan santun dan makan dengan anggun. Aku akan fokus makan dengan lahap dan tidak banyak bicara.”
Terlihat jelas bagi Steve bahwa Karina tidak peduli jika pertemuan ini akan sukses atau tidak, Karina lebih peduli tentang rasa makanan di restoran ini. Tiba-tiba, Steve teringat sosok dan reputasi Karina yang ia dengar sebelum wanita ini menikah dengannya. Apa yang terjadi pada wakil direktur Vineyard Valor yang terkenal tegas, keras, dan sangat rajin serta pekerja keras?
Steve selalu merasa lucu mengingat bagaimana Karina selalu terlihat penuh wibawa saat berada di kantor dan langsung berubah menjadi wanita yang suka bermalas-malasan, suka mengeluh dan mengoceh tentang hal-hal tidak penting ketika berada di rumah. Apakah ini efek yang ditimbulkan setelah menikah? Membuat orang berubah dan kehilangan kewarasan? Karena Karina terlihat seperti itu di mata Steve.
Steve dan Karina sudah duduk di kursih mereka di dalam ruang VIP, dan Karina masih terus berbicara tentang rasa steak di restoran ini. Ocehan wanita ini cukup menghibur bagi Steve
"Lagipula, kamu tidak pernah makan dengan anggun." Ujar Steve sambil meraih segelas air yang ada di hadapannya. Dan ia mendapatkan lemparan satu buah anggur di wajahnya sebagai balasan.
Steve tertawa lepas. Sementara Karina hanya bisa menatap kesal pada suaminya itu.
•
•
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!