Ketika mengenalmu dulu, dunia terasa gelap karena hilangnya sang mentari. Karena titik cahayanya kalah dengan aura tajam dalam dirimu.
Dunia yang kejam, seakan semakin kejam. Terasa tidak adil karena merenggut kebahagian ku. Mata dan hati ku membenci sikap dingin mu.
Hingga pada akhirnya engkau datang dengan sikap yang persis seperti dulu. Cahaya kecil itu membuat ku takut, lebih takut jika keberadaan nya memang untuk membuat aku bergelut didalamnya.
Tapi sedinginnya kamu, kamu masih tetap suami ku. Laki-laki yang harus ku hormati, setelah almarhum Abi ku. Meski aku harus sering kali terluka karena sikap mu.
Sikap mu yang terlewat batas, sikap mu yang masih saja bermain dengan masa lalu mu.
Bertahan dengan kenangan yang sebenarnya tidak harus terjadi lagi, karena posisinya kini sudahlah berubah. Kamu sudah memiliki ku, istri mu. Meski kita menikah tanpa cinta, tetap saja aku berusah menjadi istri Sholehah. Dan aku ingin juga kamu berhenti dengan sikap itu, dan mencoba membuka hati mu untuk ku. Sebelum sabar yang ku tahan ini benar-benar habis.
Jangan salahkan aku jika nanti aku pergi begitu saja, dan tidak peduli lagi pada mu. Karena sabarnya aku ada batasnya.
_Alina Yasvia_
.....
"Bagaimana, Akmal?"
Suara yang parau itu milik Abi ku, seorang lelaki kuat dalam hidup ku dan umi.
Abi ku sudah tua kini dan keadaannya juga sudah tidak sesehat dulu lagi, contoh hari ini, Abi tengah memperjuangkan hidupnya melawan sakit jantung yang sudah 2 tahun ini menyerang tubuhnya.
Hati ku sakit ketika melihat Abi seperti itu. Ingin sekali aku menggantikan posisi Abi, tapi aku tidak bisa apapa. Hanya lewat doa saja aku bisa membantunya yang tak lain meminta kesembuhan abi.
"Maaf, Abi. Tapi saya tidak bisa."
Aku terus menunduk seakan tidak berani melihat orang yang baru saja menolak perjodohan dengan ku.
Laki-laki bernama Akmal Farriz serta akrab di panggil Akmal ini adalah teman Alina saat di SMA. Dan kini mereka bertemu kembali karena perihal perjodohan yang Abi Alina lakukan dengan almarhum ayahnya Akmal sendiri.
"Sudahlah bi, Abi tidak usah membahas masalah perjodohan ini dulu. Abi harus fokus dengan perawatan abi, ini demi kebaikan Abi"
Laki-laki yang berhadapan dengan Alina seketika melihat ke arahnya, alina mengabaikan tatapan tajamnya. Ia hanya terfokus pada Abi.
"Tidak bisa, nak, ini sudah menjadi perjanjian antara Abi dan Arman, ayahnya nak akmal. Abi harus menepati janji itu,"
"Abi peduli pada mu, Alina. Nak akmal ini laki-laki baik dan Abi yakin kalian cocok. Jika memang di antara kalian yang tidak menginginkan perjodohan ini, Abi mohon kalian harus bisa ikhlas. Ini mungkin suratan takdir yang Allah berikan kepada kalian lewat perjanjian Abi ini, Abi mo..."
Abi memegang dadanya, sesak. Nafasnya benar-benar sulit di atur. Aku menangis seketika,
"M-maaf Abi. Tapi Alina tidak bisa hidup dengan laki-laki yang tidak sama sekali mencintai Alina."
Abi yang sejak tadi hanya terbaring lemah di kasur meraih tangan Akmal yang duduk di sampingnya. "Abi yakin kamu bisa menjaga Alina, Abi mohon nikahilah anak Abi ini. Abi ingin melihatnya bahagia, Abi ingin menjadi wali nya, Abi ingin melihat anak Abi satu-satunya menikah dengan laki-laki pilihan Abi."
"Abi, tapi dia tidak mencintai alina. Bagaimana Alina akan bahagia dengan pilihan, Abi?"
Kini aku berada di titik tidak berdaya, karena tidak adanya pilihan kecuali menuruti keinginan Abi, menikah dengan pilihannya dan hidup karena perjodohan tanpa cinta.
"Maafi qolbu ghairullah..." Bisik hati Alina.
"Tiada di hati ku kecuali engkau Ya Allah .... Jika memang ini takdir-mu maka bantu hamba menjalaninya dengan ikhlas."
Dan dengan menyebut nama Allah, dengan keyakinan penuh atas kuasa-nya, Alina menirima takdir-nya.
Akmal Farriz, lelaki tampan pemilik netra tajam yang segera akan menjadi suaminya. Jika memang akan seperti ini, kenapa dulu saat SMA takdir tidak mempertemukan mereka dengan cinta? Takdir malah memilih Sandra sahabat alina untuk bersanding dengan Akmal. Tapi kini, takdir malah berbalik kepada Alina yang memang tidak mencintai Akmal, sebaliknya Akmal juga seperti itu.
Perlahan Alina mulai paham hal apa yang akhirnya membuat Akmal menyetujui pernikahan tersebut. Kontrak, satu hari setelah pernikahan terlaksana akmal memintanya menandatangani surat perjanjian. Sejak saat itu Alina mulia paham jika posisinya di mata laki-laki itu hanya sebatas istri yang sah dimata Abi, umi dan keluarganya. Tidak lebih. Sebab tercipta batasan antara dirinya dengan sang suami.
Mampukah Alina bertahan menghadapi sikap dingin suaminya, yang hanya menganggap istri sah dimata abi, umi dan keluarganya saja? Seberapa kuat dia bertahan?
Bersambung.....
Aku terbangun ketika jam menunjukkan pukul 2:45 dini hari, ku usap mataku lalu berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Alina menatap dirinya di cermin kamar mandi, ia tersenyum dengan bibir yang berhasil membentuk lekukan senyum itu. Manis.
Flashback on
"Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan." Suara bariton itu terdengar lantang di pendengaran ku. Seorang lelaki mengijab qobulku untuk pertama kalinya. Air mata mulai menetes kepipi ku, namun kalian salah jika menganggap ini air mata bahagia. Ini air mata kesedihan ku.
Mana ada wanita di dunia ini yang mau menikah tanpa hadirnya cinta, setiap wanita menginginkan dirinya dicintai. Namun aku?
Tangan Abi menggenggam tangan ku, "Alina, sekarang kamu sudah sah menjadi istrinya Akmal. Dan semua keperluan mu, mau itu lahir atau batin kini menjadi tanggung jawab Akmal, berbahagialah dengannya, serta berbakti kepadanya. Karena kini surga mu ada di telapak kakinya,"
Itu pesan Abi untuk terakhir kalinya pada ku.
Aku yang berdampingan dengan akmal, aku mencium tangannya dan dia mengecup dahiku.
Flashback off
"Alin, kamu di dalam?, Cepatlah keluar"
Suara itu berhasil membuyarkan lamunanku. "Astaghfirullah, iya mas bentar." Setelah nya aku keluar tapi sebelum keluar aku merapikan Khimar hitam yang sedang ku kenakan.
"Lama banget."
Ucapan singkat itu berasal dari mulut lelaki yang beberapa Minggu lalu menjabat sebagai dosen terbaik di universitas yang disanalah dia mengamalkan ilmunya. Lelaki yang membuat ku terjebak dalam kontrak konyolnya, lebih jelasnya aku terjebak dalam perjodohan Abi yang membuatku seperti bermain drama pernikahan di atas kertas.
"Kamu kalo sholat gak usah minta lebih ke Allah,"
"Maksud mas apa?"
"Iya, gak usah capek-capek minta Allah supaya aku membuka hati untuk mu."
Dor
Hatinya sakit, amat sakit rasanya bagi Alina. Sebegitu tidak sukakah dia kepadanya? Alina saja tidak mencintai nya tapi berusaha mencintai nya karena allah, apa dia tidak bisa seperti itu juga? Alina mengusap gusar dadanya, ia menghiraukan suaminya itu lalu berjalan ke tempat dimana sejadah dan mukena sudah terdapat disana.
Malam ini akan ku kesempurnakan dengan tahajjud dua rakaat dan ku tutup dengan witir tiga rakaat. Setelahnya ku ambil Al-Qur'an yang berada dimeja kecil dan membacanya.
Sambil menunggu waktu subuh masuk, ku lanjutkan dengan istighfar sebisa ku, Tasbis kecil yang kugenggam dan senantiasa ku bawa kemana-mana ini pemberian Abi, ketika aku berulang tahun yang ke 7 tahun saat itu. Kulantunkan istighfar dengan tasbis yang terus berputar, ketika adzan subuh berkumandang barulah aku beranjak untuk menunaikan sholat subuh.
.....
Alina menyingraikan gardeng kamarnya, Masyaallah, begitu indahnya langit pagi.
Alina terkagum karena penampakan indah atas kekuasaan Allah itu. Langit biru dengan suara kicauan burung kecil pagi ini.
Setelah usai menikmati keindahan langit pagi. Alina keluar kamar untuk menjalankan tugas nya sebagai istri, meski Alina tau jika suaminya tidak menerima dirinya. Entah sampai kapan dirinya akan seperti itu, menjadi istri sah tapi dengan batasan yang telah tertulis di atas kertas. Sakit.
"Mas, hari ini jadwal kamu padet gak? Aku pengen kamu anter aku ke rumah umi."
Alina menatap tidak enak pada lelaki yang tengah sibuk membenarkan dasinya. Pernikahan mereka masih berumur satu Minggu dan sejauh ini suaminya tidak pernah menggapnya sebagai istri. Bahkan dia tak pernah makan makanan yang Alina masak, jangankan untuk mencicipi melihatnya saja dia tidak pernah.
"Aku sibuk."
Jawaban singkat itu berhasil membuat goresan kecil di hati Alina.
"Tapi, mas. Aku cuma minta nganterin aja, kamu gak perlu nginep di rumah umi biar aku aja. Aku rin..."
"Jangan melewati batas, Alina! Jangan berharap lebih, atau hatimu yang akan terluka."
Sontak Alina membisu. Kenyataan itu kembali menghantam telak dada Alina. Harus bagaimana lagi ia berusaha menarik perhatian suaminya, harus dengan cara apalagi supaya suaminya menerima nya. Harus seberapa Sholehah nya dia pada suaminya? Padahal seminggu ini Alina sudah seperti wanita murahan yang bisa-bisanya dengan keras merayu suaminya. Bagaimana aku tidak seperti jalang, bukan? Seperti wanita yang haus kasih sayang. Tapi hasilnya apa? Berkali-kali penolakan yang dia terima.
"Tidak mas aku hanya..."
"Saya berangkat," potong Akmal datar, lalu mendekat. "Status kita memang suami istri. Tapi, bukan berarti kamu bisa memiliki ku. Bagi ku pernikahan ini cuma status di atas kertas. Bagiku kau hanya seorang wanita yang ku nikahi karena permintaan Abi mu, intinya kau hanya istri yang tidak sengaja tertulis dalam surat nikah. Tidak lebih, jangan lupakan batasan mu, jika tidak." Ucap Akmal dingin.
"Jika tidak, kenapa?" Alina seakan menantangnya. Dia sudah tidak peduli dengan Akmal yang menganggapnya seperti apa. Yang pasti dia ingin Akmal menganggap nya istri sah dimata agama. Bukan istri yang hanya tertulis di surat nikah!
Saat ini aku memang tidak belum menjadi mentari dalam hidup mu. Tidak akan pernah menjadi seterang bintang malam juga, tapi percayalah, aku bisa menjadi istri Sholehah yang di rindukan surganya Allah. Setelah kau menerima ku nanti, yakinlah jika hanya aku wanita yang bisa menjadi lentara dalam hidup mu. Alina mendesah berat, sesak sekali dadanya.
.....
Setelah kepergian sang suami ke kampus, Alina juga keluar rumah untuk bertemu uminya. Untuk melepas rindu, memang setelah pernikahannya Alina belum lagi berkunjung ke rumah. Rumah dimana Alina di besarkan penuh kasih sayang oleh Abi dan umi. Tapi kini Alina malah kesulitan mencari kasih sayang itu. Jarak rumah umi tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu 30menit saja untuk sampai kesana.
"Assalamu'alaikum, umi, ini Alina." Terlihat didalam sana wanita paruh baya yang tengah menjahit dengan keuletan tangannya. Itu umi,
"Waalaikumsalam, Alina." Jawaban dengan suara lembutnya, suara yang beberapa Minggu ini Alina rindukan. Karena tak kuasa dengan rasa rindu Alina memeluk erat uminya.
"Alina rindu, umi" suaranya berat. Tangisnya pun mengiringi suasana saat ini.
"Umi juga rindu sayang, ayok masuk, gak baik ngobrol di luar."
Kini Alina sudah duduk di kursi panjang.
Umi pun duduk di hadapan Alina, sambil membuat teh manis yang memang kesukaan Alina sejak kecil.
"Bagaimana keadaannya, Akmal?" Tanya umi kepada Alina. Alina hanya menjawabnya dengan anggukan.
"Oh iya, kenapa kamu kesini sendiri. Kenapa gak minta anterin Akmal aja, biar sekalian umi juga pengen ketemu dia" lanjut umi.
"Mas akmal sibuk, mi."
"Ya sudahlah, minum tehnya sayang" Alina mengambil teh itu dan langsung ia cicipi segera. Seger.
"Terimakasih, umi" umi hanya mengangguk
"Assalamu'alaikum," suara seseorang diluar rumah.
Umi beranjak dari duduknya tapi Alina menghentikan nya. "Biar Alina saja yang melihatnya," alinapun berjalan ke arah pintu utama rumahnya.
Lelaki tampan dengan baju sederhana. Itu Azka lelaki yang Alina kagumi. Entah kenapa waktu seakan berhenti detik itu juga. Suasana sangat tegang sampai akhirnya suara umi berhasil mencairkan waktu seketika berubah jadi canggung.
"Nak Azka,"
"Kok malah di biarin sih, kenapa gak disuruh masuk Alina?" Aku melirik umi tersenyum, malu. Setelahnya aku mempersilahkan Azka masuk.
Kini posisinya aku tengah berhadapan dengan Azka. Entah kenapa rasanya perasaan ku tak karuan, dan hati ini...
"Kok ngelamun, mikirin apa?" Lelaki yang mekai baju kemeja putih garis-garis dan celana jeans itu terus menarik turunkan alisnya. "Ada masalah dengan suami mu?"
Alina menarik diri dari lamunannya, "oh enggak,"
"Udah lama?"
"Baru banget kok. Oh iya, mau minum apa?" Tawar Alina. Lelaki itu bernama lengkap Azka Renra Putra, penerus yayasan Al-Furqon milik ayahnya. Lelaki ini tampan dan baik di mata Alina, ia juga sudah saling kenal sejak kecil. Usia Alina memang di bawah Azka.
"Air putih boleh," jawabnya
Alina hanya tersenyum. Melihat wajah Alina yang tersenyum manis Azka sangat terpesona. Namun dengan cepat Azka menundukkan pandangan nya, karena ia tahu jika wanita yang dulu ia cintai kini sudah dimiliki orang lain. Dan ia sadar jika cintanya dengan Alina telah kandas ketika alina menikah dengan Akmal. Tapi, jika boleh jujur sampai saat ini Azka masih mencintainya, dan berharap Alina juga masih memiliki perasaan yang sama.
"Ini minumnya," segelas air putih Alina berikan kepada Azka. Ketika menerima air itu tidak sengala Azka menyentuh tangannya,
Tangan yang amat sangat Azka ingin pakaikan cincin di jari manisnya. Belum sempat Azka menjauhkan tangannya, tatapan mereka beradu dan saling mengunci begitu dalam.
Detik itu juga seorang lelaki berjas hitam masuk. Entah kenapa waktu seakan berhenti. Muka Alina pucat, ia takut jika Sang suami salah paham padanya. Suasana sangatlah tegang namun Alina berhasil membuyarkan suanasanya, dan melepas tangan yang tadi bersentuhan dengan Azka.
"Umi," panggil lelaki itu yang kebetulan umi baru saja tiba disana.
"Nak akmal, sejak kapan disini, kok suaranya gak kedengaran sama umi." Akmal mencium tangan umi, meski lelaki itu dingin seperti es tapi ia sangat menghormati umi.
"Mungkin tadi gak kedengaran aja, mi." Jawab Akmal. "Akmal cuma mau jemput Alina." Lanjut Akmal dingin rahangnya mengeras tersirat amarah yang akan meluap. Tapi, tertahan.
"Ya sudah boleh." Jawab umi.
Tanpa banyak bicara Akmal langsung menggenggam tangan Alina. Cukup keras genggamanya, hingga membuat Alina menahan sakitnya. Desahan terdengar kentara dari raut wajah Alina. Jika seperti ini, salah paham terus akan sulit bagi Alina untuk menaklukkan suaminya.
"Umi masuk ya, masih ada piring kotor di belakang." Ucap umi. "Hati-hati ya, sayang," Alina tersenyum dan mengangguk.
"Tunggu, akmal." Azka mengejar lelaki yang terus menarik tangan Alina.
Akmal menghentikan langkahnya.
"Jangan salah paham tadi kejadian yang tidak disengaja," jelas Azka.
Akmal menghempaskan tangan Alina. "Kenapa?"
"Maksudnya?" Azka bingung.
"Kenapa anda menjelaskannya pada saya? Saya tidak peduli, terserah mau apa yang kalian lakukan. Saya memang tidak peduli dan tidak ingin tau juga, dia hanya istri tertulis saja di surat nikah. Tidak lebih!" Ucapan itu meluncur lancar dari mulut Akmal.
Azka mengepalkan kedua tangannya, ternyata keputusan nya membiarkan Alina menikah dengan lelaki itu, salah. Seharusnya dia tidak menuruti keputusan gila yang diambil saat itu, jika akhirnya akan seperti ini, lelaki ini hanya menyakiti Alina wanita yang sudah ia kenal sejak kecil sekaligus wanita yang dia cintai.
Alina yang sejak tadi berada di belakang sudah tak kuasa menahan, sakit dan perihnya hati ini. Rasa yang bergejolak dalam dadanya yang ia rasa. Namun amanah sudah terlanjur ia makan dan pantang untuk mundur, itu mustahil. Takdir yang dia pilih memang salah, karena memaksakan kehendak untuk melangkah tanpa menyerah. Dengan cepat Alina mengusap air matanya, lalu menghampiri Akmal.
"Mas, ayo pulang." Ajak Alina sembari menggandeng tangan Akmal.
Dengan cepat Akmal menepis tangan Alina. Lalu meninggalkan Alina berdiri mematung, saat hendak mengejar Akmal tangan Alina di cengkram azka hingga menghentikan langkahnya.
"Ka, please... Jangan buat aku semakin sulit. Langkah ku ini sudah sangat sulit, jadi mohon jangan lebih mempersulitnya." Alina memelas.
Mendengar permohonan pilu Alina Azka melepaskan genggaman nya. Dan entah kenapa setiap melihat Alina sedih dia merasa seperti tertusuk beribuan pedang hatinya, air mata itu harusnya tidaklah menetes.
Alina berlari ke arah Akmal, masuk kedalam mobil dan mengacuhkan tatapan tak suka dari Akmal.
Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan, hanya tepisan angin saja yang dapat Alina rasakan. Berada lama-lama di dalam mobil dengan suasana seperti itu membuat alina sesak. Entah berapa menit mereka hanya diam saja, sampai akhirnya suara pesan masuk ke ponsel Alina.
Maaf, Alina, aku tidak bermaksud membuat mu semakin sulit. Aku hanya tidak ingin kamu terus tersakiti karena pernikahan itu. Jika kamu sudah tidak tahan dengan suamimu, kembalilah padaku, insyaallah aku menerima mu karena Allah.
Tidak tahu sebab yang pasti, tiba-tiba Akmal menjinak rem mendadak, menghentikan mobilnya ke pinggir jalan, saking kagetnya Alina hampir saja menjatuhkan ponselnya.
"Mas! Kenapa?"
"Jika kamu ingin berpisah dengan saya, maka mintalah baik-baik! Dengan senang hati saya akan menceraikan mu, tapi saat ini saya belum menceraikan mu, jadi kamu harus tau batasana sebagai istri!" Ucapan Akmal begitu menegaskan.
Alina kaget, begitu bencinya Akmal pada dirinya. Sampai sebesar itukah?
"Astaghfirullah, mas sadar tidak? Hanya karena ketidak sengajaan itu mas hampir mengeluarkan kata-kata yang sangat Allah benci. Aku akan tetap bertahan mas, aku tidak akan menyerah dan aku akan menjalankan amanah Abi!"
.....
Thanks u all udah mampir ke cerita ini🙏🏻
Jangan lupa lovenya, komentarnya juga ya😊 see you part berikutnya 👌
Seminggu sudah berlalu semenjak kejadian salah paham yang terjadi di rumah umi, panasnya itu masih ada. Rasa benci semakin membara, subur terpupuk oleh rasa sakit yang seakan merejam hati. Perjuangan Alina belum berhenti sampai di situ saja, ia masih saja bertahan dengan sikap Akmal yang setiap harinya membuat Alina menangis. Tapi, Alina sabar, ia terus berusaha membuat Akmal mencintai nya. Setiap hari, setiap saat, tidak peduli rasa sakit itu seberapa besar. Tidak peduli dengan hinaan yang ia dapat secara bertubi-tubi, satu hal yang pasti! Perempuan ini memilih bertahan.
"Mas, hari ini aku minta izin untuk mengikuti reuni bersama teman SMA, ku." Ucap Alina tanpa menghentikan kegiatannya membuat sarapan.
"Terserah,"
"Terimakasih, mas. Tapi, mas aku pengen kamu juga ikut bersama ku."
"Aku sibuk! Kamu pergi saja sendiri." Kata yang keluar jadi mulut Akmal begitu dingin.
"Tapi, mas."
"Berhentilah, memaksa Alina!" Seru Akmal sedikit membentak.
Alina mengalah, dia mencoba acuh pada sikap Akmal yang terus saja berteriak dan membentaknya sesuka hati.
"Mas, aku tidak memaksa. Aku hanya meminta kamu menemani ku saja, kamu sendirikan yang meminta ku untuk bersikap baik di hadapan orang? Itukan keinginan kamu, apa aku harus tunjukkan saja kalo sebenarnya mas tertekan dengan pernikahan ini." Alina sedikit membenarkan perihal pernikahan mereka, membuat sang suami terdiam. Kenyataannya ikatan mereka dimata Akmal hanya sekedar perjanjian.
Detik berikutnya Akmal angkat bicara, "Perjanjian itu hanya di buat untuk keluarga saja, untuk orang lain, tidak! Jangan sampai ada yang mengetahui pernikahan kita." Ucapnya tetap fokus pada layar TV di depannya. Mengacuhkan Alina yang tengah sibuk membuat sarapan.
"Kenapa, kamu malu mengakui aku sebagai istri mu, mas? Ya sudah kalo gitu, biar aku saja yang pergi. Kamu tidak perlu khawatir, aku jamin teman-teman ku tidak akan tau tentang pernikahan ini." Alina bergegas dengan membuat sarapannya. Baru tiga langkah Alina berjalan, ucapan Akmal menghentikan Alina.
"Aku akan mengantar mu"
"Tidak usah, mas," jawab Alina singkat lalu berjalan ke arah kamar. Ketika Akmal berada di ruang tv, beberapa kali ia mencuri pandang pada Alina. Dia sadar gadis itu cantik, dan juga sangat telaten dengan tugasnya.
"Maaf, mas. Aku pamit" Alina menunggu uluran tangan Akmal tapi tangan itu tak kunjung Akmal berikan untuk Alina.
Alina pun berjalan meninggalkan suaminya. Kini Alina sudah berada di jalan raya menunggu anggutan umum, namun tak kunjung datang. Detik berikutnya terdengar klakson mobil, jendela mobil itu terbuka. Dan terlihat jelas itu akmal, Alina hanya diam mengacuhkan suaminya. Ia berpura-pura tidak melihatnya, beberapa menit mobil itu tak pergi hanya terdiam tepat di depan Alina.
Akmal angkat bicara yang posisinya di dalam mobil, "naiklah."
Alina hanya terdiam, dia sudah terlanjur kesal.
"Alina, kau mendengar aku tidak? Naik aku bilang!" Alina melihat ke arah Akmal. Akmal sudah mulai geram karena di acuhkan sang istri.
"Baiklah." Alina mengalah lagi. Ia pun naik kedalam mobil. Di perjalanan tidak ada pembicaraan. Menit berikutnya suara telpon terdengar dari ponsel akmal. Alina masih acuh tidak peduli, ia hanya mengarah ke luar jalanan.
Ponsel milik Akmal terus saja berbunyi namun tak kunjung Akmal angkat pula.
"Kenapa gak di angkat, mas?"
Akmal melihat ke arah Alina, lalu melihat ke arah ponsel setelah nya. "Tidak penting juga,"
Alina hanya mengangguk lalu fokus kembali pada jalanan. Sampai sudah di sebuah kafe yang cukup luas, mobil yang Alina tumpangi berhenti. Alina keluar dari mobil, hari ini Alina memakai gamis warna biru muda dengan Khimar yang senada.
"Makasih mas." Ucap alina, lalu mencium punggung tangan sang suami. Baru saja Alina akan berjalan, suara Akmal menghentikan nya.
"Aku tunggu disini, sampai acara kamu selesai."
Apa? Hati Alina tiba-tiba tak karuan, senang rasanya suaminya seperti itu. Meski tidak ikut bersamanya ke dalam sana setidaknya tetap saja di temani. Alina tersenyum lalu berjalan masuk ke kafe.
Disana sudah berkumpul semua orang, teman-teman Alina saat SMA. Alina duduk dekat tempat memesan makanan, di temani dengan dua teman dekatnya. Annisa dan wita.
"Lin, kok masih sendiri?" Tanya wita.
Alina ingin sekali memberi tahu jika ia sudah menikah, dan memiliki suami yang tampan. Tapi, ia tahan. Alina tidak ingin membuat masalahnya semakin berat.
"Mungkin Allah masih menahan laki-laki yang akan menjadi imam ku." Jawaban Alina, sangatlah menyakiti hati nya sendiri. Alina memang tidak menginginkan perjodohan ini, tapi demi Allah sang dzat yang membolak-balikkan hati. Ia menerima takdir-nya, dan ia berusaha akan mencintai suaminya karena Allah. Meski hasilnya nihil.
"Bener, Lin, oh iya aku mau nanti pas acara lamaran ku kalian datang ya." Seru Annisa.
Alina tersenyum, "Alhamdulillah nis, akhirnya kamu bertemu seseorang yang berniat baik untuk menjadikan mu, bidadari. Insyaallah aku datang," jawab Alina sembari memegang tangan Annisa.
Wahai suamiku, imam ku. Semoga Allah segera membukakan hati mu untuk ku. Gumam Alina dalam hati. Sambil melihat ke arah mobil yang terparkir didepan kafe.
"Assalamu'alaikum," suara itu..
Suara yang sangat Alina kenal, itu Azka lelaki yang dulu pernah menjadi pengisi hatinya. Laki-laki yang selalu mengajarkan sulitnya menjalani kehidupan. Lelaki yang sangat Alina ingin menjadi imamnya.
Azka menghampiri Alina tidak lupa dengan senyuman manisnya, "assalamualaikum, Alina. Apa kabar?"
"Waalaikumsalam, Alhamdulillah aku sehat." Jawaban Alina dengan suara lembutnya.
"Kok yang di tanya cuma Alina, padahal disini ada kita-kita loh." Ujar wita, diikuti dengan kekehan Annisa.
"Assalamu'alaikum ukhti, gimana kabarnya?" Ucapan Azka malah membuat Alina terkekeh karena menurut Alina suaranya sangat menggemaskan.
"Waalaikumsalam ya akhi, Alhamdulillah ana sehat walafiat. Hehe" jawab Annisa.
Azka menggeleng melihat kelakuan temannya yang sama sekali tidak berubah.
"Ka, jangan lupa ya nanti datang kalo calon imam gue ngelamar." Ucap Annisa. "Btw kapan nih, Lo mau lamar Alina? Jangan lama-lama dibiarin dong, nanti keburu sama orang." Lanjut Annisa yang membuat Azka mengangkat sebelah alisnya.
"Maksudnya?"
"Lo udah lamakan deket sama Alina, dari pada jadi dosa, mending cepet halalin."
Deg
Alina benar-benar kaget, seperti ada Sambaran kilat yang menyengat hatinya. Alina rasa hatinya sesak, dadanya sakit. Bukan karena pembicaraan Annisa, tapi, karena perihnya kenyataan tentang dirinya. Ia kini memiliki suami dan statusnya juga sudah berubah, tapi kenyataan hidupnya sangatlah jauh dari kata bahagia.
Bukan ia tidak bersyukur pada takdir-nya tapi kenyataan pahitnya hidup ini begitu terasa. Apalagi saat teman-temannya asik membicarakan calon imam nya, asik membicarakan betapa bahagianya mereka, dan asik memperkenalkan calon imamnya pada teman-teman lain. Namun aku?
Hanya bisa terdiam. Sedih rasanya menjadi diri Alina yang saat ini.
3 jam berlalu acara reuni itu. Alinapun keluar dari kafe. Tidak lupa ia berpamitan pada temannya, "aku duluan ya, assalamualaikum" setelahnya Alina berjalan ke arah mobil yang terparkir tepat di bawah pohon. Alina masuk.
"Mas." Ujar Alina pelan.
Tanpa menjawab Akmal langsung menyalakan mobilnya, dan melaju cepat.
Mas bisa saat ini mengacuhkan aku, tapi aku yakin suatu saat mas sendiri yang akan merasa rindu dengan suara ku. Batin Alina.
"Seneng ya, bisa kumpul bareng temen?" Tanya Akmal.
"Alhamdulillah, Allah masih memberi aku rasa bahagia. Apalagi kamu udah mau nganterin aku, mas" Jawaban Alina berhasil membuat hati Akmal tersentuh. Ia tersenyum kecil tapi Alina tidak melihatnya.
"Aku hanya kasian pada mu, jangan berharap lebih." Ujar Akmal dingin. Tapi Alina masih bisa tersenyum menghadapi sang suami yang masih dingin sikapnya.
Tanpa sebab rasanya waktu tiba-tiba berhenti. Kedua mata hamba Allah itu bertemu pada satu titik. Namun Akmal buru-buru mengalihkan pandangan pada jalan lagi, Alina masih pada posisinya. Alina tak mengalihkan tatapannya. Entah kenapa memandang sang suami begitu meneduhkan hatinya, jika saja suaminya ini begitu mencintainya ingin sekali ia menyentuh wajah tampanya. Itu mustahil.
Akmal mulai merasa risih dengan tatapan Alina itu. "Jangan melihat ku seperti itu? Jika sampai kamu jatuh cinta, aku tidak akan bertanggung jawab." Akmal berucap tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan yang lumayan cukup ramai.
"Alin gak butuh mas bertanggung jawab. Karena yang Alina tahu, tidak salah jika seorang istri jatuh cinta pada suaminya. Dalam perjanjian itu juga tidak ada larangan kan untuk aku tidak jatuh cinta pada siapapun, meski itu mas sendiri." Alina membenarkan.
"Tapi saya tidak suka dan melarangnya."
"Tapi dalam agama Islam tidak melarang seorang istri mencintai suaminya. Bahkan dimata hukum juga tidak ada undang-undang nya yang menegaskan hal itu."
"Aku harap kamu sadar akan posisi mu, batasan mu juga. Dan ingat akan tujuan dari pernikahan ini." Ucapan Akmal begitu menusuk relung hati Alina. Tapi, yang Alina lakukan hanyalah tersenyum dan bersabar.
"Aku menjalankan perjodohan ini sebagai amanah dari Abi dan insyaallah itu karena Allah, aku juga yakini perjodohan ini dengan keyakinan sepenuh hati dan keimanan yang kuat, mas. Walaupun ada perjanjian yang kamu buat untuk ku." Alina terdiam sejenak. "Jodoh, rezeki, dan maut hanya Allah yang menentukan. Kita sebagai umatnya hanya bisa berencana selepasnya Allah yang menentukan. Meski kita berstatus suami istri, bukan berarti kita berjodoh. Ya, meski ikatan ini lewat perjodohan yang tidak didasari cinta, tapi aku yakin inilah yang Allah inginkan untuk kita." Gadis itu melanjutkan ucapanya. Perihal kontrak itu memang benar, meski sampai saat ini Alina sudah tidak melihat lagi kertas putih bermaterai itu.
.....
Gimana untuk cerita bagian ini? aku harap kalian tetap stay dan suka.😊 Kalo ada typo mohon koreksi ya.
Jangan lupa vote, komen dan share ke teman-temannya 👌
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!