NovelToon NovelToon

Perjodohan Masa SMA

Bab 1 Bukan Sinetron Zaman Dulu

Motor sport berwarna hitam mengkilat itu perlahan memasuki halaman rumah mewah bergaya Eropa bertingkat dua itu. Rumah megah yang berdiri kokoh dengan pilar-pilar tinggi dan jendela besar berbingkai putih, seakan menjadi simbol status sosial keluarga yang tinggal di dalamnya.

Sang pengendara, berpakaian serba hitam lengkap dengan jaket kulit dan sepatu boot tinggi, menurunkan kecepatan sebelum akhirnya mematikan mesin motornya. Helm full face yang menutupi wajahnya membuat sosok itu terlihat semakin misterius. Ia berhenti tepat di depan pintu masuk utama, lalu dengan gerakan santai namun percaya diri, tangannya mengangkat helm pelan-pelan.

Wajah tampan dengan rahang tegas itu pun terlihat jelas. Rambutnya yang berwarna abu keperakan asil campuran grey highlight disisir rapi ke belakang, memberi kesan dewasa dan cool. Ia bersiul pelan, menuruni motornya sambil memainkan kunci motor yang diputar-putar di jarinya. Langkahnya santai, penuh gaya. Seolah malam itu miliknya dan dunia hanya latar panggung semata.

Ceklek

Pintu rumah terbuka.

“Bagus baru pulang? Jam berapa ini?” suara wanita terdengar menyambut. Nada suaranya datar, tapi ketus. Tidak bisa menyembunyikan kekesalannya lagi.

Sosok wanita paruh baya dengan penampilan elegan itu berdiri di ambang pintu. Rambutnya tersanggul sangat rapi, wajahnya menatap tajam penuh kekecewaan. Ia adalah Manda Reynard, istri dari Raditya Reynard, sekaligus ibu dari Elvario Kael Reynard.

El hanya melirik sekilas ke arah ibunya dan menghela napas panjang.

“Cuma keliling sebentar cari udara segar, Ma. Anak muda biasa lah, gak ngapa-ngapain juga,” sahutnya dengan nada malas, tanpa niat membela diri. Ia melangkah menuju tangga hendak ke kamarnya, wajahnya sudah menunjukkan kelelahan.

Namun, langkahnya terhenti ketika suara ibunya kembali terdengar, kali ini lebih serius.

“Eh, eh mau ke mana kamu? Sini duduk dulu, Mama mau ngomong sesuatu sama kamu.”

El mengernyit. Dahinya berkerut, bibirnya mengerucut tidak suka. Wajahnya jelas-jelas menunjukkan bahwa ia lebih memilih tidur dari pada mendengar ceramah dari mamanya yang dalam catatannya sudah diberikan hampir setiap malam.

“Besok aja Ma. El udah ngantuk banget nih, mata udah gak kuat,” ujarnya sambil menunjuk matanya yang memang terlihat lelah.

“Sekarang El! Mama gak mau tau ya,” Manda bersikeras sambil menepuk-nepuk sofa di sebelahnya. Nada suaranya tajam, tak bisa ditawar.

Dengan desahan panjang yang dramatis, El menyerah. Langkahnya pelan dan malas saat ia kembali ke ruang tamu dan duduk di samping mamanya. Ia bahkan membanting diri ke sofa seakan ingin menunjukkan betapa enggannya dia ada di situ.

“Apaan sih, sepenting apa sih ini Ma, sampai El mau tidur aja gak boleh? Seriusan deh,” keluhnya sambil melipat tangan di dada.

Manda hanya tersenyum tipis. Ada ketenangan yang mencurigakan di wajahnya. “Soal yang Mama bilang kemarin itu. Kamu udah siap kan?”

El mengangkat satu alis, matanya menyipit bingung. “Yang mana sih Ma? Siap apa lagi Ma? Kayaknya banyak banget ya hal yang El harus siapin tiba-tiba.”

Manda menatap putranya lekat-lekat. “Ya itu, soal rencana pertunanganmu dengan anaknya teman Mama. Gimana? Mau kan?”

Raut wajah El seketika berubah drastis. Mata yang tadi lelah sekarang membelalak, mulutnya ternganga sebentar sebelum akhirnya bersuara.

“Ck ya jelas gak mau lah, Ma! Pake nanya segala lagi!” suaranya naik setingkat, tangannya bergerak-gerak ekspresif menunjukkan rasa tidak terima.

Senyum di wajah Manda langsung hilang. “Mama gak mau dengar penolakan El. Ini sudah final ya. Besok malam kamu harus tunangan. Titik. Gak pake koma!”

El melotot, kaget bukan main. “Serius ini Ma? Yang bener aja deh! El bahkan gak pernah setuju dari awal loh! Kok bisa-bisanya malah langsung ngomong tunangan segala?!”

“Ini udah keputusan keluarga El, kamu gak bisa nolak!” Manda bersikeras, kini nadanya mulai meninggi.

“Dan El juga punya keputusan sendiri, Ma! Masa anak SMA disuruh tunangan sih? Yang bener aja Ma!” sergahnya, kali ini sambil berdiri. Tubuhnya tegak dan wajahnya penuh penolakan.

Manda ikut berdiri, tidak mau kalah. “Tunangan itu belum nikah, El! Kalian masih bisa sekolah, kuliah, semua masih bisa dijalanin bersama! Ini hanya bentuk ikatan awal saja.”

El geleng-geleng kepala, ekspresi wajahnya campur aduk antara bingung dan kesal. “El gak kenal sama dia, Ma. Dan El udah punya pacar juga!”

Manda mendengus pelan, lalu mencibir. “Pacar yang mana maksudmu? Yang gak pernah peduli waktu kamu masuk rumah sakit itu ya? Yang diam aja waktu kamu nyaris mati karena kebut-kebutan itu? Itu yang dinamakan pacar? Jangan dibutakan sama cinta yang gak jelas, kamu El.”

“El bukan anak kecil lagi, Ma! Kenapa sih semua harus ikut campur urusan pribadi El?!”

“Karena kami orang tuamu! Yang tau mana yang terbaik buat kamu, El!” tegas Manda dengan nada suara yang semakin tinggi.

Tiba-tiba suara berat terdengar dari arah tangga. “Apa ini ribut-ribut malam-malam begini?”

Raditya, sang ayah, muncul di tengah tangga dengan piyama berwarna navy. Tatapannya tajam, wajahnya tegas seperti biasa.

Manda langsung menyambut. “Tanya anak Papa tuh! Lupa mungkin kalau masih punya orang tua!”

“Papa, tolong deh. Ini masalah serius Pa. Masa El disuruh tunangan segala sih?” El mencoba menenangkan diri tapi nada suaranya tetap tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.

Raditya seperti yang akrab dipanggil di dunia bisnis menatap anaknya serius. “Elvario,” ujarnya dengan nada pelan tapi mengandung tekanan. “Ini keputusan yang sudah dibuat sejak lama, bahkan sebelum kamu lahir. Kalau kamu gak setuju, maka satu-satunya pilihan adalah keluar dari keluarga ini.”

Mata El membelalak. Nafasnya terengah sesaat, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Apa?! Papa bercanda kan?!” Ia berteriak setengah frustasi.

Manda menambahkan dengan nada ketus, “Tuh dengerin El! Emang susah banget sih anak satu ini dibilangin. Rasanya pengen Mama kembalikan lagi ke perut deh!”

El langsung menatap ibunya dengan ekspresi tidak percaya. “Mama pikir El makanan bisa dimasukin lagi apa?! Gak lucu loh Ma!”

“Ya udah nurut dong! Sekali aja nurut sama orang tua gitu!” bentak Manda dengan suara meninggi.

El mendengus keras, lalu membalikkan badan. “Terserah! Mau kalian apain juga, El capek. Mau tidur aja!”

Langkah-langkahnya di tangga terdengar berat dan menghentak. Bibirnya masih menggumam pelan, penuh kekesalan.

“Gila banget ini bukan sinetron zaman dulu kali. Masih ada aja yang percaya sama perjodohan gitu. Pikir gue gak laku apa?! Ini abad berapa sih”

Dengan emosi yang masih membuncah, El masuk ke kamarnya dan membanting pintu.

BRAK!

Kamar itu gelap, hanya diterangi lampu kecil di sudut ruangan. El menjatuhkan diri ke kasurnya dengan posisi tengkurap, lalu mengerang frustasi ke bantal.

Dari bawah masih terdengar suara Manda yang bersungut-sungut, mengomel sendirian. Raditya pun tampak tidak ingin menambah panjang debat malam itu dan hanya masuk ke ruang kerjanya.

Sementara El, di dalam kamar, masih bergumul dengan pikirannya yang kacau. Antara marah, bingung, dan kecewa.

“Beneran deh, keluarga ini kayak agen drama,” gumamnya. “Besok-besok jangan-jangan ada adegan amnesia sama kecelakaan mobil segala lagi.”

Bab 2 Nikah?

“El! Sudah siap belum sih? Dari tadi Mama nungguin loh!” seru Manda sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar putranya yang masih tertutup rapat. Nada suaranya terdengar cukup lantang, khas ibu-ibu yang sudah tak sabar karena jam sudah hampir menunjukkan pukul lima sore.

Ceklek

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka pelan, memperlihatkan sosok Elvario Kael Reynard yang kini tampil berbeda dari biasanya. Tak seperti gaya santai dan cueknya sehari-hari, kali ini El tampil benar-benar rapi. Celana panjang hitam slim fit membalut kakinya dengan pas, kemeja putih bersih yang tertata rapi diselipkan ke dalam celana, serta jas hitam elegan yang membuatnya terlihat dewasa jauh dari kesan anak SMA biasa. Rambut grey-nya disisir klimis ke belakang, menyisakan beberapa helai yang jatuh alami di keningnya, menambah kesan dingin dan misterius.

“Astaga, anak Mama kenapa ganteng banget sih!” seru Manda histeris sambil memandang putranya dari ujung kepala sampai ujung kaki, matanya berbinar-binar seperti melihat idol K-pop kesayangannya. “Beneran Mas, kamu tuh kelihatan kayak cowok umur dua puluhan, bukan anak SMA! Duh, Mama jadi gak sabar lihat kamu nikah, hihi.”

Berbanding terbalik dari ekspresi antusias sang Mama, El justru flat abis. Tatapannya kosong, bibir tertutup rapat seperti disegel, dan aura malas terpancar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jelas terlihat kalau ia ingin ada di mana pun selain di situ sekarang.

Hari ini secara teknis harusnya jadi hari penting hari pertunangannya. Tapi tentu saja, tidak bagi El. Pertunangan karena perjodohan jelas berbeda maknanya. Tidak ada unsur suka sama suka. Bahkan, membayangkan dirinya bertunangan saja tidak pernah. Dan parahnya lagi, dia belum pernah sekalipun melihat wajah calon tunangannya itu!

“Udah yuk turun. Papa udah nunggu di mobil. Masa ke rumah calon istri mukanya datar gitu sih, Mas? Senyum dikit napa,” cibir Manda sambil menarik lengan anaknya ke luar kamar.

El menghela napas panjang. Berat. Seberat beban hidupnya saat ini.

Mau tak mau dia mengikuti langkah sang mama, meskipun dalam hati terus mengutuk situasi yang menurutnya tidak masuk akal ini.

“Sial banget sih hari ini. Kalau bukan karena ancaman Papa, gak bakal deh gue nurut begini.” Batinnya berteriak kesal.

Ancaman Raditya ayahnya yang bilang bakal mencoret namanya dari daftar keluarga ternyata cukup efektif. Walaupun El bukan anak manis yang selalu patuh, tapi tetap saja hatinya lembek kalau sudah menyangkut urusan air mata mamanya. Apalagi ditambah ancaman kehilangan akses ke semua fasilitas hidup mewah yang biasa ia nikmati.

“Mas senyum plis. Jangan bikin orang mikir kamu anak mafia!” ledek Manda lagi sambil mencubit pipi anaknya sedikit.

El hanya memutar bola matanya pelan.

Mobil sedan hitam mereka berhenti di depan rumah dua lantai bergaya klasik-modern. Rumah besar dengan pagar putih tinggi dan taman yang tertata indah. Rumah keluarga calon tunangan El.

Manda menggandeng lengan suaminya di satu sisi, dan menggamit lengan El di sisi lainnya. Kompak seperti keluarga harmonis idaman di iklan sirup lebaran. Mereka melangkah menuju pintu utama dengan langkah mantap.

Tok tok tok.

“Assalamualaikum!” salam Manda sambil mengetuk pintu dengan semangat.

Pintu terbuka beberapa detik kemudian. Seorang wanita paruh baya yang cantik dan elegan berdiri menyambut mereka dengan senyum hangat.

“Waalaikumsalam. Eh jeng Manda! Silakan masuk, silakan masuk,” sapa Sarena ramah, lalu memeluk sahabat lamanya itu erat-erat.

“Na! Kangen banget sumpah! Lama gak ketemu, kamu tambah awet muda aja deh!” ujar Manda girang sambil menepuk-nepuk punggung sahabatnya itu.

Sarena tertawa kecil, lalu menggeser tubuhnya memberi ruang agar mereka masuk. Begitu pandangannya jatuh pada El, ia tampak sedikit terkejut dan kagum.

“Ini El? Astaga, makin ganteng aja! Terakhir lihat masih kecil banget, sekarang udah segede ini! Udah kayak aktor drama Korea!”

El hanya tersenyum tipis dan menunduk sopan. Wajahnya tetap datar, tapi ia mencoba sopan sebisa mungkin.

“Salim dulu, Mas,” bisik Manda sambil melotot sedikit dari samping.

Dengan napas tertahan, El akhirnya mengulurkan tangan dan bersalaman dengan Sarena. Mereka lalu masuk ke ruang tamu yang sudah dipenuhi berbagai hidangan ringan, dari kue-kue kecil sampai minuman manis khas jamuan resmi keluarga.

Manda duduk di sofa bersama Radit, diikuti oleh El yang duduk setengah malas.

“Mana Alvyna? Aduh, penasaran banget pengen lihat!” ujar Manda sambil menoleh ke kanan dan kiri, seperti mencari-cari sosok gadis itu.

Sarena tersenyum simpul. “Sebentar ya aku panggil dulu. Mungkin masih siap-siap di atas. Biasalah anak gadis kalau dandan bisa kayak mau kondangan tiga hari tiga malam, haha.”

Setelah Sarena naik ke lantai atas, El akhirnya angkat suara. Wajahnya makin gak happy.

“Ma, serius gak bisa dibatalin aja? Masa iya sih aku dijodohin sama orang yang bahkan belum pernah aku lihat?” keluhnya pelan, tapi penuh tekanan.

Manda menatap putranya datar. “Liat dulu dong, jangan su’uzan! Sana tuh liat ke tangga.”

El memutar kepala mengikuti arah pandangan mamanya. Dan detik itu juga, jantungnya seperti berhenti berdetak.

Gadis itu turun pelan-pelan dari tangga, mengenakan dress navy selutut yang pas membentuk tubuh idealnya. Rambutnya di kuncir setengah ke belakang, menyisakan poni tipis yang jatuh manis. Kulit putih bersih, senyum tipis di bibir mungilnya, dan sepasang mata coklat hazel yang entah kenapa sukses bikin dada El berdebar gak karuan.

El nyaris lupa cara kedip.

“Mas, kedip!” bisik Manda sambil nyenggol lengan anaknya pelan.

El langsung berdehem, berusaha menormalkan ekspresi wajahnya yang nyaris berubah jadi patung kaget.

Sampai di depan mereka, gadis itu Alvyna mengulurkan tangan kepada Manda dan Radit dengan sopan.

“Sama Mas El juga, Sayang,” ujar Sarena yang ikut turun dari tangga.

Alvyna menoleh pelan, menatap El beberapa detik dengan pandangan tenang namun agak gugup, sebelum buru-buru memalingkan wajah.

“Alvyna,” ucapnya singkat dan cepat.

“Elvario,” balas cowok itu dengan nada sama datarnya.

“Ck, jangan songong gitu, El. Cantik loh itu!” bisik Raditya menggoda, setengah tertawa kecil.

El berdecak, pura-pura tak terpengaruh, padahal tadi nyaris mimisan mental.

Setelah semua duduk dengan rapi dan suasana agak mencair, Raditya akhirnya angkat bicara. Suaranya dalam, berwibawa, seperti hendak menyampaikan pengumuman penting di ruang sidang keluarga kerajaan.

“Elvario, Alvyna. Tujuan kami mempertemukan kalian malam ini adalah untuk menjodohkan kalian. Dan malam ini juga pertunangannya akan dilangsungkan.”

El dan Alvyna spontan menatap satu sama lain. Jelas-jelas kaget.

“Tapi bukan cuma itu,” lanjut Raditya tanpa memberi jeda. “Pernikahannya dijadwalkan satu bulan dari sekarang.”

“APA?!” suara mereka nyaris serempak. Seisi ruangan sempat hening satu detik karena volume mereka.

“Maa! Katanya cuma tunangan dulu!” protes Alvyna, menoleh pada ibunya dengan mata membulat.

“Mama bohong? Satu bulan?!” El gak kalah heboh. Ekspresi wajahnya seperti baru ditampar kenyataan pahit.

Sarena hanya tersenyum tipis sambil membelai tangan anak gadisnya. “Mama makin hari makin lemah Ra. Mungkin ini yang terbaik untuk kalian. Dari pada nunggu-nunggu dan malah makin gak jelas arahnya.”

Alvyna langsung memeluk mamanya erat, masih mencoba menenangkan diri. Sedangkan Manda hanya menatap tajam ke arah El dengan ekspresi ‘jangan macem-macem’.

“Udah, jangan banyak protes. Mama udah capek ngeliat kamu keluyuran terus tiap hari! Sekali-sekali nurut!” ujar Manda.

Raditya menimpali dengan nada final. “Keputusan ini sudah final. Gak ada tawar-menawar lagi.”

Ia menambahkan sambil menatap Alvyna lembut, “Dan Alvyna, mulai besok kamu pindah sekolah ke tempat El. Biar kalian bisa kenal lebih dekat. Bangun kebersamaan sejak sekarang.”

Alvyna dan Elvario cuma bisa saling pandang. Dalam diam, keduanya tahu mereka tidak lagi punya kuasa untuk menolak takdir ‘gila’ yang kini menggantung di kepala mereka.

Bab 3 Sama-Sama Punya Pacar

Pagi itu, suasana SMA Bintara mendadak riuh gara-gara kedatangan motor sport berwarna hitam yang dengan gagah meluncur melewati gerbang sekolah elit tersebut. Suara knalpotnya menggelegar, membuat semua kepala serempak menoleh. Para siswa yang baru berdatangan langsung saling pandang, mencoba menebak siapa pengendara misterius itu.

Tak ada yang mengira bahwa pengendara di balik helm full face itu ternyata seorang cewek. Bukan hanya helm, ia juga mengenakan jaket kulit hitam dan celana denim ketat berwarna senada, sukses menyamarkan identitasnya. Gerak-geriknya tegas, tidak seperti kebanyakan siswi baru yang biasanya malu-malu saat pertama datang ke sekolah baru.

Dialah Alvyna. Gadis cantik yang baru saja pindah ke sekolah itu karena tekanan dari sang mama. Dengan gerakan tenang dan angkuh, ia memarkir motornya di pojok parkiran. Sekali pun tak menoleh ke arah siswa-siswa lain yang mulai berbisik. Begitu melepas helmnya, rambut panjangnya terurai sempurna, berkilau terkena sinar matahari pagi. Wajahnya yang mulus dan ekspresi dinginnya memancing reaksi spontan dari para siswa laki-laki yang melihat.

"Buset! Cewek cuy!!" teriak salah satu anak kelas dua.

"Anak siapa tuh? Cantiknya gak ngotak!" ujar yang lain sambil melongo.

"Kenalan dong dek! Mau gak abang anter ke kelas?" celetuk seorang senior sok akrab.

Suasana parkiran makin panas, bukan karena matahari, tapi karena aura gadis baru yang langsung jadi pusat perhatian. Di pojok area parkir, seorang cowok berambut coklat gelap yang baru turun dari motornya hanya mengamati dalam diam.

Ya, dia adalah El. Siswa populer, pemain basket, dan punya segudang penggemar di sekolah itu. Tapi hari ini, sorot matanya berbeda. Bukannya tertarik seperti siswa lain, El justru terlihat gelisah. Karena gadis itu si gadis yang sukses membuat satu sekolah heboh adalah tunangannya. Meski ikatan itu terjadi secara mendadak dan tanpa persetujuan mereka berdua, kenyataannya semalam cincin sudah melingkar di jari masing-masing.

“Heh, calon istri gue ternyata bisa bikin satu sekolah heboh ya,” gumam El sambil menyunggingkan senyum miring, setengah geli, setengah pusing sendiri.

Di belakangnya, tiga sahabatnya Sethian, Darian, dan Arsenio ikut terbengong.

“Siapa tuh? Gila cantiknya bukan main!” seru Sethian, hampir menjatuhkan botol minumnya.

“Dari cowok jadi cewek? Gue gak nyangka! Itu sih harus banget dideketin!” Darian ikut komentar, matanya berbinar penuh niat.

“Setuju! Wajah gitu sih langka. Kalo lo lambat gue duluan deh. Demi dia gue rela putusin semua yang lain!” Arsenio menimpali dengan gaya khas buayanya, sambil menyisir rambut pakai tangan.

El hanya tersenyum penuh arti. “Belum ada yang tau tapi gue udah duluan dapat dia,” batinnya. Tapi senyuman itu cepat menghilang saat dia mengingat kenyataan yang sebenarnya.

“Ck, jangan kelewat GR El. Lo juga dijodohin karena dipaksa,” gumamnya dalam hati.

“Lo kenapa?” tanya Darian curiga melihat sikap aneh temannya.

El cepat-cepat menggeleng. “Gak. Gue cabut dulu. Mau nyari cewek gue.”

“Cewek?” Sethian mengernyitkan dahi. “Yang mana? Lyra?”

Ya, El memang punya pacar. Meski hubungan mereka penuh drama dan putus nyambung entah berapa kali, cewek bernama Lyra itu selalu balik lagi. Dan El, entah kenapa, gak pernah benar-benar menolak.

“Lah tumben, biasanya ceweknya yang ngejar dia duluan,” Sethian menyipitkan mata.

“Mungkin lagi punya duit lebih,” Arsenio menimpali sambil tertawa pelan.

“Ceweknya matre banget, heran si El kok bisa betah,” Darian mencibir, suaranya cukup lantang.

“Murid baru tadi masih lebih cantik. Natural banget gak kayak Lyra yang make upnya tebal kayak tembok!” Darian melanjutkan dengan penuh semangat.

“Yup, si Lyra bakal punya saingan tuh!” Arsenio menyahut sambil menepuk bahu El.

Sementara itu, El sudah mulai melangkah mengikuti Alvyna dari belakang. Gadis itu berjalan sendirian, tanpa ekspresi, menyusuri koridor yang masih sepi karena bel belum berbunyi. Ketika Alvyna berhenti di depan ruang kelas kosong yang sudah lama tak terpakai, El melihat kesempatan.

Tanpa banyak pikir, dia langsung bergerak cepat. Dalam hitungan detik, dia sudah menutup mulut Alvyna dari belakang dan menyeretnya masuk ke ruangan berdebu itu.

“Ammph!”

Brakk!

Pintu ditutup cepat. Alvyna memberontak panik, tapi El memojokkan gadis itu ke tembok dan baru melepaskan tangannya setelah yakin tidak ada yang melihAt mereka masuk.

“Lo gila ya? Mau ngapain hah!” bentak Alvyna panik, matanya menyapu seluruh ruangan yang penuh jaring laba-laba.

El hanya tersenyum penuh percaya diri, tidak terintimidasi sama sekali. “Lo beneran pindah sekolah ke sini? Atau jangan-jangan lo emang gak bisa suka sama gue dan sengaja nurutin bokap gue biar bisa deket sama gue?”

Alvyna melotot. “Hah?! Pede banget sih lo! Gue pindah karena disuruh, bukan karena pengen ngeliat muka lo tiap hari!”

El sempat kaget. Ditolak? Dia? Cowok seganteng dirinya?

“Yakin? Gimana kalo gue bisa bikin lo jatuh cinta, hmm?”

Alvyna mendesis. “Keep dreaming, El! Gue juga punya pacar!”

El mendadak terdiam. Jantungnya berdegup tak karuan. “Lo punya pacar? Terus kenapa mau dijodohin sama gue?”

“Pertanyaan yang sama buat lo! Lo juga punya pacar kan tapi tetep aja nerima lamaran dari bokap nyokap lo!”

El mencibir, ekspresi wajahnya berubah sinis. “Gue dipaksa. Tapi harusnya lo bersyukur bisa punya tunangan sekeren gue!”

Alvyna melirik jijik. “Ck. Narsis parah ya! Lo mikir gue bangga gitu dijodohin sama cowok kayak lo? Maaf, selera gue gak serendah itu!”

El melotot. “Mata lo sehat gak sih? Cowok sekeren gue lo bilang gak ganteng?”

Alvyna menatapnya lelah. “Lah kalo menurut gue lo gak ganteng ya suka-suka gue dong! Mata-mata gue ini!”

Mereka saling tatap. Makin lama, jarak mereka makin dekat. Napas keduanya sudah saling menyentuh. El menatap Alvyna lekat-lekat hingga hanya beberapa sentimeter yang memisahkan wajah mereka. Alvyna sampai memejamkan mata.

El tersenyum geli. “Lo pikir gue mau nyium lo? Belum waktunya, Sayang. Nanti aja pas udah nikah. Biar lebih greget dan hot.”

Alvyna membuka mata cepat, wajahnya merah padam.

“GUE CINCANG LO KALO MACEM-MACEM YA!!” teriaknya meledak.

El malah tertawa dan segera kabur keluar ruangan, meninggalkan Alvyna yang berdiri mematung dengan wajah penuh emosi. Gadis itu mengepalkan tangan, giginya berbunyi karena kesal luar biasa.

"Dasar cowok sinting! Gue nyesel banget sumpah mau-mau aja nurut Mama!" gerutunya sambil mengacak-acak rambut sendiri.

Di luar, El bersiul santai. Hatinya mungkin masih kacau, tapi senyum puasnya gak bisa disembunyikan. Hari pertama sekolah ini sudah lebih dari seru dan itu semua baru permulaan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!