NovelToon NovelToon

Penjara Cinta Tuan Adrasta

PCTA 1

Dunia ini nggak pernah adil untuk orang kecil sepertiku.

Aku tahu itu sejak pertama kali kaki ini melangkah ke ruangan megah berbalut marmer dingin milik keluarga Mahendra — keluarga paling berpengaruh di negeri ini.

Mereka duduk tinggi di atas singgasana kekuasaan.

Sementara aku?

Aku cuma pecundang yang dipaksa tunduk di bawah bayang-bayang nama besar mereka.

Tanganku mengepal kuat di atas pangkuan, mencoba menahan getar tubuh yang tak kunjung bisa aku kendalikan. Suara detik jam terasa seperti dentuman palu godam di kepala. Menghitung waktu menuju eksekusi.

Lalu suara itu datang.

Dingin. Dalam. Berat.

"Rania Alesha."

Aku menegakkan kepala. Memandang pria yang kini menjadi alasanku membenci napas ini masih berhembus.

Arzandra Adrasta.

Pewaris tunggal keluarga Mahendra. Pria dengan tatapan setajam belati, setenang badai sebelum menghancurkan. Wajahnya nyaris sempurna. Andai saja... andai saja aku bertemu dengannya dalam situasi berbeda, mungkin aku juga bisa jatuh.

Sayangnya, aku bukan jatuh cinta.

Aku jatuh ke dalam perangkap neraka ciptaannya.

"Kamu tahu kenapa kamu ada di sini?" Suaranya datar. Bahkan tanpa niat basa-basi.

Aku mendongak, menahan sakit hati dan amarah yang sejak tadi berkecamuk.

"Bapakmu punya hutang. Banyak." Ia menyilangkan kaki, elegan dan kejam dalam satu waktu. "Dan aku bukan orang dermawan yang suka melunasi tanpa imbalan."

Hatiku makin tercekat.

"Aku bisa saja menyeret keluargamu ke penjara. Menghancurkan bisnismu yang kecil itu. Membuat hidupmu berakhir sebelum sempat bermimpi."

Diam.

Adrasta menyender malas, menatapku seolah aku makhluk paling rendah di hadapannya.

"Tapi aku orang yang adil, Rania."

Adil?

Kuharap telingaku salah dengar.

"Aku beri kamu pilihan."

Pilihan? Ha. Lucu sekali.

"Pilihannya cuma dua," lanjutnya santai. "Menikah denganku... atau menunggu semua yang kamu cintai hancur perlahan-lahan."

Dunia rasanya berhenti berputar.

Pernikahan?

Dengan dia?

Pria yang bahkan melihatku saja seperti sampah?

Aku tertawa miris. "Kenapa aku?"

"Karena kamu murahan. Mudah dikendalikan. Tidak punya apa-apa. Tidak punya siapa-siapa." Senyumnya terangkat sinis. "Sempurna untuk seorang istri palsu."

Dadaku serasa diremuk.

"Kenapa harus pernikahan?" Aku mencoba bertahan, walau suara mulai bergetar.

Dia mendekat.

Langkahnya berat. Mengancam. Mengiris nyali.

Lalu dia berbisik tepat di telingaku.

"Karena aku butuh sesuatu yang lebih kuat dari kontrak... aku butuh penjara. Dan pernikahan adalah penjara paling legal untuk membuatmu tetap di sisiku."

Deg.

Jantungku seolah mati sesaat.

Tangannya meraih daguku kasar, memaksa aku menatap matanya.

"Kamu pikir ini tentang cinta? Salah besar, Rania." Tatapannya tajam. "Ini tentang kekuasaan. Tentang kendali. Tentang membuatmu tunduk... sampai lupa rasanya jadi manusia bebas."

Air mataku hampir jatuh.

Tapi aku tak boleh lemah.

Aku menatap balik matanya. Liar. Marah. Tapi juga takut.

"Aku nggak akan pernah mencintaimu, Adrasta."

Dia tertawa kecil. Pelan. Sangat menyebalkan.

"Aku nggak butuh cintamu," bisiknya. "Aku cuma butuh kepatuhan mu."

Dan di detik itu...

Sepucuk kertas kontrak pernikahan dilempar ke hadapanku.

Hitam di atas putih.

Nama di atas nyawa.

Tanganku bergetar saat menyentuh pena di sampingnya.

Satu tanda tangan. Satu keputusan. Satu jalan pulang menuju neraka.

"Putuskan sekarang," katanya ringan. "Karena kalau tidak..."

Matanya melirik ke arah pintu.

Dan di sana — di ambang pintu besar itu — berdiri seseorang yang membuatku benar-benar kehilangan warna hidup.

Ayahku.

Dua pria berbadan besar memegang lengannya, paksa, kasar.

Matanya merah, wajahnya luka, tubuhnya gemetar ketakutan.

"Ayah..." bisikku nyaris tanpa suara.

Adrasta menyeringai kecil.

"Sekali kamu menolak... aku pastikan ini terakhir kali kamu lihat dia hidup."

Deg.

Aku menoleh menatapnya dengan mata berair. Tidak percaya dia sebegitu sadisnya.

Dan dia... hanya menatapku datar.

Sementara jarinya mengetuk meja dengan sabar.

"Hitungan ketiga, Adrasta."

"Satu..."

Tangisku pecah.

"Dua..."

Tubuhku lemas.

"Tiga..."

Aku meraih pena itu.

Dengan tangan paling gemetar sepanjang hidupku...

Aku tandatangani.

Menyerahkan hidupku.

Menjual kebebasanku.

Mengunci diriku sendiri... dalam penjara bernama Arzandra Adrasta.

Dan saat kuangkat wajah — aku melihat senyum itu.

Senyum iblis yang akhirnya mendapatkan mangsanya.

Tapi sebelum aku bisa menarik napas lega...

Adrasta berbisik pelan. Mengiris nadi terakhir harapanku.

"Oh ya, aku lupa bilang sesuatu, Rania."

"Aku nggak pernah percaya pernikahan tanpa bukti kepemilikan."

Mataku menyipit. "Maksudmu?"

Dia menoleh ke arah asistennya.

"Lewatkan malam ini," perintahnya dingin.

"Lakukan persiapan."

Persiapan apa?

"Asistenku akan mengantarmu ke klinik besok pagi."

Dadaku makin sesak.

"Klinik apa...?"

Senyumnya melebar sadis.

"Untuk pasang chip pelacak di tubuhmu."

Dan dunia benar-benar runtuh saat aku sadar...

Aku bukan hanya menikah dengan monster.

Aku sedang dimiliki utuh oleh pria paling berbahaya di negeri ini.

Dunia terasa berhenti berputar.

Miliknya? Apa itu artinya… budak? Boneka? Atau sekedar pion dalam permainan gilanya?

Aku menelan getir di tenggorokan. Tenggorokan yang terasa kering seolah menelan bara api. Pilihan macam apa ini? Pilihan yang bahkan bukan benar-benar pilihan. Karena apapun jawabanku… aku tetap kalah.

Aku bisa saja menolak. Tapi aku tahu persis konsekuensinya.

Keluargaku. Ibuku. Adikku. Hidup mereka akan tamat dalam sekejap hanya karena ulah ayah yang bodoh dan serakah itu.

Tapi menerima?

Itu artinya aku menyerahkan seluruh harga diriku… pada pria sekejam Arzandra Adrasta.

"Satu malam," lanjutnya, senyumnya tipis penuh jebakan. "Untuk memutuskan. Datang padaku… atau bersiap kehilangan segalanya."

Dan saat itu, aku benar-benar paham…

Dunia ini memang tidak pernah adil untuk orang kecil sepertiku.

Terutama… ketika lawanmu adalah Arzandra Adrasta.

PCTA 2

Langit senja mulai meredup saat Rania melangkah gontai menuju ke rumahnya. Setiap langkah terasa berat, seolah dunia menimpakan seluruh bebannya di pundak. Begitu memasuki rumah, Rania langsung menuju ke dalam kamarnya tanpa menyapa siapapun. Pintu kamarnya ditutup rapat, mengisolasi dirinya dari dunia luar.

Di dalam kamar yang remang remang, Rania berdiri terpaku menatap bayangannya sendiri di cermin. Kedua matanya sembab dan wajahnya pucat pasi, mencerminkan badai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya.

Perlahan ia merosot ke lantai, punggungnya bersandar pada dinding kamarnya yang dingin. Air mata yang sejak tadi tertahan, akhirnya mengalir deras membasahi pipinya.

Tangannya meraih bingkai foto di meja kecil sebelah tempat tidur. Sebuah foto keluarga yang diambil beberapa tahun lalu, saat semuanya masih terasa normal. Rania menelusuri wajah wajah yang ada di dalam foto itu dengan ujung jarinya, merasakan nostalgia yang menusuk hati.

Suara hatinya berbisik lirih, "Kenapa hidupku menjadi segelap ini ya tuhan? Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?"

Malam itu terasa begitu panjang, Rania terjebak dalam pusaran pikirannya sendiri, mengingat kembali pertemuannya dengan Arzandra Adrasta. Ancaman pernikahan paksa dan pemasangan chip pelacak di tubuhnya membuat Rania merasa seperti burung dalam sangkar emas. Kebebasannya direnggut tanpa ampun.

Ketika fajar menyingsing, Rania masih terjaga. Kedua matanya menatap langit langit kamar, dengan tatapan matanya yang kosong tanpa ekspresi. Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Rania pun bangkit dengan enggan dan membuka pintu.

Seorang pria berjas rapi, dengan ekspresi yang datar dan profesionalisme yang kaku, berdiri ambang pintu.

"Nona Rania, saya asisten tuan Adrasta. Saya ditugaskan oleh tuan Adrasta untuk mengantar anda pergi ke klinik."

Rania menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Rania mencoba mencerna kenyataan bahwa hari ini tubuhnya akan ditandai dengan jejak tak kasat mata-sebuah chip pelacak yang akan mengikatnya lebih erat pada Arzandra Adrasta.

Rania mengangguk pelan, lalu berbalik masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil tas kecilnya. Sebelum meninggalkan kamar, pandangan Rania kembali tertuju pada foto keluarga di meja. Dengan berat hati, Rania melangkah keluar mengikuti asisten Adrasta menuju ke mobil hitam yang terparkir di depan rumah.

Perjalanan menuju klinik berlangsung dalam keheningan yang menyesakkan, pikiran Rania dipenuhi pertanyaan dan ketakutan yang tak terucapkan. Rania menatap ke luar jendela mobil dan menyaksikan kota Jakarta yang mulai sibuk dengan aktivitas pagi. Namun pikirannya melayang entah kemana.

Setibanya di klinik, Rania langsung disambut oleh perawat yang langsung mengantarnya ke ruang prosedur. Ruangan itu terlihat bersih, hampir terlalu steril, dengan aroma antiseptik yang menusuk hidung. Seorang dokter wanita paruh baya dengan senyum tipis menyapanya.

"Silahkan duduk, nona Rania. Proses pemasangan chip pelacakannya akan dilakukan dengan cepat dan tidak akan menyakitkan. Kami akan menanamkan chip kecil tepat di lengan atas anda. Ini hanya memerlukan anestesi lokal."

Rania mengangguk lemah, membiarkan dokter melakukan apa yang harus dilakukan. Jarum suntik menyentuh kulitnya, dan dalam hitungan menit pemasangan chip pelacak itu selesai dilakukan. Namun, rasa dingin menjalar dari titik implantasi seolah menandakan bahwa Rania benar benar berada di bawah kendali Rafael.

Setelah pemasangan chip pelacak dilakukan, Rania keluar dari klinik dengan asisten Adrasta yang masih menunggunya.

"Tuan Adrasta ingin bertemu dengan nona, sekarang."

Rania menghela napas panjang dan mencoba mengumpulkan keberanian. Ia kembali masuk ke dalam mobil menuju pertemuan yang mungkin akan menentukan nasibnya selanjutnya.

PCTA 3

Rania duduk diam di kursi belakang mobil mewah berwarna hitam yang melaju mulus di jalanan ibu kota. Asisten azandra, seorang pria yang bernama Gino, duduk di depan fokus pada kemudi tanpa sepatah kata pun. Suasana di dalam mobil begitu hening, hanya diisi oleh suara lembut pendingin udara dan deru mesin yang nyaris tak terdengar. Pikiran Rania masih kacau, mencoba mencerna kenyataan bawa kini ada chip pelacak yang tertanam di dalam tubuhnya. Ia merasa seperti burung yang sayapnya telah dipotong, tak lagi bebas terbang ke manapun yang ia mau.

Setelah perjalanan yang terasa seperti seumur hidup, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Gino keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Rania. Tanpa banyak bicara, ia memberi isyarat agar Rania yang mengikutinya.

Dengan langkah ragu, Rania melangkah masuk ke dalam gedung, disambut oleh lobi megah dengan lantai marmer yang mengilap dan lampu kristal yang berkilauan. para pegawai yang berlalu lalang menunjukkan kepala hormat saat melihat Gino, menandakan betapa berkuasanya Arzandra yang berkuasa di tempat ini.

Mereka menaiki lift menuju lantai yang tertinggi. Suasana di dalam lift terasa menyesakkan, seolah udara pun enggan bergerak. Setibanya di lantai yang dituju, pintu lift terbuka dan memperlihatkan sebuah koridor panjang dengan karpet tebal berwarna gelap.

Di ujung koridor sebuah pintu besar berdiri kokoh. Gino mengetuk pintu tersebut dengan ritme tertentu sebelum membukanya dan memberi isyarat kepada Rania untuk masuk.

Rania melangkah masuk ke dalam ruangan yang luas dan mewah. Dinding-dindingnya dihiasi panel kayu mahoni, sementara jendela besar di satu sisi ruangan menawarkan pemandangan kota yang menakjubkan. Di tengah ruangan, sebuah meja kerja besar terbuat dari kayu ebony berdiri megah, dengan kursi kulit hitam di belakangnya.

Disana duduklah Arzandra Adrasta, pria yang kini memegang kendali atas hidup Rania. Arzandra menatap Rania dengan mata tajam bak elang yang mengawasi mangsanya. Senyum tipis terukir di wajahnya, namun tidak ada kehangatan di baliknya. Arzandra mengangkat sebuah tablet dan menyalakannya, kemudian meletakkannya di atas meja dengan layar yang menghadap ke Rania.

"Selamat datang, Rania," ucapnya dengan suara rendah namun penuh wibawa. "Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu"

Dengan langkah Ragu Rania mendekati meja, dan menatap layar tablet tersebut. Di sana, terpampang pada digital dengan titik merah yang berdenyut pelan. Arzandra menyentuh layar, memperbesar peta hingga menampilkan detail lokasi yang sangat akurat.

"Titik merah ini," katanya sambil menunjuk layar. " Menunjukkan lokasimu saat ini. Chip yang telah ditanam di tubuhmu memungkinkan aku mengetahui keberadaan mu setiap saat."

Rania merasakan gelombang kepanikan yang menjalar di sekujur tubuhnya. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri, namun suaranya tetap bergetar saat berbicara.

"Kenapa... Kenapa kau melakukan ini?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.

Arzandra menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Rania dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Aku sudah memberitahumu sebelumnya, Rania. Aku membutuhkan kepastian bahwa kau tidak akan mencoba melarikan diri atau melakukan sesuatu yang bodoh. Pernikahan kita bukan sekedar formalitas. Aku ingin memastikan bahwa kau selalu berada dalam jangkauan pengawasan ku."

Rania mengepalkan tangannya, kuku-kukunya hampir menembus telapak tangan. ia merasa marah, takut dan tak berdaya dalam waktu yang bersamaan. Namun, ia tahu bahwa melawan Arzandra secara frontal akan memperburuk situasi. Ia harus menemukan cara untuk bertahan, dan jika mungkin mencari celah untuk melepaskan diri dari cengkraman pria ini.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Rania akhirnya, mencoba suaranya agar tetap stabil.

Arzandra bangkit dari kursinya dan berjalan mengitari meja, mendekati Rania hingga jarak mereka hanya beberapa inci. Ia menatapnya dengan intensitas yang membuat Rania merasa terpojok.

"Aku ingin kau memainkan peranmu sebagai istriku dengan sempurna," katanya pelan namun tegas. "Di depan publik kita adalah pasangan bahagia yang saling mencintai. Di balik layar, kau akan mematuhi setiap perintahku tanpa pertanyaan. Jika kau mencoba melawan atau mengkhianati ku..."

Arzandra membiarkan kalimatnya menggantung, namun ancamannya jelas. Rania menelan ludah, merasa jantungnya berdebar kencang. Ia mengangguk pelan, menyadari bahwa untuk saat ini ia tidak memiliki pilihan lain selain menurut.

"bagus," ujar Arzandra, kembali ke kursinya. "Mulai hari ini kau akan tinggal di kediamanku. Semua kebutuhanmu akan disediakan. Namun ingatlah Rania, setiap langkahmu diawasi. Jangan pernah berpikir untuk melakukan sesuatu yang bodoh."

Rania mengangguk sekali.

Arzandra meraih sesuatu dari laci meja dan meletakkannya ke atas meja di depan Rania. Sebuah kunci.

Rania menatap kunci itu dengan perasaan campur aduk, ia merasa seperti burung yang sayapnya telah dipotong dan tak lagi bebas terbang kemanapun yang ia mau.

"Kau boleh pergi sekarang!" ucap Arzandra yang kembali fokus pada pekerjaannya.

Dengan tangan gemetar, Rania mengambil kunci itu dan berdiri. Ia melangkah keluar dari ruangan itu, merasa seolah dunia di sekitarnya runtuh.

Saat menutup pintu di belakangnya, Rania menyadari satu hal: Neraka bukanlah tentang api dan belerang. Neraka adalah hidup di bawah bayang-bayang Arzandra Adrasta, setiap hari.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!