Klontengggggggg
Sebuah kaleng soda yang sudah tidak lagi berbentuk tabung menggelinding bebas setelah berbenturan dengan tong sampah yang tepat berada di pinggir jalan.
"Memang dia pikir siapa, aku bakal sakit hati kalau mereka jalan bareng. Enggak ya...," seorang gadis tampak menggerutu sepanjang jalan, kakinya menendang pa saja yang menghalangi langkahnya, bahkan kaleng soda itu entah sudah berapa kali menjadi sasaran empuk baginya.
Bretttttttt bretttttt bretttttt
Hingga getaran di dalam tas kainnya membuatnya menghela nafas dan dengan malas merogoh tas itu, mengambil benda pipih yang sudah mengusik emosinya. Sekali lagi helaan nafas itu muncul saat melihat siapa yang tengah melakukan panggilan untuknya.
"Ada apa?" tanyanya ketus begitu benda pipih itu menempel di daun telinganya.
"Lo di mana?" suara keras itu berhasil membuatnya menjauhkan benda pipih itu dari daun telinganya, gendang telinganya terasa kebas mendengar suara keras dari sahabatnya itu.
"Di jalan." jawabnya malas.
"Serius ....???? Lo nggak lagi cemburu kan ke Haira sama Dirga???"
Gadis itu menelan salivanya, ia tidak yakin dengan jawabannya kali ini, "Ya enggak lah,"
"Ya udah kalau nggak cemburu, balik gihhhh. Lo tega banget ninggalin gue, gue nggak tahu harus ngapain sekarang." kali ini suara di seberang sana terdengar sedikit memohon membuatnya sekali menghela nafas.
"Baiklah, gue balik." jawabnya pasrah. Ia datang ke acara sukuran magang itu bersama sahabatnya, tapi karena melihat pria yang sudah menjadi incarannya sejak semester satu di kampusnya tengah bergandengan dengan salah satu cewek populer di kampusnya membuatnya gelap mata dan memilih meninggalkan kafe.
Gadis itu adalah Aluna, mahasiswa semester akhir yang tengah mengajukan magang di salah satu perusahaan branding ternama di Jakarta, tengah mengadakan syukuran karena teman-temannya juga mendapat tempat magang yang bagus. Tidak hanya Aluna, Tifani sahabatnya juga di terima di tempat magang yang sama meskipun di tempatkan di divisi yang berbeda.
Aluna berjalan dengan malas kembali ke kafe, tapi langkahnya terhenti tepat di samping pintu masuk saat melihat pria yang kali ini begitu malas untuk Aluna temui tengah berjalan mendekatinya.
"Hai Aluna, aku mencarimu dari tadi." ucap Dirga dengan senyum yang biasanya membuatnya terpesona kini malah begitu muak untuk ia lihat.
"Kenapa mencariku? Kan ada Haira, yang cantik, anggun, populer lagi." jawab Aluna ketus.
Dirga tersenyum, ia memiringkan wajahnya menggapai wajah Aluna, "Kamu cemburu sama Haira?"
Aluna berdecak, "Kenapa cemburu? Itu urusan kamu jalan sama siapa saja, lagi pula kita juga tidak punya hubungan spesial, kan." jawabnya kesal.
Sekali lagi Dirga tersenyum, ia meraih tangan Aluna dan menggenggamnya, "Ayolah Aluna..., aku tahu kamu suka sama aku sejak lama. Kalau kamu mau, kita bisa pacaran diam-diam, aku juga suka sama kamu sejak lama. Aku sama Haira hanya di jodohkan, aku tidak menyukai Haira."
Dengan cepat Aluna mengibaskan tangannya, Enak aja aku mau di jadikan serepan, emang aku cewek apaan ..., "Kamu salah ya, aku nggak pernah suka sama kamu. Aku suka sama orang lain." jawab Aluna dengan tegas.
Dirga menarik salah satu sudut bibirnya ke samping, "Jangan munafik Aluna, aku tahu empat tahun ini kamu tidak pernah pacaran karena kamu suka sama aku."
"Siapa bilang aku nggak punya pacar. Aku punya pacar, bahkan lebih segalanya dari kamu." Aluna berkacak pinggang, ia tidak suka dipandang rendah oleh pria yang sudah membuatnya patah hati.
Tampak Dirga tidak percaya, ia kembali hendak menarik tangan Aluna tapi dengan cepat Aluna menghindar, membuat Dirga kecewa. "Aluna, aku tahu kamu berbohong."
"Siapa bilang aku bohong. Aku mengatakan yang sebenarnya."
"Kalau begitu. Sekarang tunjukan padaku, pria yang kamu katakan pacar kamu itu." Dirga tetap tidak mau percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh Aluna.
Ya ampun..., dia kenapa jadi begitu menyebalkan ya sekarang. Aku harus bagaimana sekarang? Aluna benar-benar kehabisan kata-kata. Ia bahkan tidak punya kenalan pria, seandainya saja Tifani di sampingnya saat ini. sahabatnya itu paling banyak ide.
"Siapa bilang Aluna nggak punya cowok. Aluna bahkan sudah punya calon suami. Setelah magang Aluna selesai mereka akan menikah."
Suara itu benar-benar mengejutkan Dirga, tapi Aluna juga tidak kalah terkejut. Itu adalah Tifani, sebenarnya sahabatnya itu datang di waktu yang tepat, tapi kata-katanya membuat Aluna semakin ketar-ketir.
"Tifani! Kamu bercanda kan? Kalian pasti sekongkol." Dirga tetap mengajukan keberatannya. Ia masih tidak percaya, karena sebenarnya ia juga menyukai Aluna sejak lama, tapi orang tuanya melarangnya berpacaran karena ia akan di jodohkan oleh seorang gadis dan yang baru ia tahu gadis itu ternyata satu kampus dengannya dan Aluna membuatnya tidak bisa berkutik.
"Enggak! Aku serius. Iya kan, Aluna?" Tifani meminta dukungan pada Aluna agar lebih meyakinkan.
Dirga mengepalkan tangannya, meskipun ia sudah punya tunangan, tapi ia juga tidak ingin melepaskan Aluna, "Kalau itu benar, sekarang coba kalian panggil dia ke sini. Kalau aku sudah melihatnya aku baru akan percaya."
Aluna berdecak untuk ke sekian kalinya, ia tidak tahu harus berkata apa lagi.
"Itu dia, datang!" ucap Tifani membuat Aluna melotot sempurna karena sahabatnya itu tiba-tiba menunjuk pria asing yang baru saja turun dari mobil dan berjalan menuju mereka. Pria itu tampak dewasa, berhasil rapi dan tampan, tentunya.
"I_iya, itu orangnya." Aluna hanya bisa mengikuti permainan Tifani. Dan dengan cepat ia melingkarkan lengannya pada pria yang tampak lebih dewasa dari mereka. "Dia tunanganku, kami bertunangan Minggu lalu,"
Pria sing itu tampak tertegun, ia terlihat tengah membaca situasi yang terjadi. Dan sebelum pria itu membongkar semuanya,
Cup
Aluna berjinjit dan mendaratkan bibirnya di pipi pria asing itu, membuat pria itu semakin tidak percaya.
"Iya kan sayang?" tanya Aluna dengan sedikit berbisik manja.
Pria yang tetap bersikap tenang itu mulai memahami situasi yang terjadi saat tatapannya bertemu dengan Dirga, pria itu pun meraih pinggang Aluna dan melingkarkan lengannya di pinggang Aluna yang ramping membuat Aluna begitu terkejut karena jarak mereka yang begitu dekat.
Ehhhh, ehhhh, apa-apaan ini. Jangan-jangan aku malah terjebak sama om-om hidung belang ..., ihhhh ide Tifani emang nggak ada yang beres ...
Tifani yang menjadi penonton hanya bisa menggigit bibir bawahnya saat melihat sahabatnya semakin terjebak.
Belum selesai Aluna terkejut, pria itu mengulurkan tangannya pada Dirga, "Perkenalkan, saya tunangannya, Revan. Revan Aditya."
Belum sampai Dirga menyambut tangan Revan. Suara Haira memecah ketegangan itu, "Sayang ...., ternyata kamu di sini. Aku mencarimu ke mana-mana."
Dirga segera mengulas senyum gambarnya, mengusap kepala Haira dengan lembut, "Maaf, aku tadi ke toilet."
Haira kemudian melihat ke arah Aluna, ia tersenyum kecut kemudian kembali beralih pada Dirga, "Sayang..., masuk yukkk. Tuh di cari anak-anak."
Dirga hanya bisa menganggukkan kepalanya dan mengikuti Haira di belakangnya. sepertinya Haira tahu sesuatu tentang Dirga dan Aluna, hingga membuatnya bersikap begitu manja pada Dirga saat di depan Aluna.
Bersambung
Aluna dengan cepat mendorong tubuh pria itu, melepaskan diri dari cengkeraman pria asing yang tengah memeluknya itu.
"Maaf sudah menganggu waktu anda, dan terimakasih sudah membantu saya." ucap Aluna dengan nada formal sambil membungkukkan badannya.
Pria itu mengerutkan keningnya, "Hanya itu?" tanyanya dengan dingin tampak tidak berekspresi.
Aluna membalas dengan mengerutkan keningnya, ia kemudian menyadari sesuatu dan tersenyum ringan, wajahnya tampak begitu cantik dengan sorotan matahari di siang hari ini, "Ahhh iya. Tunggu sebentar." ucapnya kemudian.
Aluna pun merogoh tas kainnya, ia mengeluarkan dompet berwarna merah muda dari dalam tasnya. Mengintip isi dompetnya, hanya ada beberapa lembar uang seratus ribuan dan sisanya dua ribu, lima ribuan dan beberapa dua puluh ribuan yang akan ia gunakan untuk membeli bensin.
Aluna menarik tangan pria itu dan membuka telapak tangannya ke atas dan meletakkan beberapa lembar uang yang ia bawa di atas tangan pria itu, "Aku hanya punya ini, aku rasa ini cukup untuk beberapa menit ini. Semoga nanti kita bisa ketemu lagi, aku akan gantian membantumu."
Setelah mengatupkan kembali tangan pria itu, Aluna segera meraih tangan Tifani, "Ayo pergi." ucapnya, "Kita sudah tidak punya urusan di sini," Aluna mengajak pergi dan Tifani hanya bisa pasrah mengikuti langkah cepat Aluna.
Aluna dan Tifani sudah berlalu sedangkan pria itu masih terdiam di tempatnya sembari menatap uang receh yang berada di tangannya. Memang dia pikir saya orang sewaan..., batinya sembari terus menatap uang di tangannya, meskipun begitu ia tidak berniat menolak meskipun bisa dengan mudah ia lakukan bahkan di depan pria tadi.
Hingga suara seseorang yang tengah memanggilnya menyadarkannya dari lamunan.
"Pak Revan,"
Revan mempertahankan posisinya, ia hanya mencoba menormalkan kembali raut wajah datarnya, "Hmmm, kenapa lama sekali?!" protesnya saat pria berjas yang seusianya itu mendekat.
"Maaf, pak. Saya pikir pak Revan tengah berbicara dengan seseorang yang penting." ucap pria sembari menatap ke arah perginya Aluna dan sahabatnya. Pria itu merupakan sekretaris dari Revan Aditya, yang bernama Bastian.
Kemudian tatapan Bastian tidak luput dari sesuatu yang berada di tangan Revan, itu tampak aneh. Karena atasannya hampir tidak pernah memegang uang cash di tangannya, "Pak itu...?"
Menyadari apa yang di tatap oleh sekretarisnya, dengan cepat Revan menyembunyikan uang cash yang nilainya tidak seberapa itu ke dalam saku jasnya, "Lupakan saja. Ini tidak penting."
Tapi Bastian malah menatap aneh pada Revan membuat Revan salah tingkah, Revan pun dengan cepat mengalihkan tatapannya ke arah lain, "Kenapa menatapku seperti itu? Ada yang aneh?" tanyanya kemudian.
Bastian mencoba menahan senyum yang hendak keluar dari bibirnya, "Tidak, pak."
"Baguslah." ucap Revan dingin, "Apa Mr Han sudah datang?" tanyanya kemudian mencoba mengalihkan pembicaraan.
Bastian kembali bersikap tegas, ia membetulkan letak dasinya yang sebenarnya tidak berubah, "Beliau sudah datang lima belas menit yang lalu, pak." ucapnya dengan nada formal.
"Baiklah, kita temui sekarang." ucap Revan dan Bastian menganggukkan, mengembangkan tangannya mempersilahkan atasannya berjalan di depan.
Mereka pun akhirnya berjalan masuk ke dalam kafe untuk meeting penting dengan salah satu klien yang berasal dari Korea.
***
Di Kamar Aluna
"Kalau di pikir-pikir, pria tadi cukup tampan, Lun." Tifani menyanggah dagunya dengan kedua tangannya, ia tengah tidur tengkurap di atas tempat tidur Aluna. Mereka sudah sampai di rumah Aluna beberapa menit yang lalu, dan kebiasaan Tifani yang lebih betah di rumah Aluna dari pada rumahnya sendiri.
Bugggg
Sebuah bantal mendaftar tepat di wajah Tifani, rupanya bantal itu sengaja Aluna lempar, "Nggak lihat tadi, wajahnya udah kayak vampir gitu. nggak ada ekspresi nya sama sekali." protes Aluna sembari duduk di kursi belajarnya.
"Ihhh, kalau itu namanya cool. Cowok-cowok cool kayak gitu biasanya setia tahu.dari pada Dirga yang ternyata nggak punya pendirian, mending yang dingin-dingin kayak gitu." Tifani tidak terima dengan argumen dari Aluna.
Aluna berdecak, ia kembali berdiri dan berjalan cepat, kemudian melompat ke atas tempat tidur hingga membuat Tifani terduduk karena terkejut, "Astaga Lun, jantung gue mau copot."
Aluna tertawa mendengar celoteh sahabatnya, "Ya elah, gitu aja copot. Gampang banget, di tempel pakek lem gulkol. Kali tuh jantung."
"Isshhhhhhh ....," Tifani berdesis kesal, ia pun mengambil bantal kemudian memeluknya, ia kembali menatap Aluna yang tengah tidur terlentang di depannya, "Rencana Li apa lagi nih? Gimana kalau Dirga masih pengen buktiin kalau Lo belum punya pasangan?"
Aluna menggelengkan kepalanya, "Nggak tahu, gue nggak bisa mikir sekarang." ia kembali mengingat saat sahabatnya dengan lantang mengatakan kalau dirinya akan menikah sudah berhasil membuatnya pusing, "Udah ahhh, gue lagi nggak mood mikirin cowok. Gue lagi mikirin magang kita besok."
"Nggak usah takut kali, magang ya magang. Lagi pula cuma tiga bulan. Bukan waktu yang lama." Tifani memang terbiasa dengan sikap santainya.
"Istttt, awas aja kalau besok datang ke divisi gue terus nangis-nangis minta pindah divisi sama gue."
"Ya enggak lah, tempat gue cowok ya cakep-cakep." ucap Tifani asal.
"Serius Lo?" tanya Aluna tampak bersemangat sampai ia bangun dari tidurnya dan duduk menghadap Tifani.
Tifani mengganggukkan kepalanya, "Ya...., gue pikir lebih baik ambil salah satu dari mereka buat di jadiin pacar kmu. Gimana? Ide bagus kan?"
Cletuk
Tiba-tiba sebuah sentilan mendarat di kening Tifani membuat gadis itu mengusap keningnya yang terasa kebas, "Ihhhh, kok di sentil sih," keluhnya.
"Emang cari cowok kayak cari kucing liar, tinggal di kantongin karung dapat. Emang ya kadang-kadang orak kamu nggak berada di tempat yang bener." keluh Aluna kesal pada ide-ide sahabatnya yang kerap tidak masuk akal itu.
"Yahhhh ..., siapa tahu ada yang jodoh." Tifani tetap tidak mau kalah.
Aluna pun kembali merebahkan tubuhnya kali ini ia juga merentangkan tangannya, menatap langit-langit kamarnya, "Yang pastinya harus keren, lebih segalanya dari Dirga."
Bersambung
"Pak, ini sudah malam. Sebaiknya kita pulang." sedari dua jam lalu Bastian memperingatkan atasannya itu, tapi pria itu bahkan bergeming dari tempatnya. Entah sudah berapa banyak minuman yang ia tuangkan ke dalam gelas kaca itu. Wajahnya bahkan tampak tidak berdaya.
"Jangan pedulikan saya." ucap Revan dalam terdengar penuh luka. Laki-laki yang biasanya tampil dingin dan teguh pendirian, seolah tidak terkalahkan oleh siapapun kini terlihat begitu kalah. Sejak lima tahun lalu, ia yang di tinggal mati sahabatnya karena sebuah kecelakaan membuatnya merasa bersalah di tambah tunangannya yang memilih pergi untuk mengejar cita-citanya dari pada melanjutkan pertunangannya mereka membuat hati Revan semakin hancur. hampir setiap malam ia memilih pergi ke klub malam untuk melupakan kesedihannya dan akan pulang dalam keadaan mabuk.
"Tapi, pak. Besok kita ada meeting penting. Saya harap bapak bisa fresh untuk besok." Bastian selalu setia menemani dan mengantarnya pulang dan akan datang pagi sekali untuk mamastikan atasannya baik-baik saja.
Revan tersenyum kecut, ia menyandarkan punggungnya di sandaran sofa tempatnya duduk. "Semua orang hanya peduli dengan uangku." ucapnya terdengar begitu patah membuat Bastian tidak mampu lagi membujuk. Ia memilih diam dan menunggu hingga Revan ingin pulang sendiri.
Revan selalu memilih VVIP untuknya, ia tidak suka bercampur dengan pengunjung yang lain. Selain itu, Bastian juga menjaga privasi atasannya, agar apapun yang terjadi dengan atasannya tidak menjadi konsumsi publik karena kini apapun yang menyangkut dengan kehidupan pribadi Revan Aditya adalah topik yang sangat di buru oleh para pencari berita. Seorang pengusaha muda yang tengah naik daun dengan segala kelebihannya. Ditambah lagi rumor yang tengah beredar tentang Revan Aditya mengalami gangguan disfungsi organ yang membuatnya tidak tertarik dengan wanita karena begitu banyak wanita cantik dari kalangan pengusaha dan artis yang mendekatinya tapi tidak ada satupun yang berhasil menarik perhatiannya.
***
Revan mengerjapkan matanya, mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam mata. Perlahan membuka matanya, dan cahaya matahari memasuki celah-celah gorden putih di kamarnya dan kini ia baru menyadari jika ia sudah tidur di dalam kamarnya yang nyaman.
Perlahan ia bangun, memijat keningnya yng terasa nyeri karena terlalu banyak minum semalam.
"Selamat pagi, tuan." seseorang tiba-tiba menyapanya dari arah lain, tapi Revan sudah terlalu hafal dengan suara itu. Itu suara pelayannya. "Saya bawakan air perasan lemon hangat untuk anda." ucapnya lagi sembari meletakkan air perasan lemon di atas nakas yng ada di samping tempat tidur, "Pak Bastian sudah datang sejak satu jam yang lalu, apa anda ingin saya memanggilnya?" tanyanya sepertinya sudah sangat hafal dengan apa yang harus ia ucapkan.
Revan mengibaskan tangannya, "Tidak perlu. Saya akan keluar satu jam lagi. Suruh dia menunggu."
"Baik. Ada lagi yang bisa saya bantu?" tanya pelayannya itu dan Revan memberi isyarat dengan tangannya yang mengatakan tidak.
Pelayan itu pun hendak pergi, tapi langkahnya kembali terhenti di ambang pintu, "Oh iya, tuan. Kemarin tuan besar datang."
Mendengar hal itu, Revan mengerutkan keningnya sembari menatap sang pelayan, "Dia mengatakan apa?"
"Nanti malam ada jamuan makan malam di rumah besar. Tuan besar meminta anda untuk datang."
Revan kembali memijat keningnya yang kembali terasa nyeri, kali ini bukan karena minuman keras tapi karena rencana orang tuanya di balik jamuan makan malam yang di adakan oleh orang tuanya.
***
Aluna menuruni tangga, pagi ini ia ingin bersemangat untuk berangkat magang, tapi suasana pagi di rumahnya tidak begitu bersemangat seperti yang ia harapkan. ibunya tampak juga sudah memakai setelan rapi, ibunya adalah seorang single mom, ia membesarkan Aluna sendiri sejak ayahnya meninggal lim belas tahun yang lalu, dulu ada kakak laki-lakinya yang selalu menjadi kebanggan sang ibu, tapi ternyata takdir juga berkata lain, kakak laki-lakinya meninggal tepat di hari Aluna ulang tahun yang ke 17. Kakak laki-lakinya mengalami kecelakaan saat akan merayakan ulang tahun Aluna.
Hal itu berdampak pada kehidupan Aluna dan ibunya, Aluna terus menyalahkan Aluna atas kematian sang kakak membuat hubungan mereka begitu renggang.
"Selamat pagi, ma." sapa Aluna begitu langkahnya tepat berdua di ujung tangga. Tapi rupanya sapaan Aluna tidak berhasil membuat ibunya bergeming. Ia tetap menikmati sandwich paginya.
Aluna pun memilih duduk dan mengambil selembar roti, mengoleskan selai kacang di atasnya, kemudian memasukkan ke dalam mulutnya perlahan, "Ma, ini hari pertama Aluna magang. Aluna diterima magang di perusahaan branding ternama di Jakarta."
Ibunya menghentikan kunyahannya, meletakkan sisa roti di tangannya ke atas piring kemudian menatap Aluna dengan tatapan dingin seperti biasanya, "Apa yang kamu harapkan dari mama? Mama tidak akan memberikan ucapan selamat padamu, kamu mengerti kan hal itu?!"
Aluna tersenyum kecut kemudian menganggukkan kepalanya, "Jika kakak yang_,"
"Berhenti membahas soal kakakmu. Mama nggak suka." ucapnya dengan cepat bahkan sebelum Aluna menyelesaikan ucapannya, ia pun berdiri dan meraih tasnya, tidak berniat melanjutkan sarapannya, "Mama akan keluar kota beberapa hari ini, jaga rumah." ucapnya lagi sebelum benar-benar meninggalkan meja makan.
Aluna hanya bisa menghela nafas menatap kepergian sang ibu. Ia begitu merindukan kasih sayang ibunya seperti dulu. Dulu begitu hangat, meskipun ia kehilangan ayahnya saat masih kecil tapi ibunya selalu memberi kasih sayang padanya lengkap membuatnya melupakan jika dirinya sudah tidak punya seorang ayah. Tapi kini rasanya semuanya begitu berbeda, bahkan ibunya tidak pernah mempedulikannya lagi. Hanya uang dari ibunya yang menemani setiap saat. Ibunya adalah seorang karyawan di sebuah perusahan tidak kalah terkenal dengan perusahaan tempat Aluna akan magang.
Aluna segera mengakhiri sarapannya saat ia menyadari jika kini sudah hampir jam setengah delapan. Ia tidak mungkin terlambat di hari pertamanya magang. Aluna pun bergegas mengambil kunci motornya dan juga helm untuk membungkus kepalanya.
Aku kasih visual mas CEO gantengnya ya. Moga-moga mewakili kita-kita yang lagi kesemsem sama dracin
Bersambung
Happy reading
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!