Tak pernah terpikirkan oleh Bram jika profesi yang amat dicintainya ini akan menjadi bumerang di masa depan. Trend selebriti media sosial memang bisa mendatangkan uang, tapi bagaimana kalau kekayaan itu pada akhirnya akan menghancurkan hidupnya dan juga orang-orang yang dicintainya. Bram bukanlah artis dan hanya seorang pria sederhana yang mencintai videografi. Tetapi siklus hidup dan jebakan takdir membuatnya berubah. Semua kisah itu berawal sejak hari ini.
Sebentar lagi take video. Bram sudah menyiapkan kameranya di sudut panggung pelaminan itu dengan kantuk yang belum usai. Meski demikian, ia berusaha bersemangat memulai pekerjaannya. Sebuah pekerjaan yang hampir dua minggu ini ia lepaskan begitu saja selepas separuh jiwanya karena suatu kehilangan yang dalam. Padahal sebagai freelance tentu tidak setiap saat ia mendapatkan pekerjaan. Tapi kali ini ... Aryo, rekan videografernya merayunya dengan begitu maut untuk mengerjakan pekerjaan ini. Sehingga ia terpaksa keluar kandang dan datang ke sebuah pesta wedding itu.
Bram memegang kamera dua, bertugas mengambil beberapa stock shot video pernikahan calon kliennya. Entah pernikahan siapa, Bram tidak perduli. Ratusan kali ia mengambil video pernikahan pun, ia hampir melupakan siapa saja yang pernah menjadi kliennya. Kecuali pengantinnya masih kawan atau keluarga. Jadi ketika ia melihat papan nama pengantin di sudut pelaminan itu, ia pun cuek saja. Padahal batinnya amat terusik saat melihat sederet nama yang sangat tak asing di hatinya. Yulia Armando.
"Ah... memangnya ada berapa banyak nama Yulia Armando di dunia ini?" Batinnya, kemudian ia mencoba segera membuang jauh jauh raut demi raut wajah bernama Yulia yang ia kenal. Baik teman SD-nya yang bernama Yulia ataupun pelayan warteg di ujung kompleknya yang juga bernama Yulia. Yang jelas ia pernah sangat membenci nama itu setelah peristiwa beberapa minggu lalu.
"Eh, Bram. Lo ambil dari sana aja ya? Gue dari sini," ucap Aryo sambil menepuk bahunya.
"Ok!"
Bram segera memposisikan diri tepat di depan pelaminan itu. Tapi entah mengapa sederet nama di papan sudut pelaminan itu menggodanya kembali. Lagi lagi wajah Yulia secara khusus muncul di pelupuk matanya. Ditambah nama Armando yang membuat nama itu semakin khusus di hatinya. Saking begitu khususnya, wajah perempuan itu seolah-olah benar-benar muncul secara nyata di hadapannya dengan gaun pengantin bermahkota dan riasan Ayu bak bidadari yang baru saja turun dari surga.
Bram tersentak melepaskan matanya dari fokus kamera untuk menatap perwujudan nyata Yulia-nya itu. Yulia yang dia kenal sekaligus yang dia benci.
Bram setengah tergagap melihat kenyataan yang ada di depan matanya, dadanya terasa sesak, tubuhnya gemetar sampai tangannya tak sanggup lagi memegang kamera yang kini terpasung di pundaknya. Apalagi saat melihat Yulia Armando benar benar muncul diapit seorang lelaki tampan dengan baju pengantin bermotif dan berwarna sama dengan gaunnya. Mereka seperti sepasang raja dan ratu yang begitu sempurna.
Braakk!
Kamera yang berada di pundaknya terpelanting hingga hampir membentur papan panggung kayu kalau saja Aryo tak segera menangkapnya.
"Woi, Bram! Lo kalau kerja yang bener dong. Kamera Gua hampir jatoh gini sih? Kalo ancur gimana?" cerocos Aryo.
Tapi Bram belum juga selesai dari keterkejutannya, ia hanya melongo diam sambil kembali menatap iring-iringan pengantin yang ada di depannya. Sikapnya seperti itu membuat Aryo jadi makin emosi.
"Oiiii! Buruan *takeee *...! Ini kan momen penting. Jangan sampe lost take, dong."
Bram semakin pucat. Apalagi saat Yulia tiba-tiba tersadar akan kehadirannya.
Pengantin itu mendadak keseleo, sampai membuat pasangannya menjadi begitu khawatir lalu dengan sigap menangkap tubuhnya.
Wow ... pemandangan itu jadi semakin romantis di hadapan para khalayak. Semua undangan bertepuk tangan terlihat begitu bahagia melihat romantisme kedua pengantin itu. Sementara Bram terlihat begitu tertohok sebab pengantin wanita yang bernama Yulia Armando tersebut adalah MANTAN PACARNYA!
Dua minggu lalu wanita itu memutuskan tali kasih yang sudah ia rajut selama 10 tahun lamanya. Suka duka, pahit getir ia rasakan dalam menjalani cinta kasih dengan perempuan itu. Sampai namanya begitu lekat di hati. Hingga namanya masih tertempel di matanya, di jiwanya, di pikirannya dan di setiap detil menit berlalu meskipun ia sudah bersumpah untuk mencoba melupakan nama itu.
Perempuan itulah yang mematahkan hatinya sehingga dua minggu lalu ia menolak berbagai pekerjaan videografi yang selama ini mencari andalan hidupnya. Sampai ia melupakan uang saku jatah kuota bagi adiknya yang kini menjalani daring sejak sekolah ditutup oleh pemerintah karena adanya pandemi covid-19. Ibunya sudah ngomel-ngomel karena uang belanja semakin menipis. Bapaknya yang pengangguran dan tidak mau bekerja juga ikutan mengomel karena tidak ada lagi jatah rokok kretek buatnya. Semua tanggung jawab itu dia pikul dengan mengandalkan jasa videografi yang selama ini ia tekuni. Itu pulalah yang menjadi alasan besar bagi orang tua Yulia Armando menolak dirinya sebagai calon menantu buat anaknya di masa depan. Keluarganya yang rumit dan penuh banyak tuntutan ekonomi membuat Bram tak pernah yakin kalau ia bisa menjadi orang sukses di kemudian hari. Itu pulalah yang membuat Bram tidak yakin kalau dirinya mampu melamar Yulia Armando dalam waktu secepatnya. Seperti tuntutan orang tuanya. Entah tuntutan yang serius atau sekedar jebakan belaka.
"Yu ... Yulia?!"
Hanya gumaman kecil di dalam hatinya saja yang bisa terucap di hadapan calon mempelai yang semakin mendekati panggung tempat ia berdiri mengarahkan kameranya tadi.
Aryo pun dibuat kesal, melihat temannya tak bereaksi, segera mengarahkan kamera itu ke iring-iringan pengantin sambil mengoceh kesal kepada Bram.
"Aaargghh... lo mau kerja gak, sih?!"
Barulah Bram tersadar akan tugasnya. Dia langsung merebut kamera dalam panggilan Aryo.
"Eeeh. Yo ... bi ... biar gue aja yang nge-shoot," ucapnya gugup.
Tampak tangan Bram gemetar memegangi kamera di pundaknya dengan fokus mengikuti langkah kedua kaki mempelai mendekati panggung pelaminan tempat ia berdiri. Sebisa mungkin ia berusaha menahan emosi yang bercampur aduk di dalam dadanya. Rasa marah, kesal, benci, kecewa, sedih menjadi satu. Dan perasaan itu tampaknya dirasakan pula oleh Julia yang kian gemetar mendekati area pelaminan itu. Wajahnya memerah di balik riasan tebal. Sesekali ia menunduk dan mencoba membuang muka. Ah ... bukan! Lebih tepatnya ia ingin membuang air matanya agar tak segera luruh berderai di depan para tamu undangan, juga di depan mantan pacarnya.
Tapi betapapun berhasilnya Yulia membuang semua kecamuk di dadanya, Aryo ikut merasakan ekspresi itu apalagi lagi saat perempuan itu lagi-lagi menatap moncong kamera yang dipegang oleh Bram. Ah ... tidak! Perempuan itu tidak menatap moncong kameranya. Tapi lebih tepatnya, dia seakan tak sanggup melihat ekspresi Bram yang dengan bodohnya membiarkan air matanya luruh.
Seketika Aryo teringat bahwa klien pengantinnya adalah orang yang selama ini pernah begitu spesial di hati Bram. Dengan rasa bersalah Aryo melintas di sisi Bram sambil berkata.
"B ...Bram ... sorry. Gue baru ngeh kalo dia mantan lu. Yulia, kan? Lo minggir deh. Biar gue aja yang take." sambil siap mengarahkan kamera miliknya.
Tapi Bram malah diam terpaku seolah tak bisa berbuat apa-apa.
"Bram ... lo dengerin gue nggak, sih! Udah sana minggir! Gue tahu lo nggak bakalan kuat."
Perlahan Bram mematikan dan menurunkan kamera yang ada di pundaknya.Tapi bukannya mundur dari panggung, ia malah maju ke bangku pelaminan sambil mengacuhkan air matanya yang tak sanggup berhenti.
"Yu ... Yulia?! Te ... ternyata kamu pengantinnya? Se ... selamat, ya?"
Ucapnya dengan gemetar sambil menyodorkan tangannya. Ia benar benar merasa sedang tersesat di pelaminan sang mantan.
Sementara Yulia tak lagi kuasa menahan tangisnya.
Tiba-tiba saja, Pak Hendro muncul menarik Bram dengan kasar sehingga adegan itu menjadi tontonan banyak orang.
"Ngapain kamu di sini? Kamu sengaja ya datang ke pernikahan anak saya untuk menghancurkan dan mempermalukan keluarga saya? Pergi sekarang juga dan jangan campuri lagi kehidupan anak saya! Ngerti kamu!"
Braakk!
Bram terdorong ke samping sampai ia terjungkal hina. Tapi di luar dugaan Yulia histeris menubruk tubuh Bram.
"Braaammm!"
Tak menunggu detik berikutnya, para hadirin dengan sigap memfoto bahkan memvideokan adegan dramatis itu. Sebuah tindakan reflektif yang penuh emosi.
Dua wajah lain yang tak terima dengan kejadian itu. Dialah sang pengantin beserta ayahnya. Muka mereka seakan baru saja disiram air comberan.
To be continued...
Serangan kamera blitz para hadirin tidak hanya mengejutkan Bram dan Yulia, namun juga Pak Hendro yang semakin tak terima melihat putrinya malah membangunkan mantan pacarnya itu di hadapan suami sahnya sendiri yang kini mencoba menahan malu dan marah.
Aryo yang paling punya insting jitu, sebentar lagi fenomena tadi pasti akan Viral. Aryo pun berusaha menahan kemarahan Pak Hendro yang dengan kasar berusaha memisahkan Bram dan Yulia. Namun sial, Pak Hendro malah berteriak kepada rekan dan kerabatnya dengan satu kalimat perintah.
“Hajar diaaa!”
Seketika beberapa orang berkemeja meringseki tubuh Bram dengan bogem mentah, Yulia makin menjerit. Bukan karena sakitnya pukulan yang sama sekali tak mendarat di kulitnya, tapi ia merasa justeru lebih sakit melihat orang yang masih dia cintai dihajar habis-habisan oleh saudara dan kerabatnya. Sehingga Yulia makin nekat menarik Bram dan berusaha mengoyak kerumunan.
“Braamm ... ayo lariii! Lo bisa gawat kalo tetep disini!”
Sebenarnya Bram masih kepayahan untuk sekedar bangun, namun teriakan Yulia seolah memberikan energi besar baginya untuk keluar dari malapetaka tak terduga itu. Yah, teriakan penuh pembelaan dan sinyal cinta Yulia yang masih tersisa untuknya. Dengan langkah terseok ia berlari meninggalkan pelaminan dalam tarikan permaisuri hatinya.
Tapi di depan, Raka sudah menghadangnya, yah ... Pria berseragam pengantin itu seakan tak rela membiarkan wanita yang akan segera diijabkan nanti pergi dengan lelaki lain.
“Stop, Yulia! Jangan pergi!”
Terlihat sebenarnya bahwa Yulia ingin menjawab permohonan calon suaminya, tapi di belakang para kerabat dan saudaranya sudah mengambil berbagai alat pukul untuk menghabisi Bram. Maka sambil menjinjit gaun pengantinnya Yulia bergerak lari kembali, tapi sayang, sepatu hak tinggi yang sempit itu membuat kakinya keseleo, Yulia dan Bram jatuh bersama, kali ini Yulia menelungkupkan tubuhnya ke atas tubuh Bram tepat di depan kaki suaminya, sambil menahan sakit Yulia berteriak,
“Berhentii! Jangan pukul lagi! Kalau kalian mau pukul dia, pukul aku juga!...”
Dari sisi lain Aryo semakin panik melihatnya.
“Aduhh... kenapa semuanya jadi begini, sih. Gue juga sih, kagak tau kalo Yulia-nya si Bram yang jadi klien gue. Drama banget sih Bram idup lu! Udah kayak berita viral di Koran Koran aja!”
Seketika semuanya mundur perlahan, hanya Pak Hendro yang berani maju.
“Aku yang akan memukulmu karena kamu sudah membiarkan dia mencoreng keluarga kita!"
Aryo terperanjat, Bram dan Yulia tegang. Raka sinis seakan menunggu adegan berikutnya.
Plaaakk!
Yulia menjerit, namun pukulan kedua kembali menyusul ke pipinya, tapi kali ini... hap!
Sebuah tangan mungil menghalangi tangan kekar Pak Hendro.
“Jangan, Ayah! Kekerasan nggak akan menyelesaikan masalah.” ucap Risa Armando yang diketahui Bram sebagai kakak kandung Yulia.
“Tapi dia....!”
“Tolong kasih waktu buat Bram bicara, yah. selesaikan urusan ini baik baik,” ungkap Risa, lalu ia berpaling lagi kepada Bram.
“Bram, buruan ngomong!” tegasnya.
Dalam hati Bram sempat terpikir kalau dirinya masih berpotensi mendapatkan hati dan perhatian Yulia ataupun Risa.
"Makasih, Risa. Semua keputusan gue serahin ke Yulia aja. Gimana, Yul? Lo mau tetep sama gue atau..."
Yulia tergagap, ia segera bangun dengan masih bergandengan, walau sebenarnya Yulia tak bermaksud mesra hanya karena memapah Bram yang tampak sempoyongan.
"Gue... gue akan jawab nanti. Tapi sekarang gue nggak bisa biarin Bram dalam kondisi begini. Ayo Bram!"
Situasi itu membuat Raka semakin tak bisa menutupi kemarahannya. Sekalipun ia berusaha menahan diri, sehingga saat itu juga ia reflek berlari mencengkeram lengan Yulia.
“Yulia! Tunggu!”
Tapi di luar dugaan Yulia menampik tangannya dan malah melanjutkan langkahnya memapah Bram menjauhi kerumunan. Saat itu Bram mencoba bicara.
“Yulia... Yulia... lo yakin sama apa yang lo lakukan ini kan, yul?”
Yulia terhenti kemudian menatap lekat Bram, di mata Bram, ia masih melihat sisa cinta yang begitu besar di wajah Yulia, pun ketika air mata Yulia lengkap menjatuhi pipinya. Bram lega dan terenyuh tapi hatinya mendadak gusar saat tiba-tiba sebuah teriakan lain menyadarkan Yulia.
“Yulia! Kamu keterlaluan, nak! Kamu tega mengorbankan kami semua demi dia, nak? Yakin kamubakan sanggup mempermalukan diri kamu sendiri juga membuat aib orangtuamu di depan orang banyak begini?!!” isak Bu Ratna yang sebenarnya sudah begitu cantik dengan kebaya dan sanggulnya, namun kecantikannya pudar oleh rasa kecewa dan kesedihan mendalam melihat tingkah laku anaknya di depan umum.
“Pulanglah, nak! Ibu Mohon. Uhuk... uhuk...," lanjutnya lagi. Lalu batuknya berganti dengan suara napas Bu Ratna yang kedengaran menyesakkan. Sampai – sampai hati Yulia pun ikutan sesak.
Perlahan tangan Bram dilepaskan, sesenggukan sambil kemudian menjauhinya. Bram panik.
“Nggak, yul... Jangan tinggalin gue, Yul... Gue masih cinta dan gue nggak ikhlas lo putusin gue cuma gara-gara perjodohan sepihak ini. Karena gue tau, lo masih cinta kan ama gue.”
Aryo melongo tegang mendengarnya. Sementara beberapa kamera hadirin masih belum selesai mengabadikan momen dramatik itu.
Tiba-tiba...
Plaakk!
Akhirnya tangan Raka mendarat juga di pipi Bram. Lelaki itu begitu berang. Prosentasi kebencian di wajahnya melebihi kebencian yang dirasakan Bram.
“Pergi dari sini atau kami semua akan mempidanakan kamu! Pergi...!!!”
Lelaki itu mendorong Bram berkali-kali hingga tersungkur di ujung gerbang rangkaian bunga selamat datang.
Rasa malu dan hina kini seluruhnya menjadi milik Bram. Dia ingin menangis tapi berusaha menahannya, namun ketika ia ingin marah, Aryo dan beberapa pengunjung berusaha menahan dan memapahnya keluar area pelaminan dengan kalimat kalimat sok bijak.
“Bro, udah, bro! Jangan diperpanjang lagi. Kita cabut dari sini sekarang juga, Ayo...!“
“Nggak Bisa, Yulia milik gue ...Yuliaaa ...!”
“Aduh, bro! Teriakan lo kayak di sinetron tau nggak kalo kayak gini.”
Aryo mengoceh lagi sambil terus menarik tubuh payah Bram sekuat tenaga, setengah kerepotan sambil memanggul kameranya.
Yulia bergetar mendengar teriakan Bram, tapi ai tak kuasa saat rengkuhan tangan Raka dan ayahnya menariknya kembali ke pelaminan, tidak perduli perempuan itu sudah kelihatan payah dengan siksaan batin yang luar biasa. Hanya sekalimat kata maaf yang bisa dia lepaskan di dalam hatinya.
“Maafin gue, Bram ... Gue nggak bisa nolak takdir ini ... maafin gue, Braammm ....”
Tiba-tiba Bram berlari menarik tangannya sekuat tenaga.
“Nggak, Yulia! Lo harus hentikan semua ini. Ini bukan keinginan lo, kan? Masih ada mimpi kita yang menunggu, Yul.”
Pak Hendro jadi melotot,
“Nggak ...! Nggak Bram ... Sorry!” ucapnya melengos pergi.
Kali ini Bram menghadang dan menyentaknya.
“Nggak Bisa, Yul!”
"Kita emang ga bisa bersatu. Jadi ... mulai hari ini jangan ganggu gue lagi. Bram... silahkan pergi dari sini, toh juga gue nggak pernah ngundang lo, kan?”
Bram tak lagi mampu berkata-kata, Kalimat itu seakan merobek lagi luka lama yang belum sempat disembuhkan. Pun ketika para hadirin yang kontra dengan kehadirannya ikut membantu mengeksekusi tubuhnya menjadi bahan pelampiasan emosi mereka. Bahkan Aryo tak lagi mampu menolong karena semuanya semakin brutal. Cukup lama bagi orang orang lain melerai keributan itu. Dan semuanya berhenti ketika Bram berakhir tak sadarkan diri dengan cukup banyak luka di sekujur tubuhnya.
Yulia menangis sejadi jadinya seolah menyesali semua perkataan jahat yang telah ia lontarkan dan membuat mantan kekasihnya sudah kesakitan lebih dulu sebelum ia merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Detik berikutnya Aryo dan beberapa orang termasuk Risa tergopoh-gopoh menggendong tubuh Bram yang sudah berdarah - darah ke mobilnya. Para hadirin ikut panik tapi mereka tidak juga menurunkan kameranya seakan-akan tak ingin melepaskan moment spesial itu dari bidikan lensa di ponsel mereka.
To be Continued...
Ruang rawat terasa begitu dingin, Risa menggigil sambil masih menatap wajah beku Bram yang belum lepas dari kesedihan. Semakin beku melihat wajah Bram diselang tabung oksigen dengan salah satu lengannya yang masih tertancap jarum infus.
Aryo yang paling menyesal.
“Sumpah gue nggak tau nama lengkap adek lo, sa...mana kebayang juga kalo dia mantannya si Bram. Tadinya gue ngajakin dia ngejob biar dia semangat lagi. Soalnya gue tau dia abis putus sama Yulia-nya itu. Trus ngaku ngaku nggak ada job padahal banyak banget orang pengantenan yang nungguin jasa dia.”
Risa tertunduk.
Aryo masih mengoceh,
“Gue nyesel ngajakin dia... nyeseelll! Nggak kebayang kalo itu gue alamin sendiri.”
Risa masih diam. Turut terpekur seolah merasakan situasi yang sama, entah kenapa ia malah lebih kasihan melihat kondisi Bram saat ini ketimbang perasaan bercabang yang tengah dialami adiknya sendiri. Perlahan ia memberanikan diri meraih tangan Bram. Tapi tiba-tiba saja jemari Bram bergerak sebelum tangannya berhasil menangkap seluruh jemari bengkak itu.
Risa dan Aryo tersentak, mereka menunggu gerakan selanjutnya. Aryo heboh dan girang melihat perkembangan kondisi sahabatnya itu.
“Dia siuman, Sa! Bram... Brammm.... bangun, Bram...!”
Bram tak bergeming namun bibirnya perlahan mulai bergerak pelan seolah ingin sekali mengucap sesuatu, Risa mencondongkan tubuhnya hampir mendekati wajah Bram.
“Brammm!?”
“Yu... Yulia!”
Entah kenapa Risa menjadi begitu kecewa saat nama adiknya disebut oleh Bram lagi, padahal Aryo benar benar kegirangan.
“Yee....temen gue kagak jadi koiiitt...!”
Nama itu disebutkan lagi, dan Risa seolah kehabisan harapan yang tersimpan jauh di relung hatinya. Ia hanya bisa menitikkan air mata sampai Aryo menyadarkan dirinya dengan tepukan di pundak.
“Woi, sa! Bram sadar lo kok malah nangis? Kenapa lo?”
Risa tergagap. Aryo malah terkekeh melihat tingkahnya yang salah tingkah.
“Gue tau... gue tau... itu tangis bahagia kayak di sinetron – sinetron itu kan? Hahaha...”
Akhirnya Risa tersenyum. Bukan karena merasa jawaban Aryo sudah tepat tapi dia merasa lucu melihat tingkah Aryo yang serampangan dan heboh itu. Paling tidak, Aryo sedikit menawarkan perasaannya yang menjadi begitu perih tadi. Dalam hatinya berharap, agar kepedihan yang dia rasakan perlahan sirna seiring dengan kesadaran Bram yang mulai pulih.
“Makasih, Ya Allah...” Gumamnya dalam hati.
***
Make up dan aksesoris pengantin sudah ditanggalkan dari sekujur tubuh Yulia. Pernikahan telah usai dan seharusnya semua sisa kegembiraan pesta itu milik sepasang pengantin. Tapi tidak dengan Yulia yang malah tampak murung, mondar mandir dengan perasaan gelisah di depan pintu kamarnya yang sedikit terbuka.
Lamunannya buyar tatkala Risa tiba dari rumah sakit dengan wajah letih.
Yulia segera mencegat langkahnya,
“Mbak Risa! Gimana keadaan Bram?”
Risa menghela napas, tak berani menjawab. Jelas ada kekecewaan yang Nampak di permukaan wajah gadis itu.
“Bram udah siuman!”
Risa lalu menerobos Yulia yang masih menghadangnya, tapi gadis itu mengejarnya.
“Mbak punya foto kondisinya Bram, kan? Gue mau liat kondisi dia?”
“Ngapain sih lo inget inget lagi, Yul! Elo tuh udah merried ama Raka. Kasian dia kalo elo masih inget aja sama mantan si Bram.”
Yulia diam, kelopak matanya semakin panas sampai akhirnya air matanya benar benar tumpah ruah.
“Plis, gue cuma pengen liat keadaan dia doang. Mbak pasti punya fotonya dia, kan?”
Risa menatap Yulia sekali lagi, akhirnya dia menyodorkan hapenya, untuk memperlihatkan foto keadaan Bram yang menyedihkan, namun belum juga Yulia sempat menerima hape itu, Raka muncul dan merebut ponsel itu kemudian men-delete gambar itu dengan marah.
“Jadi beneran masih inget?”
Yulia dan Risa menjadi tegang. Mereka tak bisa berbuat apa-apa saat kemudian Raka menuding wajah Yulia hingga membuat tubuh Yulian mundur – mundur menabrak dinding kamarnya sendiri.
“Kalo tau begini, aku lebih baik menikahi kakakmu! Aku sakit melihat kamu berkhianat berulang kali, bahkan di awal pernikahan kita sendiri, tanpa rasa malu kamu permainkan aku di depan keluarga dan seluruh tamu undangan! Liat ini!"
Yulia dan Risa terbelalak melihat perkelahian di pelaminannya menjadi viral di berbagai media sosial.
Jauh di kooridor rumah sakit, Aryo sama sama terkejut membaca berita itu, namun tiba-tiba saja wajahnya tersenyum licik seolah merencanakan sesuatu.
***
Hari berlalu berganti malam. Kondisi Bram semakin baik dan sudah siuman dari koma dan masa kritisnya. Walau sebagian wajah dan mukanya masih penuh bengkak dan lebam lebam yang berarti. Ia tampak merenung, menatap kosong ke jendela luar dengan tatapan sayu. Seolah kehabisan semangat hidup.
Pada akhirnya perpisahan akan selalu menjadi sistem sakit hati yang seakan tak pernah ada obat penawarnya secara instan. Begitulah yang dialami Bram dalam kamar pesakitan-nya yang belakangan hanya rela dikunjungi oleh Aryo. Rekannya yang arogan namun berhati baik itu tiba-tiba melunak setelah peristiwa di pelaminan itu, seolah ia merasa bersalah telah berada di pesta pernikahan paling tidak terlupakan seumur hidup, bahkan mungkin akan lebih terkenang dari pernikahan mereka nanti. Entah pernikahan dengan siapa.
Kreeoot...!
***
Pintu ruang rawat dibuka, dan Bram tak menengok sama sekali, pandangannya hanya tertuju kosong pada tembok rumah sakit yang monoton, tapi dalam imajinasi Bram, di tembok itu masih ada Yulia dengan seribu kenangan bersamanya.
Dengan serampangan Aryo menaruh hapenya dan menghadapkan layar youtube secara langsung di depan mata Bram.
“Daripada lo ngayalin Yulia lagi, lo mendingan liat tayangan ini dah!”
Mata Bram kian terbelalak saat melihat tayangan peristiwa memalukan di pesta pernikahan Yulia lalu kini menjadi Viral. Bahkan dirinya menjadi pemberitaan di beberapa kanal on line. Namanya melambung tinggi, hampir semua netizen menyumbang simpati dan rasa iba kepadanya. Tapi sebaliknya, Yulia berserta suami dan keluarganya di pernikahan itu dikecam habis karena tindakan pemukulan dan pencemaran nama baik itu. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang mengusulkan agar pihak Bram menuntut tindakan tidak senonoh itu ke pihak yang berwajib.
“Gila! Sampe segininya, yo. Masa gue disuruh laporin polisi segala”
“Ya bagus dong, artinya Masyarakat kita udah melek hukum. Mereka yang nggak disakitin aja ikut sakit ngeliat lo dihina dan dibikin malu trus digebukin pula. Kalo perlu, peres aja tuh keluarganya si Yulia sekalian. Tapi... eh... ada si risa, ya? dia kan yang bantuin bawa lo ke rumah sakit.”
“Hah? serius lo?”
“Tujuh rius, bro... bahkan saking berius-riusnya dia care banget nungguin lo ampe siuman. Dan gue juga akan ikutan care dong sama masalah lo. Nih, gue udah nyiapin ini! Taraaat...”
Bram makin terbelalak melihat surat pengaduan yang dibuat Aryo ke pihak yang berwajib, Bram segera merebutnya.
“Apa-apaan sih lo, yo! Perasaan lo baru nyebut ga enak ngelaporin keluarganya Yulia karena ada Risa yang udah care sama gue”
Oceh Bram merebut surat itu dan terlihat seolah hendak merobeknya. Karena dia yakin kalau surat laporan kriminalitas itu disetujuinya, itu sama saja mengakhiri kontrak cintanya dengan Yulia.
To be continued...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!