Rumah tua itu berdiri tenang di tengah deru kendaraan yang tak pernah henti melintas di Jalan Buah Batu, Bandung. Bangunannya masih asli sejak zaman kolonial, berdinding tembok tebal berlapis cat putih gading yang sudah mengelupas di beberapa sudut. Atap gentengnya yang kemerahan sedikit bergelombang, namun masih kokoh. Jendela-jendela kayu berdaun lebar terbuka lebar setiap pagi, menyambut angin kota yang lembab dengan aroma khas dedaunan dan tanah basah.
Halaman depan rumah tak begitu luas, tapi cukup untuk menampung deretan pot dan vas bunga yang dipajang dengan apik. Tepat di samping rumah induk, sebuah paviliun kecil direnovasi menjadi toko bunga mungil yang diberi nama Toko Bunga Dara. Pintu kayu berukir dengan lonceng kecil di atasnya akan berbunyi nyaring setiap kali seseorang masuk.
Tari Sukma Dara sedang sibuk menyusun rangkaian bunga mawar putih dan baby’s breath di meja panjang dekat jendela paviliun. Cahaya matahari pagi menembus kaca, menyinari wajahnya yang halus seperti porselen. Tubuhnya mungil, tak lebih dari 155 sentimeter, membuat apron hijaunya terlihat kebesaran. Rambut hitamnya diikat simpel ke belakang, menyisakan poni tipis yang membingkai wajah bulat manisnya. Para tukang bunga laki-laki di kios pasar dekat toko menyebutnya mirip Davinna Karamoy versi lebih mungil tentu saja.
“Teh Tari, ini teh pesenan atas nama Bagas harus di kirim ke Jalan Karawitan jam sembilan.” suara Santi, pegawai toko yang sudah dua tahun bekerja dengannya, terdengar dari ruang belakang.
Tari menoleh sambil tersenyum. “Oh, iya, San. Makasih udah ngingetin mau kamu yang kirim sekalian?” Bahasa Aku dan Kamu sangat normal di Bandung, tidak seperti di Jakarta yang terdengar kaku.
Santi muncul sambil menenteng kotak kardus berisi bunga segar. “Iya Teh, sakalian mau ke pasar itu nyari mawar putih tea. Ari supplier biasa si Aa Edo gak kesini lagi Teh?”
Tari mendesah pelan. “Iya Aa Edo nya lagi ngambek.”
“Halah padahal kalau liat Teteh mah kesini dia sumringah. Mana tega ngambek.” Santi tersenyum, wajahnya yang sedikit berminyak memancarkan ketulusan.
“Udah gak usah ribut bisi jadi gosip.” Bisik Tari lirih, setengah bercanda, setengah serius.
Santi nyengir. “Siap Teteh.”
Tari tersenyum.
Setelah Santi pergi, Tari kembali ke meja kerja. Ia memandang rangkaian bunga di depannya—bunga mawar putih yang masih basah, seakan membawa kesejukan pagi bersamanya. Di balik ketenangan itu, pikirannya terus bergulat dengan banyak hal. Toko bunga ini memang tampak sibuk dan cantik, tapi keuntungannya kecil. Banyak biaya tak terduga, dan beberapa tagihan masih tertunda. Namun Tari mencintai pekerjaannya. Ia merasa bunga-bunga itu berbicara padanya. Menenangkannya.
Jam dinding tua berdenting pelan saat pukul menunjukkan angka sembilan. Tari menyeka tangan dengan lap, bersiap menyambut pelanggan pertama hari itu.
Namun yang datang bukanlah pelanggan biasa.
Sebuah mobil Alphard hitam berhenti perlahan di depan toko. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan seorang perempuan berusia sekitar 60 tahunan turun, mengenakan gaun panjang berwarna krem dan blazer hitam. Penampilannya anggun dan tegas. Di belakangnya, menyusul hampir sepuluh orang berpakaian formal, beberapa tampak membawa tablet, ponsel, dan map besar.
Tari mengernyitkan dahi. Belum pernah ada tamu semewah ini datang ke tokonya.
Perempuan itu berjalan mendekat, matanya tajam, seolah mengukur tiap sudut toko dan… wajah Tari.
“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” Tari menyapa sopan, berdiri di balik meja kasir.
Perempuan itu tidak langsung menjawab. Ia melangkah masuk pelan, memandangi bunga-bunga di sekelilingnya, lalu menatap lurus ke wajah Tari. “Kamu… tinggal di sini, sendirian?”
“Eh… iya, saya tinggal di rumah sebelah. Ini toko saya.” jawab Tari, sedikit canggung.
“Namamu… Tari Sukma Dara?”
Tari mengangguk pelan, dadanya mulai berdebar. “Iya, betul.”
Perempuan itu memberi kode pada seorang wanita berusia 40 tahunan yang mengikutinya dari belakang, Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari tas tangan kulitnya. Sebuah foto lusuh, agak pudar.
Ia menyerahkannya pada Tari.
Tari menatap foto itu. Seorang perempuan muda, mengenakan kebaya, tersenyum sambil menggendong bayi kecil berambut lebat. Dan… wajah perempuan itu—sangat mirip dengan wajahnya sendiri.
“Eh… ini…” Tari menelan ludah, bingung. “Ini… sepertinya Ibu saya… tapi saya hanya pernah lihat dari foto yang disimpan Ayah. Ini…”
“Iya. Itu ibumu. Dan dia… anak saya.”
Semua terasa seperti berhenti sejenak.
“Apa?” suara Tari nyaris tak terdengar. “Ibu… Anda bilang… dia anak Anda?”
Perempuan itu mengangguk pelan. “Nama saya Tirtamarta Kartanegara. Saya pemilik perusahaan kosmetik Kartanegara Beauty. Saya… nenekmu, Tari.”
Tari terdiam. Dunia seakan berputar. Nafasnya tercekat.
“Tidak… tidak mungkin. Ibu saya meninggal waktu saya masih bayi. Saya dibesarkan oleh ayah saya. Saya… saya tidak pernah tahu siapa keluarga Ibu saya.”
Tirtamarta menarik kursi dan duduk tanpa diminta. “Itu kesalahan saya. Saya kehilangan ibumu karena keegoisan saya. Dia pergi, kawin lari dengan ayahmu, dan tidak pernah kembali. Saya mengira dia sudah mati. Tapi sekarang saya tahu… dia meninggalkanmu.”
Para rombongan yang berdiri di belakang mulai bergerak pelan, menaruh map dan dokumen. Beberapa tampak menyusun barang-barang di meja sebelah.
“Saya tidak mengerti,” bisik Tari. “Kenapa sekarang?”
Tirtamarta menatapnya lekat-lekat. “Karena kamu satu-satunya keluarga yang saya punya. Dan saya butuh seseorang untuk meneruskan kerja keras saya.”
Pagi yang tenang itu berubah menjadi pusaran angin tak terduga. Tari merasa seolah hidupnya dilemparkan ke dalam dunia yang sama sekali asing.
Ia menolak saat itu juga. “Maaf, Bu… saya tidak bisa ikut Ibu ke Jakarta. Saya tidak mengenal Ibu. Saya bahkan tidak tahu apakah ini benar atau tidak.”
Tirtamarta tak memaksa. Ia bangkit dari kursinya, lalu menaruh kartu nama di meja. “Saya akan menunggu jawabanmu. Tapi ingat… kesempatan ini tidak datang dua kali.”
Tirtamarta menatapnya sebentar tanpa jeda lalu menghela nafas, “Kamu begitu mirip Ibumu. Semoga kamu tak akan mengecewakanku seperti Ibumu Tari.”
Rombongan itu pergi, mereka membungkuk pada Tari. Hal yang tak pernah Tari dapatkan sebelumnya namun langkah Tirtamarta berhenti ditengah halaman.
Ia menatap seorang pria yang berdiri di luar pintu mobil, menatap ke arah toko dengan wajah datar.
Dia pria muda, mungkin sekitar tiga puluh tahun, dengan rambut hitam yang disisir rapi ke belakang. Ia mengenakan kaus hitam halterneck tipis yang menempel di tubuhnya yang ramping, dan jaket corduray cokelat yang membuatnya terlihat seperti seseorang dari majalah mode, tapi tidak berusaha menarik perhatian. Matanya tajam, nyaris dingin. Seperti seseorang yang terbiasa memperhatikan dalam diam, lalu membuat penilaian sendiri.
“Gilang, masuklah sebentar,” suara Tirtamarta terdengar dari tengah halaman.
Tanpa bicara, Gilang melangkah pelan ke arah Tirtamarta. Ia tak tergesa, langkahnya tenang namun pasti. Lalu berjalan bersama Tirtamarta kembali ke arah Tari.
Ketika lonceng kecil di pintu toko berbunyi kembali, Tari yang masih berdiri di ruang tengah langsung menoleh.
Pria itu masuk tanpa berkata apa-apa. Matanya menyapu seluruh ruangan, lalu berhenti pada wajah Tari. Ada jeda sesaat. Wajah Gilang tetap datar, tapi matanya sedikit menyipit, seolah menganalisis.
“Gilang akan menyiapkan segala kebutuhanmu kalau kamu memutuskan ikut ke Jakarta,” kata Tirtamarta dari ambang pintu, lalu ikut masuk.
Tari menoleh ke arah wanita itu, lalu kembali menatap pria di depannya.
Gilang mengangguk singkat. “Saya hanya akan melakukan apa yang Ibu perintahkan.”
Suara Gilang datar, tenang, tapi tegas. Tidak terdengar sombong, tapi juga tidak hangat. Tari mengangguk kaku, merasa dirinya sedang dinilai seperti tanaman yang hendak dilelang di pelelangan besar.
Tirtamarta menarik napas panjang. “Gilang Adiyaksa, anak angkat saya. Bersama saya sejak usia sepuluh tahun. Saya menyekolahkannya, membawanya ke Amerika, dan sekarang dia membantu saya menjalankan perusahaan. Jadi secara hukum dia adalah Pamanmu."
Tari hanya mendengarkan. Semua informasi itu melintas seperti peluru. Ia masih belum bisa memproses semuanya. Jadi pewaris, punya nenek sekarang punya paman.
“Ibumu adalah anak kandung saya satu-satunya. Intan Sukma. Ah dia sangat keras kepala. Dan akhirnya dia kabur dan saya biarkan.”
Suara Tirtamarta sedikit bergetar. “Itu adalah penyesalan terbesar saya.”
Tari menunduk, bingung harus berkata apa.
“Saya baru tahu dia meninggal setelah melahirkanmu. Dan sekarang, saya ingin memperbaiki kesalahan saya… lewat kamu.”
Gilang menatap Tari sejenak. Sorot matanya tak mudah ditebak. Lalu ia berbalik dan kembali ke pintu. Ia berdiri di samping mobil sambil berbicara dengan seseorang lewat earphone kecil di telinganya. Profesional. Tenang. Tidak mengganggu.
Tari diam-diam memperhatikan. Ada sesuatu dari pria itu yang membuatnya sulit mengalihkan pandangan. Ia tidak berotot seperti pria-pria dalam iklan parfum atau pakaian olahraga. Tubuhnya justru terlihat kurus, bahkan dadanya sempit seperti belum cukup makan. Tapi ada aura kuat dalam dirinya—bukan dari fisik, melainkan dari keteguhan dan ketenangan yang tampak pada cara dia berdiri dan berbicara.
Tirtamarta meraih tangan Tari, membuatnya terkejut.
“Saya tahu ini semua terlalu cepat. Tapi kamu cucuku. Dan saya tidak ingin kamu hidup seperti ini selamanya—terjebak di toko kecil, berjuang sendirian.”
Tari menatap wanita itu. Ada kesedihan di balik mata tegasnya.
“Saya tidak akan memaksa. Tapi pikirkanlah,” tambahnya, sebelum ia dan Gilang kembali masuk ke mobil.
Kali ini, mobil itu benar-benar melaju menjauh, meninggalkan Tari berdiri sendiri di depan toko bunganya yang kembali sepi.
Dan tamu pertama di Toko Bunga Dara pagi akan menjadi permulaan kisah yang akan mengguncang hidupnya.
Sore harinya, Tari duduk di lantai kamar sambil memandangi foto lama yang tadi diberikan. Ia menyandarkan kepala ke tembok, pikirannya masih jauh mengembara.
“Ibumu adalah anak saya.”
Ia mengulang-ulang kalimat itu dalam hati.
Apakah benar? Apakah benar ia adalah cucu dari Tirtamarta Kartanegara, pemilik perusahaan kosmetik terbesar di Indonesia? Lalu… kenapa baru sekarang? Kenapa hidupnya yang tenang harus tiba-tiba diguncang oleh kenyataan ini?
Pikirannya kembali pada sosok Gilang.
Pria itu… berbeda.
Bukan sekadar dingin. Ada semacam luka yang disembunyikan rapat. Tari bisa merasakannya, entah bagaimana. Ia tahu seperti apa rasanya menyimpan luka.
Malam itu Tari tak bisa tidur. Ia membuka ponselnya, mengetik nama “Tirtamarta Kartanegara” di kolom pencarian. Sejumlah artikel dan berita langsung muncul. Semua tentang perusahaan, penghargaan, kekayaan, dan pengaruhnya di dunia bisnis kecantikan.
Ia membuka Instagram, mencari akun Kartanegara Beauty. Akun perusahaan kosmetik pada umumnya, beberapa promosi, dan mereka juga baru launching cushion yang kebetulan Tari beli saat ke Guardian minggu kemarin. Tari melirik cushion coklatnya yang ada di meja rias lalu mendecakan lidah. Tari menatap following akun itu, hanya follow 10 akun. Dua diantaranya brand ambasadornya yang merupakan salah satu Anggota JKT48 dan Aktor Korea yang sedang naik daun, yayasan peduli kasih Intan yang sepertinya berdasarkan nama ibu Tari, akun pabrik pembuat kosmetik milik Tirtamarta dan beberapa brand terpisah tidak ada Tirtamarta atapun Gilang Adiyaksa disana.
Tari menggulingkan tubuhnya dikasur, lalu tengkurap dikasur menatap ponselnya. Dengan sedikt ragu ia mengetik: “Gilang Adiyaksa.”
Tak banyak informasi. Beberapa artikel menyebut namanya sebagai COO Kartanegara Beauty, lulusan universitas ternama di Amerika. Tidak ada media sosial, tidak ada wawancara pribadi. Ada namanya di lulusan Stanford dengan gelar Phd. Management tapi selain itu Ia seperti bayangan yang bergerak di belakang layar.
Sekolah di Amerika, Tari pernah punya mimpi itu mimpi kuliah Jurusan Flower Management di Mississippi State University. Tapi saat itu Ayahnya sudah sakit gagal ginjal dan Ia tak mungkin meninggalkannya. Tari memilih jurusan paling dekat dekan bisnis bunga yaitu Agribisnis, walau jurusan ini lebih ke tanaman yang bisa dikonsumsi tapi basic nya cukup mirip. Tari mengerjapkan matanya, Ia kembali menatao artikel-artikel itu.
Ia lalu terdiam cukup lama adalah satu foto dari artikel lama—Gilang berdiri di belakang Tirtamarta dalam sebuah konferensi pers. Posisi berdirinya sama seperti tadi pagi, ekspresinya pun sama: tenang, dingin, nyaris tanpa emosi.
Tari melempar ponselnya dan mendesah panjang. Dunia yang berbeda. Dan kini, dunia itu mengetuk pintunya.
Keesokan paginya, Tari merangkai beberapa pesanan. Namun entah kenapa pikirannya seperti melayang. Sampai sebuah suara mengagetkannya. “Teh, tong ngalamun.” Suara Santi yang ceriwis. Tari terkejut, lalu tersenyum. “Enggak kok San, anak-anak udah pada makan?” Tari menanyakan jatah sarapan 8 orang pegawainya, mungkin ini salah satu yang membuat keuangan toko tidak baik. Ia memberi makan dua kali sehari sarapan dan makan siang, makan malam apabila ada lembur. Belum lagi kopi instant, teh, gula, Aqua, mie instant. Bensin mobil dan motor. Tagihan listrik dan air. Juga rumah tua yang butuh banyak perawatan, bocor, cat mengelupas, pompa yang rusak. Tari kembali merebahkan tubuhnya menatap langit-langit yang penuh bekas air.
Sahabatnya Aline menyarankan Tari menjual rumah ini, tapi Tari menolaknya. Rumah ini satu-satunya peninggalan Ayahnya, tempat Ia dilahirkan dan kata Ayah tempat Ibu merasa sangat bahagia. Walau Ia hanya tahu Ibunya dari cerita, tapi rumah ini menyimpan semu cerita itu dan menjualnya berarti membuat Tari merasa kehilangan semuanya.
Siang hari Tari menatap layar laptopnya, perhitungan excelnya masih minus. Matanya sudah cukup perih, Ia menggosok matanya lalu menatap kearah pintu, pikirannya lalu kembali ke pria itu. Yang berjalan dibelakang Tirtamarta kearahnya.
Gilang Adiyaksa.Kenapa dia begitu pendiam?
Kenapa tatapannya menusuk tapi tak pernah berbicara?
Dan kenapa… ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Tari ingin tahu lebih banyak?
Ia menepuk pipinya pelan, menegur dirinya sendiri. “Fokus, Tari. Jangan memikirkan pria asing yang bahkan tidak tersenyum padamu.”
Tapi entah kenapa, bayangan pria kurus dengan jaket bludru cokelat itu terus muncul dalam kepalanya. Menolak pergi. Dan Tari sadar, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Tari membuka kartu nama elegan berwarna putih keemasan itu untuk kesekian kalinya. Di sisi kiri tercetak nama “Tirtamarta Kartanegara” dengan font serif mewah, sementara di sisi kanan ada lambang daun berkilau yang tampak seperti logo sebuah kerajaan kecantikan. Ia masih tidak percaya kartu ini kini berada di tangannya.
Di belakang toko, di dapur kecil yang menyatu dengan rumah utama, Tari duduk bersila di kursi rotan reyot milik almarhum neneknya. Secangkir teh melati yang telah dingin dibiarkan terbengkalai di atas meja. Pikirannya tak bisa lepas dari tawaran yang datang kemarin pagi—tawaran yang bisa mengubah seluruh hidupnya.
“Pindah ke Jakarta. Belajar menjadi penerus. Menjadi bagian dari keluarga Kartanegara.”
Tari mendesah panjang. Ia menoleh ke arah jendela kecil yang menghadap ke taman belakang, tempat beberapa pot anggrek tergantung manis. Semua ini… semua yang sederhana tapi ia cintai—rumah tua, toko bunga mungil, dan kehidupannya yang damai di Bandung—akan ia tinggalkan kalau ia menerima tawaran itu.
Tapi bagaimana kalau ia menolaknya?
Toko bunganya sudah lama berjalan di garis tipis antara untung dan rugi. Beberapa bulan terakhir, pemasukan menurun drastis karena kompetitor baru dan harga bunga dari supplier terus naik. Tari bahkan belum membayar lunas tagihan bulan lalu.
Namun tetap saja… Jakarta terasa terlalu asing. Dunia Tirtamarta terlalu besar. Terlalu mewah. Terlalu jauh dari kehidupan yang selama ini ia jalani.
Hari itu Tari memutuskan mengunjungi sahabatnya, Aline, yang tinggal di kawasan Antapani. Aline sudah menikah dua tahun lalu dan kini tengah menikmati hari-hari sebagai ibu baru dari seorang bayi laki-laki bernama Bima. Mereka bersahabat sejak SMA dan hubungan mereka tetap dekat, meski hidup membawa mereka ke jalur berbeda.
“Eh, akhirnya datang juga! Aku kira kamu bakal sibuk terus di toko,” seru Aline begitu membuka pintu.
“Aku butuh udara segar,” jawab Tari pelan.
Aline memperhatikan ekspresi sahabatnya, lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk. Kamu kelihatan… bingung.”
Tari tersenyum tipis. “Lebih ke… hidupku tiba-tiba kayak sinetron.”
Begitu masuk, Tari langsung disambut aroma khas rumah baru yang masih berbaur dengan wangi bedak bayi. Ruang tamunya rapi, dengan sofa abu-abu muda dan bantal berwarna pastel. Di pojok ruangan, ada keranjang bayi dengan mainan gantung berbentuk awan dan bintang-bintang kecil.
Bima sedang tidur, pipinya tembam dan merah muda.
Tari menghampiri, lalu duduk perlahan di sampingnya. Ia menyentuh tangan mungil bayi itu dengan penuh rasa ingin tahu. “Astaga, dia besar ya sekarang… terakhir aku lihat masih merah banget.”
“Sekarang udah pintar nangis tiap dua jam,” Aline tertawa sambil menuangkan teh. “Udah, cerita. Kenapa kamu bilang hidupmu kayak sinetron?”
Tari menarik napas dalam-dalam, lalu mulai menceritakan semuanya—tentang kunjungan Tirtamarta, foto ibunya, pengakuan mengejutkan, dan tawaran untuk pindah ke Jakarta menjadi penerus bisnis kosmetik.
Aline tidak langsung menanggapi. Ia menatap Tari dengan ekspresi tak percaya.
“Gila… Kartanegara Beauty? Ini kayak plot drama Korea.” Aline mengaduk tasnya mengeluarkan sebuah lipstik. “Ini, ini buatan Kartanegara Beauty, Gila gilaaaa.”
Tari mengangguk pelan. “Aku juga hampir gila.”
“Dan kamu nolak?”
Tari terdiam. “Iya tapi enggak. Aku nggak bisa bayangin ninggalin semua yang aku punya di Bandung. Rumahku, tokoku, Santi, bunga-bunga yang aku rawat sendiri… semuanya. Ini hidupku, Line.”
Aline menghela napas. Ia mengambil tempat duduk di sebelah Tari.
“Tar, kamu tahu aku orang pertama yang akan dukung kamu ngejar apapun yang kamu mau. Tapi dengerin aku baik-baik. Mungkin ini… bukan soal kamu meninggalkan hidupmu. Mungkin ini soal kamu disuruh Tuhan memperjuangkan hidupmu, tapi dari jalur yang beda.”
Tari menatapnya, bingung.
“Tokomu bisa tutup kapan saja kalau kamu terus begini. Kamu kerja siang malam, tapi tagihan tetap numpuk. Kamu hidup pas-pasan. Kamu bahkan nggak punya BPJS, Tar. Kalau kamu sakit, gimana?”
Tari menunduk.
“Kalau tawaran ini bisa jadi jalan buat kamu bangkit—buat menyelamatkan toko itu, buat membangun hidup baru… kenapa harus takut?” Aline melanjutkan.
“Aku takut… kehilangan hidupku,” bisik Tari.
Aline tersenyum dan menyentuh bahu sahabatnya. “Tari yang aku kenal nggak akan pernah kehilangan hidupnya hanya karena pindah kota atau pakai blazer mahal. Kamu tahu siapa dirimu. Dan itu nggak bakal berubah.”
Tari diam. Pikirannya semakin kacau. Namun, ada sesuatu dalam kata-kata Aline yang terasa benar. Ia merasa seperti berdiri di persimpangan jalan yang asing—satu jalur membawa kembali ke kehidupan yang dikenalnya, penuh tantangan tapi familiar. Jalur lain penuh ketidakpastian, tapi mungkin… mungkin saja, itu jalur yang selama ini ditakdirkan untuknya.
“Tar…” Aline menepuk tangannya. “Coba pikirin bukan dari sudut pandang kamu aja. Tapi dari sudut pandang Toko Bunga Dara. Tempat itu butuh diselamatkan. Pegawaimu butuh kamu. Kamu bisa dapat ilmu di Jakarta, pulang ke Bandung suatu hari nanti, dan bangun bisnis lebih besar. Siapa tahu, bisa buka cabang.”
Tari tersenyum kecil. “Kamu pinter banget ngomong kayak motivator, ya.”
Aline mengangkat alis. “Yah, sejak jadi ibu, otak aku otomatis lebih tajam. Harus mikir makanan, popok, imunisasi, semua!”
Mereka berdua tertawa. Suasana menjadi sedikit lebih ringan.
Beberapa saat kemudian, Bima terbangun. Aline langsung menggendongnya dan membawanya ke Tari.
“Nah, nih. Kamu butuh alasan untuk nggak terlalu banyak mikir. Main dulu sama ponakanmu!”
Tari menerima bayi itu dengan hati-hati. Bima menggeliat pelan, menguap kecil lalu menatap Tari dengan mata bulat besar. Tangannya yang mungil mencengkeram jari Tari, dan sesuatu di dalam dada Tari menghangat seketika.
“He’s… perfect,” bisik Tari.
Aline tersenyum sambil duduk di lantai, mengamati keduanya. “Kadang kita baru tahu hidup bisa berubah dalam semalam… pas kita udah punya seseorang atau sesuatu yang kita mau lindungi.”
Tari menatap bayi itu lama, membiarkan tawa kecil dan tangisan pelan Bima mengisi ruang hening di pikirannya. Bayi ini tidak tahu betapa dunia luar bisa begitu rumit. Tapi dari matanya, Tari bisa merasakan harapan. Sederhana. Jujur.
“Line…” Tari berkata pelan. “Kalau kamu di posisiku, kamu bakal pergi?”
Aline tidak butuh waktu lama untuk menjawab. “Aku bakal pergi. Tapi aku nggak bakal lupa jalan pulang.”
Tari terdiam, lalu tersenyum tipis.
Mungkin… mungkin dia memang harus mempertimbangkan ulang tawaran itu
Saat sore menjelang, Tari berpamitan pulang. Ia berjalan kaki kembali ke rumah, melewati deretan rumah-rumah tua dengan pagar kayu dan tanaman rambat yang menjuntai liar. Angin sore menyentuh pipinya, membawa aroma khas Bandung yang lembut dan menenangkan.
Sesampainya di depan rumah, ia berdiri sejenak menatap paviliun kecil tempat tokonya berdiri. Lampu gantung masih menyala. Pot-pot bunga tertata seperti biasa, tapi ada perasaan berbeda yang kini mengisi dadanya.
Tempat ini adalah hidupnya.
Tapi mungkin, untuk menyelamatkan tempat ini…
Ia harus pergi sejenak dari rumah yang ia cintai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!