NovelToon NovelToon

Ketika Istriku Lelah

Bab Satu

Rani membuka foto-foto saat masih sekolah dulu. Banyak terdapat foto mereka bertiga, ada dia, Audi sahabatnya dan Bimo sang suami. Tampak sangat bahagia.

Rani lalu mengelus perutnya. Banyak yang mengira jika Bimo mencintai Audi, karena mereka lebih sering jalan bareng. Sehingga saat Bimo lebih memilih dirinya dan akhirnya mereka menikah, teman-teman banyak yang merasa heran.

Saat Rani sedang asyik memandangi foto-foto mereka bertiga, terdengar suara seseorang yang sedang dia nantikan. Wanita itu lalu menutup album foto tersebut.

"Ada apa nih memintaku datang di jam segini, tak tau ya aku ini wanita karir. Aku tadi sudah berpikiran yang bukan-bukan," ucap Audi sambil bercanda. Gadis itu langsung menghempaskan tubuhnya di sofa empuk tersebut.

"Aku mau kamu temani mencari perlengkapan bayi. Aku yakin anak ini pasti senang jika aunty nya ikut mencarikan baju menyambut kelahirannya," ucap Rani.

"Aku kira ada apa tadi! Aku segera minta izin libur kerja hanya demi ke sini. Katanya sangat penting. Aku takut kamu kenapa-kenapa," ujar Audi.

"Ini juga hal penting Audi!" seru Rani.

Rani selalu manja dan ingin semua keinginannya diikuti. Mungkin karena dia yang selalu di manja kedua orang tuanya. Dia merupakan anak tunggal. Berbeda dengan Audi, dia sangat mandiri. Dari kecil sudah terbiasa bekerja.

"Hhmm ... kita pergi dengan apa?" tanya Audi.

"Dengan mobilku. Motormu tinggal di sini saja," jawab Rani.

Audi mengangguk tanda setuju. Dia dan Rani lalu berjalan menuju garasi mobil.

"Aku yang nyetir. Kamu pasti capek dari tempat kerja!" seru Rani.

Rani lalu memilih salah satu mobil. Dia mengajak Audi masuk. Setelah itu dia menjalankan mobil dengan kecepatan yang lumayan tinggi.

"Rani, pelan dikit. Kamu itu sedang hamil. Atau aku saja yang nyetirnya?" tanya Audi.

Rani memang selalu ngebut jika membawa mobil. Jika saat dia masih gadis, Audi tak akan seheboh saat ini melarangnya.

"Kalau terlalu pelan kapan sampainya? Jalanan sunyi kok!" seru Rani.

"Apa Mas Bimo tak melarang kamu nyetir begini?" tanya Audi.

Walau sebenarnya kecepatan mobil yang Rani jalankan tidak terlalu kencang, tapi Audi merasa tidak sesuai jika yang mengemudinya seorang wanita hamil. Dia takut juga terjadi sesuatu dengan sahabatnya itu.

Audi bisa mengendarai mobil setelah belajar dengan Rani saat mereka sama-sama masih gadis. Tapi, Rani selalu menolak jika dia yang mengemudi karena bagi wanita itu Audi terlalu pelan dalam menjalankan mobilnya.

"Dia selalu melarang. Aku tadi bilang kalau kamu yang menyetir, jadi diizinkan," ucap Rani.

"Tapi kamu sudah membohongi suamimu, Rani. Jika dia tau, aku bisa terbawa nantinya," ucap Audi.

"Tenang saja, Audi. Mas Bimo tak akan tau jika tak ada yang mengadu!" seru Rani dengan tetap mengendarai mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi.

Tapi Rani, walau Mas Bimo tak tau, kamu tetap harus pelan'kan sedikit! Kamu kan hamil!" teriak Audi, sahabatnya yang duduk di kursi penumpang. Wajahnya tampak tegang, seolah-olah setiap detik Rani mempercepat mobil hanya memperpendek umur mereka.

Biasanya Audi tak pernah setakut ini jika Rani menyetir dengan kecepatan tinggi. Tapi, kali ini dia merasa akan terjadi sesuatu sehingga bibirnya tak berhenti mengingatkan sahabatnya itu.

"Tenang aja, Audi! Aku tahu apa yang aku lakukan!" sahut Rani dengan nada riang. Dia menoleh sesaat ke arah Audi, senyumnya lebar, menerangi wajahnya yang cantik meski perutnya sudah semakin membesar.

"Iya, kamu memang tau. Tapi demi keselamatan kita juga. Apalagi keadaan kamu sekarang. Coba bayangkan kalau sampai kita …," suara Audi terhenti, mulutnya terkatup rapat, tetapi matanya memancarkan kekhawatiran yang dalam.

"Enggak mungkin terjadi apa-apa, kok. Ini hanya jalanan kosong. Lagi pula, aku selalu berhati-hati. Percayalah, Audi!" Rani mempercepat laju mobilnya lagi, membuat jantung Audi berdegup lebih kencang.

Mobil meluncur di antara pepohonan yang berjejer di sisi jalan. Rani merasakan adrenalin mengalir dalam dirinya. Dia menikmati kebebasan di balik kemudi, meski dalam hati ada sedikit rasa bersalah karena mengabaikan nasihat temannya. Dia juga melupakan pesan suaminya agar tak mengemudi lagi karena kehamilannya yang membesar.

"Rani, ya Tuhan! Pelan-pelan, please!" suara Audi semakin parau. Gadis itu memegang pegangan di atas jendela, meringkuk seperti ingin menyatu dengan kursi.

Rani tertawa kecil, "Bentar lagi kita sampai, Audi! Santai aja. Lagipula aku udah biasa mengemudi. Ini hanya sebentar kok!"

Jalanan tidak terlalu ramai karena masih jam kerja. Sehingga Rani lebih leluasa mengebut.

"Tapi kamu hamil, Rani! Hamil!” Audi mengulang kata ‘hamil’ seolah itu adalah mantra yang bisa menyadarkan Rani dari kegilaannya.

Obrolan terus berlangsung, tetapi Rani lebih memilih menutup telinga. Dalam pikirannya, kecepatan adalah simbol kebebasan. Dia ingin merasakan kebebasan ini sebelum tanggung jawab sebagai seorang ibu datang. Hatinya masih berdegup kencang, menantang batas kecepatan yang ada.

"Rani, hati-hati! Ada mobil di depan!" teriak Audi, tetapi kata-kata itu terlambat keluar dari mulutnya.

Dari kejauhan, mereka melihat sebuah kendaraan bak terbuka melintas di jalan. Rani yang terhanyut dalam euforia, entah bagaimana, gagal untuk menyadari jarak antara mobilnya dan kendaraan di depan. Dia tidak punya waktu untuk berpikir, reflek, dan menginjak rem.

Mobil yang Rani kendarai menabrak pembatas jalan. Bunyi tabrakan yang mengerikan terdengar seperti suara gemuruh. Dunia seakan membeku dalam sekejap, air mata Audi bercucuran hanya untuk sejenak. Rani merasa tubuhnya terlempar ke depan, saat pelindung mobil tidak mampu menyelamatkan mereka dari nasib buruk itu.

**

Selamat Pagi Menjelang siang. Hai ... hai, mama datang lagi dengan novel terbaru. Mama mengharapkan dukungan dari semuanya.

Jangan lupa baca setiap bab yang update agar retensi tercapai. Terima kasih. Lope-lope sekebon jeruk.

Bab Dua

Rani terbangun dari kegelapan, matanya perlahan terbuka saat cahaya lampu neon yang dingin menusuk ke dalam ruang perawatan. Bau antiseptik menyeruak di udara, menciptakan atmosfer yang dingin dan tidak bersahabat. Jantungnya berdebar kencang, dan saat ia mencoba menggerakkan tubuh, rasa sakit yang tajam menusuk di perutnya. Kenangan akan kecelakaan itu mengembalikan gambaran samar tentang mobil yang menabrak pembatas jalan karena menghindari sebuah truk.

Suara teriakan, dan Audi, sahabatnya yang terjatuh terbayang dalam pikirannya. Namun, satu hal yang paling membebani pikirannya: janinnya.

“Audi?” suara lemah Rani memanggil sahabatnya yang tidak terlihat.

Audi, sahabatnya, langsung muncul dari balik tirai, wajahnya pucat dan bermata sembab. "Rani!" Dia duduk di sisi tempat tidur dengan cepat, menahan tangan Rani. “Kau akhirnya sadar.”

Beruntung Audi tak mengalami luka serius sehingga bisa langsung menemui Rani. Walau sebenarnya dia masih merasakan sakit.

“Apa … apa yang terjadi?” Rani menatap tajam pada Audi, mencobanya untuk mengingat detail demi detail yang samar.

“Mobil kita … kecelakaan. Kamu … kamu di bawa ke sini,” Audi mengatur nafasnya, berjuang melawan emosi. “Dokter bilang, mereka harus melakukan operasi untuk menyelamatkan janin'mu, Rani.”

“Oh, Tuhan .…” Rani menutup mulutnya. Air matanya mulai mengalir, merasakan beban yang tak terkatakan. "Bagaimana dengan janinku? Apakah dia baik-baik saja?"

Audi menggenggam tangan Rani lebih erat. “Kita berdoa untuk yang terbaik, Rani.”

Seorang dokter memasuki ruang perawatan, mengenakan jas putih dengan masker dan pandangan serius. “Maaf mengganggu momen ini, tetapi kami perlu menjelaskan prosedur yang harus dilakukan, Rani. Kami perlu melakukan operasi sesegera mungkin. Kondisi kamu cukup kritis.”

Rani menelan air liur, matanya melebar. “Berapa lama waktu yang aku miliki?”

“Waktu kita terbatas. Janin baru berusia tujuh bulan … Jika kita tidak bertindak, bisa berakibat fatal bagi kalian berdua,” dokter itu menjelaskan dengan tenang, meski ada kegelisahan dalam nada suaranya.

“Apakah aku tak bisa menunggu suamiku dulu?" Rani bertanya dengan suara bergetar, kepanikan mulai menjalar.

"Aku sudah mencoba menghubungi Bimo, tapi ponselnya tak aktif. Tapi ibumu sudah aku hubungi dan segera datang," jawab Audi.

"Bayi dalam kandungan Ibu tak bisa menunggu lebih lama lagi. Harus segera dioperasi jika ingin diselamatkan!" seru Dokter.

"Baiklah, Dok. Lakukan yang terbaik untuk janinku. Audi, tolong wakilkan Mas Bimo untuk tanda tangani prosedur operasi. Aku tak mau kehilangan bayiku. Aku akan merasa sangat bersalah jika janin dalam kandunganku tak bisa diselamatkan."

Audi menyeka air mata Rani dengan lembut. “Baiklah, Rani. Kamu harus berjuang Kita akan melalui ini bersama-sama. Kamu kuat, aku tahu itu.”

Rani menatap Audi dengan mata penuh harap, lalu berpaling kepada dokter yang menunggu jawaban. “Ya … lakukan operasi sekarang, Dok. Selamatkan janin dalam kandunganku ini.”

"Baiklah. Ibu bisa melakukan pendaftaran dulu," ucap Dokter pada Audi.

"Audi, jika nanti nyawaku tak terselamatkan, aku mohon jaga bayiku. Aku yakin kamu pasti bisa menyayanginya," ucap Rani terbata. Dia merasakan sakit di perut dan sekujur tubuh, tapi mencoba menahan demi buah hatinya.

"Jangan bicara begitu, Rani. Aku yakin kamu bisa diselamatkan. Kamu dan bayimu akan sehat!" seru Audi.

"Apa pun yang terjadi denganku, aku minta kamu jangan pergi tinggalkan bayiku!" seru Rani lagi.

Perawat datang menghampiri dan membawa Rani memasuki ruang operasi. Sementara itu Audi pergi melakukan pendaftaran dan menandatangani persetujuan operasi, akhirnya Rani di bawa masuk ke ruang operasi. Audi menunggu di luar dengan gelisah.

Dalam keadaan setengah sadar, Rani mencoba untuk berjuang, berusaha menggenggam lagi harapan. Bayangan Bimo sang suami, bergetar di benaknya, diiringi dengan tawa bahagia saat mereka menghabiskan weekend di pantai, merasakan angin yang menampar lembut wajah mereka.

Namun, sekuat apa pun Rani mencoba kuat, akhirnya tak sadarkan diri saat memasuki ruang operasi. Mungkin rasa sakit karena kecelakaan mulai dia rasakan.

Saat Audi menunggu dengan cemas, terdengar suara seorang wanita memanggil namanya.

"Audi ...."

Audi menoleh dan melihat ibunya Rani, Tante Susi datang menghampiri. Berjalan tergesa mendekati dirinya.

"Di mana, Rani?" tanya Tante Susi.

"Lagi di ruang operasi, Tante. Dokter harus melakukan itu untuk menyelematkan janinnya. Benturan di perutnya cukup keras sehingga membuat dokter kuatir akan berbahaya bagi bayi jika tak melakukan segera!" seru Audi dengan suara gemetar.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Audi?" tanya Tante Susi.

Audi lalu mengatakan semuanya. Tante Susi tahu bagaimana putrinya. Rani memang sedikit manja dan keras kepala. Dia juga sudah sering menasehati anaknya itu untuk tidak mengebut dijalanan. Tapi, Rani selalu tak mengindahkan larangannya.

Tante Susi masih terus berusaha menghubungi Bimo sambil menunggu operasi berlangsung. Namun, ponselnya tak juga aktif. Akhirnya wanita itu menghubungi sekretarisnya dan mengatakan tentang Rani yang mengalami kecelakaan.

Rani masih terbaring di atas meja operasi, tubuhnya yang lemah dan pucat terlihat jelas di bawah lampu operasi yang terang. Dokter dan tim medis bekerja dengan cepat dan tepat untuk melakukan operasi Caesar yang sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan bayinya.

Satu jam berlalu, dan akhirnya operasi selesai. Dokter keluar dari ruang operasi dengan wajah yang berat, diikuti oleh napas lega dan sedih. Susi, ibunya Rani, dan Audi, sahabat Rani yang juga mengalami kecelakaan bersamanya, langsung menghampiri dokter dengan wajah yang penuh kekhawatiran.

"Bagaimana keadaan Rani, Dok?" Susi bertanya dengan suara yang gemetar. Takut terjadi sesuatu dengan putrinya itu.

Dokter menundukkan kepala, berusaha untuk menemukan kata-kata yang tepat. "Operasi Caesar berjalan lancar, dan bayi Rani selamat. Namun ... kami mohon maaf, Ibu Rani tak bisa kami selamatkan."

Audi dan Susi terkejut, mata mereka melebar dengan tak percaya. "Apa maksud Dokter?" Audi bertanya dengan suara yang gemetar.

Dokter mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Rani mengalami pendarahan hebat selama operasi, dan kami tidak bisa menghentikannya. Kami telah melakukan yang terbaik, tetapi Allah berkehendak lain ...."

Susi dan Audi terdiam, wajah mereka dipenuhi dengan kesedihan dan keputusasaan. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa Rani tidak bisa diselamatkan, sementara bayinya yang baru lahir masih hidup dan bernapas. Air mata mengalir deras di wajah mereka, saat mereka memikirkan tentang kehilangan sahabat dan anak yang sangat mereka cintai.

"Ini tak mungkin. Rani tak mungkin pergi meninggalkan kami," ucap Audi dengan suara serak.

Sementara itu Ibu Rani, tak bisa lagi menahan lemah tubuhnya. Dia terduduk di kursi ruang tunggu. Tak percaya dengan apa yang di dengarnya.

Bertepatan dengan itu, dari kejauhan terlihat Bimo, suaminya Rani berlari menghampiri mereka. Pria itu mendekati ibu mertuanya.

"Ma, dimana Rani? Bagaimana keadaannya?" tanya Bimo. Ibu Susi tak bisa menjawab pertanyaan menantunya. Hanya air mata yang terus jatuh membasahi pipinya.

Bab Tiga

Bertepatan dengan itu, dari kejauhan terlihat Bimo, suaminya Rani berlari menghampiri mereka. Pria itu mendekati ibu mertuanya.

"Ma, dimana Rani? Bagaimana keadaannya?" tanya Bimo. Ibu Susi tak bisa menjawab pertanyaan menantunya. Hanya air mata yang terus jatuh membasahi pipinya.

Bimo merasakan sesuatu yang buruk sedang terjadi, melihat mertuanya yang menangis terisak. Dia lalu berlutut dihadapan ibu Susi. Menggenggam tangan wanita paruh baya itu. Berharap ibunya Rani itu bicara.

"Ma, jangan diam aja. Katakan apa yang terjadi? Di mana Rani?" tanya Bimo dengan suara yang agak sedikit mendesak.

"Rani masih ada di ruang operasi. Sebentar lagi akan di bawa keluar!" seru Audi. Dia terpaksa menjawab, mendengar Bimo yang menanyakan keberadaan Rani hingga berulang kali.

Bimo lalu berdiri dan berjalan mendekati Audi. Dia memandangi wanita itu dengan tatapan tajam.

"Kenapa istriku bisa kecelakaan? Apa kamu tak bisa menyetir dengan baik?" tanya Bimo dengan suara yang penuh penekanan.

"Maaf, Bimo. Bukan aku yang menyetir, tapi Rani ...," jawab Audi dengan suara pelan karena takut dengan tatapan Bimo yang menusuk. Pria itu seperti ingin memakannya hidup-hidup.

Bimo menarik rambutnya kasar. Dia tahu persis jika Rani selalu ceroboh dan ngebut jika menyetir. Bukan kali ini saja dia kecelakaan. Itulah salah satu alasan kenapa Bimo melarang istrinya yang menyetir, bukan hanya karena dia sedang hamil saja.

"Kenapa kamu membiarkan Rani menyetir? Apa kamu sengaja agar dia celaka?" tanya Bimo lagi.

Ibu Susi yang mendengar menantunya mengintimidasi Audi lalu berdiri. Dia mendekati Bimo dan menyentuh bahunya. Sehingga pria itu membalikan tubuh menghadap mertuanya itu.

"Bimo, jangan kamu menyalahkan Audi. Kamu pasti tau bagaimana sikap istrimu itu. Semua sudah takdir. Dengan kamu menyalahkan Audi, tak akan juga bisa membuat Rani kembali. Lebih baik kita ikhlaskan saja kepergiannya. Ini yang terbaik. Semoga Rani tenang di atas sana!" seru Ibu Susi dengan suara pelan.

Ibu Susi berusaha tegar. Walau sebenarnya dia juga belum bisa sepenuhnya ikhlas. Tapi, dia dapat berpikir jernih, jika semua adalah takdir Tuhan. Tak bisa mereka mengelaknya.

"Apa maksud, Mama?" tanya Bimo dengan suara gemetar.

"Bimo, kamu harus sabar, Nak. Rani sudah pergi meninggalkan kita untuk selamanya," ucap Bu Siti dengan suara pelan.

"Apa ... ini tak mungkin. Rani tak mungkin meninggalkan aku," ucap Bimo.

Tubuh Bimo terasa lemah, dan akhirnya luluh ke lantai. Tangisan tak bisa pria itu bendung lagi. Dia tampak sangat syok mendengar keadaan istrinya. Mama Susi lalu mendekati menantunya itu.

"Rani tak mungkin pergi! Dia janji akan menghabiskan waktu bersama denganku hingga kami menua dan memiliki anak banyak. Ma, katakan semua ini bohong. Mama hanya becanda'kan?" tanya Bimo dengan suara pelan.

"Bimo ... semua telah terjadi. Kamu harus ikhlas. Biar arwahnya Rani tenang. Kamu tak boleh lemah, masih ada anakmu yang membutuhkan kasih sayang darimu," ucap Mama Susi mencoba menghibur sang menantu.

"Apa ...? Jadi bayi kami bisa diselamatkan?" tanya Bimo lagi.

Mama Susi menjawab dengan anggukan kepala. Melihat jawaban dari sang mertua, membuat Bimo berdiri. Dia lalu bertanya di mana anaknya berada.

"Bayi kamu masih ditangani bidan. Sebaiknya kita melihat jenazah Rani dulu. Saat ini dia telah di bawa ke kamar mayat," ucap Mama Susi.

Bimo lalu berjalan menuju kamar mayat diikuti Mama Susi dan Audi. Gadis itu terlihat ketakutan. Mungkin karena ucapan Bimo yang tadi menyalahkan dirinya.

Setelah bertanya dengan salah seorang perawat, mereka lalu masuk. Bimo berdiri di samping jenazah istrinya. Dia membuka selimut yang menutupi seluruh tubuh hingga wajah Rani.

Dengan gerakan pelan, Bimo membuka selimut yang menutupi wajah istrinya. Dia masih berharap jika dokter salah, istrinya belum meninggal.

Saat selimut terbuka, tampak wajah pucat Rani, sepertinya dia memang menahan sakit sejak kecelakaan tadi. Bimo tak bisa lagi menahan tangisnya.

"Rani, bangun, Sayang! Kamu hanya tidur'kan? Kamu pasti hanya memberi kejutan dengan pura-pura meninggal. Kamu pasti melakukan ini karena marah aku tak membalas pesanmu tadi!" seru Bimo sambil menangis.

Bimo mencoba mengguncang pelan tubuh istrinya. Berharap Rani membuka mata dan semua hanya kejutan baginya.

"Bimo, kamu yang sabar, Nak. Jangan membuat kepergian Rani menjadi berat. Kamu harus ikhlas. Semua sudah menjadi takdir," ucap Mama Susi berusaha tetap tegar.

Bimo menegakan kepalanya. Matanya bertemu dengan Audi. Dia lalu memandangi pria itu dengan mata tajam.

"Semua ini salahmu! Jika saja kau melarang Rani menyetir, pasti tak akan terjadi kecelakaan. Kenapa bukan kau saja yang mati?! tanya Bimo dengan suara gemetar.

Mama Susi langsung istighfar mendengar ucapan menantunya. Dia kasihan melihat Audi yang ketakutan. Mamanya Rani itu tahu persis bagaimana cara anaknya menyetir.

"Bimo ... kamu tak boleh begitu, Nak. Audi tidak bersalah. Semua sudah menjadi takdir dari yang Kuasa. Kamu harus ikhlas menerimanya," ucap Mama Susi.

Bukannya mama Susi tidak merasa sedih dan kehilangan jika dia tampak begitu tegar. Namun, dia sadar, dengan meratapi dan menyalahkan orang lain atas musibah yang terjadi bukanlah satu hal yang baik. Semua tak akan bisa kembali, dan tak akan bisa diulang lagi.

Bimo sepertinya tak mendengar nasehat mama Susi. Dia tetap memandangi Audi dengan tatapan tajam, seolah ingin menelan wanita itu hidup-hidup. Hal itu tak luput dari perhatian Audi, sehingga dia menunduk.

"Keluar kau dari sini! Aku tak mau kau menyentuh mayat istriku!" seru Bimo dengan penuh penekanan.

"Bimo, aku menyesal dan minta maaf atas kejadian ini," balas Audi dengan pelan.

"Maafmu tak bisa membuat Rani ku kembali?" ujar Bimo dengan suara sedikit lantang.

"Bimo, aku juga tak menginginkan hal ini terjadi. Tapi semua sudah menjadi takdir dari Tuhan," jawab Audi.

Mendengar ucapan dari Audi membuat Bimo makin meradang. Dia sepertinya belum bisa ikhlas atas kepergian istrinya.

"Kau bisa berkata begitu karena bukan korban."

"Aku juga korban Bimo. Apa kamu tak melihat tubuhku. Semua juga terluka," ujar Audi berusaha membela diri.

"Korban ... Jika kau merasa menjadi korban, kenapa tak mati saja!" seru Bimo.

"Bimo, Mama tau kamu sedih dan terluka, tapi bukan berarti kamu bebas bicara begitu. Audi pasti tak ingin semua terjadi," balas mama Susi.

"Aku tak ingin dia di dekat Rani, Ma. Coba mengerti perasaanku. Aku ingin dia keluar!" ujar Bimo.

"Baiklah, Bimo. Aku keluar. Tapi perlu kamu tau, aku sudah berusaha mengingatkan Rani, tapi dia tak mengindah ucapanku," jawab Audi.

Mendengar ucapan Audi membuat Bimo semakin emosi. Dia lalu mendekati gadis itu dan mendorongnya keluar dari ruangan.

"Pergi kau! Aku tak mau melihat wajahmu. Bisa-bisanya kau menyalahkan istriku. Aku tak akan pernah memaafkan'mu. Dasar pembu'nuh!" seru Bimo. Dengan sekuat tenaga dia mendorong tubuh Audi hingga gadis itu tersungkur di lantai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!