Bab 1 – Pengkhianatan Paling Keji
Hujan deras mengguyur atap kafe kecil di sudut kota saat mobil Sharon berhenti tak jauh dari kafe tersebut. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena firasat aneh yang mencengkeram dadanya sejak pagi. Pesan misterius dari seseorang yang tidak dikenal menyertai sebuah foto. Foto itu memperlihatkan sosok pria yang sangat dikenalnya, tengah menggenggam erat tangan seorang wanita. Bukan hanya menggenggam, mereka juga berciuman dan itu terjadi di tempat yang juga sangat ia kenal.
Farel
Nama itu masih terasa manis di lidahnya, meskipun kini terasa seperti racun yang menyusup ke aliran darahnya. Farel adalah kekasihnya selama dua tahun terakhir. Lelaki yang ia pikir akan menjadi pendamping hidupnya, yang telah ia perkenalkan pada ibunya dan teman-temannya. Lelaki yang telah berjanji akan menikahinya dalam waktu dekat.
Namun kini, Sharon berdiri di depan kafe itu, tempat pertama kali Farel menyatakan cintanya padanya. Matanya menelusuri setiap jendela, mencari tanda-tanda kebenaran dari foto itu. Hatinya menolak percaya, namun langkah kakinya tak bisa dia hentikan.
Dengan langkah pasti dan jantung yang berdegup keras, Sharon membuka pintu kafe. Aroma kopi dan kue manis seharusnya menenangkan, tapi tidak untuk hari ini. Matanya langsung tertuju pada sudut ruangan yang agak tersembunyi oleh partisi kayu. Di sanalah mereka duduk.
Farel ... dan wanita itu.
Wanita dengan rambut bergelombang sepunggung, mengenakan gaun sabrina berwarna merah muda dan bibir dibalut lipstik berwarna senada, ia tampak tersenyum penuh kemenangan.
Sharon tertegun. Itu bukan hanya sembarang wanita.
Itu adalah Ivana—wanita yang telah menghancurkan keluarganya bertahun lalu. Wanita yang menjadi selingkuhan ayahnya, penyebab perceraian kedua orang tuanya, penyebab ibunya jatuh sakit dan kehilangan segalanya. Wanita yang terakhir ia lihat saat ibunya menggugat cerai, memutuskan tali pernikahan dengan hati yang robek.
Dan kini, Ivana duduk di hadapan Farel–kekasih Sharon dengan tersenyum lebar. Kekasih yang katanya setia. Kekasih yang selama ini selalu mengumbarkan kata cinta dan menjanjikan kesetiaan seumur hidupnya. Mereka tertawa. Tampak begitu bahagia. Farel menyentuh tangan wanita itu dengan lembut. Persis seperti perlakuan laki-laki itu padanya selama ini.
Hati Sharon benar-benar sakit. Ia tidak menyangka kalau laki-laki itu dengan tega menusuknya dari belakang seperti ini. Ia bukan hanya mengkhianatinya, tapi juga menghancurkannya.
Sharon ingin berbalik, lari sejauh mungkin. Tapi amarah yang membuncah di dadanya mendorongnya melangkah maju. Ia berjalan cepat ke arah mereka, mengabaikan tatapan para pengunjung yang terkejut saat melihat ekspresinya yang terlihat emosional dengan tatapan tajam.
“FAREL!” suaranya memotong keheningan.
Farel sontak berdiri, wajahnya seketika pucat saat melihat keberadaan Sharon yang sudah berdiri menjulang di hadapannya.
Farel menelan ludah. Ia tidak menyangka melihat Sharon memergokinya di sini bersama wanita lain.
“Sha … Sharon? Ini tidak seperti yang kamu pikir—”
PLAK!
Tamparan keras mendarat di pipi Farel membuat beberapa pengunjung menoleh dengan mata terbelalak. Melihat itu, Ivana hanya tersenyum miring, seolah puas melihat keributan ini.
“Aku sudah curiga kamu berubah akhir-akhir ini. Tapi aku tidak menyangka kamu akan serendah ini. Dengan dia?” Sharon menunjuk Ivana dengan suara bergetar. “Kamu tau siapa dia, Farel? Kamu tau siapa dia?" sentak Sharon.
Farel menunduk. “Sharon, aku … aku bisa jelaskan .…”
“Tidak usah!” Sharon memotong cepat, nadanya tajam. “Kau tau, dia adalah wanita yang sudah menghancurkan keluargaku! Dia wanita yang sudah menjadi penyebab perceraian kedua orang tuaku. Dia yang sudah membuat ayahku menceraikan ibuku dan membuang kami berdua. Dan sekarang kamu ... kamu malah menjalin hubungan bahkan sampai tidur dengan dia?!”
Ivana tersenyum manis. “Lama tak bertemu, Sharon. Sudah cantik sekarang, ya? Tapi tetap saja, kamu tak bisa menjaga priamu," ucap Ivana tanpa rasa bersalah sama sekali.
Sharon melangkah maju, ingin menampar Ivana juga, tapi Farel justru menahan tangannya.
“Jangan bertingkah seperti ini di depan umum," sergah Farel membuat Sharon mendelik tajam.
“Berani-beraninya kamu ngomong begitu setelah menghianatiku?” Suara Sharon bergetar penuh amarah. “Kamu tau apa yang sudah aku lalui? Apa kamu tau bagaimana penderitaan ibuku akibat ulahnya? Dan apa kamu tau seberapa besar aku mencintaimu, Farel? Tapi Apa yang kau lakukan? Kau justru ...."
“Sharon, aku ... aku minta maaf. Tapi semua ini terjadi begitu saja. Aku dan Ivana—”
“Sudah!” Sharon memotong. “Aku tidak butuh penjelasanmu. Aku cuma ingin kamu tau satu hal … kamu pria paling keji yang pernah aku kenal," ucapnya penuh kemarahan dan kebencian.
Ia menatap Ivana dengan penuh benci. "Selamat. Lagi-lagi kau berhasil menghancurkanku," ucap Sharon sebelum berbalik dan berjalan keluar, menahan air mata yang menggenang.
Di luar, hujan masih begitu deras, namun Sharon tidak peduli. Langkahnya melewati trotoar, menabrak payung orang-orang, menahan tangis yang nyaris pecah.
Hatinya hancur. Bukan hanya karena Farel berselingkuh, tapi karena ia melakukannya dengan orang yang sudah menghancurkan keluarganya dulu.
Saat ia kembali ke mobil, tangisnya pecah. Tangan menggenggam kemudi erat, tubuh gemetar hebat. Ia menjerit, membenturkan tangan ke setir berulang kali.
“Kenapa … kenapa harus dia … kenapa semua orang yang aku percaya harus menusukku dari belakang?” teriaknya keras dengan air mata bercucuran.
Tangannya menggigil saat menghidupkan mesin. Ia tidak tahu mau ke mana, namun yang pasti bukan pulang ke apartemen yang masih dipenuhi kenangan bersama Farel. Bukan juga ke rumah ibunya yang sedang berjuang sembuh dari sakit.
Ia hanya ingin pergi.
Menjauh dari semua kebohongan dan kesakitan ini.
Di tengah hujan, di bawah langit malam yang pekat, Sharon mengemudikan mobilnya tanpa arah. Kepalanya berdenyut, dadanya sesak. Hingga akhirnya ia berhenti di sebuah bar kecil yang terpencil di ujung kota. Tempat yang sepi, jauh dari keramaian.
“Tequila,” ucapnya pada bartender. “Yang paling keras," lanjutnya sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar. Ia segera memalingkan wajah saat melihat seorang wanita sedang duduk di atas pangkuan seorang pria sambil berciuman penuh nafsu. Pakaian wanita itu nyaris terbuka. Entah apa saja yang sudah mereka lakukan di sana. Sharon tidak peduli.
Satu shot. Dua. Tiga.
Perlahan pikirannya kabur, tubuhnya ringan, luka di hatinya tak lagi terasa, meski hanya sementara.
Tak beberapa lama, seseorang duduk di sampingnya. Seorang pria. Dingin, tampan, dan misterius.
“Kelihatannya kau butuh lebih dari sekadar alk0hol,” ucapnya.
Sharon menoleh, matanya memerah. Ia hanya ingin melupakan semuanya. Dan malam itu, ia tidak tahu bahwa lelaki asing inilah yang akan mengubah seluruh hidupnya.
...***...
Halo para pembacaku, apa kabar semua? Ketemu lagi dengan D'wie. Dua bulan nggak bersua, akhirnya kembali lagi ke mari.
Udah lama mau nulis cerita ini cuma karena sedang fase capek sama NT, D'wie akhirnya istirahat dulu di sini dan fokus di sebelah. (Ungu dan ijo)
Karena merasa masih ada hutang di sini, D'wie akhirnya kembali. Namun, D'wie nggak bisa memastikan ke depannya. Semoga aja retensi cerita ini aman dan banyak yang baca jadi D'wie bisa lanjut. Mohon doa dan dukungannya, ya!
Bab 2 – Luka yang Terbuka Lagi
Suasana bar itu remang dan tenang, hanya suara musik jazz lembut yang mengalun di latar. Lampu-lampu gantung temaram menciptakan bayangan halus di wajah-wajah pengunjung yang tenggelam dalam dunianya masing-masing. Sharon masih menatap gelas ketiganya, tangannya yang gemetar perlahan mulai stabil, tapi dadanya tetap sesak.
Bayangan pengkhianatan Farel masih saja berkelebat di ingatannya membuat hatinya sakit bukan main. Begitu pula dengan bayang senyuman mengejek Ivana padanya membuatnya mencengkram erat gelas di tangannya. Marah, benci, dendam, semua bercampur aduk menjadi satu.
Senyum itu ... senyum yang sama saat akhirnya ayahnya lebih memilih Ivana dibandingkan ia dan ibunya. Senyum mengejek dan penuh kemenangan. Jelas saja Sharon takkan pernah melupakan senyum itu.
"Dan lihatlah ayah, wanita yang kau perjuangkan kini justru bersama laki-laki lain. Dan laki-laki itu adalah kekasih putrimu sendiri. Setelah ia menghancurkan ibu, kini ia pun menghancurkan aku. Apakah seperti itu wanita kesayanganmu, hum? Aku harap ayah pun ikut hancur seperti kami dan menyesal karena lebih memilih jalang itu daripada kami," gumam Sharon yang kesadarannya mulai dipengaruhi alkohol.
Tak lama kemudian seorang pria tiba-tiba duduk di samping Sharon. Pria itu menyesap whisky dari gelas kristal, matanya sesekali melirik Sharon. Sorotnya tajam, penuh perhitungan, namun ada ketertarikan tersamar di baliknya.
“Masalah cinta?” tanyanya pelan, seperti tak sungguh-sungguh mengharapkan jawaban.
Sharon menoleh dengan tatapan kosong. “Semua orang bermasalah dengan cinta. Termasuk kamu, kurasa.”
Pria itu menyeringai tipis. “Aku tidak percaya cinta.”
“Kau tidak sendiri,” gumam Sharon, lalu menenggak isi gelasnya lagi tanpa ragu.
Beberapa detik hening. Pria itu lalu mengangkat tangannya, memberi isyarat pada bartender.
“Dua lagi untuk kami.”
Sharon menatapnya heran. “Kau pikir aku butuh ditemani mabuk?”
“Bukan. Aku pikir kau butuh seseorang untuk mendengar. Atau ... kau cuma ingin tidak merasa sendirian malam ini.”
Sharon menatap pria itu lebih seksama. Wajahnya dingin, nyaris tanpa ekspresi, namun ada sesuatu yang karismatik. Bahunya tegap, jas hitamnya rapi dan mahal. Sosoknya seperti pria yang terbiasa mendapatkan apapun yang ia inginkan.
“Aku Sharon,” ucapnya akhirnya memperkenalkan diri.
“Leon," jawab laki-laki itu singkat.
Sharon mengangguk, lalu menatap kembali gelasnya. Nama itu melintas begitu saja tanpa menimbulkan kesan atau–belum.
“Kau mau tahu ceritanya?” Sharon bertanya dengan suara rendah. Entah kenapa ia tiba-tiba ingin menceritakan apa yang ia alami hari ini. Padahal ia tidak tahu sama sekali tentang siapa laki-laki itu. Hanya saja, ia ingin sekali mengurangi sesak di dadanya dengan menceraikan kejadian hari itu padanya.
Leon mengangkat alis. “Kalau kau siap bercerita," jawab Leon retoris.
Sharon menghela napas panjang. Alkohol membuat lidahnya lebih ringan dan pikirannya sedikit kabur, seolah luka di hatinya tidak lagi terlalu menyakitkan meski tetap belum sembuh.
“Aku ditinggal kekasihku. Setelah dua tahun, dia memilih wanita lain. Bukan hanya itu …." Sharon menjeda kata-katanya. Mengingat senyum penuh ejekan dari Ivana membuat dadanya kembali sesak. "Wanita itu adalah orang yang menghancurkan hidup ibuku. Selama bertahun-tahun, aku mencoba membangun kepercayaan. Tapi nyatanya, orang yang paling kau percayai bisa menjadi orang pertama yang menusukmu.”
Leon menatapnya dalam diam. Matanya tak berubah—dingin, namun fokus. Ia tidak mengucapkan simpati kosong seperti “aku turut sedih” atau “kau akan baik-baik saja.” Dan justru karena itu, Sharon terus melanjutkan ceritanya.
“Ibuku menderita karena wanita itu. Kami kehilangan rumah, tabungan, semuanya. Ayahku pergi bersama wanita jalang itu dan meninggalkan kami. Lalu kekasihku ... ia justru memilih wanita yang sama.” Ia tertawa getir. “Lucu sekali, kan?”
Leon menyesap minumannya pelan. “Tidak lucu. Tapi hidup memang jahanam seperti itu.”
Sharon menatap pria itu, lalu tersenyum lemah. “Kau terdengar seperti seseorang yang sudah lama menyerah pada cinta.”
“Karena aku memang sudah lama menyerah.” Nada suaranya datar. “Cinta itu ilusi. Kebutuhan manusia untuk merasa dimiliki, tapi pada akhirnya, semua tentang kuasa dan kelemahan.”
Sharon menatapnya lebih lama. “Kau terdengar … patah.”
Leon tersenyum samar. “Atau mungkin aku hanya realistis.”
Ada hening panjang di antara mereka. Sharon menenggak gelasnya lagi. Kepalanya mulai ringan, pikirannya melayang-layang di antara masa lalu dan luka yang belum sembuh. Ia tidak tahu mengapa ia merasa nyaman di dekat pria asing ini. Mungkin karena Leon tidak berpura-pura peduli. Mungkin karena ia tampak seperti seseorang yang juga menyimpan luka dalam diam.
“Temani aku malam ini,” ucap Sharon pelan, mengejutkan dirinya sendiri.
Leon menoleh. “Kau yakin?”
Sharon menatapnya, bibirnya bergetar. “Aku hanya ingin malam ini … berhenti terasa menyakitkan.”
Leon menatap mata Sharon dalam-dalam, mencari kebimbangan, tapi tak menemukannya. Lalu ia berdiri, membayar minuman, dan menunggu Sharon dengan anggukan pelan.
Tanpa banyak kata, Sharon mengikuti pria itu keluar dari bar, meninggalkan kenangan pahit di balik pintu.
---
Mereka sampai di sebuah hotel yang tidak begitu mewah yang tak jauh dari bar. Sharon nyaris tidak sadar bagaimana bisa tiba di kamar itu. Yang ia tahu, tubuhnya lelah, jiwanya kosong. Leon membantunya membuka coat, lalu membaringkannya di ranjang.
Mereka tidak saling berbicara lagi. Yang ada hanya bisikan napas dan suara hujan di luar jendela.
Saat Sharon merasakan ciuman pertama Leon, ia menutup mata dan berpura-pura bahwa ia mencium seseorang lain—seseorang yang tidak mengkhianatinya. Namun, semakin jauh mereka melangkah, semakin hilang semua bayangan masa lalu. Yang ada hanya mereka berdua, dua jiwa yang terluka, saling mencari pelarian dalam malam yang penuh kabut, gairah, dan desah nafas.
...---...
Sharon terbangun pagi harinya dengan kepala berat dan mulut kering. Ia membuka mata perlahan dan menemukan dirinya terbaring dalam selimut putih yang tidak ia kenali dalam keadaan polos. Pakaiannya teronggok di sandaran sofa. Matahari menembus tirai tipis, membanjiri ruangan yang asing dengan cahaya hangat.
Ia menoleh ke samping. Kosong.
Leon sudah pergi.
Di atas meja, tergeletak beberapa lembar uang ratusan ribu dan secarik catatan:
“Ambil ini. Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku.”
— L
Sharon mematung. Matanya membeku. Tubuhnya tidak bergerak selama beberapa detik.
Lalu ia menendang selimut dan bangkit dengan gemetar.
Tangannya meremas uang itu, lalu melemparkannya ke lantai.
“Bajingan!” jeritnya.
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!" teriak Sharon murka.
Ia berlari ke kamar mandi dan muntah. Bukan karena alkohol semata, tapi karena jijik, marah, dan hancur.
Ia merasa murah. Digunakan seperti boneka kemudian ditinggal setelah dipakai.
Luka yang semalam ia coba lupakan kini terbuka lagi. Bahkan kini jadi lebih dalam, lebih menyakitkan.
...---...
Sharon berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Mata yang sembab, bibir yang pecah-pecah, dan hati yang hancur.
Ia menghela napas dalam, lalu berkata lirih dengan kedua tangan terkepal, seolah bersumpah pada diri sendiri:
“Aku akan kuat. Aku akan balas semua ini. Suatu saat nanti.”
Dan ia tidak tahu ... bahwa malam panas itu telah menanam benih dalam rahimnya. Benih yang kelak akan mengubah segalanya.
...Happy reading 🥰🥰🥰 ...
Bab 3 – Pelarian yang Salah
Tiga hari telah berlalu sejak malam panas yang mengubah segalanya. Sharon mencoba melanjutkan hidup seperti biasa—bangun pagi, pergi kerja, pulang malam, tidur dengan mata bengkak. Namun, setiap ia menutup mata, bayangan wajah Leon kembali hadir. Dingin. Tak peduli. Sama seperti pesan tertulis yang ia tinggalkan bersama uang itu.
“Jangan muncul lagi di hadapanku.”
Sharon tidak mengerti kenapa itu begitu mengganggunya. Seharusnya ia bisa melupakan pria itu. Pria asing yang hanya menjadi pelarian satu malam. Tapi semakin ia mencoba melupakan, semakin kuat kenangan malam itu membekas. Sentuhan, tatapan, dan rasa sakit setelahnya.
Ia bahkan membakar uang itu di balkon apartemennya. Menyaksikan lembar demi lembar terbakar jadi abu. Seolah ingin menghapus jejak aib yang menodai dirinya. Tapi rasa kotor dan marah itu tetap menempel erat di hati, jiwa, dan raganya.
Pelariannya telah salah arah.
Yang ia butuhkan adalah penyembuhan. Tapi yang ia dapatkan justru luka baru—lebih dalam dan lebih gelap dari sebelumnya.
Sharon berdiri di balkon dengan kedua tangan mencengkram erat pagar pembatas. Matanya terpejam. Semilir angin menerpa wajah. Rasq dingin menusuk tulang, tapi ternyata rasa itu tak mampu mendinginkan jiwanya yang menggelora karena marah, sakit, dan kecewa.
"Mengapa ... mengapa aku harus mengalami semua ini? Mengapa sesakit ini rasanya? Mengapa? Apa salahku, Tuhan? Apa salah dan dosaku hingga aku mengalami semua ini? Apa?" teriak Sharon pada angin malam yang berhembus. Sharon tergugu.
"Aku lelah, Tuhan. Aku lelah. Haruskah aku menyerah?" ucapnya sambil menatap ke bawah–ke arah jalanan. Di mana terlihat beberapa kendaraan berlalu lalang.
"Tapi ... bagaimana dengan ibu?"
"Tidak. Aku harus kuat. Aku harus bertahan. Aku tak mau kedua manusia berengsek itu justru tertawa melihat kekalahanku. Tidak. Aku tidak boleh hancur. Aku harus kuat. Ya ... harus."
***
Sebulan telah berlalu. Hari ini Sharon memutuskan mengambil cuti. Ia butuh jeda. Butuh ruang bernapas. Ia mengemudi tanpa tujuan ke luar kota, menembus jalanan sepi dan perkebunan teh yang membentang sejauh mata memandang. Di salah satu villa kecil yang disewakan harian, ia memutuskan berhenti.
Villa itu sederhana, tapi cukup nyaman. Dinding kayunya hangat, jendela lebarnya menatap langsung ke kebun teh yang menghijau. Sharon membuka sepatu, melepas coat, dan membaringkan tubuh di sofa dengan napas berat.
Matanya menatap langit-langit. Sunyi.
Lalu perutnya tiba-tiba bergejolak.
Ia bangkit dan berlari ke kamar mandi, muntah hebat untuk ketiga kalinya hari itu.
Setelah selesai, ia duduk terdiam di lantai kamar mandi, tubuhnya masih gemetar. Padahal cuaca dingin, tetapi keringatnya justru bercucuran.Tangannya perlahan terangkat mengusap perut.
“Jangan bilang aku ....”
Sharon menelan ludah. Pikiran itu menghantam keras. Ia menghitung cepat dalam hati. Terakhir ia datang bulan ... dua minggu sebelum malam itu.
Terlambat.
"Tidak ... ini cuma stres. Pikiranku pasti terlalu tegang. Tapi ... kenapa rasa mual ini makin sering? Dan kenapa aku jadi mudah lelah akhir-akhir ini?" batin Sharon berusaha menampik apa yang ada di pikirannya.
Namun, Sharon butuh kepastian. Sharon pun bangkit dengan langkah lunglai, mengambil kunci mobil, dan menyetir ke apotek terdekat. Di sana, ia membeli dua buah test pack. Tangannya gemetar saat membayarnya, dan ia langsung kembali ke villa, berlari masuk kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, dunia Sharon seakan berhenti berputar.
Dua garis merah.
Dua buah test pack menunjukkan hasil yang sama. Dua garis yang sama. Dua garis merah.
Ia ... positif hamil.
---
Sharon terduduk di lantai kamar mandi, wajahnya pucat. Air matanya mengalir deras tanpa suara.
“Aku hamil .…”
Suara itu begitu pelan, nyaris tak terdengar.
Hamil. Dari satu malam dengan pria yang bahkan tidak ia kenal sepenuhnya. Pria yang membayarnya dan menyuruhnya menghilang. Pria yang tidak tahu dan mungkin tidak mau tahu bahwa ia telah meninggalkan warisan di dalam rahim Sharon.
Benih dari seorang Cassanova.
---
Pagi harinya, Sharon berdiri di balkon villa, menggenggam cangkir teh hangat. Udara sejuk dan kabut tipis menyelimuti kebun teh yang tenang, kontras dengan isi kepalanya yang kacau. Ia belum tahu harus bagaimana. Ia tidak tahu apakah harus menyimpan anak ini, atau menggugurkannya diam-diam. Tapi saat tangannya menyentuh perutnya lagi, ia merasa sesuatu yang aneh ... ada ikatan.
Kecil, lemah, tapi nyata.
“Aku bahkan belum tahu siapa ayahmu .,” bisiknya pelan.
Nama Leon terlintas lagi. Meskipun dalam keadaan mabuk, tapi ia masih mengingat jelas nama laki-laki itu.
Namun, Sharon belum tahu nama lengkap laki-laki itu. Belum tahu asal-usulnya. Tapi ada sesuatu dalam cara pria itu menatapnya yang sulit ia lupakan.
Tiba-tiba, Sharon merasa harus tahu.
Jika ia akan menyimpan anak ini, ia harus tahu siapa ayahnya. Bukan demi cinta, bukan demi status atau harta benda, tapi demi anak yang kini hidup dalam tubuhnya. Ia harus tahu siapa ayahnya.
Sharon lantas membuka ponsel, membuka riwayat pembayaran bar. Dari situ, ia menemukan nama usaha yang tertaut pada pembayaran Leon malam itu. “LXR Holdings”. Ia pun menelusuri nama itu lewat internet dan muncullah hasil yang mengejutkan:
Leonardo Xavier Reynaldi.
CEO LXR Holdings. Konglomerat muda, pewaris tunggal Reynaldi Group. Terkenal sebagai pria flamboyan, penuh skandal, dan tidak pernah memiliki hubungan yang bertahan lebih dari satu bulan. Media menyebutnya Cassanova paling berbahaya di Asia Tenggara.
Sharon menutup mulutnya dengan tangan. Ia tidak percaya.
Leon ... adalah Leonardo Xavier Reynaldi? CEO LXR Holdings?
Jantungnya berdetak kencang. Bukan karena kekayaan atau status pria itu, tapi karena ia tahu ... bahwa rahasia ini jauh lebih rumit daripada sekadar "aku hamil."
Ia sedang mengandung anak dari lelaki paling sulit dijangkau di negeri ini. Lelaki yang mungkin tidak akan peduli. Lelaki yang bisa saja mengambil anak itu darinya jika ia tahu.
Atau bahkan lebih buruk—menghancurkannya.
---
Sharon berdiri di depan kaca besar, menatap bayangannya sendiri.
Kali ini bukan hanya air mata yang mengalir. Tapi tekad.
“Aku tidak akan lari lagi. Aku akan mencari dia. Dan aku akan menuntut yang seharusnya menjadi hak anakku.”
Di dalam perutnya, kehidupan baru sedang tumbuh. Dan di luar sana, badai sedang menunggu untuk meledak.
Sementara itu, di tempat lain, Leon terlihat gelisah di tempat tidur dengan tubuh polos tanpa sehelai benangpun. Beberapa saat yang lalu, ia baru saja mengusir wanita panggilan yang ia bayar untuk menuntaskan hasratnya. Akan tetapi, hasratnya tak kunjung membara. Ia justru layu, seakan kehilangan daya. Sebaliknya, kini Leon justru terus terbayang rintihan Sharon saat ia bergerak di atasnya.
Mengingat itu, hasratnya seketika terpacu. Leon pun menggeram kesal.
"Sial! Kenapa kau justru bangun di saat jalang itu sudah pergi, hah?"
Bersambung ....
...***...
Mohon doa dan dukungannya ya, Kakak sekalian, biar cerita D'wie aman dan bisa tamat di sini. Kalo hasilnya nggak sesuai, bukan nggak mungkin terpaksa cerita ini dihapus. D'wie kembali dan mencoba bertahan berharap ada hilal yang lebih baik. Terima kasih yang sudah mampir, subs, like, komen, kasi vote, dan hadiah. Love you all. 🥰🥰🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!