NovelToon NovelToon

MARINA Ketika Pengorbanan Tak Dihargai

#1

#1

Air hangat itu mulai terasa beberapa saat setelah Marina menyalakannya, saat seperti ini adalah saat-saat baginya memanjakan diri, dan menikmati waktunya sendiri setelah berjibaku dengan pekerjaan rumah yang tiada habisnya. 

Marina mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarga, baginya melihat suami dan kedua anaknya sukses dalam karir, dan pendidikan, adalah kebanggan tersendiri. 

Karier suaminya sebagai direktur di sebuah perusahaan besar, tak lepas dari peran serta serta dukungan Marina. 

Marina mulai melepas kancing pakaiannya, namun belum sempat pakaian terlepas, ponselnya berbunyi, “Halo,” jawab Marina setelah tergopoh-gopoh ia meninggalkan aktivitasnya. 

“Halo, Ma, Gwen rewel, Eyangnya tak bisa menenangkan.” Rupanya Diana putri sulung Marina tang menelepon, lagi-lagi ia ingin menitipkan Gween, padahal baru kemarin Diana bilang bahwa beberapa hari kedepan  Gween akan diasuh Eyangnya, yakni besan Marina sendiri. 

“Lho katanya Eyangnya yang akan ngasuh?” tanya Marina heran. 

“Duuuhh, Mama ini gimana sih? Eyangnya Gwen itu seorang fashion design. Jadi wajar dong kalau Dia tak bisa menghandle Gwen, karena pekerjaan utamanya adalah desainer, bukannya pengasuh anak.” 

Dengan nada sedikit gemas Diana mengutarakan uneg-unegnya, ia tak merasa segan pada Marina, karena ia tahu Marina akan baik-baik saja, dan bisa di pastikan hanya Marina yang bisa mengasuh Gwen. 

“Kalau mertuamu sibuk, setidaknya bisa kan, sehari saja kamu cuti untuk mengasuh anakmu sendiri?” Marina kembali bertanya. 

“Nggak bisa, Ma, Aku sedang dalam masa transisi dengan posisi baruku, kalau Aku keseringan izin, bisa-bisa posisiku tergeser. Dan Aku gagal menempati posisi baru sebagai pengacara utama.” Diana beralasan, dan Marina tahu ia tak bisa menolak, semua demi kesuksesan serta masa depan Diana nantinya. 

“Pokoknya Aku gak mau tahu, Mama harus segera datang ke tempat kerjaku, karena Gwen terpaksa Aku bawa ke tempat kerja. Aduh Gweeenn … kenapa Kamu mainan kertas itu?!” pekik Diana dengan suara melengking, sesaat sebelum panggilan berakhir. 

Marina tertegun sesaat menatap layar ponselnya, namun tak lama kemudian ia kembali menyadari bahwa tugas baru sudah menantinya. Cepat-cepat Marina berbalik kembali ke kamar mandi dan melanjutkan aktivitasnya. 

Ditengah-tengah aktivitasnya membersihkan diri, tiba-tiba air yang semula mengucur deras menjadi pelan secara perlahan. “Gawat, tadi pagi Aku lupa menyalakan pompa air,” gumam Marina, padahal tubuhnya belum sepenuhnya kesat, dan rambutnya pun belum dibilas ulang. 

Karena tak ada lagi banyak waktu yang tersisa, Marina pun mengeringkan tubuh dan rambutnya dengan handuk. Usai berganti pakaian, ia berlari kecil meninggalkan kamar, melewati meja makan yang belum sempat ia bereskan, serta dapur yang juga masih sepenuhnya berantakan. 

“Halo, Mas Yosh?” 

“Iya, Bude?” jawab jawab Yosh, yang baru saja mengunyah sarapan paginya. 

“Bisa antar Bude?”

“Kemana Bude?”

“Ke kantornya Diana, jemput Gwen.”

“Lho, tumben-tumbenan Gwen ikut Mamanya?” 

“Ah, ceritanya panjang, nanti Bude ceritakan sambil jalan, Bude ke rumahmu sekarang, ya?”

“Iya Bude, Aku ganti pakaian sebentar,” sahut Yosh, segera mematikan panggilan telepon Marina. 

Yosh adalah anak dari salah satu tetangga Marina, lelaki itu cukup baik, hanya saja kurang beruntung, karena sejak berusia 17 tahun ia harus menggantikan ayahnya menjadi tulang punggung keluarga, menafkahi ibu dan kedua adiknya yang masih sekolah dasar dan sekolah menengah. 

Jika saja Yosh lulusan strata satu, tentu Marina sudah menjodohkannya dengan Diana, karena jaman sekarang, jarang ada pemuda baik, ramah, dan suka menolong seperti Yosh. Ditambah lagi lelaki itu adalah sosok yang sangat bertanggung jawab, benar-benar pemuda idaman. 

Lima menit kemudian, Marina tiba di rumah Yosh, “Lho mau kemana?” Sapa Bu Juju ibu Yosh. 

“Biasa, jemput Cucu,” jawab Marina tanpa basa-basi, karena Bu Juju sudah paham maksud Marina. 

“Ayo Bude, pasti jalanan sudah macet,” ajak Yosh, sembari menuntun motor matic kesayangannya, yang biasa menemaninya kerja serabutan, yang penting halal. 

“Ju … Kami pergi dulu, ya.”

“Hati-hati, Rin.” Bu Juju melambaikan tangan diiringi doa untuk keselamatan Yosh dan Marina. 

Yosh menjalankan motornya dengan kecepatan penuh, mentari pagi mulai terasa menyengat di kulit, karena saat ini adalah puncak musim panas. Jalanan pun ramai dipadati para pekerja yang sedang dalam perjalanan menuju tempat kerja mereka. 

“Yosh, bisa lebih cepat, tidak?!” pekik Marina. 

“Gak bisa, Bude, ini sudah maksimal, lihat sendiri di depan ramainya kayak gimana.” 

“Duuhh Diana bisa ngomel-ngomel kalau sampai Bude terlambat.” Marina mulai resah, karena sudah mafhum dengan perangai putri sulungnya. 

“Iya, Bude, nanti aku bantu bicara dengan Diana. Dia sebenarnya baik, kok, cuma sedikit gengsian dan juga keras kepala.” 

Marina pun mengenal Diana dengan baik, sama halnya dengan Yosh, karena ia yang melahirkan Diana. Namun semakin besar, Diana semakin manja, sebentar-sebentar ia selalu meminta Marina membantunya, bahkan hanya untuk urusan mencuci pakaian dalam. Sungguh Marina tak habis pikir. 

20 menit kemudian mereka semakin dekat ke lokasi tujuan, dan tanpa diduga pula, matic tua milik Yosh kehabisan bahan bakar, hingga tak lama kemudian motor itu pun berhenti total. 

“Kenapa berhenti, Yosh?” 

“Gawat, Bude. Bensin habis, tadi lupa isi ulang karena Kita buru-buru.” Tanpa pikir panjang, Marina turun dari motor. 

“Ya sudah Bude jalan saja sampai kedalam, biar Diana yang bawa Gwen ke lobi.” Marina langsung berjalan setengah berlari, ia juga lupa melepas helm yang bertengger di kepalanya. 

“Bude, helmnya!!” pekik Yosh, namun Marina tak lagi dengar apapun, pikirannya hanya tertuju pada cucunya yang saat ini tengah membuat Diana repot. 

Jarak gerbang dan lobi perusahaan tak terlalu jauh, namun butuh waktu 10 menit bagi Marina karena Marina berjalan kaki. Hingga setibanya di lobi, ia sudah disambut dengan tatapan kemarahan dari Diana. 

“Nenek…” seru Gwen senang, manakala melihat kedatangan Marina. Sementara Diana segera membawa mamanya menepi dari keramaian orang yang berlalu lalang di lobi. 

“Mama, kenapa terlambat?!” 

“Motornya Yosh kehabisan bahan bakar, dan … “ 

“Banyak alasan, kan di rumah ada mobil, sengaja banget mau ngerepotin orang lain,” tuding Marina. 

“Bukan ngerepotin, tapi Mama tak bisa  mengemudi.”

“Memang Mama repot apa? Di rumah juga menganggur, belajar dong! kayak yang sibuk bekerja aja.”

Marina terdiam, memang ia tak bekerja kantoran seperti suami dan anak-anaknya, tapi ia selalu berusaha total mengurus keluarganya tanpa bantuan siapapun. Jadi waktunya pun terkuras habis untuk mengurus rumah dan segala macam pernak-perniknya. Ditambah sejak kehadiran Gwen, dirinya kembali mendapat beban pekerjaan tambahan. 

“Ini juga, kenapa Mama masih pakai baju ini?! Sudah pudar warnanya, bahkan di bagian bawah sudah belel seperti pakaian buruh pabrik. Kan Aku sudah belikan pakaian baru, tas baru, dan perlengkapan baru. Lagi-lagi pakai pakaian ini, Mama tuh gak menghargai pemberianku? Jika Mama berpenampilan seperti ini, apa kata atasanku? posisi dan jabatan Aku di Firma ini dipertaruhkan! Aku malu, Ma, malu!” 

#2

#2

“Ini juga, kenapa Mama masih pakai baju ini, sudah pudar warnanya?! bahkan di bagian bawah sudah belel seperti pakaian buruh pabrik. Kan Aku sudah belikan pakaian baru, tas baru, dan perlengkapan baru. Lagi-lagi pakai pakaian ini, Mama tuh gak menghargai pemberianku? Jika Mama berpenampilan seperti ini, apa kata atasanku? posisi dan jabatan Aku di Firma ini dipertaruhkan! Aku malu, Ma, malu!” 

Diana segera meluapkan kekesalan hatinya, padahal Marina tak sepenuhnya bersalah. Semua bermula ketika pagi tadi ibu mertuanya mengatakan bahwa ia tak bisa menangani Gwen yang terus terusan merengek meminta ini dan itu, Padahal Diana sudah terlanjur ada jadwal sidang untuk kasus penting, yang akan menentukan posisinya di firma. Belum lagi Gwen sedang dalam masa sangat aktif hingga apapun yang ia lihat, bisa menjadi bahan eksperimen yang menyenangkan. 

Memang tak ada yang salah dengan besarnya rasa ingin tahu Gwen, namun nenek dan ibunya tak mau jika ruangan tempat mereka berada jadi berantakan karena ulah Gwen. 

Dan Marina menjadi korban kekesalan hati Diana, yang tak berani membantah ucapan ibu mertuanya. 

Deg! 

Wajah Marina seketika pucat, wanita itu terdiam tanpa berani membalas perkataan Diana. Justru Marina merasa bersalah, karena sudah membuat Diana malu di tempat kerjanya. 

Semakin keras suara amarah Diana, semakin banyak pula orang-orang yang memperhatikan mereka. 

“Mama minta maaf, Nak, Mama lupa, kalau punya setelan baru pemberianmu, tadi mama buru-buru, bahkan … “

“Ah, sudah-sudah gak ada gunanya Mama menjelaskan, sudah terlambat. Lebih baik sekarang Mama pulang, sebelum Aku semakin malu.” Diana membalik badannya, ia marah ketika semua orang menatap ke arahnya dengan cibiran. 

“Apa?! Kalian gak pernah lihat orang marah, hah?! Gak usah kepo, dan sok tahu urusan orang!!” Teriak Diana dengan wajah merah dan kedua tangan terkepal, ia menghentakkan kedua kakinya sambil berjalan kembali kedalam gedung. 

Dari kejauhan Yosh tercengang mendengar semua ucapan Diana pada Mamanya, ia tak menyangka Diana begitu tega menghardik, mempermalukan, bahkan menyalahkan Marina di depan umum. Padahal wanita itu tak tahu bagaimana pontang-pantingnya Marina ketika mendengar bahwa Gwen membuat keributan di ruang kerja Diana. 

Selepas kepergian Diana, tubuh Marina gemetar, ia mundur beberapa langkah hingga tubuhnya menabrak dinding pagar tanaman. “Bude!” pekik Yosh, ia buru-buru turun dari motornya kemudian membantu Marina agar bisa berdiri tegak. 

“Bude tidak apa-apa, Yosh, terima kasih, sudah membantu Bude.” 

“Ini bukan apa-apa, Bude juga sudah banyak membantu Ibuku ketika Kami kesulitan membayar sekolah Yudis dan Naura.” Yosh mengeluarkan sebotol air mineral yang ada di dalam tasnya, kemudian memberikannya pada Marina. 

“Om … Om … Nenek kenapa?” tanya Gwen, wajah polosnya nampak khawatir ketika Yosh menyodorkan air mineral pada Marina. 

“Nenek gak papa, Sayang, cuma haus saja,” jawab Marina. Ia mengusap kepala dan rambut Gwen. “Ayo, Kita pulang, Nenek belum beres-beres rumah.”

“Oke, Nenek.” Wajah Marina berbinar senang, ketika Gwen tertawa ceria kala mendengar kata-kata pulang ke rumah. 

Yosh segera menyalakan mesin motornya kembali, bahkan Gwen meminta berdiri di depan, tak lupa Yosh memakaikan helm kecil yang tersimpan di jok motornya. Karena setiap hari dirinyalah yang menjemput Gwen dari sekolah. 

Selama di perjalanan, pikiran Marina berkecamuk, hatinya sakit ketika kembali teringat setiap kata demi kata yang Diana lontarkan. Apakah dirinya begitu memalukan, hingga Diana memandangnya dengan tatapan jijik, bahkan malu ketika rekan kerjanya tahu bahwa wanita lusuh ini adalah ibu yang melahirkannya ke dunia. 

Motor berhenti ketika lampu merah menyala, selisih jarak dua motor di samping Marina, ia melihat mobil sang suami juga berhenti, Marina tersenyum, bahkan bermaksud turun dan menyapa Johan. 

Namun senyumnya pudar seketika, tatkala melihat Johan tak seorang diri di dalam mobil, ia bersama seorang wanita, dan keduanya nampak sedang tertawa bahagia. 

Marina mengucek kedua matanya berkali-kali, mungkin saja ia salah lihat, toh di kota besar bukan tidak mungkin ada mobil yang sama persis warna serta merk nya. 

Ketika Marina mencoba memastikan plat nomor mobil tersebut, Yosh membelokkan motornya ke arah berlawanan, hingga Marina kehilangan jejak. Namun seperti biasa ia kembali berpikir positif, bahwa mungkin saja itu orang lain, karena sudah sangat yakin jika Johan adalah pria yang setia. Terbukti hubungan mereka langgeng, padahal usia pernikahan mereka lebih dari 30 tahun. 

Marina dan Johan menikah karena merasa sudah cocok dan sama-sama cinta, saat itu Johan sudah berusia 25 tahun dan Marina berusia 18 tahun. Awal-awal pernikahan mereka sangatlah manis, hingga tak sampai satu tahun Diana lahir ke dunia. 

Dan selama itu, tak ada sikap Johan yang mencurigakan, di rumah pun, Johan selalu ingin dilayani dan benar-benar menjadi suami manja, dan hanya bergantung pada Marina seorang. Selain itu, Johan tak pernah berbuat yang aneh-aneh. 

•••

Malam harinya, makan malam untuk Johan sudah terhidang lengkap di meja makan, bahkan Gwen sudah tidur karena seharian lelah berlarian keliling rumah. 

Beberapa kali Marina melirik jam di dinding rumah, bahkan makanan sudah menjadi dingin karena kini sudah hampir jam 12 malam. Namun Johan belum juga terlihat batang hidungnya, Marina pun memutuskan untuk menghubungi Johan, takut terjadi sesuatu hal yang tak ia ketahui. 

Sekali dua kali hingga lima kali, Johan tak mengangkat panggilan, hingga Marina pun mengulang panggilannya. 

“Ada apa menggangguku?!” sentak Johan dari ujung sana. 

“Kenapa belum pulang? Aku khawatir?” tanya Marina mencoba meredam amarah Johan. 

“Aku masih lembur! Sudah jangan telepon lagi!” 

Tut

Tut

Tut

Johan memutus panggilan, membuat Marina heran kenapa Johan selalu marah ketika Marina menelepon, dan menanyakan dimana keberadaannya di jam 12 malam. 

Marina tertegun, namun apa boleh buat, tak berani pula ia marah jika Johan sudah bersikap seperti itu. Mungkin sudah nasibnya, sejak menikah ia selalu di doktrin oleh lingkungan serta kondisi keluarga, untuk selalu menjadi istri yang patuh, serta ibu siaga untuk anak-anak. Ditambah ia hanya bergantung pada uang pemberian suami, serta anak-anaknya. 

Tak lama kemudian, terdengar suara mobil memasuki halaman rumah, Marina buru-buru ke ruang depan, berharap itu adalah mobil Johan. Rupanya yang datang adalah Burhan putra bungsu Marina, yang kini juga telah memiliki seorang istri. 

“Ma, Aku lapar,” ujarnya tanpa permisi, atau bahkan menanyakan kabar Marina setelah masuk melalui pintu depan. 

Marina tak masalah kala melihat sikap Burhan, yang tak sedikitpun menunjukkan rasa hormat. Marina hanya bisa menghembuskan nafas penuh rasa sabar, karena dirinya memaklumi kondisi putranya yang masih pengantin baru, mungkin saja istrinya belum pandai memasak seperti dirinya. 

“Ah, sudah dingin,” keluh Burhan tak tahu waktu dan situasi. 

“Kan nasinya masih panas.”

“Mana enak kalau rendang dan sayur nangkanya dingin.” Lagi-lagi Burhan mengeluhkan hal yang tak sesuai dengan selera makannya. 

“Istrimu tidak masak?” tanya Marina, di sela aktivitasnya memanaskan masakannya. 

“Tidak,” jawab burhan acuh. 

“Seharusnya Kamu nasehati Dia, kan itu tugasnya sebagai istri, menyiapkan makanan bukan hanya sekedar menyenangkan suami, tapi juga menghemat pengeluaran rumah,” tutur Marina. 

“Kami sama-sama kerja, Ma, jangan khawatir dengan pengeluaran rumah.”

“Apa susahnya masak ayam goreng, dengan tumisan, itu cukup mudah dan bahannya mudah didapat.” 

“Ina gak sempat belanja, Ma, karena pagi-pagi Ia harus bersiap untuk kerja, sore harinya Dia Kuliah. Ina itu wanita karir sukses, tidak seperti Mama yang setiap hari hanya mengurus rumah dan belanja di pasar.” 

#3

#3.

“Apa susahnya masak ayam goreng, dengan tumisan, itu cukup mudah dan bahannya mudah didapat.” 

“Ina gak sempat belanja, Ma, karena pagi-pagi Ia harus bersiap untuk kerja, sore harinya Dia Kuliah. Ina itu wanita karir sukses, tidak seperti Ibu yang setiap hari hanya mengurus rumah dan belanja di pasar.” 

Jika pagi tadi putri sulungnya yang menyindir dirinya, kini putra bungsunya pun melakukan hal yang sama. Hati Marina semakin sakit, apakah usaha dan pengorbanannya selama ini, tak pernah terlihat di mata kedua anaknya? Hingga dengan tega keduanya mengatakan hal yang sama, masih di hari yang sama pula. 

Apakah di jaman sekarang, profesi sebagai ibu rumah tangga tak lagi berharga, hingga seseorang hanya terlihat indah dan berjasa manakala mereka bekerja, dan berkarir di luar rumah. 

Setelah menyajikan makanan yang baru saja di hangatkan, Marina meninggalkan Burhan seorang diri, tak menemaninya makan seperti biasanya jika lelaki itu datang untuk meminta dibuatkan makanan. Karena toh percuma juga, Burhan tetap mengacuhkan keberadaannya, dan tetap pura-pura sibuk dengan ponsel pintarnya. 

Rasa sakit Marina sedikit terobati karena setidaknya Johan masih menghargai keberadaannya, walau sedikit menyebalkan dan selalu minta diperlakukan layaknya seorang raja. 

Lelah hari ini membuat kedua mata Marina terpejam dengan sendirinya, ia bahkan tak tahu kapan anak lelakinya kembali pulang ke tempat tinggalnya sendiri. 

•••

“MARINA!!” 

“MARINA!!”

Suara teriakan Burhan yang membangunkannya pagi itu, entah kapan pria itu kembali ke rumah. Marina segera mengumpulkan kembali kesadarannya, sebelum beranjak dari tidur nyamannya. 

“Nenek!” Suara Gwen menyambutnya di depan pintu, gadis berpiyama hitam putih gambar beruang itu masih menggendong bonekanya, itu tandanga Gwen juga baru bangun dari tidur. 

“Sudah bangun?” tanya Marina lembut pada Gwen, dari sunyinya rumah, Marina tahu bahwa semalam Diana tak pulang, wanita itu lebih memilih tidur nyaman di rumahnya sendiri, daripada harus repot mengurus keperluan anaknya sebelum pergi bekerja. 

Gwen mengangguk, “Nenek, mau minum susu,” pintanya. 

“Iya sebentar, nenek panaskan air dulu.” 

Marina memanaskan air didalam panci, sekalian nanti membuat kopi untuk Johan. Sengaja Marina tak menggunakan kompor, karena dirasa lebih hemat menggunakan bahan bakar, ketimbang menggunakan listrik.

Marina tak keberatan melakukan hal itu, walau repot, dan kondisi ekonomi suaminya sudah diatas rata-rata. Karena jika ada sisa uang kebutuhan rumah bisa ditabung, untuk digunakan sewaktu-waktu jika ada keperluan darurat yang sifatnya mendadak. 

Marina mulai menyendok bubuk susu, serta bubuk kopi ke dalam dua gelas berbeda, ia lupa pada panggilan suaminya beberapa saat yang lalu. “MARINA!! MANA AIR MINUMKU?!” Kembali Johan berteriak. 

Marina tersadar, ia buru-buru menuang segelas air putih untuk Johan. Ini adalah kebiasaan Johan setiap pagi ketika baru saja membuka mata, yakni minum air. Dan hal sepele ini harus Marina yang mengerjakan, karena Johan sudah terbiasa dilayani seperti ini oleh Marina. 

“Kenapa lama sekali?” Dengan kasar Johan mengambil alih gelas dari tangan Marina, kemudian meneguk habis air hangat didalam gelas tersebut. 

“Gwen minta dibuatkan susu, jadi aku menyalakan kompor dulu,” jawab Marina, pandangan matanya menyapa sekeliling ruangan, dimana tas kerja, sepatu, kaos kaki, serta jas milik Johan berserakan di ruang tamu. 

Marina mulai memungut satu-persatu barang-barang tersebut, namun … 

Pyar!! 

Dari arah ruang makan, terdengar suara benda pecah. “Neneek! Jari tanganku berdarah,” keluh Gwen, Marina segera kembali ke ruang makan, dan melihat Gwen jongkok, sambil melihat jari tangannya yang meneteskan darah. 

“Kenapa bisa jatuh gelasnya?” tanya Marina panik, sembari mengusap darah di jari Gwen dengan menggunakan tisu. 

“Tadi mau ambil minum, tapi gelasnya di senggol sipanda,” keluh Gwen. 

Setelah selesai membersihkan luka dan membalut jari Gwen dengan plester luka, Marina pun membereskan pecahan gelas yang masih berserakan di lantai. 

“MARINA!!” 

Belum selesai Marina membersihkan lantai dari pecahan gelas, Johan kembali berteriak. 

“Iya?” jawab Marina. 

“Siapkan air panas untuk mandi,” pinta Johan sekali lagi. 

Marina hanya bisa mengiyakan, tanpa bisa menolak, karena ia sudah menjalani peran sebagai istri yang patuh selama separuh lebih usianya sendiri. Jadi jika dikatakan ini pekerjaan berat, benar sekali ini sangat berat, tapi kebiasaan yang sudah mengakar sangat sulit untuk dihilangkan, terlebih sudah berulang selama 30 tahun lebih. 

Sambil membuat kopi untuk Johan, dan Susu untuk Gwen, Marina pun mulai memanaskan air untuk suaminya mandi. Marina mulai berpikir untuk membuat sarapan sekedarnya karena, tak cukup waktu untuk membuat sarapan lengkap. Karena setelah mandi Johan harus sudah sarapan, dan kembali pergi bekerja. 

Johan segera beranjak dari sofa tempatnya berbaring, ketika Marina memberitahukan bahwa air hangatnya sudah siap. Sementara Marina kembali memunguti pakaian serta perlengkapan Johan yang tadi berserakan di ruang tamu, Marina merasa ada yang berbeda dari setelan jas Johan tapi entah apa, ia tak tahu. 

Ketika meletakkan setelan jas serta Dasi di keranjang baju kotor, barulah ia menyadari bahwa ada aroma pewangi pakaian yang berbeda, tak seperti yang biasa ia pakai di rumah. Dan setelan Jas serta dasi milik Johan juga bukan yang kemarin pagi ia pakai dari rumah, yang ini terlihat seperti baru pertama kali digunakan. 

Ingatan Marina seketika tertuju pada peristiwa hari sebelumnya, yang mana suaminya ada di dalam mobil bersama seorang wanita. Apakah yang kemarin itu benar-benar mobil milik Johan? 

Dada Marina mulai berdebar, separuh hati ia tak ingin percaya, namun separuh hatinya lagi meyakini bahwa yang kemarin ia lihat adalah mobil milik suaminya. 

Tapi, kenapa? Setelah 30 tahun berlalu, baru sekarang? Disaat ia sudah sangat percaya pada pria yang mendampinginya selama puluhan tahun, justru pria itu juga yang tega menghancurkan kepercayaan yang sudah Marina jaga selama mengayuh biduk rumah tangga. 

Marina menekan segala perasaan dan prasangka yang mulai menghantui, termasuk ketika menyuguhkan roti bakar dengan olesan selai coklat dan butter. “Kenapa hanya ini sarapanku?” protes Johan. 

“Aku belum sempat memasak yang lain, nikmati saja makanan itu,” jawab Marina tanpa menoleh. 

Johan yang terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya pun tak terima, “Kamu tahu kan, kalau Aku biasa sarapan nasi di pagi hari?” 

Mendadak Marina jengkel, setelah 30 tahun berlalu, tidak bisakah sekali ini saja Johan menikmati apa yang ada di hadapannya? Alih-alih protes. “Aku tahu.” Marina menoleh. 

“Sekarang cepat hidangkan nasi, dan lauk pauk.” 

“Aku harus mengurus cucumu juga, jika masih ingin nasi, makan saja nasi dan lauk pauk yang kumasak kemarin malam untukmu.”

Johan tercengang, sepanjang pernikahannya dengan Marina, baru kali ini Marina berani menolak bersikap tidak hormat. Tentu saja sisi keegoisan yang biasa merasa menjadi yang utama kini semakin bergolak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!