NovelToon NovelToon

LOVE SON OF THE RULER

DUA BULAN KEMUDIAN

Dua bulan kemudian.

Seorang wanita terbangun dari tidurnya, lalu mendudukkan diri diatas tempat tidur. Ia menoleh pada pria yang tertidur pulas disampingnya, yang sudah menyandang status sebagai suaminya sejak dua bulan yang lalu.

Ia beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke kamar mandi dengan hanya mengenakan kemeja putih kebesaran milih suaminya.

Lima belas menit kemudian.

Wanita itu keluar dari kamar mandi, lalu mengambil pakaian dilemari untuk segera ia kenakan. Setelah selesai memakai pakaiannya, wanita itu segera keluar dari kamar untuk membuat sarapan pagi untuknya dan juga suaminya.

* * *

Dua puluh menit kemudian.

Sudah dua puluh menit wanita itu berkutak didapur, dengan wajan yang berada diatas kompor dan tangan yang memegang spatula, lalu dengan cekatan mengoreng ayam didalam wajan panas berisi minyak.

Wanita itu tersenta saat merasakan tangan kekar melingkar diperut ratanya dan kepala seorang pria yang berada diceruk lehernya.

"Kenapa tidak membangunkan aku?" Tanya pria itu dengan suara paraunya, khas orang bangun tidur.

"Aku tidak ingin menganggu tidur nyenyak suamiku, jadi aku tidak membangunkannya," ucap wanita itu dengan menyentuh wajah suaminya yang berada dipundak sebelah kanannya.

"Tapi aku tidak tega, kamu sudah bekerja tadi malam. Masa harus bekerja lagi paginya, aku kan bisa membuat sarapan sayang," ucap pria itu dengan suara manjannya, lalu mengecup pipi istrinya.

"Udah ih, sana pergi mandi! Abis itu ke kantor," ucap wanita itu mencoba melepaskan tangan suaminya yang masih setia melingkar diperut rampingnya.

Pria itu enggan untuk melepas pelukannya pada perut istrinya, hingga terdengar suara deheman seseorang yang berada diambang pintu masuk dapur yang terhubung dengan meja makan.

Sepasang suami istri itu menoleh, sang wanita menatap terkejut pria yang tengah berdiri diambang pintu masuk dapur, pria yang memiliki wajah sebelas dua belas dengan suaminya. Sedang suami wanita itu, menatap datar adiknya yang sangat menganggu kesenangannya pagi ini untuk menggoda istrinya.

Wajah wanita itu merona merah, lalu menunduk dengan mengigit bibir bawahnya, ia malu karena iparnya melihat dirinya bermesraan dengan suaminya.

"Brother, harusnya kau ingat. Jika dirumah ini ada aku," ucap malas pria itu yang tidak lain adalah Revin, ia dengan malas masuk kedapur lalu berjalan mendekat kearah lemari pendingin, lalu mengambil botol air dingin dan kembali menutup lemari pendingin itu.

"Penganggu!" Ucap kesal pria itu, yang tidak lain adalah Revan, lalu dengan malas melepaskan pelukannya dari perut rata istrinya dan berjalan keluar dari dapur untuk kelantai atas, mandi dan bersiap untuk ke kantor.

"Ma-ma-maaf ya, Revin," ucap wanita itu, yang tidak lain adalah Rania. Ia merasa sedikit tidak enak pada iparnya, karena memamerkan kemesraan dihadapan iparnya itu, yang istrinya tengah berada di negara B, melanjutkan studinya.

Revin menoleh dan tersenyum pada kakak iparnya itu, lalu menarik salah satu kursi dan duduk.

"Tidak apa-apa, kakak ipar. Aku tau, jika brother yang kelewat manja itu, yang mulai lebih dulu," ucap Revin santai dengan meminum air dingin yang sudah ia tuang digelas.

"Aku mendengarnya sialan!" Ucap kesal Revan yang kembali lagi ke dapur, membuat Revin tersedak air dingin yang ia minum.

"Apa yang kau lakukan lagi disini?" Tanya kesal Revin, dan seketika membulatkan matanya saat melihat hal yang dilakukan oleh kakaknya itu.

"BROTHER SIALAN!" Teriak Revin mengema didapur pagi ini, sedang Revan dengan santainya berlari keluar dari dapur setelah mencium bibir istrinya, sengaja memamerkan kemesraan didepan adiknya itu.

* * *

Lima belas menit kemudian.

Revan, Rania dan Revin tengah sarapan dimeja makan, Revin terus saja mengumpat pada kakaknya itu. Ia menyesal tinggal dengan Revan, meski ia bisa tinggal diapartemen miliknya. Tapi ia tidak suka jika harus sendiri diapartemen, jadi ia memutuskan untuk tinggal bersama dengan Revan yang sialnya selalu memamerkan kemesraan suami istri, dihadapannya yang tengah LDR dengan istrinya.

"Revin, kapan kau akan pergi ke negara B?" Tanya Revan disela-sela mulutnya yang tengah menguyah sarapan pagi ini.

"Besok lusa," jawab Revin cepat, sebenarnya ia sudah ke negara B satu Minggu yang lalu, tapi rasa rindunya tidak mengenal waktu. Jadi ia putuskan untuk pergi lagi besok.

Revan hanya menganggukkan kepalanya mengerti, lalu menoleh pada Rania yang duduk disampingnya.

Revan mengusap rambut istrinya dengan sayang, membuat wajah Rania merona merah karena hal itu.

Sepuluh menit kemudian.

Mereka bertiga selesai sarapan, dengan cepat Revin berpamitan pada kakaknya untuk segera ke perusahaannya. Karena ternyata pagi ini ada rapat dadakan.

* * *

Revan dan Rania dalam perjalan ke kampus Rania, Revan telah memindahkan Rania ke universitas di negara A, karena jika di Negara S membuat ia tidak tenang untuk meninggalkan Rania ke negara A meski sehari.

Revan menoleh pada Rania yang terlihat pucat, seperti tengah sakit. Tapi tadi makan dengan lahap. Revan mengelengkan kepalanya, menyingkirkan semua fikiran yang hinggap di benaknya.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Revan khawatir dengan meraih dan mengenggam tangan Rania dengan tangannya yang bebas.

Rania menganggukkan kepalanya lemah, entah mengapa ia merasa tidak enak badan sekarang. Padahal pagi tadi baik-baik saja.

"Kita ke rumah sakit ya," ucap Revan, ia benar-benar khawatir sekarang.

Kali ini Rania mengelengkan kepalanya lemah, ia tidak ingin bolos hari ini. Revan menghembuskan nafasnya melihat hal itu, lalu perlahan mengecup punggung tangan Rania.

"Nanti kalau ada apa-apa, telfon aku. Mengerti!" Ucap Revan, lalu dengan ceoat Rania menganggukkan kepalanya.

Sepuluh menit kemudian.

Revan menghentikan mobilnya tepat didepan kampus istrinya, lalu kemudian mengecup singkat kening Rania yang berniat keluar dari mobil.

"Ingat untuk menelfonku saat terjadi sesuatu," ucap Revan mengingatkan.

Rania lagi-lagi mengangguk mengerti, lalu membuka pintu mobil dan perlahan perlahan untuk masuk ke dalam.

Belum ada sepuluh langkah Rania menjauh dari mobil, tiba-tiba ia memengang kepalanya yang terasa berat. Revan yang belum pergi dari sana, segera keluar dari mobil dan berlari menghampiri istrinya.

"Sayang!" Ucap Revan yang kini memeluk tubuh Rania yang begitu lemah seperti tidak ada tenaga sekarang ini.

Revan mengendong Rania ala bridel style mendekat ke mobilnya, lalu dengan cepat membuka pintu mobil dengan susah payah dan kembali mendudukkan Rania dikursi samping kemudi, memakaikan sabuk pengaman pada istrinya itu.

Revan segera menutup pintu mobil, dan segera mengitari mobilnya untuk membawa Rania ke rumah sakit. Saat ini ia benar-benar khawatir pada istrinya, ia takut terjadi sesuatu yang tidak-tidak.

* * *

Sepuluh menit kemudian.

Revan menghentikan mobilnya didepan rumah sakit, dan dengan cepat keluar dari mobil untuk mengendong tubuh mungil istrinya masuk kedalam rumah sakit.

"DOKTER! DOKTER!" Teriak Revan seperti orang gila dengan Rania yang berada digendongannya.

Dengan cepat seorang perawat membawa brangkar mendekat pada Revan, lalu Revan dengan cepat menidurkan Rania dengan perlahan diatas brangkar.

Revan terus membantu perawat mendorong brangkar itu hingga tiba didepan ruangan UGD, lalu Revan melepaskan tangannya yang mendorong brangkar dan menatap pintu yang perlahan-lahan tertutup.

'Ya Tuhan, Jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak-tidak,' ucap Revan dalam hati, dengan mondar-mandir didepan ruang UGD.

HAMIL

Revan tak henti-hentinya mondar-mandir didepan ruang UGD, ia terus menatap pintu ruang UGD yang masih tertutup rapat, entah kapan dokter yang memeriksa istrinya akan keluar dari sana.

Pintu ruangan UGD terbuka, dengan cepat Reva menghampiri dokter wanita itu dan menyerang dengan berjuta pertanyaan.

"Dokter, bagaimana keadaan istri saya? Baik-baik saja kan? Tidak terjadi hal yang tidak-tidak kan?" tanya Revan tanpa henti, yang mendapat gelengan kepala dari dokter itu.

"Nyonya baik-baik saja, tuan. Dan selamat," ucap dokter wanita itu dengan senyum diwajahnya.

Revan mengernyit dengan apa yang dikatakan oleh dokter itu. Selamat? Selamat untuk apa? Batin Revan semakin bertanya-tanya.

"Maksud dokter apa?" tanya Revan yang tidak ingin berbasa-basi lagi.

Dokter itu menghembuskan nafasnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya, ia kadang ingin tertawa melihat reaksi Revan yang seperti orang kebingungan.

"Istri Anda tengah hamil satu bulan lebih, jadi sebaiknya Anda menjaga nyonya dengan baik, karena usia kandungannya yang masih rentan dan butuh pengawasan, agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, tuan," jelas dokter itu panjang lebar, sedang Revan terdiam mendengar hal itu.

"Hah?!" Dokter wanita itu mengigit bibir bawahnya untuk manahan tawanya melihat Revan yang seperti orang bodoh sekarang ini.

"Anda akan jadi seorang ayah, tuan. Kalau begitu saya permisi dulu," pamit dokter itu dengan mengelengkan kepalanya, ingin rasanya ia tertawa lepas sekarang juga.

Revan mengerjapkan matanya beberapa kali, dengan mencoba mencerna setiap ucapan dokter itu. Hamil? Menjadi ayah? Revan seketika berteriak membuat beberapa orang yang berlalu lalang didekatnya, terkejut dan menyentuh jantung mereka yang berdetak dua kali lebih cepat.

"AKHIRNYA!" teriak Revan lalu berlari masuk kedalam ruangan UGD untuk melihat kondisi Rania, tanpa peduli dengan orang yang terkejut karena teriakannya.

Revan tersenyum melihat Rania yang terbaring diatas brangkar dengan kondisi yang mulai lebih baik dari sebelumnya.

"Sayang!" panggil Revan lalu berlari kecil mendekat kearah Rania dan mencium wajah Rania tanpa henti.

"Ada apa? Sepertinya sangat bahagia?" tanya Rania dengan menatap Revan yang juga menatapnya dengan raut wajah bahagia.

"Makasih sayang," ucap Revan lalu kembali mengecup wajah Rania tanpa henti.

"Ada apa sih? Kasih tau dong," ucap Rania yang hanya dibalas senyuman lebar oleh Revan.

"Kamu hamil sayang, kita akan jadi orang tua. Terima kasih," ucap Revan lalu mengecup wajah Rania yang perlahan-lahan terlihat seperti ingin menangis.

"Sudah, tenanglah. Aku sangat berterima kasih. Thank you my wife," ucap Revan lalu memeluk Rania yang memangis haru dipelukannya.

***

Revin tengah duduk diruang rapat dan menatap datar pada seorang wanita yang tengah melakukan presentasi dihadapannya, dan beberapa petinggi perusahaannya.

BRAK!

Revin mengembrak meja dengan kesal, dan menatap dingin pada semua orang yang hadir diruang rapat itu. Sedang sang sekertaris hanya berwajah datar, melihat sang bos yang murka kali ini.

"Apa kalian tidak bisa membuat hal yang lebih baik! Jangan pernah mengadakan rapat yang begitu menyita waktu seperti ini! Jika kalian saja tidak bisa memberi yang terbaik untuk kalian perlihatkan padaku!" ucap Revin dingin, lalu segera berlalu keluar meninggalkan semua orang yang terdiam dengan kepala menunduk, mendapat teguran keras dari sang bos besar.

Sekertaris Revin yang bernama Cleo segera keluar dari ruang rapat, mengejar sang bos yang sudah pasti pergi ke ruangan kebesarannya.

Revin membuka pintu ruangannya dengan keras, dia benar-benar tidak tahu bagaimana cara berfikir para karyawannya yang dengan entengnya mengatakan rapat, tapi sama sekali tidak bisa memberikan hasil yang memuaskan.

Revin dengan cepat mendekat kearah kursi kebesarannya, lalu mendudukkan tubuhnya dan memijit pangkal hidungnya.

Beberapa menit kemudian.

Tok! Tok! Tok!

terdengar suara ketukan pintu, membuat Revin dengan malas mendogak dan menatap pintu ruangannya.

"Masuk!" ucap Revin dingin lalu kembali memijit pangkal hidungnya.

Cleo masuk kedalam ruangan Revin, setelah mendengar suara sang bos yang mengijinkannya untuk masuk.

Cleo dengan perlahan meletakkan secangkir kopi diatas meja kebesaran Revin.

"Ini kopinya, tuan," ucap Cleo lalu segera membalikkan tubuhnya untuk keluar dari ruangan itu, membiarkan sang bos menenangkan fikiran terlebih dahulu.

Revin menghembuskan nafasnya, lalu perlahan meraih cangkir kopi yang dibawa oleh Cleo tadi. Ia meminum kopi itu untuk mencari ketenangan.

'Kenapa besok lusa terasa begitu lama sekarang,' ucap Revin dalam hati, lalu kembali menyeruput kopinya.

* * *

Pukul 2 siang.

Revin menghembuskan nafasnya saat pekerjaannya selesai, ia segera bangkit dari duduknya untuk pulang. Ia ingin membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur sekarang, atau lebih tepatnya ingin menghubungi istrinya.

Revin membuka pintu ruangannya dan berjalan keluar keruangan Cleo.

"Cleo, semuanya sudah selesai. Jika masih ada, kirimkan saja lewat email," ucap Revin saat membuka pintu ruangan sekertarisnya, lalu pergi meninggalkan Cleo yang terdiam seribu bahasa. Karena tidak biasanya sang bos menyelesaikan semuanya lebih cepat seperti sekarang ini.

"Hem, sepertinya bos sudah sangat rindu dengan istrinya, hingga buru-buru ingin pulang dan menelfon istrinya," ucap Cleo lalu menghembuskan nafasnya. "Apalah dayaku yang seorang jomblo," lanjut Cleo dengan mengelus pelan dadanya. Kapanlah jodohnya akan datang, hanya tuhan yang tau.

Ting!

Pintu lift terbuka, Revin dengan cepat berjalan keluar dari lift untuk segera tiba dibasemant perusahaannya, dan dengan cepat mendekat kearah mobilnya yang terparkir dengah cantik disana.

"Hem, firasatku mengatakan, jika Brother ada dirumah sekarang ini," ucap Revin, lalu segera melajukan mobilnya untuk pulang ke rumah sang kakak.

***

Lima belas menit kemudian.

Revin memarkirkan mobilnya didepan rumah dan seperti dugaannya mobil sang kakak sudah terparkir lebih dulu disana.

Revin segera membuka pintu mobilnya, lalu berjalan dengan santai untuk masuk kedalam ruang itu. Kenapa Revin memilih untuk tinggal dengan Revan dibanding sang ayah? Karena menurut Revin, jika tinggal dengan sang ayah akan merepotkan ibunya. Padahalkan dia sudah menikah, dan jika dengan sang kakak itu akan sedikit membantu kakak iparnya. Ya begitu menurut Revin. Meski ia harus melihat keromantisan yang kadang membuatnya ingin segera terbang ke negara B.

Revin terdiam saat tiba diruang tamu dan mendapati Rania yang sudah duduk cantik disana dengah menatap malas pada layar tv yang menyala.

'Tumben kakak ipar sudah pulang,' ucap Revin dalam hati, dengan menatap aneh Rania yang sesekali menghembuskan nafasnya malas.

"Kakak ipar sudah pulang?" tanya Revin yang berjalan mendekat kearah Rania lalu mendudukkan diri disofa tunggal yang berhadapan dengan kakak iparnya itu.

Rania menoleh pada Revin lalu mengangguk kecil, saat ini rasa bosan tengah menghampiri dirinya.

"Brother juga sudah pulang?" tanya Revin lagi, dan Rania hanya menganggukkan kepalanya hingga terdengar suara seseorang yang baru keluar dari dapur.

Revin menoleh dan seketika tersedak salivanya sendiri, saat melihat seorang pria yang berjalan kearah mereka.

BROKOLI

Revan selesai memasak sayuran yang ingin dimakan oleh istrinya, yang entah mengapa ngidam yang aneh-aneh. Bahkan sayuran yang tidak ia sukai, justru ingin ia makan sekarang ini.

Dengan langkah cepatnya, Revan berjalan keluar dari dapur dengan piring yang berisi sayuran yang ia masak beberapa saat yang lalu. Ia harus segera memberikannya pada Rania, karena sudah sedari tadi istrinya itu ingin makan sayuran tersebut.

Revan mengernyit saat melihat Revin yang sudah berada diruang tamu, sedang Revin terkejut melihat sang kakak yang keluar dari dapur dengan memakai celemek, dan hal yang paling membuat Revin terkejut adalah makanan yang berada dipiring ditangan kakaknya itu.

Revin menutup mulutnya sendiri dengan tangannya, lalu menatap Revan yang perlahan-lahan menaruh piring tersebut diatas meja didepan Rania.

"Sa-sayur apa itu? Ke-kenapa dia ada di rumah ini?" tanya Revin dengan menatap horor pada sayuran dipiring dihadapan kakak iparnya.

"Kau tau sayur apa ini. Jadi tidak perlu bertanya padaku," ucap Revan malas, lalu mendudukkan diri disamping Rania.

Revin segera beranjak dari duduknya dan berlari kekamar mandi yang berada didapur, perutnya terasa dikocok didalam sana, terlebih melihat sayur itu.

Revan menatap datar adiknya, lalu kemudian menelan salivanya dengan susah payah. Jika Revin tidak menyukai sayur tersebut, sudah pasti dia juga tidak menyukainya. Entah apa yang difikirkan oleh istrinya, hingga berkata jika ia ingin makan sayuran berwarna hijau yang bernama Brokoli itu.

Revan menghembuskan nafasnya, lalu menoleh pada Rania dan terkejut ketika melihat sang istri yang sudah memakan sayur itu dengan lahap. Tanpa ada tanda-tanda tidak enak disana.

Revin keluar dari dapur dan kembali berjalan perlahan keruang tamu, ia terkejut melihat kakak iparnya yang makan sayur brokoli itu dengan lahap.

"Ya Tuhan," ucap Revin, dengan menatap aneh pada istri kakaknya itu.

Revan menatap malas Revin, yang kini kembali duduk disofa tempatnya tadi, lalu segera meneguk jus yang ia bawa dari dapur untuk menghilangkan rasa mualnya melihat Rania.

Revin menatap Revan yang juga menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk ia artikan.

Revin memberi kode pada Revan, seolah bertanya ada apa dengan Rania. Revan hanya mengedipkan matanya, lalu menyentuh perutnya dan mengelusnya perlahan.

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" batuk Revin, saat mengetahui arti dari kode yang diberikan kakaknya.

Rania menatap Revin dengan mulut yang menguyah brokoli tanpa memakan nasi, hanya brokoli saja.

"Kau baik-baik saja, Revin?" tanya Rania dengan menatap adik iparnya itu.

Revin segera menganggukkan kepalanya dan berlalu dari ruang tamu untuk segera naik ke kamarnya, jujur dia sangat tidak bisa melihat sayuran yang bernama Brokoli itu.

"Ada apa dengannya?" tanya Rania pada Revan.

"Aku rasa kau sudah tau jawabannya sayang," ucap Revan, lalu menyeka sudut bibir Rania dengan ibu jarinya.

Rania hanya mengangguk mengerti, meski sebenarnya ia belum terlalu mengerti maksud suaminya. Sedang Revan segera memalingkan kepalanya kearah lain, melihat sayuran hijau itu membuat kepalanya pusing. Saat memasaknya tadi saja, sudah membuatnya ingin pingsan.

'Ya tuhan, sayang. Kenapa kau meminta ibumu untuk makan sayuran itu?' ucap Revan dalam hati, seolah janin didalam perut Rania mendengar ucapannya.

* * *

Revin dengan cepat menutup pintu kamarnya, ia berusaha untuk mengatur nafasnya yang tidak beraturan saat ini.

"Astaga!" pekik Revin yang mengema didalam kamarnya dengan mengacak rambutnya frustasi.

"Kenapa harus ada Reana kedua dirumah ini," ucap Revin, yang kini benar-benar pusing.

Alasan kedua Revin tidak ingin tinggal serumah dengan ayahnya adalah karena Reana. Adiknya itu sangat suka dengan sayuran yang disebut brokoli, sama seperti Ana. Sedang Arian, Revan dan Revin tidak terlalu menyukai sayuran yang satu itu. Mereka akan lebih memilih untuk minum obat daripada makan brokoli.

"Ya Tuhan. Kenapa kakak ipar malah ngidam sayuran aneh itu sih, padahalkan dia tidak suka dengan sayuran itu," ucap Revin dengan mengacak rambutnya frustasi.

"Mungkin aku akan tenang setelah mandi," ucap Revin lalu segera masuk kedalam kamar mandi.

'Aku berharap Vivian tidak akan ngidam yang aneh-aneh nanti,' ucap Revin dalam hati, berdoa agar istrinya tidak meminta yang aneh-aneh saat hamil.

* * *

Pukul 7 malam.

Revin membuka pintu kamarnya, bertepatan dengan Revan yang baru keluar dari kamarnya yang berada disamping kamar Revin.

"Brother, kenapa kakak ipar malah ngidam yang aneh-aneh sih?" tanya Revin dengan berjalan beriringan dengan Revan untuk turun kelantai dasar.

"Kenapa malah bertanya padaku. Aku saja tidak tahu," jawab Revan malas, jujur kepalanya sedikit pusing karena memasak brokoli siang tadi.

"Kakak ipar yang memasak?" tanya Revin saat mereka tiba dilantai dasar.

"Iya, dia bilang ingin memasak. Jadi aku mengijinkannya, karena raut wajahnya yang seperti ingin menangis membuat aku tidak tega untuk menolak permintaannya," jawab Revan jujur, yang mendapat tatapan malas dari Revin.

'Aku berharap agar tidak ada hal buruk didalam dapur, karena seingatku masih ada sayur itu dikulkas tadi,' ucap Revin dalam hati, yang kini merasakan firasat buruk.

* * *

Revan dan Revin tiba didepan meja makan, mereka terdiam melihat makanan yang tersaji diatas meja makan. Masakan spesial ala Rania.

"Ayo kita makan," ucap Rania lalu segera mendudukkan diri dikursi, sementara Revan dan Revin menatap makanan itu dengan tatapan sulit diartikan.

Revan dan Revin saling menatap satu sama lain, lalu meneguk saliva mereka dengan susah payah.

"Em, sayang. Apa tidak ada sayur lain didalam kulkas?" tanya Revan dengan hati-hati, takut membuat Rania tersinggung.

Rania terdiam, lalu nampak berfikir sejenak.

"Ada, tapi untuk malam ini kita makan brokoli," ucap Rania dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya.

"Sepertinya kakak ipar perlu dibawah ke rumah sakit untuk diperiksa, brother," lirih Revin dan seketika mendapat injakan keras dikakinya.

"Aduh!" teriak Revin saat Revan menginjak kakinya dengan keras, hingga membuat Revin melompat-lompat dengan satu kaki.

Rania menoleh dan menatap Revin yang entah mengapa berteriak, sedang Revan berjalan dengan santai ke kursi yang berada disamping istrinya.

"Brother sialan!" ucap kesal Revin dengan mengelus kakinya yang ngilu karena Revan.

Revan hanya berwajah datar dengan menatap makanan yang tersaji dihadapannya. Ia menoleh pada istrinya yang makan dengan lahap, tanpa rasa tidak nyaman sedikitpun.

Revin berjalan perlahan ke meja makan dan duduk dikursi dihadapan Revan, lalu menatap sang kakak yang juga menatapnya.

Revan dan Revin menghembuskan nafas kasar, membuat Rania menatap keduanya dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Kalian baik-baik saja?" tanya Rania menatap suami dan iparnya secara bergantian.

Revan dan Revin tersenyum semanis mungkin, agar Rania tidak curiga.

'Ya Tuhan, semoga ini yang terakhir,' ucap Revan dan Revin dalam hati, lalu menyendokkan sayuran brokoli itu ke piring masing-masing.

"Ya Tuhan, aku berharap aku tidak mati setelah memakan ini," doa Revan dan Revin dengan suara yang sedikit keras lalu menyuap makanan itu ke mulut masing-masing.

Satu ....

Dua ....

Tiga ...

Kriet!

Revan dan Revin dengan cepat bangkit dari duduk mereka dan berlari kekamar mandi yang ada didapur, sedang Rania mengedipkan matanya beberapa kali, bingung dengan tingkah suami dan iparnya itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!