NovelToon NovelToon

Gara-gara Kepergok Pak Ustadz

Prolog

"Mur, tolong mbok angkat nasi ini." Pinta seorang ibu-ibu yang tengah kesusahan mengangkat termos nasi besar sendirian.

Dengan sigap, seorang gadis langsung melangkah cepat dan membantu ibu tersebut mengangkat termos nasi ke tempat prasmanan bagian nasi dan lauk.

"Makasih yo mur." Ucap ibu itu sambil mencubit gemas lengan gadis itu.

"Iye, sama-sama bu." Balas Murni sembari tersenyum.

"Mur! Murni, tolong bantu ambil tetelan di tempat masak!"

Tiba-tiba suara ibu-ibu lain memanggilnya, membuat gadis bernama Murni itu segera pergi ke dapur, tempat di mana orang-orang memasak makanan untuk acara nikahan di sana.

.

.

.

Di dalam dapur, tampak sangat ramai dipenuhi oleh ibu-ibu yang tengah sibuk memasak maupun memotong bahan makanan, berbagai macam lauk pauk tertata di dalam baskom kecil yang tersusun rapi, siap diantarkan ke bagian prasmanan, disertai suara ricuh obrolan antara ibu-ibu dan suara riuh orang-orang memasak.

"Eh, Murni!" Ucap seorang wanita muda.

Menepuk pundak Murni yang tengah berjalan perlahan melewati berbagai macam perabotan dan lauk-pauk yang tertata rapi, menyempitkan pergerakannya di sana.

"Mbak Rita." Ucap Murni sambil menundukkan kepalanya sejenak dan tersenyum.

"Mau kemana, Mur?"

"Aku mau ngambil tetelan, mbak, tadi disuruh sama Mak Edot." Jawabnya.

"Duluan ya, mbak." Pamitnya, langsung masuk lebih dalam ke dapur.

Tak berapa lama, Murni akhirnya keluar dari dalam dapur sambil membawa mangkuk kaca besar berisi tetelan.

"Murni!" Panggil seseorang, membuat Murni menoleh ke samping.

Di sana, Mbak Rita muncul, sembari menggendong putranya yang masih kecil.

Wanita bernama Rita itu mendekati Murni, "Mur, nanti selesai nganter tetelannya, tolong jagain Arhan ya."

"Mbak mau mandi, dari pagi nggak sempat mandi." Timpalnya sembari berbisik di telinga Murni.

Murni mengangguk, "Iya Mbak, selesai ini ya." Jelas Murni.

Setelah Murni berlalu, Rita malah menyuruh putranya yang sudah bisa berjalan itu mengikuti Murni. Dengan tertatih-tatih, anak kecil berumur dua tahun itu pun berjalan pelan melewati orang-orang untuk mengejar Murni.

"Nah, untung cepat." Ujar Mak Edot, mengambil alih mangkuk berisi tetelan untuk campuran prasmanan kwetiau goreng.

"Habis ini, ke toko ya Mur, beliin daun seledri." Pintanya lagi.

"Tapi Mak, bukannya daun seledri ada di dapur?" Tanya Murni.

Mak Edot tampak memasang ekspresi kesal, tapi bukan karena pertanyaan Murni, melainkan karena keadaan.

"Itulah, Mur, kulkas di sini rusak, sampai bikin seledri-nya layu." Dia menatap Murni dengan serius. "Nanti beli ya."

"Tapi Mak aku-"

"Ah, nggak jauh, bah Mur. Pakai motor kan bisa." Potong Mak Edot.

"Iya, mak." Balas Murni sembari menghela nafas panjang.

Lalu dia pun berbalik untuk meminjam motor orang untuk ke pasar.

Namun tiba-tiba, ia bertemu dengan Arhan yang sudah memeluk kakinya.

"Arhan.." Murni berjongkok dan menggendong tubuh anak kecil itu.

"Mana ibu kamu?" Tanya Murni, sedikit heran.

"Mamama, mandi." Ucap Arhan dengan suara cadel-nya.

Murni pun teringat dengan permintaan Mbak Rita. Sekali lagi ia menghela nafas, padahal ia seharusnya pergi ke pasar, tapi ia juga tidak mungkin meninggalkan Arhan dengan orang lain, karena Arhan itu suka rewel dan hanya mau dengan orang-orang tertentu saja, termasuk Murni sendiri.

Murni mencoba meminta bantuan remaja lain yang ada di sana. Namun, mereka semua menolak dengan alasan mereka sudah cantik dan cetar membahana untuk bersua foto dengan pengantin.

Murni tampak kesusahan. Padahal ia adalah tamu di acara pernikahan temannya itu juga, namun sayangnya ia malah jadi banyak disuruh-suruh sama ibu-ibu. Padahal gadis-gadis lain yang seusianya banyak di sana, tapi cuma Murni yang disuruh.

"Aahhk! Arhan, jangan tarik rambut kakak." Ucap Murni, melepaskan tangan Arhan yang menarik rambutnya.

Akhirnya, anak kecil itu melepaskan cengkraman nya ketika perhatiannya teralihkan ke hal lain.

Murni menghela nafas. Ia bahkan tidak sempat berdandan dan mengenakan gamis cantik serta pashmina yang sudah ia beli. Sekarang, ia hanya mengenakan gamis biasa dengan rambut yang diikat asal.

Sejak pagi ia sudah disibukkan dengan berbagai macam bantuan dari orang-orang. Murni ingin menolak, tapi ia tidak nyaman, apalagi kalau yang meminta bantuan itu orang tua.

"Mur! Murni!"

Ketika Murni hendak turun dari tenda acara, tiba-tiba seseorang memanggil namanya.

Murni berbalik dan mencari sumber suara itu, hingga akhirnya matanya menangkap sosok gadis lain yang sudah berdiri di samping mempelai wanita di atas pelaminan.

Gadis itu menyuruhnya mendekat, membuat Murni pun naik ke atas pelaminan.

"Napa, Ri?" Tanya Murni sambil mengencangkan gendongan Arhan di tubuhnya.

"Yuk foto, kita foto bareng mbak Ayu, kapan lagi kan?" Ujar gadis bernama Ria itu dengan senyum lebar.

"Bisa nanti nggak, Ri? Aku belum dandan, belum pakai gamis cantik pula." Jawab Murni, merasa agak canggung.

"Ya nggak apa-apa, Mur, kapan lagi kita foto rame-rame? Ayok lah." Ajak Ria, sambil mendekat dan berbisik di telinga Murni.

"Terlanjur kita bisa foto bareng kawan-kawannya Bang Rian, ganteng-ganteng,Mur." Ucapnya dengan nada centil saat menyebut kata 'ganteng'.

Murni sebenarnya masih ingin menolak, tapi tiba-tiba cowok-cowok dan gadis-gadis di sana sudah mulai naik ke pelaminan.

Murni hendak turun, namun tangannya sudah dicekal oleh Ria.

"Ayolah, Mur, kapan lagi kita bisa foto bareng? Aku habis ini langsung mau keluar desa, lusa aku kerja."

"Tapi aku sedang gendong anak kecil, Ri." Ujarnya, sambil menunjukkan Arhan yang tengah digendongnya.

"Bang! Bang! Bang!" Teriak Ria dengan ceria, memanggil pemuda yang sedang lewat. "Bisa tolong gendong anak kecilnya sebentar?"

"Oh iya," jawab pemuda itu, setuju.

Mau tidak mau, Murni pun menyerahkan tubuh Arhan ke pemuda itu, atas suruhan Ria.

Lalu mereka pun mulai berdiri tegak, mencari posisi yang pas untuk berfoto.

Murni merasa tidak nyaman dengan penampilannya yang lebih mirip ibu-ibu, apalagi melihat teman-temannya yang tampak modis dan rapi dengan pakaian mereka.

Akhirnya, Murni pun ikut berfoto bersama, meskipun hatinya masih merasa sedikit canggung dengan situasi tersebut.

.

.

.

Hingga akhirnya sesi foto bersama pun selesai.

"Ri, aku duluan ya." Murni tersenyum kecil sambil merapikan gamisnya yang sedikit berantakan.

"Eh, bentar Mur, nggak mau ngobrol dulu?" Ria menahan lengannya sebentar.

"Maaf Ri, aku harus balik. Arhan juga udah sama ibunya lagi," jawab Murni.

Matanya kini melirik ke arah Mbak Rita yang berdiri tak jauh dari sana, sembari mengambil alih gendongan Arhan yang sudah menangis karena menolak digendong oleh pemuda itu.

Ria mengikuti arah pandangan Murni dan langsung terkejut melihat wajah jutek Mbak Rita.

"Waduh! Mbak Rita kayaknya kesel tuh Mur."

Murni hanya tersenyum kecut.

"Iya nih, aku harus buru-buru jelasin ke Mbak Rita sebelum tambah panjang urusannya. Aku duluan ya, Ri."

"Oke, hati-hati Mur!"

Murni pun segera berbalik, hendak turun dari pelaminan, tapi saat itulah matanya bertemu tatap dengan sosok Mbak Rita yang sudah menggendong Arhan, menatapnya dengan raut wajah kesal.

Murni sudah bisa menebak bahwa Mbak Rita pasti marah karena ia tidak becus menjaga Arhan. Tanpa menunggu lebih lama, ia mempercepat langkahnya, bersamaan dengan para pemuda dan gadis lain yang juga hendak turun dari pelaminan.

Namun, di tengah keramaian itu-

Tap!

Ujung gamisnya tiba-tiba diinjak oleh seseorang yang berjalan di belakangnya. Membuat keseimbangan tubuhnya goyah dan-

Brukk!

Kepergok

Brukk!

Tubuhnya seketika limbung ke depan dan jatuh tersungkur ke bawah.

Sejenak, suasana menjadi hening. Orang-orang di sekitar menoleh ke arahnya. Namun, Murni tak terlalu peduli dengan tatapan mereka. Fokusnya hanya pada rasa sakit yang menjalar dari kakinya dan dagunya yang sempat menghantam lantai kayu pelaminan.

"Auh... Sakit..." desisnya, meringis kesakitan sambil mencoba menopang tubuhnya dengan satu tangan.

Beberapa orang mulai berbisik, sementara yang lain mendekat untuk melihat keadaannya. Murni menunduk, merasa malu sekaligus menahan nyeri yang menjalari tubuhnya.

Seseorang dari arah belakang buru-buru menghampirinya.

“Oh my God! I’m so sorry! Are you okay?” Suara berat seorang pria yang terdengar panik, menderu indra pendengaran Murni.

Membuatnya mendongak pelan, dan melihat seorang pemuda berwajah asing, sepertinya bukan dari desa itu, tampak terlihat resah, menatap Murni dengan wajah bersalah.

Murni masih meringis menahan sakit terutama di kakinya, ia mengangguk kecil.

“Ndak apa.” Ujarnya pelan sambil tersenyum menenangkan, meski jelas ia masih kesakitan.

Pria itu langsung mengulurkan tangannya ke arah Murni, menawarkan bantuan untuk membantunya berdiri. Dengan ragu, Murni menyambut uluran tangan itu dan perlahan bangkit. Tapi saat ia menapakkan kaki kirinya...

“Akh…” Murni meringis tajam.

Perih dan nyut-nyutan menjalar cepat dari pergelangan kaki kirinya. Ia menggigit bibir bawahnya menahan rasa nyeri itu, sepertinya kakinya terkilir.

Melihat itu, si pria tampan semakin panik. “Do you need help? I didn’t mean to step on your dress. I swear, I’m really sorry.”

Murni mengerutkan dahinya, entah apa yang pria itu ucapkan, ia sama sekali tidak mengerti dengan bahasa asing itu.

Beruntungnya saat SMA dulu Murni sempat mendapatkan materi bahasa inggris, membuatnya sedikit tahu bahasa apa yang pria itu pakai.

Dengan ragu-ragu Murni menjawab sebisanya.

“I-it’s okay… Ndak apa-apa.” Ujar Murni lagi sambil memaksakan diri berdiri tegak, lalu berjalan pelan menuruni pelaminan.

Ia sengaja memilih jalan belakang pelaminan yang lebih sepi, karena bagian depan masih ramai dengan tamu dan kerabat pengantin yang bersua foto.

Pria itu tetap mengikutinya dari belakang.

“Wait, are you sure you’re okay? You’re limping seriously, let me help you.”

"Help you? Itu artinya dia mau bantu aku?" Batin Murni, mencoba menerjemahkan kata-kata yang bisa ia tangkap.

Murni hanya melambaikan tangan pelan. “

"N-no problem... Tida apa-apa...” Ulangnya sambil berjalan terseok-seok.

Tapi langkahnya semakin berat, ketika rasa nyeri di kakinya kembali berdenyut hingga membuat matanya mulai berair.

Dan tiba-tiba-

Tanpa peringatan, pria itu membungkuk dan menggendong tubuh Murni dalam posisi bridal style.

“H-hah?!” Murni terperanjat, wajahnya langsung memerah. “Eh?! Ndak usah! Aku bisa jalan sendiri!”

"Biarkan aku membantu." Kata pria itu yang kali ini menggunakan bahasa Indonesia, namun tetap dengan aksen asingnya.

Tanpa mengindahkan protes Murni, dengan cepat, ia membawa Murni masuk ke dalam rumah pengantin, yang saat itu cukup sepi karena sebagian besar orang sedang berkumpul di luar untuk berfoto ataupun mengobrol.

Udara di dalam rumah jauh lebih tenang. Dengan aroma kue dan bunga yang tercium dari sudut ruangan. Beserta suara riuh dari luar yang hanya menjadi gema samar di balik dinding rumah.

Wajah pria asing itu tampak bingung ketika mencoba merangkai kata dalam bahasa Indonesia, hingga perlahan ia mulai membuka mulutnya dan berbicara meski terdengar kaku dan terbata-bata.

"Saya... bawa kamu ke mana? Tempat lebih baik? Dan di mana... saya bisa dapat kotak P-tiga-K?" Tanyanya, menyebut "P3K" dengan lafal lidah asing, terdengar seperti 'pi-triga-ki'.

Murni diam sejenak.

Ia tahu bahwa ia harus segera mengobati memar di kakinya. Tadinya, ia memang berniat pergi ke kamar pengantin, tempat di mana ia menitipkan baju dan beberapa barang pribadinya.

Namun sekarang keadaannya berbeda. Saat ini ia sedang bersama dengan seorang pria asing. Dan membawa orang tak dikenal masuk ke kamar yang berisi barang-barang pribadi dan penting milik temannya? Tentu saja ia tak berani. Bagaimana jika nanti ada barang yang hilang, dan berakhir ialah yang akan disalahkan.

Matanya bergerak cepat, lalu menunjuk sebuah kamar lain yang masih kosong. "Di sana aja. Kamarnya kosong, ndak ada barang penting."

Pria itu mengangguk paham. Lalu dengan hati-hati, ia membawa tubuh Murni mendekati pintu model lama dari kayu yang sudah terlihat reot, namun masih bisa digunakan.

Tanpa berpikir panjang, pria itu mendorong pintu itu menggunakan bahunya, membuat pintu tersebut perlahan terbuka.

Dan ketika mereka masuk…

Krieeet!

Pintu itu langsung menutup sendiri dengan bunyi khas engsel tua yang berat.

Seketika keduanya menoleh secara bersamaan. Menatap pintu yang kini sudah tertutup rapat.

Pria itu mengerutkan dahinya ketika menatap pintu itu, lalu beralih menatap Murni.

“Itu... pintu... kenapa begitu?”

Murni yang paham mulai menjelaskan.

"Model pintunya memang begitu. Kalau ndak disangga, dia bakal nutup sendiri."

"Disangga?" Tanya pria itu tampak penasaran.

"Itu... Di tahan pakai sesuatu." Jelas Murni.

"Oh... Yeah, i know." Gumamnya pelan.

Dengan perlahan, pria itu menurunkan tubuh Murni ke atas kasur di dalam kamar tersebut.

"Kamu tahu... Kotak P3K nya dimana?" Tanya pria itu.

"Disini ndak ada benda semacam itu." Jawab Murni mencoba menjelaskannya sembari menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada?" Tanya pria itu lagi, Murni mengangguk mengiyakan.

Pria itu tampak terdiam sejenak.

"Kamu bisa keluar." Ucap Murni akhirnya sembari mengibaskan tangannya memberi isyarat, takut pria itu tidak paham.

"Aku sudah oke." Timpalnya sembari mengacungkan jempol.

Pria itu menggelengkan kepalanya, "No, saya harus bertanggung jawab." Tolaknya.

Lalu Pria itu duduk bersimpuh di sisi kasur berhadapan dengan Murni. Keningnya tampak berkerut, ketika menatap kaki kiri Murni yang terlihat bengkak.

"Maaf... kaki kamu jadi bengkak. Aku... aku pernah belajar sedikit pertolongan pertama. Kalau kamu izinkan, aku coba bantu, ya?" ucapnya, masih menggunakan bahasa Indonesia, meski aksennya masih terdengar asing di telinga Murni.

Murni menatapnya sebentar, dengan ekpresi ragu. Tapi rasa nyeri di kakinya lebih menyita perhatiannya daripada rasa ragunya.

Akhirnya ia mengangguk menyetujui.

Barulah Pria itu mulai menyentuh pergelangan kaki Murni dengan sangat hati-hati, sentuhan tangannya yang terasa hangat dan tegas, menekan lembut beberapa titik persendian di kaki Murni, lalu menggerakkan perlahan kaki Murni ke arah tertentu.

"Sakit?" Tanyanya lirih.

"Sedikit..." gumam Murni dengan wajah meringis.

Pria itu menarik nafas dalam.

"Okay... ini mungkin sedikit tidak nyaman. But, aku janji tidak akan kasar."

Lalu, dengan gerakan pasti, ia memutar pergelangan kaki Murni sedikit demi sedikit, hingga-

Krek**k**

Seketika Murni mengerang pelan sampai mencengkeram sprei di bawahnya. Namun beberapa detik kemudian, rasa nyeri di kakinya itu perlahan mulai mereda sedikit.

"Masih sakit?" Tanya pria itu.

"Udah lebih baik." Jawab Murni.

"Then, jangan lupa dikompres dan jangan terlalu banyak bergerak." Kata pria itu dengan ekspresi yang terlihat lebih lega.

Murni mengangguk paham

Setelah memastikan kondisi kaki Murni yang sudah sedikit lebih baik, pria itupun tampak menghembuskan nafas lega, namun sorot matanya masih menyiratkan kekhawatiran.

Sembari memijit kakinya perlahan, Murni mendadak tersadar akan situasi aneh di antara mereka, di mana dua orang yang berbeda gender dan bukan sesama muhrim malah berada dalam satu ruangan yang sunyi dan sepi.

Seketika jantungnya berdetak dengan cepat. Matanya melebar, disusul dengan pipinya yang ikut memerah. Lalu ia bergeser sedikit, hendak menjaga jarak karena tubuh mereka sedari tadi cukup dekat. Pria itupun, mulai menyadari hal yang sama ketika merasakan gerak-gerik tidak nyaman dari gadis itu, ia pun segera hendak mundur dari sisi ranjang.

Namun-

“Eh-!” Murni terkejut.

Mendadak saja, ujung gelang stainless nya malah menyangkut di kancing baju pria itu. Pria itupun ikut menoleh, dan seketika ikut melebarkan kedua matanya.

“Kancing baju kamu... nyangkut di gelangku.” Bisik Murni, terkejut sendiri melihat ujung gelang stainless miliknya melilit celah kancing kemeja pria itu.

"Uh, sorry! Wait, biar saya lepaskan." Ujar pria itu terdengar panik, lalu menunduk sambil mencoba melepaskan kaitan ujung gelang Murni yang menyangkut di kancingnya.

Namun bahan stainless itu cukup elastis dan terpilin dengan kuat.

“Sebentar, biar aku bantu.” Ujar Murni, ikut menunduk, sembari mengulurkan kedua tangannya dan berusaha menahan gelangnya supaya tidak semakin tertarik.

Posisi mereka berdua kini begitu dekat, dan hanya berjarak beberapa jari saja. Bahkan helaan nafas pria itu bisa Murni rasakan dengan jelas ketika nafas hangatnya menerpa punggung tangan Murni.

Ketika pria itu semakin menunduk dalam karena fokus, Murni pun malah ikut menunduk karena penasaran kenapa ujung gelangnya masih belum terlepas juga.

Jujur saja, ia mulai merasa benci dan risih dengan gelangnya itu. Entah udah berapa kali gelang itu menyangkut , mulai dari di anting-anting nya, baju, kain berjarik, kini ujung gelangnya itu malah menyangkut di kancing baju seseorang, membuat sang penggunanya repot saja.

Tanpa mereka sadari, dahi mereka hampir bersentuhan.

“Ini sulit." Gumam pria itu lirih.

“Iya, bentar... ini ada ujungnya yang nyelip ke kancing kamu.”

Sesekali jari-jari mereka saling bersentuhan. Setiap sentuhan itu, berhasil membuat detak jantung Murni berdegup tak karuan. Pria itu tampaknya juga menahan nafas, berusaha tetap fokus.

"Wait... almost done.” Katanya pelan, dengan logat asing yang tetap terdengar hangat di telinga Murni.

Mereka berdua masih sibuk mencoba melepaskan kaitan yang menyangkut di kancing kemeja pria itu, tanpa menyadari jari-jari mereka yang beberapa kali saling bersentuhan, tapi keduanya terlalu fokus untuk mempermasalahkannya.

“Hampir lepas.” Gumam pria itu pelan, menunduk sedikit lebih dekat.

“Iya, sebentar, ini ujungnya nyelip..." Balas Murni, tanpa sadar menggigit bibirnya karena gemas dengan gelangnya, ia pun ikut membantu memutar gelangnya dengan hati-hati, tanpa menyadari seseorang yang ada di luar tampak keheranan mendengar suara dua orang yang berada di dalam kamar.

Hingga-

Brak!

Tiba-tiba pintu kamar tersebut terbuka lebar.

“ASTAGHFIRULLAH HALAZIM!”

Kepergok II

"ASTAGHFIRULLAHALAZIM!”

Suara berat dan penuh otoritas itu memecah keheningan, membuat keduanya tersentak. Dengan mata melebar, mereka berdua spontan menoleh ke belakang secara bersamaan.

Di ambang pintu, berdiri Pak Haji, sosok yang paling disegani di kampung ini. Jubah putihnya berkibar ketika ia bergerak masuk ke dalam kamar, ditambah dengan sorot matanya yang tajam ketika menatap mereka berdua, berhasil membuat bulu kuduk Murni meremang.

Wajah Murni langsung terlihat pucat. Sama hal nya dengan pria asing itu yang tampak membeku, tak paham apa yang sedang terjadi.

Tak butuh waktu lama, suara langkah cepat dan riuh mulai mendekat. Ibu-ibu kampung yang terkejut dan penasaran dengan teriakan tiba-tiba dari pak Ustadz pun langsung bergerombol di depan pintu, ekpresi wajah mereka tampak dipenuhi dengan ekspresi kaget, kepo, dan ada juga yang terlihat... sudah siap menyebar informasi tersebut dengan rapi sebagai bahan bergosip nanti.

"Ya Allah, Murni! Kau ngapain di dalam kamar sama laki-laki?!” Suara Bu Lastri terdengar nyaring seperti alarm subuh, membuat situasi tersebut semakin runyam.

Murni panik, dan buru-buru mengangkat tangannya.

“Ndak! Ndak seperti yang ibu pikirkan!”

Bu Lastri langsung mengelus dadanya sendiri.

“Astaga! Baru juga ceramah pak haji tadi bilang jauhi zina, ini malah kejadian di depan mata!”

Ibu-ibu lain langsung berbisik heboh.

“Ya Allah, di rumah pengantin pula!”

“Kok bisa-bisanya mereka ini!”

"Kalian udah ngapain aja di dalam hah?! Duh...! bikin malu keluarga pengantin!” Seru Bu Lastri sembari memegangi kedua kepalanya, disertai ekspresi frustasi yang terpampang di wajahnya.

Murni hampir menangis ketika semua orang mulai menuduhnya melakukan hal-hal yang tidak-tidak.

“Bu, Pak Haji, ini cuma kesalahpahaman.”

Pak Haji menghela nafas panjang, lalu menggeleng-gelengkan kepala dengan sorot mata penuh kekecewaan.

“Murni... Murni... Kenapa kau lakukan ini? Kau itu perempuan baik-baik. Tapi sekarang malah berdua-duaan di kamar dengan lelaki asing?”

Pria asing itu tampak semakin bingung dengan situasi ini. Dengan aksen khasnya, ia mencoba menjelaskan.

“No no, kami tidak melakukan hal buruk! Hanya... gelang yang menyangkut!” Dia menunjuk gelang di tangan Murni yang masih tersampir di kancing kemejanya.

Bu Lastri menyipitkan matanya, menatap keduanya dengan ekspresi penuh curiga.

“Gelang? Halah, alasan saja itu! Kau pikir kami bodoh? Kau pikir kami ini bakal percaya begitu saja?!”

Rasanya Murni ingin menangis, ketika semua orang mulai mempercayai kesalahpahaman itu menjadi sebuah kebenaran.

“Sungguh, bu! Murni juga nggak mau begini, tadi gelang Murni nyangkut di kancing kemejanya.”

Pak Haji menghela nafas dalam, lalu menatap mereka berdua dengan tajam.

“Tidak ada asap kalau tidak ada api, nak Murni. Kalau kau menjaga diri, tidak mungkin ada kejadian seperti ini."

Ibu-ibu lain mulai berbisik makin heboh.

“Benar, Pak Haji! Ini pasti ada apa-apanya.”

“Kalau cuma gelang, masa sampai dalam kamar berdua begini?”

"Aduh, kasihan orang tua Murni kalau sampai tahu!”

Murni merasa dunianya runtuh ketika mendengar kalimat-kalimat yang memojokkan dirinya. Dia tahu, sekali gosip ini menyebar, maka nama baiknya maupun keluarganya pasti akan hancur.

Pria itu masih terlihat panik, lalu dengan bahasa Indonesia terbata-bata, ia berkata, “Tunggu! Saya... saya bisa jelaskan! Ini... misunderstanding. Salah paham.”

Tapi Bu Lastri sudah mengibaskan tangannya.

“Sudah cukup! Kami tidak mau dengar alasan macam-macam!”

Murni semakin panik. “Bu, Pak Haji, tolong! Murni ndak bersalah!”

"Sudah! Keluar kalian berdua!” Suara Pak Haji menggema tegas.

Murni dan pria itu buru-buru melepas kaitan gelangnya yang pada akhirnya berhasil terlepas dengan sedikit usaha. Mereka berdua bangkit, lalu keluar dari kamar diiringi tatapan penuh kecurigaan dari ibu-ibu yang sudah mengerubungi pintu.

Begitu mereka keluar dari kamar tersebut, suara bisik-bisik para ibu-ibu semakin membesar.

“Ya Allah, kasihan orang tua Murni...”

“Kukira dia anak baek-baek... Eh tau nya gini...ck, ck.” Gumam seorang ibu-ibu menggeleng sembari melipat tangannya di depan dada.

Tak lama kemudian, suara langkah cepat terdengar dari arah luar rumah.

Seorang wanita paruh baya dengan wajah panik muncul di tengah kerumunan. Nafasnya tersengal-sengal, sementara satu tangannya tampak tengah menahan degupan dadanya yang berdebar kencang.

Mita, ibu Murni, tampak nyaris jatuh saking gemetarnya ketika mendengar berita gempar mengenai putrinya.

Di belakangnya, seorang pria paruh baya bercambang, yang merupakan ayah Murni, ikut menyusul istrinya dengan ekspresi memasang tegang.

Begitu melihat putrinya duduk bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk, Mita langsung meluruhkan dirinya dan duduk bersimpuh di hadapan sang putri.

Matanya yang berlinang air mata menatap putrinya dengan penuh kesedihan, sampai pada akhirnya, ia tak kuasa lagi menahan tangis, akhirnya tangisannya pun pecah.

“Murni... Astaghfirullah... Kenapa, Nak?! Kenapa kau lakukan ini?!” Suara Miya bergetar hebat, menyiratkan hatinya yang dipenuhi dengan duka.

Murni mengangkat wajahnya dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

“Mak... Murni ndak ngelakuin apa-apa! Murni bersumpah, mak! Murni ndak seperti yang mereka bilang!”

Tapi sebelum Murni bisa menjelaskan lebih lanjut, suara nyaring Bu Lastri langsung menyergah.

“Ih, jangan banyak alasan, Murni! Orang-orang udah lihat dengan mata kepala sendiri!” Matanya menyipit tajam, sambil berkacak pinggang.

Seorang ibu-ibu lain mengangguk setuju. “Benar! Kalian berdua keluar dari kamar, berduaan! Mau alasan apapun, tetap saja itu nggak bisa diterima!”

“Apa lagi yang mau dibantah, hah?” Tambah seorang ibu lainnya dengan sinis.

Mita menatap putrinya dengan tatapan mata yang hancur. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menangis tersedu-sedu.

“Ya Allah, Murni... Kau ini anak baik-baik! Kenapa begini, Nak? Ibu sudah mendidikmu dengan benar... kenapa kau tega mencoreng nama baik keluarga kita?!” Mita mengguncang tubuh Murni sekuat tenaga, namun putrinya itu hanya bisa menunduk diam.

Murni menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang makin deras.

“Mak... Murni ndak seperti itu! Tolong percaya sama Murni mak, ini semua hanya sebuah kesalahpahaman.”

Tapi Bu Lastri malah mendecak keras.

“Oh, jadi semua ini hanya kebetulan? Gelangmu nyangkut di kancing dia, terus kalian masuk kamar berdua? Apa nggak aneh itu?”

Beberapa ibu lain mulai mengangguk, tanda setuju.

"Kalau memang ndak ada apa-apa, kenapa harus di dalam kamar?”

“Iya! Kenapa ndak dilepas di luar aja?”

Pak Haji menghela nafas panjang, lalu menatap Murni dan pria asing itu dengan dalam.

"Baiklah. Karena ini menyangkut nama baik keluarga dan masyarakat, maka kita harus segera mencari solusi yang terbaik-”

B**UG**!

Sebuah tinju dalam sekejap melayang begitu cepat, dan langsung menghantam wajah pria asing itu.

“BAJINGAN KAU!!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!