Dara Asa Nirwana, nyaris pingsan begitu mendapat kabar dari polisi bahwa satu-satunya sahabat baiknya mengalami kecelakaan tragis di tol dalam kota.
Rasanya baru kemarin mereka berkumpul bersama untuk merayakan ulang tahun Dion, putra pertama sahabatnya itu.
Rencanya Yulia dan Max akan mengajak Dion berlibur keluar kota sebagai hadiah ulang tahun, namun naasnya mobil yang Max kendarai hilang kendali dan menabrak trotoar.
Gadis berusia 27 tahun itu mencoba menguatkan dirinya untuk bisa beranjak menuju rumah sakit, namun sebelumnya ia tak lupa menitipkan toko rotinya kepada pegawainya.
Harusnya ia sudah menduga jika Dante Alvarenda, musuh bebuyutannya juga ada disana. "MINGGIR KAU BRENGSEK!" teriaknya melalui kaca jendela mobil yang ia buka separuh.
Dara berteriak sembari menekan-nekan klakson saat keduanya tengah berebut area parkir.
Melihat petugas keamanan mendekat, akhirnya Dante mengalah, pria itu mundur dan mencari lahan yang kosong. "Dasar gadis gila," gerutunya. Kalau saja ia sedang tidak berduka atas musibah sahabat baiknya, ia enggan mengalah pada gadis itu.
Mereka kembali berpapasan saat tiba di resepsionis untuk menanyakan keberadaan dan kondisi sahabatnya. Dante membiarkan Dara bertanya, sementara ia menyimak.
Alangkah terkejutnya mereka saat mengetahui Yulia dan Max telah meninggal dunia, beberapa saat setelah mendapat pertolongan dari rumah sakit dan kini mereka berdua sudah berada di ruang jenazah.
Sementara putra semata wayangnya masih mendapatkan perawatan, Dion hanya mengalami luka ringan. Namun meski demikian, dokter masih ingin memeriksanya lebih jauh untuk memastikan tidak ada luka dalam di tubuh Dion.
Begitu pula dengan pengasuh Dion, ia masih di rawat karena mengalami trauma yang cukup serius karena insiden kecelakaan tersebut.
Pertama-tama Dante dan Dara pergi melihat keadaan Dion di ruang rawat inap, bayi berusia satu tahun itu tertidur lelap di temani oleh perawat.
Dante melirik sekilas ke arah Dara, gadis itu terlihat menitikan air matanya sembari mengelus kepala Dion. Dara tak bisa membayangkan jika bocah kecil itu nanti terbangun sudah tidak ada kedua orang tuanya di sampingnya.
"Aku ingin mencari tahu kapan prosesi pemakaman dilaksanakan," ucap Dante pada Dara.
Wajah Dara terlihat tak acuh namun ia tetap menanggapi pria itu. "Aku tetap disini menjaga Dion."
Dante keluar dari ruang rawat inap menuju ruang jenazah, nampak disana keluarga Yulia dan Max berkumpul, ada pula kuasa hukum Max yang di tugaskan untuk mengurus prosesi pemakaman. Ia menyampaikan bela sungkawanya kepada kedua keluarga dan mengatakan jika Dara kini tengah menjaga Dion.
"Kami sangat berterima kasih pada kalian," ujar Viki kakak dari Yulia. "Kalian memang sahabat yang sangat baik."
Tak lama kemudian kedua jenazah dibawa ke rumah duka untuk di semayamkan. Sebagai sahabat yang sudah di anggap keluarga, Dante turut menyambut kolega Max dan Yulia yang datang melayat.
Menjelang upacara pemakaman, Dante memandangi handphonenya. Rupanya ia masih menyimpan nomor Dara, ia ingin menghubungi gadis itu namun ia begitu gengsi. Ia tak ingin gadis itu keGRan karena masih menyimpan nomornya.
Tapi disisi lain Dara pasti ingin memberikan penghormatan sekaligus doa untuk mendiang Yulia. "Ya Tuhan, mengapa gadis itu benar-benar menyebalkan?" ia mengurungkan niatannya untuk menghubungi Dara, ia menaruh kembali handphonenya di sakunya.
Namun beberapa detik kemudian ia menyingkirkan gengsinya, ia mencari nomor Dara kemudian mengubunginya.
Pada dering yang kedua Dara mengangkat teleponnya. "Sebentar lagi Yulia dan Max akan dikebumikan. Aku akan mengirimkan alamatnya," ujar Dante tanpa basa-basi.
"Dengarkan aku, Dara! Kau tidak perlu GR aku masih menyimpan nomormu, itu karena..."
"Aku sudah tau," potong Dara.
"Tahu apa?" tanya Dante kesal.
"Sahabatku akan dikebumikan," ujar Dara terdengar dingin. Sebenarnya ia sudah dalam perjalanan menuju tempat pemakaman.
"Dan aku pun tahu kau masih menyimpan nomorku," lanjutnya, kemudian mematikan sambungan teleponnya.
"Dasar wanita menyebalkan!" Dante sangat menyesal sekali telah menghubunginya, pria itu bahkan sama sekali tidak menoleh pada Dara selama upacara pemakaman berlangsung.
***
Keesokan harinya Dara mendapat undangan dari kuasa hukum Max, ia sendiri sebenarnya tak minat untuk datang, mengingat ia sama sekali tidak tertarik pada peninggalan sahabatnya itu.
Namun mendengar Dion sudah pulang, Dara jadi bersemangat untuk datang kekediaman mendiang Yulia. Ia begitu menyayangi bocah tampan itu.
"Lagi-lagi ada dia," gerutu Dara, ketika melihat mobil Dante terparkir dihalaman kediaman Max. "Apa jangan-janga dia mengharapkan harta peninggalan Max dan Yulia? Dasar pria tak tahu malu." Ia turun dari mobil, kemudian masuk kerumah.
Nampak kuasa hukum serta keluarga Max dan Yulia sudah berkumpul di ruang tamu, tentunya si pria brengsek itu pun sudah disana. Pria itu tengah memangku Dion.
Sama seperti yang dipikirkan oleh Dara, Dante pun berpikir jika Dara datang untuk harta peninggalan Yulia dan Max. "Dasar gadis tak tahu malu," gumamnya dalam hati.
Sang kuasa hukum meminta Dara duduk di sebelah Dante. "Wah... Kalian benar-benar telihat seperti kuarga kecil bahagia."
Dara dan Dante menatap tajam ke arah sang kuasa hukum. " Cepat katakan apa yang ingin kau katakan!" ucap Dara dengan tegas, ia tak ingin berlama-lama duduk disebelah musuhnya.
"Bacakan apa yang Max tulis di surat wasiatnya!" perintah Dante tak kalah garangnya dari Dara.
"Kalian ini benar-benar sangat cocok sekali..."
"CEPAT!!" ujar keduanya dengan mata yang melotot, mereka mencoba menahan diri untuk tidak marah di depan Dion.
"Baiklah-baiklah!" sang pengacara mulai takut pada Dara dan Dante, ia mulai menerangkan apa-apa saja harta peninggalan Yulia dan Max.
Lebih lanjut sang kuasa hukum menjelaskan jika seluruh harta tersebut akan diwariskan pada putra semata wayang mereka "Dion Alexander."
"Lalu untuk apa kau mengundangku kemari?" tanya Dara, ia melirik jam di pergelangan tangannya.
"Kau ini sok sibuk sekali," celetuk Dante.
"Aku bukan pengangguran sepertimu," balas Dara.
"Siapa yang pengangguran?" Dante tak terima. "Aku ini produser acara olahraga."
"Tapi tidak pernah terpakai, kau hanya cadangan," ejek Dara.
"Enak saja kau ini. Kau pikir toko rotimu..."
"Sudah-sudah. Kalian jangan bertengkar," sang pengacara mencoba menengahi mereka. "Aku akan menyelesaikan bagian akhir surat wasiat yang Max tulis, ini ada kaitannya dengan kalian. Untuk itulah aku mengundang kalian datang kemari."
Sang pengacara mengatakan jika Max dan Yulia menginginkan Dion bisa diasuh oleh Dante dan Dara. "Sebagai kompensasinya, kalian berdua boleh menempati rumah ini dan menggunakan semua fasilitas yang ada."
Dara dan Dante terdiam, mereka berdua mencerna ucapan sang pengacara. "Mengapa kita? Bukankah Dion masih memiliki keluarga?" tanya Dara melirik kearah keluarga Yulia dan Max.
"Aku setuju dengan isi surat itu," sahut ayahanda Max.
"Ya, aku juga," sahut kakak Yulia.
Dara beranjak dari tempat duduknya. "Loh? mengapa kalian tidak ada yang menginginkan Dion?"
Sebetulnya Dara sama sekali tidak keberatan, tapi ia merasa keluarga Yulia atau Max lebih berhak.
"Apa kau tak lihat? Anakku sudah enam orang, dan kini aku sedang mengandung yang ke tujuh," ujar kakak Yulia sembari mengelus perutnya yang sudah membesar. "Aku khawatir tidak bisa memberikan perhatian yang cukup jika Dion tinggal bersama kami."
Dara melihat keenam anak-anak Viki yang masih kecil-kecil dan tidak mau diam, semuanya berlari ke sana kemari.
Lalu ia menoleh pada ayahanda Max. "Bagaimana dengan Anda?"
"Apa kau juga tak melihatnya? Untuk bernapas pun aku sulit." Leo memasukan selang oksigen kehidungnya.
Pria tua itu hanya tinggal sebatang kara, bersama perawatnya, ia sudah sepuh dan sakit-sakitan.
Dara menghembuskan napas beratnya, ia menghempaskan tubuhnya kembali duduk di sofa. "Baiklah kalau begitu," ia menoleh menatap Dante. "Senin, Rabu, dan, Jum'at. Aku akan menjaga Dion. Sisanya kau! Kecuali saat-saat tertentu misalnya sedang ada pekerjaan atau keperluan mendadak lainnya. Bagaimana?"
"Setuju," ujar Dante sepakat.
"Sayangnya hukum di Indonesia tidak bisa seperti itu. Kalian harus menikah jika ingin menjadi orang tua Dion," ucap sang pengacara.
"MENIKAH?" ujar Dante dan Dara bersamaan.
"TIDAK! Aku tidak sudi menikah dengan pria tidak tahu malu seperti dia," tolak Dara mentah-mentah, ia melipat tangannya di dada kemudia memunggungi Dante.
"Hei, wanita sok cantik. Siapa juga yang mau menikah denganmu? Aku pun tidak sudi menikah denganmu," Dante pun tak mau kalah dari Dara.
Dara berbalik menghadap Dante. "Sok cantik? Siapa yang sok cantik? Aku memang cantik, lebih cantik dari pada para wanita murahan yang kau pacari itu," ujarnya sembari mengibaskan rambutnya.
"Setidaknya Anggel tidak semenyebalkan dan segalak kau!"
"Kau yang menyebalkan," tunjuk Dara. "Kau yang selalu membuat onar. Bahkan kau..."
"STOP!" lerai sang pengacara, pria paruh baya itu nampak pusing dengan perdebatan antara Dara dan Dante yang berlangsung sejak mereka datang. "Baiklah jika dari kalian semua tidak ada yang ingin merawat Dion, maka dinas sosial yang akan mengambil alih masalah ini."
Viki begitu terkejut mendengarnya, ia menaruh tangan di dadanya sembari mendekat ke arah Dara. "Dara aku mohon... Jangan biarkan Dion jadi anak yang terlantar. Sudah cukup penderitaannya kehilangan orang tuanya. Aku tidak bisa membayangkan jika anak setampan Dion di asuh oleh orang yang tidak bertanggung jawab."
Wajah Viki begitu memelas. "Andai aku bisa... Aku pasti akan merawatnya."
Ucapan Viki menyentuh hati Dara, tapi ia benar-benar tidak bisa jika harus menikah dengan pria sialan itu. "Aku pun sama khawatirnya denganmu," ujar Dara. "Tapi aku betul-betul minta maaf, aku tidak bisa..."
"Pikirkan soal balas budi," sela Viki. "Selama ini Yulia dan Max selalu membantu kalian," ujarnya sembari menatap Dara dan Dante secara bergantian.
"Kau bisa memiliki toko roti seperti sekarang ini, berkat Yulia yang memberimu modal bukan?" tanya. "Mungkin sekarang kau bisa mengganti modal itu, tapi coba pikirkan jika dulu Yulia tidak mati-matian mensupportmu apa kau yakin bisa seperti sekarang?"
Viki beralih pada Dante. "Kau juga sama. Siapa yang memberimu tumpangan transportasi, makan hingga ngeprint tugas-tugas kuliahmu saat orang tuamu telat mengirimimu uang bulanan? Bahkan setelah lulus dan kau belum mendapatkan pekerjaan Max selalu membantumu."
"Dari mana kau tahu itu?" tanya Dante, menyipitkan matanya.
Tatapan Viki tertuju pada ayahanda Max, rupanya mereka telah berdiskusi saat Dante dan Dara berdebat tadi. "Itu tidak penting," elak Viki. "Yang terpenting adalah kalian membalas budi atas apa yang telah Yulia dan Max lakukan kepada kalian. Toh mereka meninggalkan rumah, kendaraan, dan tabungan yang cukup untuk Dion. Kalian tidak perlu repot-repot memikirkan soal itu."
"Ini bukan masalah uang atau..."
" Bukankah mereka satu-satunya sahabat kalian?" Viki tidak memberikan Dara kesempatan untuk bicara. " Hanya Dion yang mereka punya, mereka menitipkan Dion pada kalian sebab mereka yakin kalian akan menjaga Dion dengan baik. Arwah Yulia dan Max pasti tidak akan tenang jika tahu kalian keberatan mengasuh Dion. Oh.. Adik dan keponakanku yang malang..."
Dara jadi semakin terpojokkan, seolah ia begitu jahat pada mendiang sahabat dan putranya yang kini telah menjadi anak yatim piatu. Tapi disatu sisi, ia benar-benar tidak bisa menikah dengan pria yang paling ia benci. 'Andai saja ada cara lain..' batin Dara, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Baiklah, kita akan menikah dan menjadi orang tua bagi Dion!" ujar Dante dengan lantang.
Seketika Dara menoleh pada Dante. "Kita? Apa maksudmu?" tanyanya mulai emosi.
Dante memberikan Dion pada sang pengacara yang duduk di seberangnya kemudian ia menarik Dara keluar dari rumah.
"Dante apa-apaan kau ini? Apa kau sudah gila?" Dara meronta, dan menghempaskan tangan Dante ketika mereka sudah berada di halaman depan. "AKU TIDAK SUDI MENIKAH DENGANMU!"
"Kita tidak punya pilihan lain," Dante mencoba untuk tenang.
Dara melipat tangannya didada, menatap Dante dengan penuh curiga. "Oh... apa jangan-jangan kau tergoda oleh warisan peninggalan Yulian dan Max?"
Mata Dante melotot. "Walaupun sekarang aku lagi sepi job, aku tidak segila itu, makan uang anak yatim piatu!" ujarnya tidak terima atas tuduhan Dara padanya. "Lebih baik aku mati kelaparan ketimbang aku makan uang sahabatku sendiri."
Dara tak acuh mendengar pembelaan Dante.
"Dengarkan aku Dara!" pintanya, ia mencoba untuk kembali tenang. "Menikahlah denganku!" ujar Dante. "Ini untuk Dion dan mendiang sahabat kita. Paling tidak sampai Dion..." Dante berpikir sejenak. "Lima tahun."
"Hah? Lima tahun?" tanyanya terkejut bukan main.
"Dua tahun," ralat Dante. "Ya, dua tahun. Setelah itu kita berpisah dan kita bisa mengasuh Dion secara bergantian, paling tidak Dion tidak diambil alih oleh dinas sosial dan kemudian diadopsi oleh orang yang tidak kita kenal."
Dante mengulurkan tangannya. "Setuju?"
Dara terdiam melirik tangan Dante, ia tidak percaya masalah ini menimpanya. "Tidak ada kontak fisik," ujarnya setuju tanpa menjabat tangan Dante.
"Siapa juga yang mau menyentuh wanita segalak dirimu?" ujar Dante.
"Tidak saling mencampuri urusan pribadi masing-masing," lanjut Dara.
Dante mengangguk setuju, tapi sedetik kemudian ia melongo saat Dara mengatakan "Kau tidak boleh membawa jalang itu kerumah Dion!" ujarnya dengan tegas.
"Dia calon Ibu tiri Dion nantinya," protes Dante.
"TIDAK! Dion tidak akan punya ibu tiri seperti dia!" ujar Dara. "Kalu boleh melakukan apapun dengannya tapi jangan bawa-bawa Dion."
"Kau juga jangan pernah membawa dokter gadungan itu datang kerumah Dion," Dante menyebut calon gebetan yang tengah dekat dengan Dara.
"Dari mana kau tahu?" tanya Dara terkejut, namun ia bisa menebak jika Yulia atau Max yang mengatakannya. "Dia pria yang baik, pekerjaanya jelas. Tidak sepertimu, dia sangat cocok menjadi ayah tiri Dion."
"Dia tidak akan pernah menikahimu."
"Heiii... Bukankah tadi kita sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing? Barusan kau sudah melanggarnya, Bung."
Dante menghela napas beratnya menghadapi Dara. Mereka kemudian menyepakati beberapa peraturan mengenai pernikahan kontrak mereka.
"Besok aku kirimkan surat resminya," ujar Dante setelah mereka berdebat panjang.
Dara mengangguk. Mereka kemudian kembali masuk dan mengatakan kepada semuanya bahwa ia dan Dara bersedia menikah dan mengurus Dion.
Semuanya menyambut gembira keputusan Dara dan Dante. "Terima kasih banyak, aku tahu kalian adalah sahabat yang baik. Yulia dan Max pasti akan tenang di alam sana, melihat putra semata wayangnya di asuh oleh orang yang menyayanginya dengan tulus." Viki memeluk Dara dengan hangat.
Dara menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur, akhirnya ia bisa beristirahat di kamar mungilnya yang terasa begitu nyaman, setelah hari yang melelahkan baginya.
Ia menerawang jauh saat pertama kali mengenal Dante lewat aplikasi pencarian jodoh. Saat itu Dara begitu kalut mendapat undangan pernikahan dari sahabatnya Yulia, yang artinya hanya tinggal dirinyalah yang belum menikah diantara teman seangkatannya.
Jangankan menikah, kekasih pun Dara tak punya. Untuk itulah, ia terpaksa mendownload aplikasi pencarian jodoh, dan di sana ia bertemu dengan sosok Dante Alvarendra.
Selama chatingan kurang lebih dua minggu, akhirnya mereka sepakat untuk bertemu. Rencananya Dante akan menjemput Dara di rumahnya, setelah itu barulah mereka makan malam romantis.
Sayangnya acara kencan itu berubah menjadi petaka, setelah Dante datang dua jam lebih lama dari janjinya.
"Maaf aku terlambat," ucapnya dengan napas yang terengah-engah, pria itu terlihat sangat berantakan sekali.
Dante menjelaskan jika sesaat sebelum keluar dari kontrakannya, ia mendapatkan telepon dari atasnya mengenai tawaran pekerjaan baru untuknya.
Sehingga dengan terpaksa ia mengubah rute ojeg online yang sudah dipesannya, dari alamat rumah Dara menjadi alamat kantor stasiun televisi swasta.
"Lalu kenapa kau tidak menghubungiku?" tanya Dara kesal.
"Handphoneku mati setelah aku menganti rute ojeg online," jawabnya, ia baru bisa mencharger handphonenya saat tiba di kantor, dengan numpang pada staff finance dan meninggalkan handphonenya di sana, sementara dirinya meeting diruangan yang berbeda.
Satu jam lebih Dante berdiskusi dengan atasannya, ia baru keluar dari ruangan. Ia pikir jika Dara tidak akan menunggunya, namun ternyata ia salah.
Begitu ia mengambil handphonenya, ia mendapat puluhan pesan dari Dara yang mengatakan jika dia akan tetap menunggu Dante sampai pria itu datang.
Dante langsung berlari keluar dari kantor, ia mencegat seorang staf junior yang baru saja keluar dari parkiran, untuk mengantarnya ke rumah Dara.
Macetnya kota Jakarta, memperparah waktu keterlambatannya. Tiba di kediaman Dara, ia melihat gadis itu masih duduk di teras.
Dara memandangi penampilan Dante yang berantakan dengan tatapan matanya yang tajam. "Aku Dante," ia mengulurkan tangannya, meski ia sudah mengenal Dara di aplikasi kencan namun ia tetap mengenalkan dirinya secara langsung.
Dara beranjak dari tempat duduknya, gadis itu sama sekali tidak menjabat tangan Dante. "Aku sudah lapar, ayo kita pergi!" ia berjalan menuju pagar rumahnya.
Dante mengendus kesal mengikuti Dara dari belakang. "Aku tidak bawa kendaraan, mobilku sedang di bengkel. Bisakah kita menggunakan kendaraanmu? Atau mau pesan..."
Dara melempar kunci mobilnya kearah Dante, memintanya untuk menyetir mobil kesayangannya, ia masuk mobil setelah Dante membuka kuncinya.
Kerusuhan terjadi saat Dante masuk ke mobil Dara, dimana bangku kemudi terlalu maju sehingga menyulitkannya untuk duduk.
"Hei... Kau bisa hati-hati dengan mobilku?" tegur Dara semakin kesal dengan Dante. "Aku membelinya dengan hasil jerih payahku."
"Bangkunya terlalu maju, aku tidak bisa duduk," ucap Dante menjelaskan. Akhirnya pria itu duduk dengan tenang, lalu mulai menyalakan mesin mobil.
Saat Dante hendak menurunkan rem tangan, Dara menahannya. "Kau belum mengatakan dimana kita akan makan malam," ucap Dara tanpa menoleh pada Dante.
"Pecel lele atau ayam paling dekat dari sini," jawab Dante sembari mengangkat bahunya. "Atau kau mau nasi goreng? Terserah kau."
Mulut Dara menganga mendengar pilihan tempat makan malam yang Dante tawarkan. "Kau tak lihat aku pakai apa?" ia memperlihatkan gaun malam resmi berwarna merah muda yang ia kenakan.
"Apa masalahnya? Aku rasa tidak ada aturan pakaian pengunjung hanya untuk makan di pecel lele," ujar Dante dengan santai.
Dara semakin murka, ia sudah menghabiskan waktu setengah harinya untuk berdandan. Namun Dante mengacaukannya dengan datang terlambat, pakaiannya yang berantakan dan sekarang malah mau mengajaknya makan di pinggir jalan.
"Kau pria gila!" teriak Dara.
"Apa yang salah? Tadi kau bilang lapar? Ya tentu saja aku mengajakmu ke warung pecel lele terdekat agar kau bisa makan banyak," Dante tak tahu apa salahnya hingga gadis disebelahnya begitu terlihat marah kepadanya.
"KELUAR KAU DARI MOBILKU, DASAR PRIA TIDAK TAHU MALU!"
Dante yang terus mendengar Dara menghinanya pun ikut tersulut emosi. "Dasar kau wanita aneh, dan pemarah."
"Aneh?" Dara tak terima Dante menyebutnya aneh. "Kau pria gila, aku sungguh menyesal menghabiskan waktu dua mingguku yang berharga untuk chating denganmu."
"Aku juga sama, ternyata kau bukan wanita lemah-lembut yang seperti pada chating. KAU PENIPU!"
"Penipu? KELUAR KAU DARI MOBILKU, DASAR PRIA BRENGSEK." Dara memukuli Dante hingga pria itu keluar dari mobilnya.
"Penipu," ujar Dante untuk terakhir kalinya sebelum ia berjalan menjauhi kediaman Dara.
"TIDAK TAHU MALU!" teriak Dara kesal.
Gadis itu masih terdiam didalam mobilnya, lewat kaca spion ia mamandangi Dante yang menjauh. Perlahan air matanya mulai jatuh membasahi pipinya.
Dara menangisi makan malamnya yang kacau, akhir hubungannya dengan Dante, yang artinya ia akan menghadiri pesta pernikahan sahabatnya seorang diri. "Ahhhhh... Dasar pria brengsek..." rengek Dara.
Tak jauh berbeda dengan Dante, pria itu pun merasa sangat kesal dengan makan malam serta hubungannya dengan Dara yang harus berakhir seperti ini, dan itu artinya besok lusa ia harus siap di olok-olok oleh teman-temannya sebagai jomblo abadi.
Dante sendiri tak tahu mengapa dari dulu ia sulit sekali mendapatkan kekasih, padahal ia merasa dirinya tak terlalu jelek. "Hidupku memang sial," gerutunya. Ia bukan hanya sulit mendapat kekasih, tapi juga sulit mendapat pekerjaan.
Hasil meetingnya tadi benar-benar tidak sesuai dengan harapan. Project yang di tawarkannya tidak sebanding dengan pengalamannya, sementara juniornya yang malah mendapatkan project yang ia impikan. Dante merasa ini sangat tak adil, begitu pula soal makan malam ini.
Dante merasa sudah berupaya semaksimal mungkin, namun entah mengapa gadis itu sangat menyebalkan. "SIAL..." teriaknya. Ia kembali memesan ojeg online untuk mengantarnya pulang ke kontrakannya, ia sudah tidak sanggup untuk kemana-mana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!