"Ahh... terus, Sayang, terus! Goyanganmu enak banget, Sayang," racau seorang pemuda. Wajahnya yang penuh hasrat, memandang sayu pada wanita cantik yang bergerak gemulai di atas pangkuannya.
Namun tak lama kemudian, raut muka pria itu berubah kala suara berisik mengusik gendang telinganya.
Darr! Darr! Darr!
"Wira! Bangun! Wir!" terdengar lengkingan kencang disertai gedoran pintu yang sangat memekakkan telinga. "Wira! Bangun!
"Ah, sial!" umpat Wira setelah matanya melebar dengan terpaksa. "Iya, Mak!" balasnya agak berteriak.
Bukannya bangun, Wira malah menarik bantal guling yang tergeletak di atas lantai dan memeluknya dengan sangat erat. Matanya kembali terpejam karena rasa kantuk yang masih merekat erat dimatanya.
Hampir saja pemuda itu kembali terlelap, tapi suara gedoran pintu menggagalkan rencana pemuda itu.
"Wira!"
"Iya, Mak! Astaga!" Wira tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
"Kalau nggak mau bangun, aku kunciin sekalian kamu dari luar! Dasar, pemalas! Laki-laki itu jam segini harusnya udah cari duit, bukannya tidur mulu kerjaannya," dumel Emak penuh emosi dari luar kamar.
Wira sontak mendengus. Dia segera bangkit, dan dengan malas melirik jam yang menempel di dinding kamar itu.
Waktu sudah menunjukan pukul dua belas siang lebih sedikit, tapi tidak ada rasa panik sama sekali pada wajah pemuda berusia dua puluh tahun itu. Dari sikap yang dia tunjukkan, sepertinya Wira memang sudah terbiasa bangun tidur jam segitu.
Wira meraih ponsel sungsangnya yang dia beli dengan harga tidak lebih dari lima ratus ribu. Ponsel dengan kapasitas ram hanya dua giga, merupakan barang paling mahal yang mampu dia beli dengan uangnya sendiri.
Dalam layar ponsel tersebut. terpampang foto seorang wanita. Namun sayangya foto itu bukan foto pacarnya, melainkan foto artis khusus film dewasa dari negeri sakura.
Dalam ponsel yang layarnya retak sedikit dibagian pojok kanan atas itu, terdapat banyak koleksi foto seksi dan menggiurkan dari artis artis khusus film pembangkit hasrat.
Bukan hanya foto, di dalam ponsel itu, juga terdapat banyak film dewasa yang Wira koleksi, sebagai penghibur di saat dia kesepian.
Wira mendengus sembari meletakkan ponsel tersebut di atas lantai, karena tidak satupun pemberitahuan terlihat di sana. Pemuda itu menguap sembari meregangkan kedua tangannya. Begitu rutinitas bangun tidur usai dilakukan, Wira bangkit, melangkah malas, lalu meraih gagang pintu kamar.
"Kamu itu bagaimana? Di suruh nyusul Bapak ke pasar malah masih tidur. Mau kamu apa sih, Wir?" keluarnya Wira dari kamar langsung disambut dengan ocehan Emak dengan segala kekesalan yang dirasakan wanita itu. "Tiap malam keluyuran, Pagi baru pulang, tidur bangunnya siang, mau jadi apa kamu, hah!"
"Ya ampun, Mak, maaf, orang aku lupa," Wira menjawab dengan alasan seperti biasanya.
"Lupa, maaf, lupa, maaf, gitu terus bisanya! Kapan kamu bisa berubah! Nunggu Emak mati!" bentak Emak. "Disuruh ikut jualan sama Bapak nggak mau, ikut Abangmu nggak mau. gengsi aja digedein. Mau jadi apa kamu!"
Wira hanya terdiam dengan kepala menunduk dan bersender pada tembok di dekat pintu kamarnya. Wira tidak membalas ucapan wanita yang telah melahirkannya.
Bagi pemuda itu, dimarahin seperti ini adalah hal yang sudah biasa dia nikmati setiap hari. Jadi Wira tidak terlalu kaget. Setelah ini juga, sebentar lagi Emak pergi ke pasar dan sore hari pas pulang dari pasar marahnya Emak sudah hilang.
"Percuma punya wajah ganteng, tapi pemalas. Mana ada wanita yang mau dengan pria pemalas dan pengangguran seperti kamu!" ucap Emak sembari berlalu pergi.
Wira langsung menatap kelas ke arah wanita yang melangkah keluar rumah. Tangannya terkepal begitu mendengar ucapan Emak yang terkesan menghinanya.
Dada Wira bergemuruh disertai sedikit amarah dalam benaknya. Begitu Emak sudah hilang dari pandangannya, Wira hanya melampiaskan kekesalannya dengan menghembus nafasnya secara kasar.
"Daripada nggak ngapa ngapain, mending aku pergi mancing," gumam Wira, lalu dia melangkah menuju kamar mandi. Begitu urusan di kamar mandi selesai, dia segera mengisi perutnya yang sudah kelaparan.
"Duh, rokoknya tinggal sebatang," keluh Wira beberapa saat setelah dia selesai makan. Meski begitu, dia tetap menyalakan rokok itu dan menikmatinya sembari mempersiapkan segala sesuatunya untuk pergi memancing.
Untuk tempat memancing, Wira tidak perlu pergi ke tempat yang jauh. Di kampung tempat tinggal Wira, ada sungai yang cukup besar mengalir. Wira dan yang lain biasa memancing di sana.
Setelah semuanya siap, Wira pun berangkat untuk menghabiskan waktu menganggurnya, seperti yang biasa dia lakukan, jika tidak ada kegiatan lain.
Di tengah langkah kakinya menuju sungai, Wira melihat dua sosok yang dia kenal sedang duduk diatas motor. Dua sosok itupun melihat Wira dan seketika mereka langsung menunjukkan kemesraan mereka. Wira langsung mendengus dan rasa kesal kembali mencuat.
Bagaimana Wira tidak kesal, salah satu dari dua orang itu adalah, mantan kekasihnya yang kini menjalin asmara dengan sepupunya. Hanya karena sepupunya udah memiliki pendapatan yang cukup besar, si wanita langsung berpaling dan mencampakkannya.
Meskipun pengangguran, Wira sebenarnya pria yang cukup beruntung. Wajahnya yang tampan dan gayanya terkesan bad boy, membuat Wira digilai wanita seusianya ataupun para remaja. Banyak wanita yang menyatakan cinta, tapi Wira sama sekali tak tertarik.
Wira lebih suka wanita yang agak jual mahal sedikit agar dia tertantang untuk menaklukannya daripada wanita yang terang-terangan mengejar cintanya.
Wira juga sebenarnya sudah beberapa kali pernah bekerja. Tapi entah kenapa, setiap mendapat pekerjaan, selalu ada saja yang dia keluhkan. Semua keluhan yang dia ucapkan adalah jalan bagi dirinya agar keluar dari pekerjaan.
Sedangkan untuk ikut jualan Bapak maupun Abangnya, Wira masih cukup gengsi dan malu. Dia merasa wajahnya yang tampan tidak pantas jika harus berdagang bumbu dan perkerupukan di pasar. Jadilah Wira pengangguran dan beban keluarga sampai usia Wira menginjak angka puluh tahun lebih dua bulan.
Tak butuh waktu lama, Wira pun sampai di tempat tujuan. Dia segera menyiapkan segalanya. Begitu pancing dan umpannya telah siap, Wira memperhatikan sekitar sungai dan matanya melihat batu besar di salah satu sisi sungai.
"Mancing di sana aja ah..." ucapnya sambil sembari beranjak menuju ke tempat batu besar tersebut.
Dengan melompati beberapa batu berbagai ukuran, Wira berusaha dengan sangat hati-hati menuju tempat yang nyaman untuk memancing.
Namun di saat hendak sampai ke tujuan, Wira malah mendapat kesialan. Wira pikir Batu yang akan dia pijak tidak licin meski ada lumutnya. Namun Wira salah perhitungan. Baru saja kakinya menginjak batu itu, dia langsung terpeleset dan tubuhnya masuk ke dalam sungai yang cukup dalam.
Byurr!
Wira gelagapan sampai pancingnya terlepas. Dengan sekuat tenaga, Wira berusaha muncul ke permukaan. Namun, begitu kepalanya keluar dari dalam air, Wira dikejutkan dengan suara teriakan di depan wajahnya.
"Akh!"
@@@@@
Hallo reader, apa kabar? Semoga dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Sebelumnya saya mau mengucapkan, minal aizin wal fa'izdin, mohon maaf lahir dan batin. othor minta maaf jika atas segala kesalahan othor, baik yang di sengaja, maupun tidak.
Selanjutnya, othor sengaja mengangkat cerita lama dan berharap kali ini cerita ini bisa tembus hingga tidak berakhir di tengah jalan seperti sebelumnya. Mohon dukungan dan doanya ya teman-temannya. Terima kasih.
"Akhhh!"
Teriakan yang begitu kencang menggema dan memekakan telinga, membuat Wira terkejur bukan main. Mata Wira sampai melebar tak berkedip kala melihat beberapa wajah berteriak tepat di dekatnya.
Selain terkejut, Wira juga tercengang sampai dia terbengong dalam beberapa detik tiba-tiba ada beberapa wanita ada di sekelilingnya. Para wanita itulah yang berteriak kencang begitu melihat kemunculan Wira dari dalam air.
"Kamu siapa, hah! Pergi dari sini!" bentak salah satu wanita sambil tangannya mengibas air sungai untuk mengusir Wira. "Pergi! Dasar pria mesum!"
Wira berusaha menghindar sambil gelagapan. "Siapa yang mesum?" bantah Wira lantang. "Justru aku yang harusnya bertanya, kalian siapa?" Wira tidak mau kalah. Sambil menangkis cipratan air yang mengarah kepadanya, mata Wira terus memperhatikan gerak-gerik para wanita itu.
"Nggak usah pura pura! Kamu pasti sengaja ngintip kita, kan!" tuduh salah satu wanita itu tidak mau kalah.
"Iya, kamu pasti dari tadi di dalam air! Ngaku kamu!" wanita lain ikut membentaknya dan mereka segera menyatu.
"Siapa yang pura pura!" bantah Wira dengan lantang.
"Jangan bohong!" bentak salah satu wanita. "Cepat pergi!" para wanita itu terus menyibak air dengan keras ke arah Wira.
Wira seketika mendengus. Percuma dia berkata jujur tapi para wanita itu tidak percaya. Wira memilih mengabaikan para wanita itu, dan segera menepi.
Namun saat matanya mengedar ke sekitar, Wira kembali dibuat tercengang. Apa yang dia lihat, berbeda dengan keadaan sekitar sungai di kampungnya.
"Loh, ini dimana? Kok kaya hutan?" Wira mengedarkan pandangan sembari bergerak menuju ke tepi sungai. "Sungainya kenapa jadi beda gini? Mana kampungku? Kenapa jadi hutan begini?" Wira benar benar dibuat takjub sekaligus bingung secara bersamaan. "Apa yang terjadi? Aku ada dimana?"
Sementara itu para wanita yang memilih bersembunyi di balik batu, terus memperhatikan gerak gerik Wira, yang nampak seperti orang bingung. Mereka juga bingung dan saling pandang satu sama lain. Para wanita itupun saling berbisik begitu melihat keadaan pria yang mengganggu mandi mereka.
"Heh, apa mungkin, dia bukan manusia?" bisik salah satu wanita.
"Bukan manusia?" sahut yang lain. "Bukan manusia kok bisa jalan di atas tanah gitu?"
"Waduh, bisa gawat kalau dia manusia, mending kita cepat pergi dari sini, ayok!" ajak yang lainnya lagi. Seketika, semua wanita yang ada di sana bergegas bergegas menepi ke sisi lain.
Wira yang melihat para wanita itu keluar dari air hanya bisa mengerutkan keningnya. Dia tidak ada niat untuk bertanya ataupun mengeluarkan suara sekedar basa basi. Wira terlalu bingung dengan apa yang sedang dia alami. Dia yakin sekali tidak mengenal tempat tersebut.
"Loh, bulunya mana?" salah satu wanita nampak kaget, hingga suara lantangnya mampu mengalihkan pria yang sedang kebingungan di sisi sungai yang lain.
"Lah, iya, bulunya nggak ada," sahut yang lain dengan reaksi yang sama.
"Astaga! Jangan jangan bulunya hilang? Waduh, bisa celaka kita," wanita lain berucap dan wajahnya langsung panik.
"Jangan panik. Kita cari dulu sekitar sini," titah salah satu wanita lagi.
Para wanita yang mengenakan pakaian berbagai warna langsung berpencar mencari benda yang mereka sembunyikan di antara batu.
Wira sendiri meski heran dengan pakaian para wanita itu, tidak ada keniatan untuk bertanya. Wira masih fokus dengan mencari sesuatu yang mungkin dia kenali di sekitar sungai.
Beberapa puluh menit kemudian.
"Aduh, gimana ini? Masa bulunya hilang?" keluh wanita yang memakai baju berwarna merah kepada teman temannya.
"Aku juga tidak menemukannya," wanita yang memakai baju kuning ikut bersuara. "Kayanya beneran hilang deh."
"Nggak mungkin!" seru wanita yang memakai baju Nila. Wajahnya terlihat begitu takut. "Jangan sampai bulu kita hilang. Kalau hilang, kita tidak akan bisa kembali." keenam wanita lainnya seketika ikut panik.
"Coba kita tanya laki-laki itu," wanita yang memakai baju hijau memberi usulan sambil menunjuk ke arah pemuda yang tadi mereka tuduh sedang mengintip mereka. "Dia juga sepertinya sedang mencari sesuatu. Lihat, dia seperti orang bingung."
Semua mata wanita sontak menatap ke arah Wira. Tak perlu berpikir terlalu lama mereka setuju dengan usulan tersebut.
"Ya udah, ayok kita tanya dia. Kalau dia nggak mau ngaku, kita habisi orang itu," ucap wanita berbaju biru.
"Setuju!" seru wanita berbaju ungu.
"Ya udah, ayok," sahut wanita yang memakai baju berwarna jingga.
Mereka langsung mendekat ke arah pemuda yang sedang berdiri kebingungan.
"Ini, kenapa pakaianku juga kaya orang jaman dulu sih?" gumam Wira kala memperhatikan pakaian yang melekat pada tubuhnya saat ini.
Pakaian itu berupa celana longgar yang melingkar dan diikat dengan sabuk. Sedangkan bagian atasnya terbuka, menampilkan tubuh seksi Wira.
"Hai kamu!" seru wanita berkain merah. "Kembali kan bulu-bulu kita!" Salah satu wanita itu langsung menunjuk Wira begitu langkah kaki mereka berhenti tak jauh dari keberadaan pria itu.
Wira yang masih dilanda kebingungan, sontak menghentikan gerakan tubuhnya. Dengan kening berkerut, mata pemuda itu menatap wanita yang ternyata berjumlah tujuh orang.
"Bulu? Bulu apa?" tanya Wira semakin bingung.
"Jangan pura pura tidak tahu. Pasti kamu, yang mencuri bulu kita! Cepat kembalikan!" tuduh wanita berbaju ungu.
"Iya, tinggal ngaku! Nggak usah bohong!" bentak wanita berbaju Nila.
Wira tercengang. Tuduhan wanita itu sontak membuat Wira tersinggung dan kesal.
"Heh! Kalau nuduh itu pakai otak! Bulu kalian aja aku nggak tahu kayak apa wujudnya. Sembarangan aja kalau nuduh!" hardik Wira tak kalah lantang.
Ketujuh wanita itu saling pandang dan salah satu dari mereka memberi kode dengan mata dan gerakan kepala. Wira yang mengalihkan pandangannya karena masih berusaha mencari sesuatu, dibuat terkejut saat dirinya merasakan ada banyak tangan yang tiba tiba menyergapnya.
"Apa yang kalian lakukan!" teriak Wira lantang. Namun ketujuh wanita itu tidak peduli. Enam wanita menahan kedua tangan dan kaki Wira hingga pria itu telentang di atas tanah.
"Cepat, katakan! Dimana bulu kami!" ucap wanita berbaju jingga.
"Aku nggak tahu bulu apa yang kalian maksud!" Wira tak gentar sedikitpun.
"Nggak usah bohong!"
"Bohong apanya, hah! Orang nggak tahu ya nggak tahu!" balas Wira semakin lantang.
"Beneran, kamu nggak tahu?" tanya wanita berbaju hijau.
"Jangankan bulu. Aku aja nggak tahu sekarang ada dimana," balas Wira yang membuat para wanita itu sedikit percaya.
Wira lantas dilepaskan dan ketujuh wanita itu kini kembali panik. Melihat keadaan seperti itu, Wira jadi penasaran.
"Emang bulu apa, yang kalian cari?" tanya Wira. Meski masih kesal, suaranya kini lebih pelan dari yang tadi saat dia marah.
Ketujuh wanita itu saling pandang sejenak. "Bulu angsa emas," jawab wanita berkain nila.
"Bulu Angsa emas?" tanya Wira dengan kening yang berkerut.
"Iya, bulu angsa emas. Tanpa bulu itu, kami tidak mungkin bisa kembali ke langit."
"Apa!"
"Emang bulu apa sih yang kalian cari?"
"Bulu angsa emas."
"Bulu angsa emas?"
"Iya, bulu angsa emas, kalau tidak ada bulu itu, kita tidak akan bisa kembali ke langit."
"Apa! Kembali ke langit!" pekik Wira nampak kaget. Untuk beberapa saat mata Wira menatap satu persatu wanita dihadapannya.
Namun tak lama setelahnya, suara tawa Wira malah menggelegar sangat kencang. "Hahaha ... kalian bercanda? Hahaha ... mana ada bulu yang bisa membawa kalian terbang ke langit, hahaha ..."
Ketujuh wanita yang ada di sana malah mengerutkan keningnya, dan mereka saling pandang satu sama lain.
"Apa ucapan kita terdengar lucu? Kok manusia ini seperti sedang menghina kita?" tanya wanita berbaju biru kepada teman-temannya.
"Loh, nyatanya emang kalian lucu," seru Wira disela sela suara tawanya. "Mana ada manusia yang bisa terbang ke langit hanya dengan sehelai bulu? Hahaha..."
Tawa penuh ejekan semakin menggelegar membuat ke tujuh wanita yang mendengarnya menjadi semakin kesal. Tapi mereka memilih tak menghiraukannya daripada memberi penjelasan yang lebih rinci.
Ketujuh wanita itu memang tidak mungkin mengatakan siapa mereka sebenarnya kepada manusia karena suatu aturan yang mengikat mereka.
Wira masih tertawa dengan keras sembari menatap ketujuh wanita yang terdiam penuh kebingungan. Namun tak lama kemudian, suara tawa Wira mendadak berhenti saat matanya tidak sengaja memandang pancaran cahaya dari atas langit. Bahkan mulut Wira terbuka lebar dengan mata membelalak begitu cahaya tersebut semakin semakin dekat.
"Mahadewi!" seru ke tujuh wanita secara bersamaan begitu cahaya yang dilihat Wira semakin turun mendekat bumi. Para wanita itu langsung berlutut dengan wajah ketakutan.
Wira sendiri masih melongo tanpa suara. Matanya bahkan hampir tidak berkedip saat melihat sosok cantik berbalut baju putih.
"Kalian lancang!" murka Mahadewi begitu telapak kakinya menyentuh rumput. Dari sorot matanya jelas sekali, wanita yang dipanggil Mahadewi itu sedang dalam amarah yang cukup besar.
"Bisa-bisanya kalian menyelinap turun ke bumi. Apa kalian tidak berpikir akibatnya, karena berani melanggar aturan langit!"
"Ampun, Mahadewi, ampuni kami," wanita berbaju biru langsung bersujud memohon ampun. Hal itu juga dilakukan enam wanita lainnya dengan segala penyesalan dan ketakutan yang mereka rasakan saat ini. "Kami mohon ampun, Mahadewi."
"Kalian tahu larangan dari mahadewa itu seperti apa, tapi kenapa kalian malah melanggarnya!" Mahadewi menunjukan kemurkaannya. "Sekarang, Mahadewa sedang murka karena ulah kalian ini."
Ketujuh wanita itu terus menunduk. Mereka bahkan sampai menitikan airmata karena rasa takut dan sesal yang menyeruak dalam benak mereka.
Wira sendiri hanya bisa terpaku dengan mata terus menatap drama yang sedang terjadi di hadapannya dengan benak penuh tanya.
"Bahkan, yang lebih parahnya, ada manusia yang melihat wujud kalian? Kalian tahu bukan, hukuman berat apa, yang akan kalian dapatkan!" Mahadewi kembali bersuara lantang dengan menatap tajam ke arah tujuh wanita yang bersimpuh.
"Sekarang bersiaplah, kalian harus segera kembali ke langit, sebelum Mahadewa tahu kalau kalian bertemu dengan manusia."
Wajah ketujuh wanita seketika menegang. Mereka saling pandang satu sama lain. Rasa takut semakin menjalar dalam darah mereka sampai mereka bingung, apa yang harus mereka sampaikan saat ini.
Satu satunya alat yang bisa membuat mereka kembali ke langit telah mereka hilangkan, dan hal itu pasti akan membuat Mahadewi semakin murka.
"Kenapa kalian diam?" Mahadewi kembali bersuara agak pelan. "Cepat, kembali ke langit! Apa kalian ingin dihukum oleh Mahadewa?" Mahadewi menatap ketujuh wanita itu dengan tatapan mengintimidasi.
"Mereka telah kehilangan bulu angsa emas katanya," tiba-tiba Wira menyeletuk.
Melihat para wanita yang sedang dimarahi, entah kenapa timbul rasa iba dalam benak pemuda itu. Dari apa yang tadi dia saksikan, Wira sadar kalau tujuh wanita cantik itu tidak berbohong.
Awalnya Wira merasa ini hanya mimpi, tapi saat dia memukul pipinya sendiri dengan keras, Wira merasakan kesakitan hingga menyadari kalau apa yang terjadi di hadapannya adalah nyata.
"Apa! Bulu angsa emas hilang?" dengan tatapan tidak percaya, Mahadewi menatap penuh selidik satu persatu ketujuh wanita yang sedang bersimpuh. "Apa benar bulu angsa emas kalian hilang? Jawab!"
"Ampuni kami, Mahadewi, ampuni kami," ketujuh wanita itu tidak bisa berkilah lagi, Dengan berurai airmata, mereka terpaksa mengakuinya. Mahadewi begitu syok mendengarnya. Bahkan dia sampai terguncang beberapa langkah ke belakang dengan mulut sedikit terbuka.
"Bagaimana bisa?" sekarang suara Mahadewi terdengar lirih dan matanya juga memerah sampai mengembun. "Bagaimana kalian bisa seceroboh itu? Kalian keterlaluan!"
Tangis ketujuh wanita itu semakin pecah. Mereka jelas tahu apa yang akan mereka dapatkan setelah kehilangan bulu angsa emas. Niat hati turun ke bumi untuk bersenang senang sejenak, tapi mereka malah mendapatkan musibah yang tidak terduga.
"Bersiaplah untuk mendapatkan hukuman yang lebih berat," ucap Mahadewi terdengar sangat pilu. "Untuk yang satu itu, aku tidak bisa membantu kalian. Mungkin Mahadewa memang sudah mengetahui kesalahan kalian dari awal. Maka itu, bulu angsa kalian sengaja dia hilangkan. JIka kalian ingin kembali ke langit, carilah bulu angsa emas itu."
"Bagaimana caranya, Mahadewi?" tanya wanita berkain ungu dengan air mata yang terurai.
"Aku tidak tahu," jawab Mahadewi lirih. "Mungkin ini memang hukuman Mahadewa agar kalian lebih lama tinggal di bumi dan menjalani hidup sebagai manusia."
"Aku tidak mau, Mahadewi, ampuni aku," wanita berkain kuning merengek, disusul oleh yang lainnya.
"Kalau kalian tidak mau dihukum, kenapa kalian melanggar aturan langit?" Mahadewi kembali menunjukan amarahnya. Tujuh wanita itu seketika terbungkam. "Sekarang, jalani saja hukuman kalian sampai kalian menemukan bulu angsa emas."
Tangan Mahadewi lalu bergerak seperti menebar sesuatu ke atas rumput, dan betapa terkejutnya Wira saat melihat keajaiban lain yang baru saja terjadi di depan matanya.
Di sana, di atas hamparan rumput, di depan tujuh wanita, Mahadewi dengan tangannya mengeluarkan koin emas dalam jumlah yang cukup banyak. Tentu saja Wira melongo tak bersuara menyaksikan itu semua.
"Itu koin emas buat bekal kalian di sini. Pergunakanlah dengan bijak. Jaga diri kalian dan berhati hatilah. Jangan sampai ada manusia lain yang mengetahui asal-usul kalian. Jika sampai itu terjadi, maka kalian pasti akan berada dalam bahaya yang lebih besar," ucap Mahadewi penuh penekanan, lalu dia menatap Wira yang masih terdiam dengan segala rasa takjub yang Wira rasakan. "Hai manusia! Aku minta sama kamu, jadilah pelindung tujuh bidadari ini dan rahasiakan keberadaan mereka."
"Aku? Menjaga mereka? mana bisa! Aku aja tidak tahu saat ini ada dimana, kenapa kamu malah nyuruh aku seenaknya gitu? Maaf aku Nggak mau," tolak Wira.
Mata Mahadewi melebar dam kembali kesal. Wanita itu seketika membuka telapak tangannya dan menatap Wira dengan tatapan tajam. Dari telapak tangan itu, keluarlah sebuah cahaya yang sangat menyilaukan.
Wira yang tadinya nampak biasa saja, seketika merasa panik karena cahaya yang keluar dari telapak tangan Mahadewi seperti sedang menarik tubuhnya.
"Apa yang kamu lakukan!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!