Hari Minggu. Umumnya hari dengan tanggal merah di kalender ini menjadi hari favorit bagi sebagian masyarakat. Di mana mereka bisa bersenang-senang tanpa memikirkan banyak hal; tugas, hukuman, deadline, dan lainnya.
Banyak orang menghabiskan hari Minggu dengan jalan-jalan. Salah satunya adalah Tania, Amanda, dan Nabilla. Di hari Minggu ini mereka sepakat untuk pergi ke mal. Tapi sayangnya, mereka harus lebih dulu terjebak macet sebelum sampai di mal.
"Parah sih ini mah, bedak gue udah keburu luntur. Naikin suhu AC dong," ujar Nabilla seraya mengibas wajahnya.
Amanda yang berada di balik kemudi melirik Nabilla dari spion dalam. Dia berdecak sebal sambil menaikkan suhu AC. "Ini udah full, Bil."
"Masa? Tapi kok enggak kerasa, ya?" ujar Nabilla.
Amanda mendengus kesal. Padahal suhu AC sudah full tapi tetap saja terasa panas. "Buka aja kacanya."
"Jangan, polusi," ujar Nabilla menghentikan gerakan tangan Tania yang hendak menekan tombol.
"Kalau enggak dibuka nanti lo ngomel-ngomel lagi karena kepanasan," ujar Amanda.
Nabilla terkekeh. "Iya udah buka aja, Tan."
Tania menurut, dia menekan tombol dan perlahan kaca itu turun membuat angin berembus masuk. Bertepatan dengan itu seorang pengendara di sampingnya juga sedang membuka kaca mobilnya. Pandangan mereka bertemu. Namun, hanya sekilas.
Tania menyipitkan matanya. Merasa tidak asing dengan wajah lelaki itu. "Gue kayak kenal sama dia."
Nabilla menoleh cepat. "Siapa?"
Telunjuk Tania terarah pada pengendara lelaki itu. Nabilla menyipitkan matanya, merasa tidak asing juga. "Oh, kalau enggak salah sih dia anak OSIS di sekolah kita."
Tania menganggukkan kepala. Pantas merasa tidak asing.
...******...
Lelaki itu melirik seorang gadis yang duduk di kursi penumpang. "Masih pusing?"
Gadis itu menggeleng. "Enggak, udah mendingan." Dia menghirup minyak kayu putih.
Lelaki itu mendesah panjang. "Makanya tadi sarapan dulu."
"Gue lagi enggak nafsu."
"Mau makan di sana aja?"
"Iya udah terserah lo aja."
Gadis itu merasa mual di lambungnya. Selain karena udara pengap juga karena dia tidak sarapan.
...******...
Akhirnya setelah sekian lama terjebak macet dengan udara panas yang membuat bedak Nabilla luntur mereka masuk ke dalam mal. Begitu sejuk udaranya, tidak seperti 30 menit yang lalu.
"Akhirnya sampe," ujar Nabilla.
"Pantat gue panas nih gara-gara kelamaan nempel di jok," ujar Tania sambil menepuk-nepuk pantatnya.
"Lebay lo," ujar Amanda.
"Mentang-mentang kuat, sombong lo," ujar Nabilla.
Amanda hanya memutar bola matanya malas, tidak berniat untuk membalas ucapan Nabilla. Mereka naik ke eskalator.
"Girls, kalian pada mau beli apa?" tanya Tania.
"Enggak tahu. Kalau gue sih mau makan, udah laper nih perut," ujar Nabilla seraya mengelus perut.
"Oh, gue mau beli tas, nih," ujar Tania.
"Iya udah beli aja sana sama Amanda," ujar Nabilla.
Mereka berjalan berkeliling usai naik eskalator.
"Enak aja, gue mau makan," ujar Amanda.
"Lo berdua makan aja, nanti gue nyusul kalau udah dapet tasnya," ujar Tania.
"Emang lo berani sendirian?" tanya Nabilla.
"Beranilah, emangnya lo! Udah ah, ayo buruan, gue laper!" Amanda bergegas menarik lengan Nabilla untuk segera pergi menuju eskalator lantai 3.
Tania melambaikan tangannya pada Nabilla dan Amanda. Gadis itu berjalan mengelilingi lantai 2. Melihat-lihat barang bagus yang memanjakan mata. Sampai akhirnya dia menemukan kumpulan tas bermerek. Mata Tania berbinar, dia segera berjalan mendekat.
"Yang mana, ya?" gumam Tania saat memilih-milih tas. Lalu seperti cinta pandangan pertama, sling bag berwarna pink itu menjadi fokusnya. Dia mendekat dan hendak mengambil sling bag tersebut. Namun sayangnya, ada tangan lain yang memegang sisi tas.
"Maaf, duluan saya," ujar Tania sedikit menarik sling bag.
"Enggak, saya duluan." Orang itu menarik sling bag.
Tania merasa jengkel karena orang di depannya ini tidak ingin melepaskan sisi tas. "Maaf, anda laki-laki jadi untuk apa membeli tas berwarna pink?" Tania menarik sling bag agar lebih dekat.
Lelaki itu membelalakkan matanya, merasa harga dirinya turun. "Tidak ada hukum pidana untuk hal ini." Lelaki itu menarik sling bag-nya.
"Kalau begitu pilih yang lain." Tania menarik sling bag-nya, kali ini sedikit kasar karena lelaki itu tidak melepaskan sisi tas.
Lelaki itu mengembuskan napas. Tidak akan dia biarkan wanita ini memenangkan adegan tarik-menarik. "Tidak bisa, saya duluan."
Merasa kesal karena lelaki ini tidak mau mengalah, Tania melotot tajam. "Lo cowok, ngalah sama cewek!" bentak Tania.
Lelaki itu meneguk ludahnya. "Tapi saya—" Ucapan lelaki itu terpotong di kala Tania mendekatkan wajahnya. Semakin lama semakin dekat dengan sorot mata tajam membuat pria itu sedikit menjauhkan tubuhnya.
"Maaf, ada apa ini?"
Lelaki itu meneguk ludahnya dan melepaskan pegangannya di sisi tas membuat Tania tersenyum senang dan menepuk-nepuk dada bidangnya.
Tania menatap pegawai mal sambil tersenyum manis. "Bisa antarkan saya di mana meja kasir?"
"Oh, tentu. Mari, Mbak."
Tania tersenyum puas. Dia melangkah sombong di belakang sang pegawai yang akan mengantarkannya ke meja kasir.
Lelaki itu menatap jengkel Tania yang berjalan dengan sangat sombong.
"Dasar agresif!"
Dan, kejadian itulah yang akan lelaki itu ingat selamanya. Ketika dia merasa harga dirinya jatuh begitu saja di depan gadis agresif lantaran diolok-olok membeli tas berwarna pink.
...******...
Kringggggg!!!!
Sebuah alarm berbunyi nyaring, cahaya mentari malu-malu menembus ventilasi membentuk garis lurus. Tapi, hal itu tidak membuat seorang gadis yang menutup seluruh tubuhnya dengan selimut terbangun. Tangannya merangkak untuk mematikan jam beker. Tapi bukannya langsung bangun, dia malah kembali tertidur pulas.
"Taniaaaaaa!!!" Suara melengking beserta gedoran pintu menggema di telinga seorang gadis yang sedang tertidur pulas.
"Tania bangun, ini jam berapa? Kamu pasang alarm jam berapa, sih?" teriak seseorang dari balik pintu seraya menggedor pintu.
"Tania! Buka pintunya! Bangun!"
Tania tergolek. Matanya masih tetap terpejam sempurna. "Lima menit lagi, Ma."
"Ini setengah tujuh, Tania. Hari Senin!"
Sontak gadis bernama Tania itu langsung menyingkap selimut dan duduk tegap. Menatap jam beker yang menunjukkan pukul 06.35, matanya membulat dan bibirnya setengah terbuka. "Mampus gue!" Dia menepuk jidatnya.
"Bangun, Tania! Jangan sampai pintunya mama dobrak!"
"I-iya, Ma. Tania bangun." Gadis itu tergesa-gesa turun dari atas kasur, dan sayangnya kakinya tersangkut seprai membuat dia jatuh telungkup di lantai.
"Aduh," rintih Tania.
"Pelan-pelan, Tania," ujar seseorang yang masih setia berada di balik pintu.
"Iya, Ma. Mama siapin sarapan aja, lima menit lagi Tania turun," ujar Tania.
Tidak ada lagi suara nyaring ibunya. Itu tandanya dia sudah tidak ada di balik pintu.
"Mampus gue, telat!" Tania buru-buru bangun dan mengambil handuknya, lantas masuk ke dalam kamar mandi.
Tapi bukannya langsung mengguyur tubuh dengan air dingin, dia malah menggosok giginya lalu mencuci muka. Setelah dipastikan wajahnya benar-benar bersih dan tidak ada air liur yang menempel dia segera keluar dan berganti pakaian. Tidak peduli jika dia tidak memakai sabun, yang penting wajahnya terlihat fresh.
Setelah siap memakai seragam dia segera memakai sepatunya. Berdiri di depan cermin memperlihatkan pantulan dirinya, dia memoles sedikit bedak dan liptin, lantas segera mengucir rambutnya.
Tania menyambar tas lalu beranjak turun ke meja makan. Menghampiri ibunya yang baru saja selesai mempersiapkan bekal miliknya. "Ma, Tania berangkat ya." Tania memasukkan bekal ke dalam tas.
Mila mengernyit bingung. "Lho, kamu belum—" ucapan Mila terpotong karena tahu-tahu Tania sudah mencium punggung tangannya.
"Udah ah, Tania berangkat. Assalamualaikum." Gadis itu berlari kecil keluar rumah.
Mila geleng-geleng kepala. "Ampun ya tuh anak, cerobohnya minta ampun!"
......******......
Tania meningkatkan kecepatan larinya, dia tidak peduli sepanjang trotoar mengejar bus dia menabrak bahu seseorang dan meminta maaf sembari berlari, juga dengan kakinya yang terus tersandung. Keinginannya hanya satu; mengejar bus.
"Mang, berhenti Mang!" Tania menginterupsi sopir bus untuk berhenti saat sang sopir menatap Tania.
Sang sopir akhirnya berhenti dan kondektur membantu Tania menyebrang. Gadis itu akhirnya bisa duduk di dalam kursi bus, menetralkan napasnya yang berderu. Tania melirik jam di pergelangan tangan, pukul 07.45, lima belas menit lagi upacara akan dimulai. Gadis itu mengibas wajah dengan tangannya, merasa gerah.
Dia menggerakkan kakinya karena gemetar, keringat mulai bercucuran. Merapalkan doa agar bus ini tidak melaju layaknya seekor penyu.
...******...
Para siswa-siswi sesama bersiap menuju lapangan untuk melangsungkan upacara bendera. Begitu pun dengan para petugas upacara dan anggota OSIS yang memandu persiapan jalannya upacara.
Amanda dan Nabilla terlihat gusar di tengah lapangan di antara anak-anak yang berbaris. Amanda melirik pergelangan tangan, lima menit lagi gerbang akan ditutup dan upacara akan berlangsung. Tapi Tania, gadis itu belum juga datang membuat kedua temannya cemas.
"Tania kok belum dateng, Man?" tanya Nabilla.
Amanda mengedikkan bahu. "Mana gue tahu."
"Coba lo telepon."
Amanda berdecak sebal. "Nggak boleh buka hape kalau mau upacara."
"Terus, Tania gimana?" tanya Nabilla begitu cemas.
Petugas upacara sudah siap, berjejer rapi di barisan yang berbeda lengkap dengan selempang bertuliskan "petugas upacara". Namun sayangnya ada satu kendala, sang pengibar bendera tidak memiliki jarum untuk mengaitkan antara selempang dengan seragam.
"Gue ambil jarum dulu di ruangan OSIS, takut nanti selempang lo jatuh pas pengibaran," ujar seorang laki-laki.
Gadis itu mengangguk. "Oke."
Lelaki itu setengah berlari menuju ruang OSIS yang berada di lantai dua gedung untuk mengambil jarum. Seorang guru sedang mengecek speaker di mimbar, siap menertibkan barisan siswa-siswi.
"Cek, cek," ujar seorang guru.
Amanda dan Nabilla masih cemas menunggu kedatangan Tania. Amanda sekali lagi melirik jam tangan, beberapa menit lagi upacara akan dimulai. Amanda berdecak sebal. "Mampus deh Tania."
"Itu Tania!" teriak Nabilla.
Tania baru saja turun dari bus dan nyaris tersungkur kalau saja dia tidak melakukan gerakan refleks dengan berpegangan pada sisi pintu bus. Gadis itu berlari secepat kilat menuju gerbang. "Jangan dulu ditutup, Pak!" perintah gadis itu. Dia segera masuk ke dalam sekolah pada sedikit celah yang diberikan pak satpam.
Kalau harus menuju ke kelas dulu itu akan lama dan dia akan dihukum karena telat. Maka, Tania dengan cepat merogoh tasnya dan mengeluarkan topi. Dia melempar tas itu pada pak satpam yang baru saja menutup rapat gerbang sekolah. "Nitip tas saya, Pak, makasih," ujar Tania seraya memakai topi dan berlari menuju barisan kelas.
Bugh!
"Awh!"
Tania jatuh tersungkur membuat sisi lututnya tergores batu bata yang diletakkan sembarangan.
"Maaf, maaf," ujar seorang pria.
Tania bangkit berdiri. Menatap marah orang di depannya. Baru saja Tania akan memaki orang tersebut jika saja suara seorang guru tidak terdengar di telinganya.
"Baik anak-anak, silakan baris di barisan kelasnya masing-masing, upacara akan segera dimulai!" Mendengarnya membuat Tania memukul dada bidang lelaki itu dan berlari masuk ke dalam barisan kelas. Tepat di sebelah Amanda.
"Lo telat bangun?" bisik Amanda.
Tania mengangguk dengan napas tersengal-sengal. "Iya."
"Selamat lo kali ini," lirih Amanda.
"Baik, upacara segera dimulai!"
Lantas, protokol segera menginstruksikan jalannya upacara.
...******...
Ada jeda waktu setelah upacara selesai dilaksanakan untuk para murid beristirahat. Hal itu menyebabkan suasana kantin kembali ramai oleh hiruk pikuk siswa-siswi.
Tania, Amanda, dan Nabilla baru saja keluar dari dalam kantin setelah membeli aqua botol. Tania menggendong tasnya setelah sebelumnya dia titipkan pada pak satpam.
"Gue mau tanya, semalam lo pasang alarm jam berapa?" tanya Amanda.
"Setengah tujuh," jawab Tania.
"Pantes aja! Ngapain lo pasang alarm jam segitu?" tanya Amanda.
"Iya enggak apa-apa," jawab Tania.
"Heran gue, lo nggak ada beban-bebannya gitu. Padahal tadi gue sama Amanda khawatirin lo," ujar Nabilla.
Begitulah Tania. Seperti tidak merasakan apa pun setelah sebelumnya dia begitu sangat khawatir dan gelisah. Lihatlah sekarang, seragamnya penuh dengan keringat, bedak di wajahnya luntur, liptinnya menghilang, rambutnya acak-acakan. Persis seperti tampilan anak berandalan yang ada di trotoar jalan raya.
"Iya, gue khawatir tadi sama diri gue sendiri," ujar Tania.
"Kalau misalnya lo bangun jam setengah tujuh, lo mandi enggak?" tanya Amanda.
Tania menyengir lebar. "Gue cuman sikat gigi sama cuci muka."
Kontan saja Amanda dan Nabilla menunjukkan ekspresi jijik mereka. Mereka menutup hidung dan sedikit menjauh dari Tania. "Ih, jorok lo," ujar Nabilla.
Tania mencium kedua ketiaknya. Tidak mencium bau apa-apa tapi kenapa kedua temannya menutup hidung. "Gue wangi tahu walaupun enggak mandi."
"Tetep aja lo jorok. Atau jangan-jangan dari banyaknya lo datang mepet waktu lo jarang mandi pagi, ya?" tebak Amanda.
"Kalau gue bangun pagi ya mandi," jawab Tania.
Kontan Amanda dan Nabilla memekik bersamaan. "Iihh, jorok lo."
"Udah ah, gue mau ke WC biar enggak dibully sama lo pada," ujar Tania.
"Lo mau mandi?" tanya Nabilla.
Tania mengangguk. "Dah, bye." Tania melambaikan tangannya dan berjalan lebih dulu.
"Eh, Tania! Jangan lakuin hal gila deh lo, Tania!" teriak Amanda memenuhi lorong kelas.
"Gila tuh cewek," timpal Nabilla.
Entah apa yang dipikirkan Tania saat ini, Amanda dan Nabilla tidak bisa menebaknya. Gadis itu berjalan menuju toilet, entah benar-benar mandi atau hanya sekadar cuci muka. Semoga saja tidak ada yang bersikap seceroboh Tania nantinya.
...******...
Di ruang OSIS begitu ramai. Para anggota OSIS sedang membereskan peralatan upacara. Banyak dari mereka sedang bersiap-siap untuk menuju kelas karena bel sebentar lagi berbunyi. Aldo sedang menggulung kabel roll dan memasukannya ke dalam lemari penyimpanan.
"Lo nanti siap kan, Do?" tanya Kevin.
Aldo menoleh ke belakang. "Calon ketua OSIS?"
Kevin mengangguk. "Iya."
"Gue sih siap Kak untuk nyalonin diri."
Kevin yang notabenenya sebagai ketua OSIS masa jabatan sekarang menepuk-nepuk bahu Aldo. "Sip lah, gue yakin lo bisa jadi penerus gue yang terbaik."
"Iya, Kak."
"Ngomong-ngomong, nanti wakil lo siapa? Jean?"
Aldo mengedikkan bahu. "Nggak tahu juga sih, Kak, tapi Jean nggak boleh terlalu cape sama orang tuanya."
"Berarti si Bima?"
Bima adalah sahabat dekat Aldo. Pria itu akan selalu mengintil dan mengikuti jejak langkah Aldo. Menjadikan Aldo sebagai panutan. Maka tak jarang jika di situ ada Aldo pasti ada Bima yang mengabdi padanya.
Aldo terkekeh. "Enggak yakin gue, Kak."
"Jangan kayak gitu, walaupun dia playboy, dia bisalah diandalkan jadi babu," ujar Kevin membuat Aldo tertawa renyah. "Iya udah, gue duluan ke kelas ya."
"Iya, Kak."
Aldo meraih tasnya yang berada di atas meja pembina. Kepergian Kevin membuat ruangan kembali sepi, anak-anak telah masuk ke kelas masing-masing. Aldo sedang mengecek buku-bukunya, barangkali ada yang tertinggal.
Seseorang menepuk pundaknya membuat Aldo berjingkrak kaget. "Oy!"
Aldo melirik Bima. "Apaan?"
"Tadi kuping gue panas, lo pasti ngomongin gue ya sama kak Kevin."
"Kalau iya?" tanya Aldo seraya mengangkat sebelah alis. Dia berjalan mengambil kunci ruangan OSIS di laci meja.
"Jahat lo jadi temen, suka ngomongin di belakang, coba di depan. Kicep lo," ujar Bima.
Alih-alih merespons perkataan Bima, Aldo justru melontarkan pertanyaan pada Bima setelah selesai mengambil kunci. "Jean mana?"
"Ada tuh di kelas."
Aldo melempar kunci pada Bima dan langsung ditangkap oleh Bima. "Gue duluan ya, jangan lupa dikunci."
"Eh, gue mau ngomong sesuatu!" teriak Bima. Tapi sayangnya, Aldo lebih dulu menghilang ditelan hilir mudik para murid. "Yaelah, punya temen nyebelin amat."
Bel masuk telah berbunyi. Siswa-siswi sudah memenuhi kelas masing-masing. Tania sudah berada di dalam kelasnya dan duduk di samping Amanda. Wajah gadis itu sekarang menjadi lebih segar, tidak terlihat kelelahan dan kucel. Tubuhnya juga sekarang mengeluarkan aroma wangi. Apa mungkin Tania benar-benar mandi di sekolah?
Sebelum guru masuk murid-murid mempersiapkan buku dan bolpoin untuk belajar. Kecuali Tania, dia sibuk berkaca pada cermin milik Nabilla.
"Tan, lo beneran mandi?" tanya Amanda.
"Enggaklah, pas gue masuk toilet banyak anak-anak. Jadi gue sebagai makhluk Tuhan yang baik enggak mandi karena takut mereka kebelet."
"Terus, kalau nggak mandi lo balik lagi?" tanya Nabilla dari belakang yang sedikit mencondongkan kepalanya.
"Enggak, gue cuman cuci muka aja. Terus gue minta parfum sama salah satu anak."
Amanda dan Nabilla saling pandang. Tania memang tidak tahu malu. Suka melakukan hal-hal yang kadang di luar dugaan, atau melakukan kecerobohan yang sangat fatal. Tania memberikan cermin pada Nabilla.
Ibu Jihan masuk ke dalam kelas dengan membawa setumpuk buku di tangan kirinya. Kacamata kotak dan bibir merah seperti bunga mawar menjadi salah satu ciri khas guru tersebut.
"Good morning, students!"
"Morning, Miss!"
Siswa-siswi kembali sigap. Ibu Jihan menatap seisi kelas dengan kacamata kotaknya setelah menaruh buku di atas meja guru. "Okay, please collect your English assignments at the table!"
Para murid bergegas mengumpulkan tugas bahasa Inggris di meja guru. Tania merogoh tasnya, mencari di mana buku tugas bahasa Inggrisnya. "Kok nggak ada, ya?" Tania begitu panik. Pasalnya, dia tidak menemukan buku bahasa Inggris di dalam tas. Oh, tidak! Tania lupa, dia bangun terlambat dan semalam belum mengganti buku pelajaran. Tania menepuk jidatnya. "Mampus!"
Dari banyaknya siswa-siswi yang hilir mudik mengumpulkan tugas bahasa Inggris hanya Tania yang tidak. Gadis itu berusaha bersikap biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa pun. Baik, Tania cukup pandai dalam bermain ekspresi. Dia merapalkan doa di dalam hati semoga ini bukan hari keburukannya.
Ibu Jihan mengecek buku anak muridnya dan mencocokkan namanya di absen. Dia melihat agenda kelas, tidak ada yang izin, sakit, ataupun alpa. Ibu Jihan melihat absensinya, satu nama dengan kolom nilai kosong.
"Of 35 students only one child does not do the assignment," ujar Ibu Jihan. "Ibu tidak akan menyebutkan siapa itu, jadi ibu minta kesadaran diri kalian saja."
Seisi kelas saling pandang dan berdesas-desus menebak siapa yang tidak mengerjakan tugas. Sedangkan Tania sendiri mencoba bersikap tenang. Sampai akhirnya tatapan Ibu Jihan terarah padanya membuat dia menyengir tidak berdosa.
"Tania, ingin bersembunyi sampai kapan?"
Tania menghela napas di kala teman-temannya menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian.
"Please, come out on here, Tania," pinta Ibu Jihan seraya menunjuk pintu dengan tangannya.
Baiklah, hukuman keluar kelas mungkin tidak terlalu buruk bagi Tania. Toh, dia sering mendapatkan hukuman seperti ini. Tania berdiri tanpa membela diri. Dia berjalan keluar kelas.
"Jangan masuk sebelum pelajaran ibu selesai, oke."
Tania mengangguk di ambang pintu. Gadis itu keluar dari dalam kelas, melihat kanan kirinya yang sepi seperti tidak berpenghuni. Dia berjalan tanpa tahu tujuan. Entahlah, yang penting bisa menghilangkan rasa kejenuhannya. "Ampun ya, Tania. Hari ini lo gini banget."
...******...
Kevin baru saja keluar dari UKS setelah meminta obat sakit kepala. Dia hendak berjalan menuju kelasnya, tapi saat dia melihat Tania berjalan lunglai di lorong kelas seberang membuat dia segera berputar arah menghampiri gadis itu.
"Tania," panggil Kevin.
Tania mendongak. Wajah yang semula fresh kini kembali sendu.
"Lo kenapa? Sakit? Atau ... lo dihukum lagi sama ibu Jihan?" tebak Kevin.
Tania duduk di teras kelas. "Iya, gara-gara gue nggak ngumpulin tugas bahasa Inggris. Buku gue ketinggalan, semalam lupa ganti mapel, tadi pagi juga kesiangan."
Mendengar berita kesialan Tania membuat Kevin tertawa geli. "Ya ampun Tania, sampai kapan lo selalu ceroboh?"
Tania tidak menjawabnya. Meratapi nasib buruk yang menimpa dirinya. Sebetulnya bukan pertama kali Tania mendapat nasib seperti ini, dulu-dulu Tania sudah kenyang melakukan kecerobohan yang lebih parah.
Mata Kevin tertuju pada sisi lutut Tania yang tergores luka. "Lutut lo kenapa? Jatuh di mana?"
Tania menatap lututnya. Ah, dia ingat, pagi tadi dia menabrak seorang laki-laki hingga jatuh tersungkur ke bawah. Tania lupa kalau lututnya terluka.
"Ikut gue yuk, ke UKS."
Tania beranjak berdiri. "Nggak usah, biar gue sendiri aja. Kak Kevin pasti mau ke kelas, 'kan?"
"Enggak, ayo!"
Tania ingin menolaknya, tapi tahu-tahu Kevin lebih dulu menarik paksa tangannya menuju UKS.
...******...
Tania duduk di atas kasur brankar sedangkan Kevin duduk di kursi menatap luka Tania. Dan gadis itu, sama sekali tidak meringis kesakitan. Mungkin nasibnya lebih sakit dari apa pun.
"Maaf ya, gue harus tutup luka lo," ujar Kevin.
Tania berdeham. Menatap Kevin yang hati-hati menutup lukanya, wajah pria itu terlihat tenang, bibir kecilnya mengatup sempurna, kumis tipisnya, rambut yang mulai menutupi kening itu begitu memesona, ditambah mata yang begitu tegas. Ah, Tania mulai tergiur.
"Selesai."
Tania tersadarkan dari lamunannya. "Ah, makasih, Kak."
"Sama-sama, kalau lo jenuh lo bisa tiduran di sini."
"Enggak ah, entar ibu Jihan nambah marah lagi."
"Iya udah, gue duluan ya ke kelas. Jangan lama-lama di sini."
Tania mengangguk bak anak kecil, Kevin mengelus puncak kepalanya. Tania menatap punggung Kevin yang kian menghilang dari balik pintu. "Kak Kevin itu ganteng, baik, perhatian, cool. Kenapa dia nggak suka sama gue ya selama kita temenan?"
"Ah, Tania sadar! Lo terlalu ceroboh!"
...******...
Bel istirahat telah berbunyi. Kantin mendadak kembali ramai. Memang ya, yang jadi primadona para anak sekolah itu kantin. Tidak ada seorang pun yang membenci tempat itu. Tania, Amanda, dan Nabilla sedang mengisi jatah perut mereka. Kalau Amanda dan Nabilla memesan makanan di kantin, maka Tania membuka kotak bekalnya, memperlihatkan dua potong sandwich berukuran sedang. Mata Tania berbinar cerah, dia langsung menyantap sandwich tersebut.
"Selama lo di luar kelas lo ke mana aja?" tanya Amanda.
"Gue ke UKS sama kak Kevin, ngobatin luka gue," jawab Tania dengan mulut penuh makanan.
"Luka?" tanya Nabilla.
Tania mengangguk. "Iya, tadi pagi gue jatuh."
Amanda dan Nabilla mendesah berat. Menatap Tania sembari menggelengkan kepala.
"Kapan sih, Tan, lo jadi cewek kayak umumnya, enggak ngelakuin hal-hal ceroboh?" tanya Nabilla.
Tania menelan sandwich di mulutnya lalu menatap Nabilla. "Namanya juga manusia, Bil. Tempatnya salah."
"Tapi lo salah terus," sarkas Amanda. "Lo sadar nggak sih, Tan, kalau selama ini kelakuan lo itu buat orang sakit kepala?"
Tania menggeleng. "Enggak."
Amanda dan Nabilla kembali mendesah berat. Berbicara dengan Tania hanya selalu membuang waktu.
"Terserah lo aja, deh," ujar Amanda mengelah. Dia menatap Nabilla. "Hari ini jangan dulu pulang ya, Bil."
Tania langsung mendongak. "Lho, kenapa?"
"Gue sama Amanda mau latihan cheers," jelas Nabilla.
"Kalau kalian latihan cheers gue pulang sama siapa?" tanya Tania dengan raut wajah sok panik.
"Halah, biasanya juga lo kalau apa-apa bisa sendiri," ujar Amanda.
"Lo kenapa enggak mau jadi anggota cheers?" tanya Nabilla.
"Enggak ah, ribet," ujar Tania membuat Amanda dan Nabilla memutar bola mata malas. Dia menutup bekal yang sudah kosong lalu mengeluarkan angin dari dalam mulutnya membuat Amanda dan Nabilla kontan menatap terkejut.
"Ih Tania, jorok banget lo jadi cewek," pekik Nabilla.
"Gue ke kelas duluan, ya. Bye!" Tania beranjak bangun dan segera pergi dari kantin.
Amanda dan Nabilla masih menatap kepergian Tania dengan kening mengernyit heran. Mereka saling pandang sebelum akhirnya menggelengkan kepala memperhatikan tingkah Tania.
...******...
Namanya Aldo, calon ketua OSIS masa jabatan yang akan datang, pria itu sedang berada di UKS bersama dengan sang sahabat; Jean, yang sekarang terbaring lemah di atas kasur brankar. Wajah cantik Jean dengan bulu mata lentik dan bola mata cokelat itu terlihat pucat pasi.
"Lo harus jaga kesehatan lo, Jean. Maag lo bisa parah kalau seandainya lo selalu telat makan," ujar Aldo seraya membuka kotak obat.
Jean tertatih untuk duduk. "Maaf, gue selalu repotin lo."
Aldo tersenyum dan memberikan obat berwarna hijau pada Jean. "Nggak apa-apa. Minum dulu obatnya."
Jean menerimanya dan langsung meminum obat tersebut. Setelah itu dia menatap Aldo. "Gue janji akan jaga kesehatan dan pola makan."
Aldo mengacak rambut Jean. Bukan hal yang baru ataupun hal tidak wajar. Aldo hanya melakukan hal itu pada Jean. "Iya, ya udah lo istirahat di sini aja, ya."
Jean menggeleng. "Gue jenuh kalau sendirian di UKS. Gue juga mau ikut lo ketemu sama anak-anak OSIS."
Aldo akan menuruti semua keinginan Jean, apa pun itu. Sebutlah dia buciners kelas kakap. Tapi bucin Aldo hanya sekadar sahabat, tidak lebih dari itu. Tapi sejauh ini, dia tidak pernah menolak permintaan Jean dan dia selalu berada di sisi Jean selama 24 jam penuh. "Iya udah, ayo turun."
Jean tertatih turun dari atas kasur. Aldo menggenggam tangannya untuk membantu berjalan, barangkali tiba-tiba Jean pingsan. Mereka keluar dari UKS, berjalan menuju ruang OSIS.
...******...
Bima berjalan di lorong kelas untuk menuju ruang OSIS sambil bersiul, menatap sekelilingnya yang ramai. Dia tidak fokus berjalan karena perhatiannya tertuju pada lapangan bola. Sampai akhirnya ....
"Awh!"
Bima terkejut dan melihat seorang gadis jatuh terduduk dengan ekspresi meringis kesakitan. Gadis itu tertatih berdiri dan memegang pantatnya yang terasa begitu ngilu. "Awh, sakit!"
Bima hanya diam. Memperhatikan ekspresi gadis itu yang menurutnya lucu. Sampai akhirnya dia dikagetkan oleh sang gadis dengan teriakan melengking.
"Iihh, lo pasti yang—" ucapan Tania terhenti saat dia menyadari kalau orang yang dia tunjuk bukanlah orang yang menabraknya sewaktu pagi.
"Maaf, gue nggak sengaja. Lo-nya aja jalan nggak lihat-lihat," ujar Bima.
"Kok lo nyalahin gue, sih? Hello, lo juga jalannya nggak lihat-lihat!"
"Iya, gue minta maaf."
"Lo harus tanggung jawab sama pantat gue yang sakit ini."
Bima melotot terkejut. Tanggung jawab dengan pantat? Bagaimana? Bima meneguk ludahnya. "Gue harus elus-elus pantat lo gitu?" tanya Bima yang langsung mendapat tamparan kotak bekal dari Tania.
"Awh!" ringis Bima.
"Dasar bangor!" ujar Tania dan bergegas pergi.
Bima masih memegang pipinya yang terasa sakit. Bukan main, tamparannya begitu mengerikan. Bima langsung berbalik dan menatap punggung Tania. "Oy, lo harus tanggung jawab sama pipi gue. Lo harus elus-elus, oy!" teriak Bima. Dia mengelus pipinya sendiri. "Benar-benar agresif tuh cewek."
Bima lantas kembali melanjutkan perjalanannya menuju ruang OSIS sembari memegang pipinya. Hanya kotak bekal, tapi kenapa rasa sakitnya seperti ditinju beton? Ah, Bima memang manusia alay.
...******...
Bima membuka pintu ruang OSIS dengan wajah meringis. Hal itu tentu saja mengundang perhatian seluruh anak OSIS yang berada di dalam ruangan, salah satunya Jean.
"Lo kenapa, Bim?"
"Ditinju gue sama cewek agresif!" ujar Bima ngegas. Dia duduk di salah satu kursi. Untung saja sebagian anak OSIS pergi ke kantin.
"Cewek agresif?" tanya Kevin tahu-tahu muncul.
"Iya, nggak tahu namanya siapa. Dia nabrak gue, eh, gue yang disalahin," ujar Bima.
"Dia yang nabrak lo, atau lo yang nabrak dia?" tanya Aldo. "Lo kalau jalan enggak sinkron sih, mata ke mana, kaki ke mana," lanjut Aldo.
"Tunggu, cewek agresif?" tanya Kevin mengulangi.
Bima mengangguk. "Kenapa? Lo kenal, Kak?"
"Ciri-cirinya?"
Bima menatap atap ruangan. Menerawang bagaimana ciri-ciri gadis yang menabraknya. "Dia cantik, putih, rambutnya digerai gitu, tingkahnya ceroboh," ujar Bima.
"Oh, itu namanya Tania," ujar Kevin.
"Lo kenal?" tanya Bima.
"Tetangga gue itu mah."
Bima mengangguk-angguk paham. Jean membantu mengobatinya dengan mengoles salep. Sedangkan Aldo, dia tiba-tiba berhenti menulis. Pikirannya terlempar pada pagi hari, di mana ada seorang gadis yang menabrak dirinya. Kalau diingat-ingat, ciri-cirinya mirip dengan gadis yang menabrak Bima. Mungkinkah menurut Aldo itu adalah orang yang sama? Ah, sudahlah, untuk apa Aldo pikirkan.
...******...
Mungkin hari ini adalah hari kesialan Tania. Dari dia bangun tidur hingga saat ini dia merasa lelah karena terus melakukan hal ceroboh. Tania berjalan lunglai di antara padatnya siswa-siswi yang ingin pulang. Dia menghela napas berat, meratapi nasibnya saat ini. Dia tidak bisa menebeng mobil milik Amanda, dia juga tidak bisa pulang bersama Nabilla. Hal yang harus dilakukannya saat ini adalah pulang naik angkot.
"Tania!"
Tania menoleh dan menemukan Kevin berjalan di sisinya.
"Kak Kevin?" lirih Tania. Gadis itu tetap berjalan lunglai membuat kening Kevin berkerut. Mustahil sekali rasanya jika Tania tidak memiliki semangat hidup.
"Lo kenapa cemberut gitu?"
"Nggak apa-apa."
"Amanda sama Nabilla ke mana, tumben nggak bareng?"
"Latihan cheers."
Kevin mengangguk-angguk. "Mau gue anter pulang?"
Kontan energi Tania kembali penuh. Dia menatap Kevin dengan senyum merekah. "Serius, Kakak mau nganterin gue pulang?"
"Iya, ayo!"
Mata Tania lantas tertuju pada beberapa lembar kertas di tangan Kevin. Tania kembali cemberut. "Enggak usah deh, Kak Kevin pasti repot kan di OSIS. Gue pulang sendiri aja."
"Enggak apa-apa, rapat masih lama kok. Ayo, gue anter."
"Serius ya, nanti anggota OSIS enggak ada kan yang marah sama Kakak karena nganterin gue pulang duluan?"
"Enggak ada Tania. Ayo!" Kevin menarik tangan Tania untuk segera berjalan menuju parkiran.
Parkiran terlihat sepi. Hanya terdapat beberapa motor siswa-siswi yang mengikuti kegiatan ekstra di sekolah. Mobil milik Amanda juga terparkir manis. Sesampainya di parkiran Kevin memberikan setumpuk kertas dan buku pada Tania. "Pegang dulu, ya."
Tania mengangguk. Sembari menunggu Kevin mengeluarkan motor, iseng-iseng dia melihat-lihat kertas di tangannya. Membaca sebuah surat pengajuan diri sebagai calon ketua OSIS. Mata Tania membola di kala dia melihat foto ukuran 3x4 yang tertera di salah satu kertas. Tania membaca nama orang yang ada di foto itu.
"Aldo," lirih Tania.
Kevin telah mengeluarkan motor. Bersiap memberikan helm pada Tania. Namun sayangnya saat dia hendak melakukan itu tiba-tiba Tania lari tanpa permisi dan memberikan tumpukan kertas itu padanya.
"Lho, Tania mau ke mana?" tanya Kevin panik. Buru-buru dia turun dari motor dan langsung mengejar Tania, tidak peduli pada motornya yang terparkir sembarangan.
Tania berlari lebih cepat dengan amarah yang tertahan. "Gue harus perhitungan sama dia!" ujar Tania. Dia ingat betul wajah orang yang menabraknya sewaktu pagi.
"Tania! Tania tunggu! Mau ke mana?" Kevin masih setia mengejar.
Tania melihat Aldo turun dari anak tangga bersama dengan seorang perempuan. Tania semakin mempercepat langkahnya agar segera sampai di depan Aldo.
"Tania!" teriak Kevin masih setia mengejar. Huh, lari Tania begitu cepat mengalahkan seekor macan tutul.
"Lo—" Tania sampai di depan Aldo dan menunjuk wajah pria itu.
Aldo yang dituding tanpa tahu sebab akibatnya mengerutkan kening.
"Lo yang udah nabrak gue waktu pagi. Dan gara-gara lo, lutut gue luka. Gara-gara lo juga, gue hari ini selalu sial!" ujar Tania.
Aldo menaikkan sebelah alisnya. Berpikir kalau gadis di depannya ini adalah gadis gila.
"Tania, kenapa lo tiba-tiba lari?" tanya Kevin yang akhirnya sampai mengejar Tania.
"Dia Kak yang udah buat lutut gue luka."
Kevin mengikuti arah telunjuk Tania yang tertuju pada Aldo. "Aldo?"
"Iya itu mungkin nama dia. Pokoknya dia yang buat gue jatuh waktu pagi."
"Terus?" tanya Aldo menaikkan sebelah alis.
"Lo bilang terus? Gue minta tanggung jawab sama lo."
"Gue nggak hamilin lo."
"Tapi lo buat gue terluka!"
"Lo sendiri yang larinya nggak lihat-lihat!"
Baru saja Tania akan memaki Aldo jika saja ucapan Kevin tidak mengurungkan niatnya.
"Udah deh Tania jangan lakuin hal gila, itu cuman masalah kecil. Ayo gue anter lo pulang dulu." Kevin menggenggam tangan Tania. "Tunggu 15 menit ya, Do," ujar Kevin seraya memberikan tumpukan kertas pada Aldo.
Aldo menerimanya dan mengangguk. "Oke."
Kevin segera menarik Tania sebelum gadis itu memulai aksinya untuk mencakar tiap inci wajah Aldo. Tania tidak ingin disalahkan. Memang, dia memegang prinsip teguh bahwasanya cewek selalu benar.
"Siapa, Do?" tanya Jean ketika Kevin dan Tania menghilang dari pandangan.
Aldo mengedikkan bahu. "Nggak tahu, cewek gila kali."
Mereka lanjut berjalan menuju ruang OSIS. Mungkin Aldo dan Tania sama-sama lupa kalau mereka pernah bertengkar di sebuah mal.
Kevin memberhentikan motornya tepat di depan gerbang rumah Tania. Pria itu melepas helm dan meminta Tania segera turun. Sejak perjalanan menuju rumah Kevin dan Tania sama-sama membungkam mulut, tidak ada yang angkat suara, walaupun biasanya Tania yang akan terus bercerocos sepanjang perjalanan.
Tania memasang ekspresi cemberut sedangkan Kevin memasang ekspresi jengkel. "Gue mau tanya, kenapa tadi lo marahin si Aldo?"
"Karena dia buat gue jatuh."
"Karena Aldo atau emang karena lo sendiri?" tanya Kevin.
Tania mengesah panjang. "Iya gue sadar, gue yang salah."
Kevin menghela napas panjang. Dia tidak bisa marah pada Tania, yang ada hanya jengkel. Tapi jika sudah mendengar pengakuan dari Tania maka kejengkelannya akan sirna. "Lain kali berpikir dulu sebelum lo bertindak. Berapa kali sih orang-orang bilang jangan lakukan hal ceroboh?"
"Maaf," lirih Tania.
"Iya udah, sana lo masuk."
"Makasih udah nganterin."
Kevin mengangguk seraya memakai helm. "Salam buat tante Mila."
Tania mengangguk.
Kevin menyalakan mesin motornya. "Gue duluan, jangan cemberut lama-lama, gue nggak suka," ujar Kevin lalu segera melesatkan motornya.
Mendengar ujaran itu membuat tubuh Tania menegang. Dia memegang kedua pipinya yang terasa panas. "Damage-nya bukan main."
...******...
Setelah kedatangan Kevin ke sekolah dan rapat telah usai diadakan. Hanya rapat untuk memperkenalkan calon ketua OSIS yang baru, tidak lebih. Aldo dan Bima membereskan ruang kelas yang digunakan sebagai ruangan rapat. Mereka berdua menaikkan kursi ke atas meja. Jean sedang mengambil tas kedua lelaki itu.
"Gue mau tanya, Do," ujar Bima.
"Apa?" tanya Aldo setelah selesai mengangkat satu baris kursi ke atas meja.
"Dengar-dengar tadi ada cewek yang marah-marah ke lo, ya?"
"Hm."
"Siapa?"
Aldo mengedikkan bahu. "Gue nggak kenal."
"Cakep nggak orangnya?"
Sontak Aldo segera menatap Bima dengan napas tersengal. Merasa lelah karena mengangkat kursi lebih banyak daripada Bima. "Angkat kursi di bagian pojok baru gue jawab," ujar Aldo berjalan menghapus papan tulis yang berisikan jadwal kampanye.
Bima berdecak sebal. "Enggak asyik lo, gue 'kan nanya gitu doang. Ya, siapa tahu dia mau jadi gebetan gue."
Aldo menghela napas panjang. "Gimana jika seandainya orang yang mau lo jadiin gebetan adalah orang yang nonjok lo sewaktu istirahat?"
Sontak Bima langsung berjalan maju setelah selesai dengan kursi terakhir yang sengaja dia letakkan secara kasar. "Idih, amit-amit gue jadiin dia pacar. Sampai kapan pun enggak akan pernah, walaupun dia satu-satunya cewek yang mau sama gue."
Mendengar ucapan terakhir dari Bima membuat Aldo rasanya ingin muntah. Dia meletakkan penghapus pada tempatnya.
Alih-alih Aldo yang merespons ucapannya, Bima justru terpikirkan sesuatu. "Tunggu deh, kenapa lo bandingin orang yang nabrak gue, sama yang maki-maki lo? Emangnya itu orang yang sama?"
"Menurut lo?" Aldo menaikkan sebelah alis dan berjalan keluar ruangan.
Bima memasang ekspresi terkejut. "Mereka orang yang sama? Berarti bener dong, cewek itu agresif?"
"Lebih agresif dari macan."
Mereka telah turun dari anak tangga dan bertepatan dengan itu Jean datang memberikan tas pada Aldo dan Bima.
"Siapa nama cewek itu." Bima mengetuk-ngetuk kepalanya, berusaha mengingat nama cewek agresif tersebut.
"Tania?" celetuk Jean.
"Nah, itu dia." Bima menjentikkan jari seraya tersenyum senang. Tapi setelah itu, dia memasang wajah bingung. "Kok lo tahu, Jean?"
Alih-alih Jean yang menjawab justru Aldo memukul lengan kekar berlemak milik Bima. "Tanya aja lo, pulang sana. Ayo, Jean." Aldo meraih tangan Jean, menggenggamnya kuat.
"Kalau aja lo nggak berwibawa udah gue bully lo," maki Bima namun sayangnya Aldo menulikan indra pendengaran.
...******...
Aldo selalu membawa mobil ke mana pun itu jika bersama Jean. Alasannya adalah supaya Jean merasa nyaman, padahal Jean tidak menuntut ini itu pada Aldo. Baik, sebutlah kembali Aldo bucin batas teman. Dia ingin yang terbaik untuk Jean, dia bahkan rela memberikan nyawanya hanya demi Jean.
Saat di dalam mobil perjalanan pulang, hanya keheningan yang merebak. Aldo sibuk mengemudi dan Jean sibuk memainkan jari. Sampai akhirnya gadis itu menoleh pada Aldo. "Nanti wakil lo siapa?"
Aldo menoleh lalu kembali fokus. "Nanti juga ada.
"Gue minta maaf nggak bisa bantu lo untuk kali ini."
Aldo tersenyum. Satu tangannya membelai pipi Jean. "Selagi lo selalu ada di sisi gue, itu udah cukup."
Jean tersenyum. Sentuhan Aldo masih tetap sama. Walaupun tangannya kasar, tapi rasanya halus dan hangat. "Oh iya, gue pasti akan bantu kampanye lo, kok."
"Thanks."
Jean mengangguk.
...******...
Sore hari pukul 16.30, apa yang biasa umumnya dilakukan gadis remaja pada jam itu? Apakah bersantai di dalam kamar, atau jalan-jalan bersama teman? Tapi sepertinya seorang Tania akan memilih opsi pertama jika saat ini Amanda dan Nabilla sedang latihan cheers.
Gadis itu berbaring di atas kasur, bersantai di sana lengkap dengan camilan dan laptop untuk menonton film. Setidaknya Tania telah menghabiskan sepotong kue dan beberapa camilan yang membuat seprai yang ditindihnya kotor. Banyak sisa-sisa makanan yang jatuh, begitu pun dengan plastik bekas makanan yang berserakan. Huh, ini lebih mengerikan dari TPA.
Keasyikan Tania terganggu di kala pintu kamar tiba-tiba terbuka secara kasar, menampakkan Mila seorang diri. Wanita paruh baya itu langsung sakit kepala melihat keadaan kamar Tania, amarahnya sudah naik ke ubun-ubun. Lain halnya dengan Tania yang hanya memperlihatkan ekspresi tidak peduli sambil meminum jus kaleng.
"Taniaaaaaa!" teriak Mila dengan napas berderu. Dia berkacak pinggang dan melotot tajam pada sang anak. "Kenapa kamar kamu berantakan gini? Ini sudah sore, Tania!"
Tania menelan camilannya. "Tania juga tahu ini sudah sore."
Mila menghela napas panjang dan menepuk jidatnya. Mengurus Tania sama saja seperti mengurus seekor bebek. "Kamu anak gadis, Tania! Enggak baik leha-leha di sore hari gini."
Tania tidak peduli.
"Sekarang, ganti sprei kamu yang kotor itu!"
"Lima belas menit lagi filmnya selesai dan Tania akan ganti sprei," ujar Tania.
"Enggak, pokoknya sekarang!" tekan Mila.
Tania tidak peduli.
Mila habis kesabaran karena tingkah Tania. Dia bergegas menghampiri Tania dan menutup kasar laptop gadis itu membuat sang pemilik menatap kecewa.
"Kok ditutup, Ma?"
Mila mengambil laptop Tania membuat gadis itu melotot tajam. "Angkat sprei terus cuci bekas makan kamu! Setelah itu mama akan kasih laptop kamu." Mila bergerak melangkah.
"Lho, Mama! Laptop Tania!"
Brak!
Telat! Mila telah menutup pintu kamar secara kasar membuat Tania menghela napas kecewa. Dia melihat sekitarnya, kamarnya berantakan seperti kapal pecah.
"Haduh, gimana dong? Gue harus angkat sprei dan cuci piring?" tanya Tania menatap dirinya pada pantulan cermin.
Mau tidak mau, demi laptop dan film yang ingin dia tonton Tania bergerak melaksanakan perintah Mila. Gadis itu mengangkat seprai dengan gerakan malas, membuang plastik bekas makanan pada tong sampah, lantas turun ke meja makan.
Tania berkacak pinggang melihat 1 piring kotor dan 1 mangkuk kotor. Sebetulnya itu adalah bekas makan Tania, Mila sudah menyuruhnya untuk segera dicuci. Tapi namanya Tania, dia selalu menunda sesuatu.
Gadis itu berjalan dan bergerak memakai celemek.
"Cuci piringnya yang bener, jangan sampai pecah. Mama mau ke supermarket."
Tania menoleh ke belakang, Mila menghilang dari balik pintu seraya membawa rinjing belanjaan. Tania menghela napas. Dia menyalakan keran, dan mulai mencuci piring.
Tapi, namanya juga Tania. Sekukuh apa pun dia berusaha untuk tidak ceroboh, nyatanya dia akan selalu ceroboh. Mungkin gadis itu sudah mendapat takdir yang tidak bisa dielakkan. Terbukti saat dia ingin mengalihkan piring ke rak tapi karena tangannya licin membuat piring itu jatuh dan pecah begitu saja.
"Yah," desah Tania. Dia mematikan keran dan bergegas membersihkan beling.
"Awh!" Tania meringis saat tanpa sengaja jari telunjuk kanannya tergores beling. Gadis itu refleks memasukkan telunjuknya ke dalam mulut dan mengisap darahnya. Tapi sayangnya itu terasa sakit membuat dia semakin meringis. Seperti gerakan orang bodoh Tania mencuci telunjuknya.
"Darahnya kok enggak berhenti." Tania panik. Dia mematikan keran, menekan telunjuknya dengan tisu yang dia ambil di meja makan. Darahnya mulai berhenti, tidak bercucuran seperti tadi.
"Aduh, Tania. Pantas aja kak Kevin nggak suka sama lo. Lo terlalu ceroboh," gerutu Tania pada diri sendiri. Dia mengambil kotak P3K dan menutup lukanya dengan hansaplast.
Dan, hari itu benar-benar menjadi hari paling sial bagi Tania. Hal itu disebabkan semenjak kejadian lusa lalu di mana dia memaki seorang laki-laki di sebuah mal.
...******...
Rutinitas Aldo sebelum tidur adalah memastikan dirinya belajar terlebih dahulu. Biasanya kegiatan itu akan berjalan dengan lancar selancar kereta berjalan. Tapi malam ini adalah pengecualian, itu disebabkan karena kedatangan 2 temannya; Bima dan Nico.
"Lo mau jadiin gue sebagai wakil lo?" tanya Nico.
Kedatangan mereka tidak buruk juga. Aldo bisa membujuk Nico untuk menjadi wakilnya. Setidaknya Nico lebih baik daripada Bima. Pria itu punya keunggulan otak yang lumayan, hanya saja kadang suka mengeluh.
Aldo mengangguk seraya menstabilo tulisan penting. "Iya."
"Kenapa nggak Jean aja?" protes Nico.
Aldo memutar kursinya setelah selesai menutup buku. "Lo tahu 'kan kalau Jean nggak boleh forsir tenaganya lebih?"
"Kalau gitu kenapa nggak Bima aja?"
Bima yang sedang nyemil dan rebahan di sofa seraya menonton animasi Jepang melemparkan kulit kacang pada Nico. "Eh, lo itu harusnya bersyukur, karena setidaknya dengan Aldo milih lo artinya lo lebih baik daripada gue," celetuk Bima.
Nico duduk di tepi ranjang. "Jangan mentang-mentang waktu pagi gue nggak berangkat terus kalian semua giniin gue."
"Siapa suruh lo enggak berangkat," celetuk Bima.
"Do, lo tahu 'kan gue kadang suka nyerah?" tanya Nico.
Aldo menghela napas dan memperbaiki posisi duduknya. "Gue tahu itu. Tapi gue butuh pemikiran inovatif lo," ujar Aldo. "Dan apa pun itu, lo akan tetap jadi wakil gue."
Nico berdecak sebal. "Gue—"
Drrrttt!
Baru saja Nico ingin protes jika saja Aldo tidak segera menempelkan ponselnya di telinga. Bima sudah yakin 100% penyebab Aldo dengan cepat mengabaikan ucapan Nico dan lebih memilih mengangkat telepon adalah karena yang tertera di layar nama Jean.
"Halo! Iya udah gue bawain ke sana. Iya, Jean." Aldo segera menutup telepon dan menyambar jaketnya, menatap dua orang yang ada di dalam kamarnya. "Lo berdua kalau mau di sini jangan recokin kamar gue!" tegas Aldo.
Setelah melihat anggukan kepala Nico, Aldo keluar dari dalam kamar.
Nico menghela napas panjang lalu menatap Bima. "Bim?"
"Apaan?"
"Lo mau nggak jadi babu gue nanti?"
"Bodo, mending gue jadi babunya si Robby sama Nina daripada lo."
"Sialan!"
...******...
Malam ini Tania memutuskan untuk belajar, dia mengganti buku pelajaran untuk esok, memastikan apakah ada PR atau tidak. Gadis itu membiarkan buku-bukunya berserakan di atas kasur. Dia sudah menjelaskan kepada Mila perkara telunjuk tangan kanannya yang tertutup hansaplast.
"Oke, semuanya udah beres. Dan gue pastikan besok nggak akan ceroboh lagi," ujar Tania seraya meritsleting tasnya. Dia mengambil ponsel yang ada di atas nakas lalu menelepon seseorang.
...******...
Amanda berdecak sebal, itu karena aktivitas belajarnya diganggu oleh dering ponsel. Amanda melihat nama Tania yang tertera, gadis itu segera menggeser tombol hijau.
"Ada apa?" tanya Amanda ketus.
"Biasa aja kali, Man. Sensi mulu, PMS ya lo," ujar Tania.
Amanda menghela napas kasar. "Enggak, ada apa?" tanyanya sedikit melembut.
Tania tersenyum manis. "Nanti pagi lo ke rumah gue ya, nebeng mobil lo."
Amanda berdecih. "Kenapa? Biar enggak telat?"
"Iya, gue akan berusaha menjadi lebih baik."
"Pret! Awas aja kalau gue ke sana dan lo masih tidur."
"Tenang aja, gue janji akan bangun jam tiga pagi."
Muak rasanya mendengar janji manis Tania. Paling-paling dia bangun jam tiga sore. "Iya."
"Iya apa?"
"Gue akan jemput lo."
"Nah, gitu dong."
Amanda segera mematikan ponsel sebelum akhirnya Tania akan bercerita panjang lebar mengenai hal-hal tidak penting. Sebelum Amanda mematikan layar ponselnya satu pesan masuk membuat senyum Amanda tercetak jelas.
Nico: Masih belajar?
...******...
Jean itu jarang makan dan minum, maka jangan ditanya kondisi fisik Jean. Gadis itu sangat rentan pingsan dan sakit, makanya Aldo selalu mewanti-wanti gadis itu untuk menjaga kesehatan. Berhubung Jean hanya tinggal seorang diri di sebuah apartemen. Itu terjadi karena orang tua Jean sibuk bekerja daripada memikirkan anaknya.
Malam ini Aldo membawakan nasi goreng untuk Jean. Pria itu memarkirkan motornya di basement tepat di sebelah mobil Jean yang jarang sekali digunakan. Aldo beranjak masuk dan naik lift. Pria itu menunggu beserta dengan orang lain.
Sesampainya di depan apartemen Jean, Aldo mengetuk pintu.
Tok! Tok!
"Jean," panggil Aldo.
Tok! Tok!
"Jean!"
Tidak ada sahutan membuat kening Aldo berkerut. Dia ingin membuka kenop pintu, tetapi rasanya lancang jika melakukan itu.
Tok! Tok!
"Jean, lo ada di dalam?"
Tidak ada sahutan membuat Aldo cemas. Pintunya dikunci, tetapi berhubung Aldo tahu kata sandinya membuat dia begitu mudah menerobos pintu berfuniture cokelat itu. Wajah Aldo cemas, matanya menatap sekeliling.
"Jean!" Aldo beranjak ke dapur, tidak ada Jean.
"Jean, lo di mana?"
Dia masuk ke dalam kamar Jean, nihil. Hanya kasur dengan seprai rapi. Aldo meletakkan bungkusan di atas sofa. Dia melangkah pelan, matanya bergerak menatap pintu kamar mandi, bibirnya bergetar.
"Jean," lirih Aldo.
Pintu kamar mandi di depan mata. Perlahan Aldo mengetuk pintu.
Tok! Tok!
"Jean? Lo ada di dalam, 'kan? Jawab, Jean."
Tok! Tok!
Aldo ingin sekali membuka kamar mandi jika saja dia tidak memikirkan hal-hal yang akan dilihatnya. Aldo meneguk ludah, menguatkan mental, menepis penglihatan-penglihatan buruk yang kemungkinan dia lihat. Kenop itu dibuka oleh Aldo membuat pria itu membelalakkan mata dan mulutnya terbuka lebar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!