Siulan kecil bersuit dari bibir Bang Herca hingga akhirnya Bang Dallas menepak kepala lettingnya sekaligus adiknya itu.
Tawa riuh membahana dari Bang Al-Fath disusul tawa dari Bang Riyadh.
"Kau ini suka menggoda wanita tapi kenapa tidak mau pacaran?" Tegur Bang Dallas pada adiknya Herca.
"Sama seperti yang kau rasakan. Punya perempuan sangat merepotkan. Tidak bebas, rewel, banyak pertanyaan, makhluk manja yang tidak mau kalah bicara, mudah menangis, pemarah, kalau sudah pegang bedak lamanya bukan main." Jawab Bang Herca.
"Benar, tapi suatu saat kita juga butuh perempuan. Hanya saja mungkin saat ini kita belum siap menerima hadirnya." Kata Bang Dallas.
"Setuju, perempuan itu sangat merepotkan." Jawab Bang Riyadh tegas.
"Haii sayaang, iya nih.. Abang masih ada kerjaan." Bang Al-Fath menjauh dari para Abang karena saat ini hanya dirinya yang punya pacar.
"Apa-apaan ini.. dimana jiwa korsa mu, Al?????" Tegur Bang Herca kesal.
"Bukan masalah jiwa korsa, Her. Kau tau sendiri Ayah, Papa dan Opa menganggap kita 'belok' karena nggak pernah dekat dengan perempuan. Apa tidak ingat pembahasan mereka kemarin. Mereka takut kita jadi g*y." Balas Bang Al-Fath usai menutup panggilan teleponnya.
"Nggak usah peduli apa kata orang tua. Mereka bertanya-tanya itu biasa. Kita ini laki-laki, jangan salah pilih wanita. Lagipula kita bukannya tidak laku. Kita pernah ada hubungan tapi kandas di tengah jalan." Jawab Bang Herca.
Keempat pria terdiam dan membuang nafas berat kemudian saling melirik.
"Tapi Her.. kau masih suka perempuan, kan??" Tanya Bang Dallas.
"Apa perlu saya buat pelanggaran disiplin biar satu batalyon heboh kalau saya doyan perempuan??? Eeehh.. Dallas, kau ini tanya atau menghina??" Jawab Bang Herca.
"Sudaaahh.. sudaaaaahh.. yang penting kita jaga peluru masing-masing agar tidak meledak di sembarang tempat." Bang Riyadh pun menengahi perdebatan mereka. "Kita bersiap pulang sekarang..!! Member tertua akan mengenalkan kita pada gadis pilihannya malam ini.
Bang Dallas dan Bang Herca mengusap wajahnya bersamaan teringat dua bulan yang lalu Opa menjodohkan mereka dengan gadis yang sama sekali di luar prediksinya.
"Jangan sampai Opa menjodohkan aku dengan wanita sebesar banteng seperti kemarin." Kata Bang Herca.
"Kau masih mending, kau tidak ingat enam bulan yang lalu Opa membawa 'perawan' yang menakutkan. Perawan sih perawan tapi jangan lewat usia lima puluh tahun juga kaliiii, begini juga seleraku tinggi." Sambar Bang Dallas.
"Aseeeeeemm.. kalau bukan Opa kita, sudah ku ajak gelut tuh aki-aki." Gerutu Bang Herca.
-_-_-_-_-
Malam tiba. Kegelisahan Bang Dallas dan Bang Herca semakin menjadi. Pertemuan besar di pendopo keluarga sudah di gelar. Area yang hanya bisa di gunakan untuk acara khusus seperti ini. Jika hari ini mereka menolak pasti Ayah dan Papa akan murka.
Sudah tiba saatnya pertemuan besar, Bang Dallas dan Bang Herca berjalan menuju pendopo dengan perasaan tak menentu.
Sesampainya di pendopo sudah ada dua pihak keluarga menunggu. Bang Dallas dan Bang Herca saling lirik karena ada beberapa orang wanita sama-sama memakai masker wajah dengan warna senada dengan kain batik mereka.
"Apalah ini, kenapa pakai masker?? Perasaanku tidak enak. Jangan-jangan hidung nya pesek atau wajahnya banyak jerawat." Gumam Bang Dallas.
"Jebakan nih. Firasatku juga buruk. Bagaimana kalau dia ompong atau bibirnya seperti corong. Amit-amit Ya Allah.. bagaimana sih Opa ini. Itu lagi ada perempuan gendut. Sebenarnya apa Opa pengen banget cucunya ketindihan." Gerutu Bang Herca masih memendam kesal tersendiri.
Menyesuaikan dengan warna corak batik mereka, Bang Dallas menuju pada keluarga yang mengenakan corak batik merah maroon sedangkan Bang Herca menuju keluarga yang mengenakan pakaian dengan corak batik hijau cerah.
"Sluman slumun slamet." Ujar Bang Dallas membatin.
"Gusti Allah, kulo nyuwun ngapunten." Gumam Bang Herca meraup wajahnya.
Terlihat Ayah Rico, Papa Danar dan Opa Harso nampak begitu akrab dengan tamu mereka. Di hari ini mereka meminta agar Bang Dallas dan Bang Herca langsung melamar putri mereka.
...
Dengan rasa malas Bang Dallas mengambil secarik kertas di hadapannya dan membaca nama gadis yang akan menjadi calon istrinya.
"Bismillahirrahmanirrahim.. Adinda .. di hari ini, dalam pertemuan yang di saksikan oleh keluarga, saya.. Dallas Puma berniat mengkhitbahmu. Saya harap nanti niat tulus saya dapat menjadikan ibadah terpanjang untuk kita berdua. Kiranya Adinda dapat mempertimbangkan niat baik saya..!!"
Seorang gadis menunduk, berarti gadis tersebut yang memiliki nama Kanjeng Anrigi Wulan.
Sejenak mengucap basmallah, Rigi pun menjawab. "Insya Allah, Rigi menerima pinangan Abang." Ucapnya sambil menghapus air mata.
"Alhamdulillah." Bang Dallas pun tidak tau seperti apa rupa gadis pilihan Opa.
Namun setelah jawaban tersebut pihak keluarga mendekatkan Rigi pada Bang Dallas dan membuka masker wajahnya.
Seketika Bang Dallas tersenyum. "Masya Allah." Ucapnya pertama kali.
Disisi lain Bang Herca masih keras hati dan enggan untuk melanjutkan prosesi lamaran hingga membuat Papa Danar geram.
"Aku nggak mau nikah." Teriak salah seorang di antara para wanita yang duduk memakai masker.
Bang Herca melirik ada nama Kanjeng Radindra Marda Gisya disana.
'Alhamdulillah, teruslah berontak biar gagal.'
"Ndhuk, jangan begitu.. kamu belum mengenal Bang Herca. Beliau laki-laki yang baik." Bujuk salah seorang tetua disana, seusia dengan Opa Harso.
"Aku nggak mau nikah sama om-om, Kenapa sih Kakung nggak mau ngerti..!!"
Bang Herca cukup kaget mendengarnya. Jika biasanya para wanita selalu mengelilingi dirinya bahkan mengejarnya, tapi baru kali ini ada wanita yang menolaknya mentah-mentah. Ia pun tidak tau wanita mana yang menyahut.
"Dinda, sudikah kiranya kita berkenalan?" Bujuk Bang Herca yang mulai tertarik dan tertantang meladeni bocah yang pastinya tidak sesuai dengan kriterianya.
"Nggak."
"Tak kenal maka tak sayang, kita berkenalan dulu baru sayang kemudian." Ucap Bang Danar sambil melihat sosok wanita bertubuh sedikit berisi karena hanya wanita tersebut yang tidak memangku anak kecil.
"Nggak.. nggak ya nggak..!!" Seorang gadis memberikan pria kecil dari pangkuannya pada wanita di sebelahnya lalu mengangkat rok batiknya lalu setengah berlari untuk kabur.
Dengan cepat Bang Herca menghadangnya. "Kau ini kenapa??"
"Om yang kenapa?? Cari jodoh yang seumuran..!! Dasar penjahat ke***in."
"Sembarangan..!! Kalau nggak mau nikah sekarang, besok juga masih ada waktu." Jawab Bang Herca kesal.
"Hari Sabtu KUA tutup. Nggak ada kawin-kawinan." Tolak gadis itu sambil menyerang Bang Herca.
"Kawin beneran, Ndhuk. Nggak kawin-kawinan."
"Nggak mau..!!!!" Pekik Dindra sampai menjadi pusat perhatian para keluarga.
Karena terlalu usil, masker wajah Dindra tersangkut kancing pakaian Bang Herca hingga maskernya terbuka. Dindra pun Mendongak.
Seketika cengkeraman lengan Bang Herca merenggang. Ia menatap kedua bola mata Dindra nan ayu jelita.
"Assalamu'alaikum, jalan-jalan mengarungi samudra.. bolehkah Abang mengenal Dindra."
"Nggak..!!" Jawab Dindra singkat padat dan jelas.
"Menjawab salam hukumnya wajib..!!" Kata Bang Herca.
"Wa'alaikumsalam." Dindra pun kembali berlari.
"Dindraaaaaaaaaaaaa.." pekik Mbah Kakung.
"Biar saya saja, Kung. Dindra pakai kain, nggak mungkin lari cepat." Bang Herca pun berjalan cepat menyusul Dindra.
"Ono wae bocah iki. Sampai Abang menangkapmu.. kawin kita, dek..!!" Gumam Bang Herca sembari menyingsingkan lengan.
.
.
.
.
Seorang gadis berusaha keras melompat pagar beton setinggi tiga meter tapi selain kain yang menyusahkan, nyalinya pun ciut melihat tingginya dinding area Kedaton.
"Bisa atau tidak?" Sapa Bang Herca sambil menguarkan asap rokoknya. Ia berdiri dan bersandar pada sebatang pohon mahoni sambil menunggu Dindra yang sejak tadi kebingungan dengan niatnya untuk melompat.
"Dindraaa.. jangan lompat, nanti kakimu sakit." Bujuk Rigi, saudara tiri Dindra.
"Aku nggak mau ya di jodohkan sama om-om..!!" Kata Dindra.
"Bang Herca bukan om-om..!!"
"Mama kita tidak pernah bahagia menikah dengan laki-laki yang umurnya lebih tua. Apalagi Kakung bilang mereka adalah 'abdi dalem' kedaton lain. Aku nggak mau om-om ini dapat selir cantik disana dan kita di buang seperti sampah." Teriak Dindra.
Bang Dallas sampai melotot mendengarnya tapi Bang Herca masih tetap santai sambil menghisap rokoknya.
"Turun Neng, kita bicara sebagai sesama manusia. Abang nggak berunding dengan kera." Kata Bang Herca kemudian mengulurkan tangannya.
"Kera???? Hati-hati dengan bicaramu..!! Saya ini kanjeng ayu." Pekik Dindra terus meninggikan suaranya.
"Sendiko dawuh ndoro ayu.." Jawab Bang Herca.
Tak lama beberapa orang datang menghampiri. "Den........."
Bang Herca memberi kode mata agar para abdi dalem beranjak menjauh. Bang Herca pun kembali mengulurkan tangannya tapi saat itu Dindra salah bergerak. Kainnya tersangkut tombak pagar hingga sobek setinggi paha dan menyisakan satu jengkal sobekan dari batas pinggang. Tak sengaja Bang Herca pun melihat sesuatu yang tidak seharusnya terlihat.
Dindra terpekik panik dan meluncur begitu saja dalam pelukan Bang Herca.
"Astaghfirullah hal adzim..!!" Secepatnya Bang Herca menarik kain Dindra dan menutupi pahanya yang menyilaukan mata.
Bang Dallas berbalik badan lalu menarik lengan Rigi agar menjauh, membiarkan Bang Herca menyelesaikan masalahnya sendiri.
"Sakiiiitt, Om..!!"
"Cckk.. makanya jangan bertingkah. Nurut sedikit kenapa sih??" Omel Bang Herca geram tapi juga kasihan. Ia terpaksa melirik ke arah bawah. Samar dari sorot lampu, paha bagian sedikit dalam milik Dindra memang terluka dan seorang 'putri' di larang untuk 'cacat'.
Beberapa orang abdi dalem sudah mendekat tapi jelas Bang Herca tidak mengijinkannya.
"Tetap disana, jangan ada yang mendekat. Tolong bilang sama si Mbok untuk cari kain jarik untuk Gusti ayu.. Bawa obat luka dan plester, jangan buat keributan..!!" Perintah Bang Herca.
:
Si Mbok tidak bisa berbuat apapun saat Bang Herca 'mengusirnya' padahal dalam urusan Kedaton dilarang seorang pangeran berdekatan lebih jauh jika 'putri' belum menjawab pinangan tersebut.
Sungguh hingga saat ini si mbok tidak tau apa yang terjadi pada junjungannya. Yang si mbok tau, hari ini junjungannya mendapat pinangan dari seorang Raden mas.
Betapa kagetnya si Mbok saat mendengar Dindra menangis dan terus merintih kesakitan hingga kemudian Bang Herca keluar membawa kain dengan noda bercak darah.
"Ampuuuunn Raden, kenapa Raden lakukan??? Si mbok harus bilang apa, Gusti ayu sudah di nodai?? Bagaimana kalau Gusti ayu hamil."
ggllkk..
Kening Bang Herca berkerut. Si mbok yang sudah sepuh mulai salah pengertian.
"Mbok salah paham, coba tanya Dindra sendiri apa yang terjadi di dalam tadi. Tapi tolong si Mbok tutup mulut..!!" Kata Bang Herca.
Tak lama Dindra keluar dari paviliun, kali ini Bang Herca dua kali lipat lebih kaget melihat penampilan Dindra berantakan. Sanggulnya melorot, roknya masih mengenakan rok sobek, kancing kebayanya terbuka, matanya sembab menangis sesenggukan.
"Kenapa masih berantakan, cepat masuk..!!" Perintah Bang Herca karena dirinya tidak ingin ada yang melihat Dindra lagi selain dirinya dan si mbok.
"Gusti ayu, kenapa Gustiii???" Tanya si Mbok.
"Ooomm.. Om Heerr.............."
Siapa mengira Papa Danar datang karena keluguan pengaduan Rigi. Melihat Dindra berantakan, Papa Danar pun murka. "Heercaaaaaaaaa...!!! Rusak sekali isi kepalamu, turunan dari siapa???????"
buuugghhhh..
"Hhgghh..!!" Bang Herca langsung terkapar saat Papa Danar menanganinya.
:
"Oohh begitu.. maaf ya..!! Papa kan cuma pelan." Kata Papa Danar merasa bersalah sambil memijat lengan putranya setelah mendengar cerita dari Dindra yang masih sesenggukan dalam pelukan Eyang putri agung.
"Pelan tapi bengeb juga." Protes Bang Herca.
Bang Herca melirik Dindra, entah kenapa dalam rasa kesalnya masih tersimpan rasa tidak sampai hati melihat tangis gadis itu.
Flashback Bang Herca on..
Tak menunggu waktu lama Bang Herca membawa Dindra masuk dalam paviliun yang pastinya jauh dari pendopo pertemuan.
Setelah Bang Herca menerima kain dan juga obat, Bang Herca meminta Si Mbok untuk menunggu jauh dari paviliun tersebut.
"Dindra pasti di usir."
"Siapa suruh kamu banyak tingkah, apakah begitu caranya menolak lamaran laki-laki??" Tegur Bang Herca.
"Dindra benar nggak mau menikah, Mamanya Rigi cerai dengan Papa tapi Mama.................." Cerita Dindra terhenti karena gadis itu sesenggukan.
Bang Herca tidak terlalu memperhatikan, fokusnya hanya pada luka Dindra yang hampir terbuka. Tangannya cekatan membersihkan darah yang hampir meleleh di sela paha. Sekelebat teringat akan masa lalunya beberapa tahun yang lalu, perasaannya begitu sakit, hatinya remuk dan hancur. Ia menggenggam kuat kapas di tangannya. Nafasnya mendadak sesak.
"Oomm.. sakiiitt..!!" Rengek Dindra.
"Iyaa.. tahan sedikit lagi..!!" Bang Herca hanya terfokus pada luka. Jika saja dirinya mau, saat ini pun ia bisa berbuat dosa tapi dirinya tidak ingin mengambil kesempatan tersebut. Jeritan Dindra membuatnya tidak sampai hati kasar pada gadis menyebalkan itu. "Sudah selesai, cepat pakai kainnya..!! Jangan lupa benahi sanggul juga pakaianmu..!!"
Dindra hanya menangis dan sesekali merintih kesakitan, agaknya tuan putri tidak tahan dengan rasa sakit.
"Bagaimana kalau Dindra di usir eyang putri alit???"
"Kekuasaan tertinggi ada pada eyang putri agung, itulah sebabnya ada nama 'agung dan alit' untuk membedakan tingkat kekuasaan meskipun para eyang sepuh sama-sama istri Eyang agung. Lagipula di jaman modern seperti ini apakah masih ada aturan primitif lama seperti itu??" Tanya Bang Herca.
"Ada, kalau kami salah pasti di usir, jadi gelandangan setelahnya. Dindra nggak mau nikah karena pasti akan di duakan juga. Apalagi sama prajurit Kedaton."
Flashback Bang Herca off..
"Memalukan, kau bisa di didik atau tidak??? Batalkan perjodohan ini..!! Dia memang tidak pantas bersanding dengan DenMas Herca. Biar DenMas dengan Utari saja..!!" Usul eyang alit.
Papa Danar sudah akan angkat bicara tapi Bang Herca mendahuluinya. "Tanpa mengurangi rasa hormat pada eyang alit. Dalem jatuh hati pada Kanjeng Radindra, jika di ijinkan.. dalem berniat memboyong kanjeng Radindra ke tanah rantau..!!"
Bang Dallas yang pasti paham situasi pun ikut angkat bicara. "Dalem juga memiliki niat yang sama."
"Hahahaha.. luar biasa. Kakung sangat menyukai keberanian kalian. Bawalah mereka, Kakung merestui tapi dengan satu syarat..!!" Ujar Kakung yang juga sebagai Eyang agung.
"Apa syaratnya, Kung?"
"Kung pribadi tidak mempermasalahkan hal itu, masalahnya kita hidup di bawah garis kedaton. Jadi kita harus selesaikan secara garis kedaton." Jawab Kakung.
"Nggak bisa, Kung. Biarlah Herca menikah dengan Utari..!!" Kata eyang alit menyela.
Kakung mengangguk mendengarnya. "Memang harus di nikahi keduanya, tapi mereka punya aturan negara yang tidak bisa di langgar." Kakung menoleh pada istri pertamanya. "Bagaimana menurut yangti?" Tanya Kakung.
"Jaman sudah berubah, Kung. Kita yang tua tidak boleh banyak ikut campur dalam urusan kawula muda. Lebih baik memutus sejarah buruk dalam trah kita..!!" Saran yangti.
"Dalem mohon ijin bicara. Jika memang keluarga merestui, dalem hanya akan membawa Dindra seorang. Mungkin dalam masalah sandang pangan, dalem sanggup memenuhinya tapi dalem tidak sanggup jika sampai dalem serakah dan membuat garwa menangis karena dalem tidak adil membagi perasaan dan mendidik masalah batin. Mohon Kakung mengerti..!!"
Papa Danar tersenyum mendengar jawaban putranya yang selama ini selalu menguras emosinya.
.
.
.
.
Bang Dallas dan Bang Herca menyerahkan masing-masing satu ekor kerbau merah juga jambangan perunggu sebagai persembahan bagi pihak Kedaton.
Malam itu juga Rigi dan Dindra ikut Bang Dallas dan Bang Herca pergi menuju tanah rantau.
"Sebenarnya kita mau kemana?? Dimana Kedaton tempat Om Herca kerja??" Tanya Dindra penasaran.
Mama Shila tersenyum geli karena menantunya itu sedikit lebih aktif dari menantu Nindy yang kalem dan irit bicara.
"Nanti Dindra akan tau." Jawab Mama Shila.
Papa Danar ikut tersenyum tipis mendengarnya, beliau melirik Bang Herca yang menatap jalanan tanpa bicara, hanya ada ekspresi datar di wajahnya.
"Usiamu sudah matang untuk punya anak. Jangan telat punya anak..!!" Kata Papa Danar menasihati putra keduanya.
"Jangan mikir anak dulu, Pa. Nikah saja belum. Kenapa sih Papa dan Opa harus menjodohkan saya seperti ini?? Apa saya tidak boleh punya pilihan?? Lihat, saya terjebak dalam masalah dan harus momong bocah macam Dindra." Protes Bang Herca.
"Apa yang bocah? Dindra juga sudah dewasa, jangan suka menghakimi orang." Oceh Dindra.
Mama Shila segera menengahi dan memeluk Dindra agar tidak lanjut mengoceh sebab Mama Shila paham bagaimana kerasnya sifat putranya.
"Kalau sudah dewasa tuh mikir..!! segala kabur, manjat pagar beton, rok sobek segala. Kamu anak manusia atau anak lutung?"
"Kamu diam to, Her..!! Jangan saur m*nuk sama perempuan..!!" Tegur Papa Danar.
"Mana ada perempuan seperti belatung begitu, lompat sana lompat sini."
Dindra kesal dan hendak membuka pintu mobil. Mama Shila segera menariknya.
Bang Herca terbawa emosi dengan tingkah Dindra, ia segera menepikan mobilnya lalu keluar dan membuka pintu belakang. Ia menarik tangan Dindra.
"Keluar..!!! Mumpung disana ada jembatan, lompat sana..!!!" Bentak Bang Herca.
Bang Dallas yang melihat kejadian itu ikut menepikan mobilnya dan turun dari mobil. Begitulah watak adiknya jika ada yang tidak sesuai dengan hatinya.
"Hercaaaa.. sudah..!!!! Nggak begitu caranya momong perempuan, kamu harus sabar..!!" Papa Danar sampai pusing sendiri dengan kelakuan sifat putranya.
"Lompat ya lompat..!!" Dindra menyambut tantangan Bang Herca dan langsung berdiri di sisi pembatas jembatan.
Mama Shila histeris melihat keributan ini, sejak dulu putranya memang tidak pernah mengenal rasa takut dan beliau tidak pernah melihat putranya berinteraksi dengan wanita hingga mungkin membuat hati putranya sekeras batu karang.
"Cepat.. tunggu apalagi..!!!!!" Perintah Bang Herca.
"Her, istighfar..!! Ojo ngawur..!!" Tegur Bang Dallas.
Papa Danar sampai menggeleng tapi beliau cukup paham. Sebenarnya putra keduanya itu adalah pria yang baik hanya saja memang Bag Herca memiliki watak kasar dan kaku.
Sekujur tubuh Dindra gemetar hebat, Bang Herca pun menghampirinya.
"Saya paling tidak suka ada wanita yang berbicara dengan nada tinggi di hadapan saya..!!"
"Dindra juga tidak suka di bentak." Pekik Dindra.
"Kamu tidak nurut, bagaimana cara saya komunikasi sama kamu?? Pakai toa masjid?? Atau pakai sirine kebakaran????" Balas Bang Herca. "Sekarang mau ikut saya atau tinggal disini???"
plaaaaaakk..
Dindra menampar Bang Herca satu kali. "Dindra benci di bentak, Dindra benci Om Her..!!! Om Her jahaaaatt..!!!!!" Kini tangan Dindra memukul kesana kemari meluapkan rasa kesalnya.
Bang Herca membiarkan dan menunggu Dindra mengekspresikan kemarahannya hingga puas. Tangis Dindra pecah sejadi-jadinya.
Setelah beberapa saat, tangis Dindra melunak. Tubuhnya sudah lelah menyisakan getaran kecil. Dindra bersandar pada dada bidang Bang Herca seraya meremas pakaiannya dengan kuat.
"Sudah nangisnya? Masih mau pukul lagi atau tidak??" Tanya Bang Herca mengurangi nada suaranya. "Dada ini nantinya akan jadi tempatmu bersandar. Apa mau di robohkan??"
Dindra mendengar bunyi detak jantung bertalu begitu kencang namun terasa menenangkan.
"Sebenarnya sejahat apa saya di matamu. Saya tau kriteria pria idamanmu bukan saya, saya juga tidak berharap kamu bisa mengerti saya tapi tidak ada salahnya kita mencoba untuk saling mengenal satu sama lain. Mau ya??" Bujuk Bang Herca.
"Nggak..!!"
Bang Herca mengepalkan jemarinya. Ia menengadah sejenak, kepalanya kembali terasa panas. "Terserahmu."
Bang Herca memegang kedua lengan Dindra hendak menjauh tapi Dindra masih meremas kuat pakaiannya. Terdengar sesenggukan kecil di telinga Bang Herca.
"Ma_maaaa...." Ucapnya lirih hingga kemudian Dindra lemas di dada Bang Herca.
"Astaghfirullah, Din.. Dindraa..!!" Bang Herca menepuk pipi Dindra. "Kenapa lagi kamu, dek..!!!" Secepatnya Bang Herca membawa Dindra masuk ke dalam mobil.
Papa Danar langsung mengomel dan mengambil alih kemudi mobil. Sepanjang perjalanan telinga Bang Herca terasa panas. Papa Danar benar-benar marah.
...
Rigi ikut merawat Dindra, tapi untuk beberapa saat tidak mengijinkan siapapun untuk masuk ke dalam kamar hingga saudara tirinya itu benar-benar sadar.
"Kenapa saya tidak boleh lihat??"
"Ng_gak apa-apa, Om. Biar Dindra nyaman saja." Jawab Rigi.
Bang Herca sempat merasa aneh tapi mengabaikan rasa itu dan duduk di samping Dindra.
Oma Delia dan Opa Harso yang baru tiba bersama Bang Al-Fath dan Bang Riyadh segera memeriksa kondisi Dindra. Oma Delia merasa ada yang aneh.
"Dindra sudah konsumsi obat apa?" Tanya Oma.
"Ti_dak ada, Oma." Jawab Rigi.
Oma yang sudah sepuh tidak lagi bertanya banyak dan langsung meminta Bang Alfath menebus obat untuk Dindra.
:
"Kamu terlalu ceroboh, lain kali jangan sampai hal ini terjadi..!! Istri baik atau tidak, utamanya berasal dari didikanmu sebagai suami." Nasihat Opa Harso.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!